Senin, 22 Februari 2010

KUMPULAN PUISI GUS MUS

AKU TAK BISA LAGI MENYANYI

Aku tak bisa lagi menyanyi.. bagiku kini tak ada lagi musik dan lirik yang menarik untuk kunyanyikan bersamamu atau sendiri, burung burung terlalu berisik mendendangkan apa saja setelah mereka merdeka, membuatku tak dapat lagi mengenali suaramu atau suaraku sendiri, taman tempat kita istirahat becek darah yang seharusnya tak tumpah jalan2 tempat kita mendekatkan hati tertutup dihadang gerang dan amarah, malam2 tempat kita menyembunyikan cinta telah dionarkan kobaran kebencian, daging2 yg selama ini kita banggakan ikut terpanggang api dendammu , udara disekitar kita mengeluarkan bau terlalu anyir dan lalat2 berpesta dimana2. Bagaimana aku bisa menyanyi, aku tak mampu menyanyikan lagu duka, aku tak bisa mengadukan duka pada duka, mengelukan luka pada luka, senar gitarku putus dan aku tak yakin bisa menyambungnya lagi, dan langitpun seolah telah muak dengan laguku yg sumbang, maaf sayang aku tak bisa lagi menyanyi bersamamu atau sendiri, entah jika tiba2 nabi Daud datang membawa seruling ajaibnya.

NOVEMBER 1998.

WANITA CANTIK SEKALI DI MULTAZAM

Wanita cantik sekali di multazam, ditengah2 himpitan daging doa dipelataran rumahMU yg agung, aku mengalirkan diri dan ratapku hingga terantuk pada dinding mustajabmu menuapkan luap pinta didadaku, kubaca segala yg bisa kubaca dalam bahasa untuk hambah, dari tahlil ke tasbih dari tasbih ke tahmid dari tahmid ke takbir dari takbir ke istighfar dari istighfar ke syukur dari syukur ke khauf dari khauf ke roja’ dari roja ke khauf roja’ khauf2 roja’ roja’ khauf2 roja’ sampai tawakal, tiba2 sebelum benar2 fana mulailah dari arah multazam seorang cantik sekaali, ma sya Alloh tabaroka Alloh Alloh apa amalku jika kurnia, apa dosaku jika coba, Alloh putih kulitnya dalam putih kerudungnya indah sekali alisnya indah sekali matanya indah sekali hidungnya indah sekali bibirnya dalam indah wajahmu, Allohku kunikmati keindahan dalam keindahan diatas keindahan dibawah keindahan dikanan kiri keindahan ditengah2 keindahan yang indah sekali, Allohku inilah kerapuhanku. Takku tanyakan kenapa engkau bertanya bukan ditanya kenapa, tapi apa jawabku ampunilah aku, tanyalah jua yg ku punya kini, Alloh mukalafkah aku dalam keindahanmu.

MASJIDIL HARAM 1979

SELAMAT IDUL FITRI

Selamat idul fitri, selamat idul fitri bumi maafkanlah kami selama ini kami tidak semena2 memperkosamu, selamat idul fitri langit maafkanlah kami selama ini tidak henti2nya kami mengelabuhkanmu, selamat idul fitri mentari maafkanlah kami tidak bosan2 mengabulkanmu, selamat idul fitri laut maafkanlah kami tidak segan2 mengeluhkanmu, selamat idul fitri burung2 maafkanlah kami selama ini tidak putus2 menberangusmu, selamat idul fitri tetumbuhan maafkanlah kami selama ini tidak puas2 kami menebasmu, selamat idul fitri para pemimpin maafkanlah kami selamaq ini tidak habis2 kami membiarkanmu, selamat idul fitri rakyat maafkanlah kami selama ini tidak sudah2 kami mempergunakanmu. Selamat Idul fitri

1410

KAU INI BAGAIMANA

Kau ini bagaimana? atau Aku harus bagaimana?
Kau ini bagaimana?
Kau bilang Aku merdeka Kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh Aku berfikir Aku berfikir Kau tuduh Aku Kafir
Aku harus bagaimana?
Kau bilang bergeraklah! Aku bergerak,Kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah Aku diam saja Kau waspadai
Kau ini bagaimana?
Kau suruh Aku memegang prinsip Aku memegang prinsip Kau tuduh Aku kaku
Kau suruh Aku toleran Aku toleran Kau bilang Aku Plinplan
Aku harus bagaimana?
Aku Kau suruh maju Aku mau maju Kau serimpung kakiku
Kau suruh Aku bekerja Aku bekerja Kau ganggu Aku
Kau ini bagaimana?
Kau suruh Aku taqwa kutbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh Aku mengikutimu langkahmu tak jelas arahnya
Aku harus bagaimana?
Aku Kau suruh menghormati hukum kebijaksanaanmu menyepelekannya Aku Kau suruh berdisiplin Kau menyontohkan yang lain
Kau ini bagaimana?
Kau bilang tuhan sangat dekat Kau sendiri memanggil manggilnya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang Kau suka damai Kau ajak Aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana?
Aku Kau suruh membangun Aku membangun Kau merusakkannya
Aku Kau suruh menabung Aku menabung Kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana?
Kau suruih Aku menggarap sawah sawahku Kau tanami rumah rumah
Kau bilang Aku harus punya rumah Aku punya rumah Kau meratakannya dengan tanah
Aku harus bagaimana?
Aku Kau larang berjudi permainan spekulasimu menjadi jadi
Aku kau suruh Aku bertanggung jawab tapi Kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab Kau ini bagaiamana?
Kau suruh Aku jujur Aku jujur Kau tipu Aku
Kau suruh Aku sabar Aku sabar Kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana?
Aku Kau suruh memilihmu sebagai wakilku sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang Kau selalu memikirkanku Aku sapa saja Kau merasa terganggu
kau ini bagaimana?
Kau bilang bicaralah Aku bicara Kau bilang Aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara Aku bungkam Kau tuduh Aku apatis
Aku harus bagaimana?
Kau bilang kritiklah Aku kritik Kau marah
Kau bilang cari alternatifnya Aku kasih alternative Kau bilang jangan mendekte saja
Kau ini bagaimana?
Aku bilang terserah Kau Kau tidak mau Aku bilang terserah kita Kau tak suka Aku bilang terserah Aku Kau memakiku kau ini bagaimana? atau Aku harus bagaimana?

1987 GUSMUS

NASIHAT ROMADHON BUAT MUSTHOFA BISRI

Mustofa.... jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kau selalu mengatakan romadhon bulan ampunan, apakah hanya menirukan nabi atau dosa-dosamu dan harapanmu yg berlebihanlah yang menggerakan lidahmu begitu.Mustofa.... Romadhon adalah bulan antara dirimu dan tuhanmu darimu hanya untknya dan Ia sendiri tak ada yg tahu apa yg akan dianugrahkannya kepadamu,semua yg kusus untukNYA kusus untukmu,
Musthofa Romadhon adalah bulan yg Ia serahkan padamu dan bulan serahkanlah semata2 padanya Bersucilah untuknya besholatlah untukNYA, berpuasalah untukNYA berjuanglah melawan dirimu sendiri untukNYA
Sucikan kelaminmu berpuasalah sucikan tanganmu brpuasalah sucikan mulutmu brpuasalah sucikan hidungmu berpuasalah sucikan wajahmu berpuasalah sucikan matamu berpuasalah sucikan telingamu berpuasalah sucikan rambutmu berpuasalah sucikan kepalamu berpuasalah sucikan kakimu berpuasalah sucikan tubuhmu berpuasalah sucikan hatimu sucikan pikiranmu brpuasalah sucikan dirimu
Mustofa bukan perut yg lapar bukan tenggorokan yg kering yg mengingatkan kedhaifan dan melembutkan rasa,perut yg kosong dan tenggorokan yg kering ternyata hanya penunggu atau perebut kesempatan yg tak sabar atau terpaksa barangkali lebih sabar sedikit dari mata tangan kaki dan kelamin lebih tahan sedikit berpuasa tapi hanya kau yg tahu hasrat dikekang untuk apa dan untuk siapa
Puasakan kelaminmu untuk memuasi ridho puasakan tanganmu untuk menerima kurnia pusakan mulutmu untuk merasai firman puasakan hidungmu untuk menghirup wangi pusakan wajahmu untuk mnghadap keelokan pusakan matamu untuk menatap cahaya puasakan telingamu untuk menangkap merdu puasakan rambutmu untuk menyerap belai puaskan kepalamu untuk menekan sujud puasakan kakimu untuk menapak shirot puasakan tubuhmu untuk meresapi rahmat puasakan hatimu untuk menikmati hakikat puasakan pikiranmu untuk meyakini kebenaran puasakan dirimu untuk menghayati hidup
tidak puasakan hasratmu hanya untuk hadiratNYA
Musthofa Romadon bulan suci katamu kau menirukan ucapan nabi atau kau telah merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu tapi bukankah kau masih selalu menunda2 menyingkirkan kedengkian keserakahan ujub riya takabur dan sampah2 lainnya yg mampat dari comberan hatimu
Mustofa inilah bulan baik saat baik untuk kerja bakti mmbersikan hati
inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu yg secara terang2an dan smbunyi2 kau puja selam,a ini
Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini seperti Romadhon2 yg lalu
IJTIHAD
DALAM ISLAM

MAKALAH

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam

Oleh
Nama: Sukabul

PROGRAM STUDI MUAMALAH SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AN- NAWAWI
PURWOREJO
2008/2009


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan salah satu aktivitas pokok dalam islam yang telah mendapat legitimasi oleh syâri' (Allah dan Nabi Saw.), pada pertengahan abad ke-4 hijriyah islam bisa dikatakan mengalami puncak kejayaan dalam berbagai bidang, salah satunya pada aspek keilmuan. Terbukti banyak muncul pada saat itu para mujtahid yang berjuang untuk melayani umat, berbagai disiplin ilmu dalam bidang keagamaan yang telah diciptakan pada masa itu sangatlah bervariasi dan bisa dikatakan cukup untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh umat islam pada saat itu. Tidak semua orang bisa berijtihad, sangatlah ketat syarat yang diajukan oleh para ulama' akan hal ini, seperti menguasai disiplin ilmu yang digunakan untuk menentukan suatu hukum, dan juga mengetahui tata cara atau metode-metode ijtihad yang nantinya juga akan berimbas pada pengklasifikasian mujtahid itu sendiri dilihat dari kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Namun aktivitas ijtihad jarang kita jumpai pada masa kini, salah satunya karena umat islam lebih cenderung bertaqlid pada aimmah al-mazdâhib, bahkan ada yang mengatakan pintu ijtihad tertutup, tapi apakah pernyataan itu benar? " Wallâhu a'lam ". Setidaknya jawaban atas apa yang menjadi tanda tanya setelah prolog yang penulis sampaikan akan mendapat titik terang setelah antum membaca dan mencermati karya tulis ini.
B. Rumusan Masalah
1. apa itu ijtihad dan Apa dasar dari ijtihad?
2. Syarat apa saja yang harus ditempuh ketika akan membahas dan menentukan suatu hukum?
3. Adanya bermacam syarat untuk berijtihad, adakah klasifikasi untuk para pelaku ijtihad (mujtahid) berdasarkan syarat yang telah dikuasai?
4. Bagaimana metode berijtihad?
5. Apakah benar peluang untuk berijtihad pada masa kini sudah tidak bisa dalam artian apakah pintu ijtihad itu sudah tertutup?
C. Batasan Masalah
Dalam presentasi makalah ini, kami memberi batasan seputar hal-hal yang berkaitan dengan rumusan masalah yang telah kami paparkan diatas, jika nanti pembahasan keluar dari batasan yang ada, namun dipandang perlu untuk memahaminya, dengan bijak kami akan berijtihad (semaksimal mungkin) untuk memberikan jawaban (baik dalam forum -jika memungkinkan- atau diluar forum) sepengetahuan kami dengan harapan bisa menjadi ilmu yang nafi' bagi penulis dan agar para audiens merasa puas.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Secara harfiah, Ijtihad yang berasal dari kata kerja jahada dapat diartikan dengan kerja keras, sungguh-sungguh, dan pengetahuan mengenai hukum atau yurisprudensi. Secara terminologi ijtihad diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan atas hukum-hukum syara' dengan jalan menggali dari sumbernya (al-ishtinbâth) yang berupa Al-quran Al-sunah. Adapun isim fâ'il (pelaku/orang yang melakukan) dari ijtihad adalah mujtahid.

B. Pensyari'atan Ijtihad
Ijtihad merupakan salah satu pilar pokok tegaknya syari'at islam. Terdapat banyak dalil yang menganjurkan untuk melaksanakannya, diantaranya adalah firman Allah QS. Al-nisâ' 105,
       ••         
Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Pada ayat ini mengandung ketetapan ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas. dan QS. Al-rūm 21,
            ••   •      

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dan dari al-sunah ialah hadits dari Amr ibn al-'Âsh , ia mendengar utusan Allah bersabda:
اذا حَكمَ الحاكمُ فاجتهدَ فاصاب فله اَجْرانِ اذا حَكمَ فاجتهدَ فَاخْطأ فله اجرٌ واحدٌ "رواه البخارى و مسلم"
Artinya: jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian benar, maka bginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala. "HR. Bukhari dan Muslim".
Hadits ini secara implisit menunjukkan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah, tapi baik yang benar maupun yang salah tetap mendapatkan pahala, dalam artian keduanya mendapat legitimasi hukum dari syâri' (yang mempunyai syari'at). Oleh karena itu perbedaan pendapat dari masing-masing imam yang telah mencapai kapasitas untuk berijtihad harus disikapi dengan benar, jangan dijadikan perpecahan. Karena itu adalah rahmat bagi kita. Nabi SAW bersabda "perbedaan pendapat umatku adalah suatu rahmat". Dan juga hadits yang diriwayatkan Muazd bin Jabal ketika mendapat pembekalan oleh nabi sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di daerah yaman. Ketika Nabi bertanya, dengan apa kamu memberi keputusan? Muazd menjawab, dengan kitabullah (Al-quran). Kemudian Nabi berkata, kalau kamu tidak menemukan didalam al-quran? Aku akan menghukumi dengan sunah Rasul-Nya nabi berkata lagi, kalau dalam sunah tidak kamu temukan? Aku akan berijtihad dengan ro'yu. Adapun pengertian ijtihad dengan ro'yu dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah yang dipakai ushuliyin (ulama' ahli usul).

C. Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid
Dalam menentukan kriteria-kriteria seorang mujtahid, para mushonif (pengarang) kitab berbeda-beda pendapat, namun dari ihktilaf tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat seseorang bisa dikatakan mujtahid ketika sudah menguasai delapan bidang pengetahuan.
Pertama, faham dengan makna ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan hukum-hukum syari'at, baik secara lughot (etimologis) atau secara syara' (epistemologis), dan tidak disyaratkan menghafal ayat al-ahkâm (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum) apalagi ayat-ayat Al-qurân secara keseluruan. Cukup hanya mampu merujuknya kembali ketika membutuhkan . Adapun kadar-kadar ayat-ayat hukum yang dalam Al-qurân menurut Al-ghazali, Al-razi, dan Ibn al-Arabi adalah 500 ayat, kemudian Al-Zarkasyi menjelaskan bahwa yang dikehendaki oleh Al-ghazali, Al-razi, dan Ibn al-Arabi hanyalah ayat-ayat yang zhahirnya bermuatan hukum praktis. Lebih dari itu banyak ayat yang apabila digali akan menghasilkan sintesa hukum, tergantung pada kepiawaian dalam menganalisa dalil .
Kedua, mengetahui hadits-hadits tentang hukum, secara lughot ataupun syara' seperti yang telah disebutkan dalam penalaran ayat-ayat Al-qurân. Tidak diharuskan menghafal semua hadits yang berkaitan dengan hukum dan hadits secara keseluruan .
Ketiga, menguasai persoalan-persoalan yang telah menjadi konsensus ulama' terdahulu (ijma'). dalam hal ini, mujtahid tidak harus hafal permasalahan secara keseluruan yang telah disepakai oleh ulama' (ijma'). Cukup hanya memastikan bahwa hukum yang dicetuskan tidak melanggar kesepakatan ulama'.
Keempat, memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum .
kelima, menguasai disiplin ilmu logika (manthiq).
keenam, menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharaf, balaghoh dan lain sebagainya.
ketujuh, mengetahui nasikh (dalil nash yang menyalin hukum) dan mansukh (dalil nash yang disalin) dari Al-qurân dan Al-sunah, sehingga tidak akan mencetuskan hukum tidak didasarkan pada nash yang telah tersalin hukumnya. Untuk persyaratan ini Wahbah al-Zuhaili memberi solusi untuk merujuk pada kitab-kitab yang menerangkan nasikh dan mansukh. Karena seorang yang akan berijtihad tidak disyaratkan mengetahui secara keseluruan nasikh dan mansukh, yang menjadi keharusan ialah mengetahui bahwa yang menjadi pijakan hukumnya bukan termasuk dalil-dalil yang di nasikh oleh nash yang lain.
Kedelapan, mengetahui kepribadian para râwi (yang meriwayatkan), sehingga dapat memastikan status periwayatannya, kuat atau lemah, shahih atau tidak, diterima atau tidak. Dalam hal ini cukup dengan merujuk pada pendapat imam-imam muhadditsin seperti imam Bukhâri dan Muslim.
Kedelapan syarat ini adalah yang diajukan oleh jumhur ulama', sebenarnya masih terdapat sejumlah persyaratan yang masih diperdebatkan, diantaranya menguasai usul fiqh, syarat ini diajukan Al-ghazali, Mengetahui maqâsid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariat), persyaratan ini diajukan oleh Al-syatibiy. Memiliki kedalaman pemahaman teologi (ilmu kalam), Abu Ishaq meriwayatkan bahwa syarat ini diajukan oleh golongan Qadariyyah. Al-ustazd Abu Mansyur mensyaratkan untuk mengetahui detil-detil cabangan fikih.
D. Stratifikasi Mujtahid
Ijtihad menempati derajat paling tinggi dalam bidang keilmuan syariat islam, sudah pasti persyaratan untuk mencapainya sangat ketat. Adapun syarat yang telah kami paparkan dimuka adalah untuk kualifikasi mujtahid mutlaq. Seiring dengan melemahnya gairah keilmuan islami akhir-akhir ini, muncullah term ijtihad dengan sandaran-sandaran tertentu, sebagaimana yang akan kami paparkan dibawah ini.
Pertama, mujtahid mustaqil, yaitu seorang yang mampu menggali hukum langsung dari Al-qurân dan Al-hadits dengan menggunakan teori usul dan kaidah ciptaan sendiri. seperti qiyas, ihtisan dan lainnya. Masuk dalam kategori ini yaitu para fuqahâ' sahabat, sebagian tabi'in seperti Sa'id bin al-Musayyab dan Ibrahim al-Nakha'i, dan imam-imam madzhab seperti Al-auzâ'i, Laits bin Sa'id, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-syâfi'i, dan Ahmad bin Hambal. Mereka adalah mujtahid mustaqil (independen) meskipun banyak pendapat pendapat dari mereka tidak terkodifikasi secara khusus. Mujtahid mustaqil ini menurut Ibn al-Qayyim sudah terputus semenjak abad ke 4 H. namun Al-suyuti menyangga asumsi tersebut, ia mengklaim bahwa mujtahid mustaqil tetap wujud sampai akhir zaman dengan disandarkan pada hadits:
اِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأمَّةِ عَلى رَأسِ كُلِّ ماِيةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لهَا دِيْنَهَا " رواه ابو داود عن ابى هريرة "
Artinya: Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini (islam) pada penghujung setiap seratus tahun orang-orang yang akan memperbaharui permasalahan agamanya. "HR. Abu Dâwud dari Abi Hurairah ra."
kedua, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil al-muntasib, yaitu seseorang yang padanya telah ditemukan syarat-syarat untuk berijtihad, namun belum mampu menciptakan kaidah-kaidah sendiri dan masih berpegang pada kaidah dan usul imam mazdhabnya. Masuk dalam klasifikasi ini dari kalangan Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zâfr, dari Mâlikiyah seperti Abd al-Rahman bin Qâsim, dan dari Syafi'iyah seperti Al-Buwaithi, Za'farâni, dan Al-Muzani.
ketiga, mujtahid muqoyyad al-mazdhab atau mujtahid takhrij, yaitu seseorang yang menggali hukum dari persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam mujtahidnya. Dengan memakai kaidah-kaidah dan usul imamnya. Seperti Abu Ishaq al-Syairâzi dan Al-Mawardi.
keempat, mujtahid tarjih, yaitu seseorang yang mampu melakukan tarjih (penguatan) terhadap pendapat imam mazdhab dan para muridnya. Seperti Hasan al-Quduriy, Al-Marghinâni pengarang kitab Al-hidayah dari kalangan Hanafiyah.
kelima, mujtahid fatwa, yaitu seseorang yang yang peduli akan kelangsungan mazdhab imamnya, turut melestarikan, mengutip dan mengkaji pendapat imamnya, akan tetapi belum bisa men-tarjih dan memberikan penilaian kuat dan lemah.
E. Metode Ijtihad
Langkah awal yang harus dilakukan ketika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu permasalahan ialah melakukan akumulasi macam-macam disiplin ilmu yang berkaitan dengan obyek permasalahan, seperti gramatika arab, ayat-ayat Al-qurân, hadits-hadits Nabi, pendapat ulama' terdahulu, dan metode-metode qiyas. Kemudian, tanpa terikat dengan fanatisme mazdhab, dilakukan analisa dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama-tama seorang mujtahid harus terlebih dahulu meneliti nash-nash Al-qurân. Tatkala ditemukan ayat-ayat yang menjelaskannya baik secara nash atau zhahir, maka itulah yang harus dijadikan sebagai sandaran hukumnya. Dan ketika tidak ditemukan didalam Al-qurân, maka beranjak pada penelitian sunah Rasulullah, meliputi perkataan, tindakan atau penetapan dan persetujuan Rasulullah. Bila ditemukan penjelasan didalamnya, maka itulah yang harus di adopsi dan dijadikan sebagai keputusan hukum. Kemudian meneliti hasil-hasil ijma' yang valid dari para mujtahid terdahulu. Lalu beralih pada qiyas, dengan menggali illat hukumnya. Sesuai dengan ijtihadnya, diterapkanlah illat-illat tersebut sesuai dengan masâlik al-illat-nya. secara ringkas inilah pilar-pilar penunjang ijtihad, yakni Al-qurân, hadits, ijma' dan qiyas, sebagaimana dikemukakan oleh imam Al-syafi'i. sebagian ulama' menambahkan adanya pengamalan secara kontekstual sesuai dengan ruh syari'at islam.
Adapun metode-metode yang digunakan oleh para mujtahid secara khusus ialah qiyas, maslahah mursalah, urf' (adat), istishab, ihtisan, syar'u man qoblana, qoul sahabat, dan lainnya.
F. Tertutupkah Pintu Ijtihad
Masa setelah Rasulullah Saw wafat sampai pada pertengahan abad keempat hijriyah, ijtihad mencapai perkembangan yang cukup memuaskan dan mengembirakan, bisa dikatakan inilah masa-masa umat islam yang paling gemilang dalam bidang keilmuan khususnya pada fan fiqh. Namun sangat disayangkan setelah masa itu berlalu, seiring dengan kekuasaan islam yang mulai terpecah belah menjadi beberapa Negara, ijtihad ibarat pelita yang menjadi penerang syari'at islam mulai menampakkan indikasi-indikasi kelesuan dan kemunduran. Hal ini disebabkan karena melemahnya kebebasan berfikir, antusianisme terhadap ilmu agama mengalami dekadensi yang pengaruhnya masih kita rasakan sampai sekarang, fanatisme dalam mazdhab, dan munculnya hakim-hakim yang tidak memenuhi persyaratan untuk berijtihad. Aktivitas keilmuan hanya berkutat pada pemikiran mujtahid mazdhab-mazdhab tertentu saja. Dengan dalih melestarikan kemurnian fiqh yang telah dirumuskan imam-imam mazdhab dan para ulama' terdahulu, sebagian ulama' berfatwa bagi semua muslim untuk tetap konsisten pada mazdhab-mazdhab mujtahid terdahulu. Bukan hanya itu, mereka juga mengatakan pintu ijtihad tertutup.
Apakah statemen dari sebagian ulama' itu benar bahwa pintu ijtihad itu sudah tertutup? Dengan menganalisa argumen-argumen dari para ulama' yang mengatakan pintu ijtihad tertutup, yang mana klaim ini tidak berdasarkan pada syara' maupun rasio. yang menjadi sandaran mereka adalah fatwa turun temurun tentang tertutupnya pintu ijtihad dari masa ke masa. Kemudian kita bandingkan dengan argumen para ulama' yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka lebar sebagaimana yang akan kami paparkan dibawah ini:
• Kalau dilihat bahwa ijtihad adalah suatu penggalian hukum dari sumbernya (Al-qurân, Al-sunah, dan Ijma') maka pintu ijtihad masih terbuka lebar. Perkembangan zaman dari berbagai aspek yang begitu cepat akan banyak menimbulkan permasalahan baru yang belum terbahas pada masa lalu, sehingga diperlukan seorang mujtahid yang berijtihad untuk memecahkan problem hukum yang ada pada masyarakat. Menanggapi hal ini Ibn Daqiq al-'id mengatakan "setiap saat tidak akan vakum dari seorang mujtahid, kecuali jika zaman itu telah kacau dan kiamat sudah dekat".
• Wahbah al-Zuhaili menilai penutupan pintu ijtihad merupakan suatu kebijakan temporer pada kondisi dan waktu-waktu tertentu, atau langkah antisipasi timbulnya kekacauan yang diakibatkan oleh aktivitas ijtihad oleh mereka yang bukan ahlinya. Ketika hal-hal tersebut sudah tidak ada lagi, maka wajib kembali pada hukum asal yaitu terbukanya ijtihad. Klaim bahwa pintu ijtihad tertutup adaah lemah, karena tidak berdasarkan pada dalil syara' maupun rasio, mereka hanya mendasarkan pada warisan fatwa tertutupnya pintu ijtihad dari masa ke masa.
• Al-suyuthi dalam karyanya Al-radd 'alâ Man Akhlada Ilâ al-Ardh mengatakan, pendapat mazdhab, wajib berijtihad dan mencela pelaku taqlid. Senada dengan Al-suyuthi, Abu Muhammad al-Baghawi mengatakan menuntut ilmu agama kadang berupa fardhu 'ain dan kadang berupa fardhu Kifâyah, beliau mengatakan menuntut limu yang menyampaikan pada derajat ijtihad, mufti, atau qadhi (hakim) adalah kewajiban yang bersifat kolektif, sehingga bukan lagi termasuk golongan muqollidin (orang-orang yang taklid). Kewajiban ini awalnya bagi semua manusia, hanya saja ketika dalam suatu daerah ada satu atau dua orang yang belajar disiplin ilmu ini maka gugurlah kewajiban itu atas yang lain. Dan sebaliknya jika tidak ada satupun yang melaksanakannya, maka semua penduduk termasuk berbuat maksiat dan berdosa. Hal ini karena meremehkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh syâri'. Allah berfirman dalam QS. Al-taubah 122:
                      
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
• Al-syahrastani mengatakan bahwa semua manusia telah berbuat maksiat atau berdosa jika pada masanya tidak ada satupun orang yang belajar suatu disiplin ilmu yang mendalami dan mengantarkan pada strata mujtahid. Bahwasanya aktivitas yang bersifat duniawi banyak sekali yang tidak dijelaskan secara tegas atau bahkan tidak ditemukan hukumnya dalam Al-qurân, Al-sunah, dan konsensus ulama', maka dari itu perlu adanya penyelesaian agar aktivitas tersebut tidak keluar dari syari'at. Adapun jalan penyelesaiannya yaitu dengan berijtihad.
• Menutup pintu ijtihad akan mempersempit ruang gerak seorang muslim dalam mendalami agamanya, dan itu akan berakibat kurangnya kreativitas muslim yang berdampak pada ketertinggalan dalam khasanah keilmuan.
Demikian adalah argumen sebagian ulama' yang menentang mereka yang mengatakan bahwa pintu ijtihad tertutup.




BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan tentang ijtihad dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan ijtihad itu sendiri akan kami simpulkan beberapa esensi dari makalah yang kami sajikan. Pertama, ijithad dari perspektif ulama' usul fiqh adalah usaha dengan segala kemampuan yang dimiliki (secara maksimal) untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru yang dihadapi masyarakat dunia. Kedua. Ijtihad adalah senjata yang ampuh bagi masyarakat islam dalam menghadapi tantangan global, maka dari itu syâri' (Allah 'azza wa jalla dan Nabi Muhammad SAW) dalam undang-undang dasar islam (Al-qurân dan Al-sunah) telah memberi legitimasi untuk berijtihad baik diterangkan secara eksplisit maupun implisit. Ketiga, tidak seperti dinegara kita yang mana tanpa menguasai berbagai macam disiplin ilmu, hanya dengan bermodalkan ijazah, uang atau yang lainnya kita bisa menjadi hakim yang berwenang untuk memutuskan suatu hukum. Dalam islam, sangatlah ketat dan banyak syarat-syarat yang diajukan untuk bisa berijtihad. Sehingga produk hukumnya jauh lebih maslahat. Keempat, karena ketatnya syarat untuk berijtihad maka ada semacam pembagian mujtahid berdasarkan kapasitas bidang-bidang yang dikuasainya. Kelima, dalam berijtihad ada tata cara tersendiri yang mana ketika menemukan suatu permasalahan maka dialihkan ke Al-qurân, kemudian Al-sunah, dan Ijma' dengan menggunakan metode-metode yang telah ditetapkan. Seperti qiyas, maslahah mursalah, urf' (adat), istishab, ihtisan, syar'u man qoblana, qoul sahabat, dan lainnya. Keenam, berdasarkan pendapat para ulama' yang ada, dapat ditarik suatu konklusi "bahwa ijtihad adalah suatu keniscayaan yang bersifat kolektif (fardhu kifayah), keberadaannya senantiasa dibutuhkaan untuk mendampingi umat dalam merespon perkembangan zaman, maka dari itu salah apabila beranggapan pintu ijtihad tertutup".




BIBLIOGRAFI

Abdusshomad, Muhyidin. 2006, Fiqh Tradisionalis Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Surabaya: Khalista

Ali, Attabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. tt., Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Yayasan ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak

Al-quran digital versi 2.1. 2004

Firdaus. 2004, Usul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Jakarta: Zikrul Hakim

Forum Karya Ilmiah (FKI). 2006, Kilas balik Teoritis Fikih Islam, Lirboyo: PP. Liboyo, Kediri

Hakim, Abdul Hamid. tt., Al-sulam, Jakarta: Al-maktabah al-sa'adiyah putra


Nadwi, M. Fadlil Said al-. tt.Usul fikih Terjemah Syarah al-Waraqat, Surabaya: Al-hidayah

Philosophy of Islamic Law of Transactions, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung


Zuhaili, Wahbah bin Musthofa al-. 1986, Usul al-Fiqh al-Islamiy. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir
SUMBER SUMBER
POKOK HUKUM SYARIAT

MAKALAH

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen pengampuh : Mahsun. M.Ag.


Oleh:
Sukabul


PROGRAM STUDI MUAMALAH JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AN-NAWAWI
PURWOREJO
2009





SUMBER SUMBER
POKOK HUKUM SYARIAT

A. Latar Belakang

Dikatakan " Ketika Ushul (dasar-dasar) telah faham di luar kepala dengan sendirinya lisan akan mengucapkan cabangannya. " kata bijak ini merupakan salah satu motivasi kami dalam belajar dan memahami ushul fiqh. Ushul fiqh sebagai suatu disiplin ilmu dalam islam sangatlah penting untuk kita fahami. Apalagi selain mahasiswa mayoritas dari kita adalah santri. -Wa qila “ ushul fiqh adalah mutiara yang terpendam dalam diri kita” – lantas bagaimana cara kita bisa menggali dan memanfaatkan mutiara tersebut untuk menggapai ridho sang raja diraja penguasa alam semesta? “تعقلون لعلكم “.
Salah satu istrumen terpenting dalam pembahasan fan ini adalah mengetahui sumber-sumber hukum pokok yang telah menjadi konsesus ulama’. Yaitu berupa al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
      …الاية
Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah…(Al-maidah: 49)
Dalam makalah yang kami sajikan -meskipun sangat singkat dan banyak kekurangan- kami mengajak anda semua untuk lebih memahami dan mendalami mashadhir al-ahkam yang telah disepakati. Terutama tentang al-kitab dan al-sunnah dan hal-hal yang bersangkutan dengan kedua sumber hukum pokok tersebut. Dan dalam makalah ini juga -insya Allah- akan sedikit kami singgung pembahasan tentang Ijma’ dan Qiyas.

B. Pengertian Mashadir Al-Syar’iyah

Makna dalil dalam lughot al-arabiyah adalah yang menunjukkan kepada sesuatu, baik bersifat hissiy (inderawi) autaupun maknawiy, baik ataupun buruk. Adapun makna dalil menurut ushuliyyin sebagaimana yang kami kutip dari Abdul wahhab khallaf adalah sesuatu yang dijadikan dalil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia (‘amaliy) dengan didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya baik secara qoth’iy ataupun zhanniy.
“Al-tambih” Sebelum beranjak ke-pembahasan, mungkin akan sedikit rancu apabila tidak kami perjelas -untuk menyegarkan kembali otak-otak yang telah terkontaminasi dengan berbagai macam hal yang syubhat bahkan mungkin lebih dari itu- dan kami ingatkan kembali bahwasanya istilah adillah al-ahkam (dalil-dalil hukum), ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum) dan al-mashadir al-tasyr’iyah lil-ahkam (sumber-sumber hukum islam) merupakan lafadz-lafadz yang mutaradhif mempunyai pengertian yang sama.
Pengertian mashadir al-syar’iyah dalam islam adalah sumber-sumber hukum yang ditetapkan Allah untuk dapat mengetahui perintah-perintah dan larangan-laranganNya. Dengan ungkapan lain Dr. Wahbah al-Zuhailiy memberi definisi bahwa Masadhir al-syar’iyah adalah dalil-dalil syariat yang digunakan untuk menggali hukum-hukum yang berifat syar’iy.
Untuk memperjelas Menurut Wahbah, batasan secara ringkas dalil-dalil tersebut ada kalanya berupa wahyu, yang mana wahyu tersebut adakalanya dibacakan dan ada kalanya tidak dibacakan. Ketika wahyu tersebut dibacakan (matluw) maka dinamakan al-Quran dan apabila wahyu tersebut tidak dibacakan (ghoiru matluw) maka dinamakan al-Sunnah. Adapun yang bukan berupa wahyu, apabila itu merupakan konsensus ulama’ maka dinamakan Ijma’, bila berupa analogi (al-ilhaq) suatu hal dengan lainnya karena adanya titik temu atau persamaan antara keduanya dalam ‘illat hukum maka dinamakan Qiyas. Sedangkan dalil-dalil yang tidak memiliki kriteria yang telah disebutkan dinamakan Istidlal, yang mana klasifikasi ini memiliki beberapa macam jenis.

C. Tertib Urutan Sumber Hukum

Berdasarkan istiqra’ al-ulama’ dapat di tarik kesimpulan bahwa dalil-dalil syar’iyyah yang menjadi sumber intinbat al-hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia ada empat macam, yaitu: al-Quran, al-Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Kemudian beliau Dr. Wahbah al-Zuhailiy memberikan analisisnya dengan memaparkan pembagian dalil menjadi dua klasifikasi. Pertama, yaitu dalil yang telah disepakati oleh mayoritas ulama’ berupa al-Kitab, al-Sunah, Ijma’, dan Qiyas. Kedua, dalil yang masih diperselisihkan oleh jumhur al-ulama’ dalam ber-istidlal dengannya. Dalil-dalil tersebut yang masyhur ada tujuh macam yaitu : al-Istihsan, al-Mashalih al-mursalah atau Istishlah, al-Istishab, ‘urf, Mazhab sahabat, Syar’u man qoblana (syari’at kaum sebelum kita) dan al-Zdaraai’. Selanjutnya dalam menggunakan dalil atau sumber hukum itu sendiri, jumhur ulama’ sepakat bahwa dalil-dalil tesebut mempunyai sistematika yang di mulai dari al-Quran, al-Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Apabila terjadi suatu permasalahan, pertama kali kita harus merujuk pada al-Kitab, jika ditemukan hukumnya dalam al-Kitab maka itulah yang dilaksanakan, kemudian jika tidak ada baru merujuk pada al-Sunah, akan tetapi jika tidak ditemukan hukumnya dalam al-Sunah maka harus di lihat apakah pernah ada mujtahid dalam suatu masa ber-ijma’ mengenai hukumnya ataukah tidak. Lantas apabila ditemukan hukumnya maka hukum tersebut yang dilaksanakan dan jika tidak ditemukan hukumnya seorang mujtahid harus ber-ijtihad untuk mendapatkan hukum kasus tersebut dengan metode men-qiyaskannya dengan hukum yang telah ada dalam nash.
Al-burhan dalam ber-istidlal dengan keempat dalil tersebut adalah firman Allah dalam surat al-Nisa’ 59:
                              
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Adapun sistematika mengenai empat sumber hukum tersebut didasarkan pada hadist dari Muazd bin Jabal ketika mendapat pembekalan oleh nabi sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di daerah Yaman. Ketika Nabi bertanya kepada mu’azd “dengan apa kamu memberi keputusan?” Muazd menjawab, “dengan kitabullah (Al-quran)”. Kemudian Nabi berkata, “kalau kamu tidak menemukan di dalam al-quran?” “Aku akan menghukumi dengan sunah Rasul-Nya”. Nabi berkata lagi, “kalau dalam sunah tidak kamu temukan?” “Aku akan berijtihad dengan ro'yu”. Adapun pengertian ijtihad dengan ro'yu dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah yang di pakai ushuliyin (ulama' ahli usul).

D. Mashadir Al-Ahkam Al-Syar’iyah Al-Muttafaq ‘Alaiha

Dalam pembahasan ini lebih kami fokuskan pada al-Quran dan al-Sunnah yang menempati urutan pertama dan kedua dalam menetapkan sebuah hukum. Untuk memperjelas berikut adalah pembahasan dari masing-masing empat mashadir yang telah disepakati oleh mayoritas ulama’ berdasarkan sistematikanya.

1. Al-Quran
Al-Quran ada yang mengatakan al-kitab, yang secara lughot dimutlakkan pada makna tulisan dan sesuatu yang di tulis, kemudian diungkapkan sebagai kitab Allah yang di tulis dalam beberapa mushaf. Secara harfiyah al-Quran adalah bentuk masdar yang bermakna qiraah (bacaan) yang kemudian secara ‘urfiyah diungkapkan sebagai kalam Allah swt. yang di baca oleh lisan-lisan para hamba.
Sedangkan secara terminologi, al-Quran atau al-Kitab diartikan sebagai kalam Allah berbahasa arab yang diturunkan (al-munazzal) kepada nabi Muhammad saw. Sebagai mu’jizat yang tertulis dalam lembaran-lembaran yang teriwayatkan secara mutawatir dan mengandung nilai ibadah jika membacanya. Dikecualikan dari ketentuan al-munazzal ‘ala al-nabiy yaitu kitab Taurat, injil dan lainnya. Dan dari al-i’jaz (sebagai mu’jizat) yaitu hadits-hadits rabbaniyah atau hadits qudsiy, seperti HR. Syaikhoni Bhukhori dan Muslim -Ridhiya Allah ‘anhuma- yang dikutip oleh Jalaludin ‘abd al-Rahman al-Suyuthiy:
انا عند ظن عبدي بي.
Artinya: Sesungguhnya aku (Allah) seperti prasangka hambaku padaku (Allah).

Kemu’jizatan Al-Quran
Al-Quran terhimpun dari lembaran mushaf yang di mulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Keberadannya di pandang dari berbagai aspek tetap terpelihara dari perubahan atau pergantian apapun. Hal ini telah disinggung oleh Allah di dalam al-Quran:
  •     
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (QS. al-Hijr: 9)
Di antara kemu’jizatan al-Quran ialah bahwa lafadz dan maknanya berasal dari Allah. Sedangkan rasul tidak lain hanya membacakan dan menyampaikannya.
Al-Quran adalah mu’jizat nabi saw. Kemu’jizatan di sini bersifat ma’nawi (abstrak) bukan madliy (fisik). Berkenaan dengan kemu’jizatan tersebut nabi pernah menantang kaum kafir quraisy untuk membuat semisal al-quran, ternyata mereka tidak sanggup walaupun hanya satu ayat saja. Berikut kami paparkan empat kemu’jizatan al-quran secara global yang kami kutip dari buku terjemah ushul fiqh karangan Prof. Abu Zahrah :
Pertama, Balaghoh (segi keindahan bahasa) al-Quran, mutu keindahan bahasa tidak hanya di kenal oleh kalangan sastrawan arab saja, hal ini di akui oleh para ahli yang pernah belajar dan mendalami ilmu bayan dalam bahasa arab. Mereka membandingkan al-Quran dengan karya sastra lainnya. Akhirnya kesimpulan yang di dapat ternyata al-Quran amat lain dengan jenis syair buatan manusia.
Kedua, pemberitaan al-Quran tentang kejadian pada abad-abad silam yang sesuai dengan kebenaran rasionalis yang terdapat dalam buku-buku kaum ahli kitab. Padahal kita tahu berita itu keluar dari seorang Muhammad saw. yang ummy tidak tahu baca tulis.
Ketiga. Banyak pemberitaan al-Quran akan hal-hal yang terjadi pada masa datang dan hal ini memang benar terbukti kejadiannya.
Keempat, kandungan al-Quran yang memuat beberapa ilmu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh seorang ummiy yang tidak pandai baca tulis dan tidak ada suatu perguruan atau lembaga pendidikan yang mengajarinya.

Kehujjahan Al-Quran
Al-Quran adalah dalil utama dan pertama dalam merujuk dan menetapkan suatu hukum, al-Quran merupakan dasar dan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah ‘azza wa jalla berfirman :
         
Artinya: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,(QS.: Al-Baqarah 2),
                              •   ••  
Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah: 49)
Dan masih banyak ayat maupun hadits yang menerangkan al-Quran sebagai sumber pokok, utama dan pertama dalam Islam.
Darinya legalitas sumber-sumber hukum lainnya tercetuskan. Kewajiban berpegang dan berhujjah dengan al-Sunnah tercantum didalamnya. Begitu pula untuk berpedoman pada Ijma’ dan Qiyas sebagai hujjah. Kita harus bersandarkan pada al-Quran karena al-Quran adalah sumber dari segala sumber pokok hukum Islam.

Periwayatan Al-Quran
Telah kami sebutkan salah satu unsur dari definisi al-Quran adalah teriwayatkan secara mutawatir, yang berarti secara harfiah, mutawatir adalah berulang-ulang dalam tenggang waktu tertentu. Dalam terminologi syariat mutawatir adalah sesuatu yang teriwayatkan oleh sekelompok orang dan mustahil terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berdusta. Sesuatu yang teriwayatkan secara mutawatir ini dapat dipastikan kebenarannya. periwayatan al-Quran secara mutawatir adalah suatu keharusan. Hal ini karena al-Quran sebagai kalam Allah yang didalamnya terkandung hukum-hukum syariat dan keberadaannya sebagai mu’jizat.
Kemutawatiran al-Quran ini terus berlangsung dari generasi ke generasi. Mulanya nabi menghafalkan dihadapan Jibril as. Sebelum Jibril pergi meninggalkan nabi saw. Kemudian para sahabat menghafalkan al-Quran persis seperti apa yang mereka terima dari nabi, pemeliharaan al-Quran selanjutnya dilakukan oleh para tabi’in. Meskipun pada masa sahabat al-Quran telah berhasil dikodifikasikan, hal ini tidak mematahkan semangat mereka untuk menghafal al-Quran sebagaimana para sahabat. Demikianlah praktek para sahabat dan tabi’in -rohimahum Allah- dalam memelihara al-Quran. Sungguh yang demikian merupakan bukti nyata dari firman Allah:
  •     
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (QS. al-Hijr: 9)
Contoh qira’ah yang teriwayatkan secara mutawatir adalah qira’ah sab’ah yaitu qira’ah Abu ‘Amr, Nafi’, ‘Ashim, Kisa’i, Ibn Kastir, Hamzah dan Ibn ‘Amir. Namun ada pula statemen yang mengklaim bahwa qira’ah mutawatirah adalah qira’ah ‘asyrah yaitu qira’ah sab’ah ditambah dengan qira’ah Ya’qub, Abu ja’far dan Khalaf.
Dari keterangan di atas, dapat di tarik konklusi bahwa setiap qira’ah yang periwayatannya tidak memenuhi syarat mutawatir tidaklah dapat dikatakan sebagai al-Quran.

Pokok Pokok Kandungan Al-Quran
Secara garis besarnya kandungan hukum yang terdapat dalam al-Quran terbagi menjadi tiga macam:
1. Hukum-hukum i’tiqodiyah. Yaitu hukum yang wajib bagi mukallaf untuk meyakini atau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya utusan-utusannya dan hari akhir.
2. Hukum-hukum yang berkenaan dengan ahklaq (etika). Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan hati, mengajak untuk berbudi luhur dan berahklak mulia.
3. Hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah. Yaitu hukum yang berhubungan dengan tindakan manusia secara nyata meliputi af’al (perbuatan) dan aqwal (ucapan).
Pada pokok hukum yang ketiga, secara dimensional mencakup hubungan vertikal (ibadah) seperti shalat, puasa, haji, zakat. Dan horizontal (mu’amalah) seperti jual beli, jinazat dan lainnya.
Dari ketiga pembagian di atas, dapat disimpulkan bahwa bagian pertama adalah yang menjadi pembahasan ilmu kalam (ushul al-din), bagian kedua masuk dalam ranah ilmu akhlak dan pembagian pokok hukum ketiga inilah yang menjadi pembahasan dalam ilmu ushul fiqh.

Naskh Dalam Al-Quran
Naskh secara bahasa berarti membatalkan dan menghilangkan. Adapun menurut istilah, naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang muncul lebih akhir.
Para ulama’ sepakat, secara rasional naskh sangat mungkin terjadi dan secara faktual memang terbukti, berbeda dengan ulama’ yahudi yang mengingkari naskh. Hal ini dikarenakan mereka enggan menerima syariat islam yang me-naskh syariat sebelumnya. Secara dogmatik terjadinya naskh didasarkan pada firman Allah:
              •      
Artinya: Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al-Baqarah: 106)
Telah kami sebutkan ittifaq ulama’ bahwa secara rasional maupun faktual naskh bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Namun perlu diketahui mungkin saja itu adalah ittifaq jumhur ulama’ karena ada sebagian ulama’ diantaranya Ubay ibn ka’b dari kalangan sahabat, Abu Muslim al-Ashfihaniy salah satu imam mufassir, dan dari kalangan muhaqqiqun seperti al-ustazd Muhammad Abduh dan sayyid Muhammad Rosyid Ridho mereka menolak adanya naskh dalam al-quran. Senada dengan mereka seorang ulama’ dari Indonesia Abdul Hamid Hakim dalam khulasah bab naskh menyatakan bahwa al-Kitab yang kita imani dan kita yakini tidak di naskh, semua ayat-ayatnya masih berlaku hukumnya dan kita wajib beramal dengannya. Bahkan beliau mengatakan mana dalil orang yang menentang pendapat ini. Dan ada kemungkinan sebenarnya mereka tidak menolak adanya naskh dalam al-Quran. Hanya saja, semisal Abu Muslim al-Ashfhani penolakannya hanya sebatas keengganannya dalam penyebutan beberapa hukum yang mengalami penyalinan dengan istilah naskh ia memilih menyebutnya dengan istilah takhshis.

2. Al-Sunnah
Al-Sunnah adalah sumber hukum pokok kedua setelah al-Quran dalam Islam, semua umat Islam telah mencapai kata sepakat dalam hal ini kecuali sebagian kecil dari mereka para inkar al-sunnah.

Pengertian al-Sunnah
Al-Sunnah secara bahasa jalan yang menjadi kebiasaan, baik ataupun buruk. Ini dapat di lihat dalam hadits nabi saw.:
من سن سنة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها الي يوم القيامة...الحديث
Artinya : Barang siapa yang berbuat baik, maka mendapat pahalanya dan pahala orang yang melakukannya sampai hari kiamat.
Berbeda dengan ulama’ fiqh -yang memberikan ta’rif Sunnah sebagai perbuatan yang dianjurkan tanpa adanya keharusan, dengan gambaran siapa yang mengerjakan akan mendapat pahala dan bila tidak dikerjakan tidak berdosa, yang berarti Sunnah adalah muqobil (antonim) wajib-. Ulama’ ushuliyyin memberikan ta’rif bahwasanya al-sunnah adalah segala sesuatu yang timbul dari nabi saw. Selain al-Quran yang mencakup perbuatan, perkataan dan ketetapan (taqrir). yang dapat digunakan sebagai landasan hukum. Dari pengertian Sunnah yang telah kami paparkan, ta’rif ulama’ ushul-lah yang akan menjadi pembahasan kita kali ini.
Dari definisi sunnah menurut ushuliyyin terdapat tiga pokok pembahasan yaitu:
- Al-Sunnah al-qouliyyah. Yaitu perkataan-perkataan rasulullah. Seperti perkataan beliau : “ tidak ada perbuatan dekstruktif bagi diri sendiri dan orang lain “(al-hadits), “ tidak ada wasiat bagi ahli waris “(HR. Daruqutni) dan “ segala sesuatu tergantung pada niatnya “ (HR. Bukhori) dan lain sebagainya.
- Al-sunnah al-fi’liyah. Yaitu perbuatan yang dikerjakan nabi saw. Seperti menengerjakan shalat lima waktu, melaksanakan ibadah haji, memberi keputusan hukum dengan mendatangkan saksi dan menyumpah pendakwa.
- Al-Sunnah al-taqririyah. Yaitu sikap diam nabi terhadap sesuatu yang dilakukan sahabat -baik berupa perbuatan maupun perkataan- dihadapan beliau, atau tidak dihadapan beliau namun beliau mengetahuinya. Dengan sikap taqrir nabi terhadap apa yang dilakukan sahabat menunjukkan bahwa hal tersebut tidak beliau ingkari atau perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Karena sangat mustahil beliau bersikap diam terhadap sesuatu hal yang bertentangan dengan syariat. Dalam hal ini abdul hamid hakim memberikan ketentuan sebagai berikut : Pertama. Iqrar nabi terhadap suatu ucapan seseorang sama halnya dengan ucapan beliau. Kedua. Iqrar beliau terhadap perbuatan seseorang sama halnya dengan apa yang beliau perbuat. Ketiga. Sesuatu yang dikerjakan tidak di hadapan beliau akan tetapi beliau mengetahuinya maka hukumnya sama dengan sesuatu yang dikerjakan di hadapan beliau. Keempat. Sesuatu yang diucapkan tidak pada majlis beliau akan tetapi beliau mengetahuinya maka hukumnya sama dengan sesuatu yang di ucapkan di hadapan beliau. Ini semua benar karena nabi adalah seorang yang ma’shum (terjaga) dari sifat iqrar terhadap suatu perbuatan yang bertentangan dengan syariat.

Antara Al-Sunnah, Hadits dan Khabar
Dua term yang sering kita dengar dan dikaitkan dengan sunnah yaitu hadits dan khabar. Lantas adakah perbedaan antara ketiga istilah di atas?
Al-Hadits dalam pembahasan ini secara literal berarti sesuatu yang diperbincangkan dan diriwayatkan. Termasuk didalamnya adalah hadits nabi saw. Sedangkan khabar adalah nama untuk sesuatu yang dijadikan perbincangan.
Mengenahi ketiga istilah di atas dan kaitannya dengan ushul fiqh wahbah dalam tamhid pembahasan kedua mashadir ahkam al-mutafaq ‘alaiha yaitu al-Sunnah mengatakan sebagai berikut ; “ saya lebih memilih istilah sunnah dari pada hadits ataupun khabar. Karena khabar seperti halnya hadits yaitu sesuatu yang disandarkan pada nabi saw. sahabat atau yang lain baik berupa qaul (ucapan), fi’l (perbuatan), taqrir (persetujuan) atau sifat. Adapun atsar adalah hadits yang marfu’ dan mauquf. Dan sebagian fuqaha’ lebih men-spesifikasi dengan memberikan pernyataan bahwa atsar adalah hadits mauquf. Sedangkan menurut beliau al-Sunnah hanya mencakup apa yang disandarkan kepada nabi berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat-sifat nabi saw.

Klasifikasi Al-Sunnah
Ada banyak klasifikasi sunnah menurut apa yang telah disebutkan dalam disiplin ilmu mustholah al-hadits. Namu di sini pembasan akan akan diarahkan pada pembagian al-Sunnah dari sisi transmisi periwayatannya.
Menurut mayoritas ulama’, sunnah dilihat dari sisi sanad (transmisi) periwayatannya dibagi menjadi dua. Yaitu sunnah mutawatirah dan sunnah ahad. Adapun kalangan Hanafiyah membagi sunnah dalam hal ini menjadi tiga. Yaitu mutawatir, masyhur dan ahad. Penjelasan dari ketiga macam sunnah tersebut adalah sebagai berikut:
a) Mutawatir
Secara terminologi sunnah mutawatir adalah setiap yang diriwayatkan dari nabi saw. oleh sekelompok orang yang secara akal tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbohong. Hal ini terjadi selama tiga generasi awal yaitu masa sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.
Mengenai kriteria sunnah ini banyak ragam syarat yang diajukan. Kiranya tiga syarat yang kami paparkan cukup representatif dalam bahasan kali ini.
Pertama. Periwayatan harus secara inderawi. Dengan demikian rekomendasi akal tidak bisa untuk dijadikan sandaran dalam periwayatan hadits mutawatir.
Kedua. Harus diriwayatkan oleh sekelompok orang yang secara akal tidak mungkin terjadi kesepakatan untuk melakukan kebohongan.
Ketiga. Dua syarat yang telah disebut di atas harus terpenuhi oleh setiap mata rantai periwayatan.
Berdasarkan ittifaq al-ulama’ hadits mutawatir hukumnya qoth’iy al-tsubut dari rasulullah saw. Hadits ini memberikan faidah yakin secara mutlaq.
b) Masyhur
Sunnah masyhurah adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang sahabat. Kemudian dalam generasi seterusnya (setelah sahabat) hadits tersebut teriwayatkan oleh sekelompok orang yang mustahil untuk sepakat berbohong. Dengan kata lain hadits masyhur adalah hadits yang dalam periwayatan awal hanya teriwayatkan secara ahad kemudian setelah dua generasi setelahnya teriwayatkan secara mutawatir.
c) Ahad
Sunnah ahad adalah sunnah yang diriwayatkan secara ahad tidak sampai pada derajat mutawatir pada tiga generasi. Dalam ungkapan lain sunnah ahad adalah sunnah yang dalam periwayatannya tidak terpenuhi syarat-syarat mutawatir. Sunnah ahad ini hanya memberikan faidah zdan dan terkadang bisa mencapai taraf yakin jika disertai qorinah (indikasi).

Al-sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam
Ada beberapa argumentasi yang dijadikan ulama’ dalam menetapkan al-Sunnah sebagai sumber hukum syariat. Diantaranya dari ayat-ayat al-Quran, Ijma dan rasio. Secara terperinci berikut adalah argumen-argumen yang melandasi statemen di atas.
Pertama. Dalam al-Quran allah menyuruh kita untuk mematuhi dan mengikuti jejak rasulullah saw., serta menjadikan ketaatan pada nabi sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya. Ketika ada perselisihan antara kita Allah memerintahkan ntuk mengembalikannya kepada Allah dan utusan-Nya. Allah tidak memberikan kepada kita pilihan selain apa yang telah ditetapkan Allah dan rasul-Nya. Kita diwajibkan iman kepada rasul saw. Karenanya, orang yang wajib dipatuhi maka aqwal, af’al dan taqrir-nya menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan. Allah swt. Berfirman:
                              
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-nisa’: 59)
•             
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (al-nisa’: 80)
           •        
Artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. Al-nisa: 69)

         •   •    
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (al-hasr: 7)
Wahbah juga mengutip sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Malik bin Anas dalam kitab al-Muwatho' saat beliau saw. melaksanakan haji wada’ bersabda:
تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه
Artinya: Aku tingggalkan dua perkara, apabila kamu pegangi dua perkara tersebut maka kamu tidak akan tersesat selamanya yaitu kitab Allah dan sunnah nabi-Nya.
Kedua. Adalah ijma’ para sahabat setelah beliau saw. wafat dalam kewajiban mengikuti sunnah.
Ketiga. Allah swt. memerintah rasulnya untuk menyampaikan risalah dan mengikuti wahyu, sedangkan menyampaikan risalah tersebut dengan cara membacakan al-Quran dan menjelaskannya. Maka secara rasio kongkretasi dari syariat adalah al-Quran dan ucapan nabi saw.
Beberapa ayat al-Quran ada yang mempunyai makna general dan juga global. Dari argumen-argumen di atas dapat di tarik konklusi bahwa tatkala ada ayat yang secara literal bermakna mujmal atau mutlaq tidak akan dapat difahami kecuali adanya penjelas dari nabi sang penyampai wahyu baik dari segi perkataan atau perbuatan. Maka dengan demikian segala sesuatu yang datang dari nabi dijadikan sumber legislasi hukum Islam. Berikut adalah contoh-contoh ayat yang masih muujmal dan mutlaq:
    …الاية
Artinya : Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat… (al-Nisa’: 77)
              
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (al-Baqarah: 183)

  ••          •     
Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Ali imran: 97)
•      …الاية
Artinya: padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-baqarah: 275 )
              
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya … (al-Maidah: 38)
Kita harus yakin bahwa al-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Quran. Dengan berbagai argumen yang telah kami paparkan di atas dan karena hal ini sudah menjadi ijma’ umat Islam, kecuali sebagian kecil dari para pengingkar sunnah -semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka-.

Posisi Sunnah Terhadap Al-Quran
Dari paparan-paparan yang telah kami sampaikan di muka, jelas bahwasanya al-Sunah memiliki fungsi yang strategis dalam proses legislali hukum islam. akan tetapi di mana atau apa sih posisi al-Sunnah terhadap al-Quran sebagai masadhir ahkam yang utama dan pertama? Berikut kami paparkan manzilah al-Sunnah terhadap al-Quran:
1) Al-Sunnah sebagai muqirrah (penetap) dan muakkidah (penguat) pada hukum yang ada dalam al-Quran
2) Al-Sunnah sebagai interpretasi al-Quran
Ada tiga macam fungsi sunnah sebagai mubayyin al-quran. Pertama. Sunnah sebagai tabyin al-mujmal. Kedua. Sunnah sebagai tahshis al-‘am. Ketiga. Sunnah sebagai ta’yin al-muthlaq.
3) Al-Sunnah sebagai argumen ternaskh-nya al-Quran
Ini adalah pendapat imam Syafi’i yang tidak memperbolehkan Naskh al-Quran dengan al-Sunnah yang didasarkan pada firman Allah:
              •      
Artinya: Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (al-baqarah 106)
4) Al-Sunnah sebagai penetap hukum yang tidak disebutkan dalam al-Quran.
Isyarah tentang hal ini dapat kita lihat saat mu’azd mendapat pembekalan dari rasulullah ketika di utus untuk menjadi qadhi di Yaman. Yakni mu’azd akan mengambil hukum dari al-Sunnah jika tidak menemukannya di dalam al-Quran.
Contoh al-sunnah yang berfungsi sebagai penetap hukum adalah khabar yang menunjukkan ranjam terhadap orang yang berzina muhson, memberi keputusan hukum dengan mendatangkan sanksi dan menyumpah, keharaman memakai emas atau sutra atas kaum laki-laki, mengeluarkan zakat fitrah dan lain sebagainya.

Sisi Argumentatif Khabar Ahad
Para sahabat telah sampai pada kata sepakat dalam mengamalkan khabar ahad. Hadits ahad sebagaimana yang telah kita ketahui adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang, yang bilangan perawinya tidak mencapai batasan mutawatir ataupun masyhur. seringkali mereka menggunakan hadits ahad dalam permasalahan yang mengemuka. Seperti penerimaan mereka terhadap hadits yang diriwayatkan Abu bakr -rodhiya Allah ‘anh- tentang tidak adanya pewarisan keluarga rasul terhadap harta beliau. Begitu pula mayoritas jumhur mengamalkan hadits yang diriwayatkan ‘aisyah -radhiya Allah ‘anha- tentang wajibnya mandi karena bertemunya dua kelamin lawan jenis (HR. Muslim, Ahmad dan turmudzi).
Walaupun para sahabat sepakat dalam menetapkan hadits ahad sebagai hujjah yang mengikat, namun mereka berbeda dalam menetapkan status kehujjahannya. Seperti Abu Bakr dan Umar mensyaratkan dua orang saksi yang mendengar dari nabi. Pada suatu ketika Abu Bakr kedatangan seorang wanita tua yang menuntut warisnya. Ia mengatakan “aku tidak temukan dalam al-quran yang menjelaskan kamu mendapat warisan, dan rasul juga tidak menjelaskannya”. Kemudian beliau menanyakan hal ini kepada sahabat-sahabat yang lain dan berdirilah Mughirah bin Syu’bah kemudian ia berkata “aku mendengar bahwasanya rasulullah memberikan kepadanya seperenam”. Abu Bakr berkata “ adakah orang lain yang menyaksikannya?” lalu Muhammad bin Maslamah berdiri dan bersaksi atas kebenaran ucapan Mughirah. Setelah itu baru Abu Bakr menerimanya dan memutuskan bahwa nenek itu mendapatkan jatah seperenam dari harta waris.
Begitu pula yang dilakukan umar, ia juga mensyaratkan dua saksi dalam penggunaan hadits ahad.
Adapun Ali berbeda dengan Umar dan Abu Bakr. Beliau mempunyai cara tersendiri dalam hal ini. Ia tidak menerima hadits ahad sebelum menyumpah atas kebenaran ucapannya. Beliau berkata: “ketika aku mendengar dari rasuullah sebuah hadits, maka Allah telah menganugerahkan yang dikehendakinya. Dan bila ada seorang yang mengatakan sebuah hadits kepadaku maka aku akan menyumpahnya dan ketika dia telah bersumpah maka aku akan membenarkannya.”
Ada sebagian kelompok yang mengingkari penggunaan hadits ahad sebagai dasar legal syariat. Mereka berdalih bahwa hadits ahad hanya sampai pada zhanniy al-tsubut (keberadaanya berstatus dugaan). Kaitannya dengan ini imam Syafi’i dengan tegas menolak golongan ini dengan sejumlah argumentasi. Wahbah memaparkan lima poin argumen al-Syafi’i dalam menolak mereka.
Pertama. Penerimaan hadits ahad sebagai salah satu bentuk argumentasi legal syariat terkukuhkan dengan cara berfikir analogi.
Kedua. Rasulullah menyarankan untuk menghafal, memahami dan menyampaikan kata-kata beliau baik dengan jalan satu orang atau jamaah.
Ketiga. Para sahabat sering mensosialisakan hukum-hukum syariat dengan khabar ahad. Dan nabi sendiri bersifat taqrir atas perbuatan sahabat tersebut.
Keempat. Pernah nabi mengutus dua belas sahabat kepada dua belas penguasa untuk masuk kepada islam. Dan beliau juga mengirimkan surat pada setiap penguasa pada tiap-tiap utusan.
Kelima. Sebagaimana yang telah dipaparkan, para sahabat menjadikan hadits ahad sebagai dasar hukum apabila tidak menemukan dalil dalam al-Quran atau al-Sunnah.

3. Ijma’
Ijma' secara bahasa mempunyai arti kesepakatan. Dan secara istilah adalah kesepakatan umat islam setelah wafatnya nabi saw. pada suatu masa terhadap suatu perkara atau permasalahan. Ijma menurut jumhur ulama' adalah hujjah.
Ijma' dikatakan sah dengan ucapan sebagian ulama' dan pekerjaan sebagian ulama' yang mana ucapan dan pekerjaan tersebut masyhur. Adapun sebagian dari ulama' bersifat diam tidak memberi renspon atas ucapan dan perbuatan tersebut maka yang seperti ini dinamakan ijma' sukutiy. Contoh ulama' sepakat bahwa semua yang biasa keluar dari dua jalan yaitu al-Baul dan al-ghoith hukumnya membatalkan wudhu.

4. Qiyas
Qiyas sebagai hujjah dalam islam didasarkan pada firman Allah QS. al-Hasr:
" فاعتبروا يا أولى الابصار"
Artinya: Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Secara bahasa Qiyas adalah mengukur atau men-kira-kirakan sesuatu atas sesuatu yang lain agar ditemukan titik temu antara keduanya. Seperti mengukur pakaian dengan lengan yang artinya menkira-kirakan pakaian tersebut dengan lengan.
Secara istilah qiyas adalah mengembalikan hukum cabang (far') kepada hukum ashal karena adanya illat (alasan) yang menjadi titik temu antara keduanya dalam hukum. Contohnya seperti pen-qiyasan beras terhadap gandum yang sama-sama harta ribawiy dengan titik temu sama-sama berupa makanan.
Qiyas sebagai salah satu pilar pokok dalam syariat islam mempunyai empat rukun. Yaitu : far', ashal, hukum ashal, dan illat hukum ashal.



Adapun macam-macam qiyas, dibagi menjadi tiga :
1) Qiyas al-Illat
Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menetapkan atau mewajibkan pada hukum. Seperti men-qiyaskan memukul dengan ucapan yang tercela kepada kedua orang tua dalam keharamannya dengan alasan menyakitkan hati orang tua. Allah berfirman:
ولا تقل لهما اف...الاية
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan " ah " (QS. Al-Isra': 23)
2) Qiyas al-Dilalah
Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menunjukkan pada hukum akan tetapi illat tersebut tidak mewajibkan atau menetapkan pada hukum. Seperti men-qiyaskan harta anak kecil dengan harta orang dewasa dalam kewajiban zakat dengan adanya titik temu bahwa harta anak kecil termasuk harta yang sempurna (mal al-tam). Boleh juga mengatakan tidak wajib zakat-seperti yang dikatakan Abu Hanifah- dengan menqiyaskan pada haji yang mana, haji wajib bagi orang dewasa adapun anak kecil tidak wajib untuk haji.


3) Qiyas al-Syibh
Yaitu menyamakan hukum far' yang masih diragukan antara dua asal dengan mengambil keserupaan yang lebih banyak dari asal tersebut. Contohnya dalam pembahasan budak yang di bunuh, apakah si pembunuh wajib dikenai hukum qishos? karena budak juga termasuk manusia, ataukah cukup hanya dengan membayar ganti rugi? dengan alasan adanya keserupaan budak dengan binatang, bahwa budak adalah harta. Dalam hal ini budak lebih banyak keserupaannya dengan binatang (harta) sebab budak bisa diperjual-belikan, diwariskan, dan diwakafkan.





















E. Simpulan

Demikianlah sekilas tentang mashadhir al-ahkam al-syar’iyah. Dari ulasan makalah di atas, dapat di tarik beberapa poin kesimpulan sebagai berikut :
1. Al-Quran adalah sumber pokok dan pertama dalam penetapan hukum islam. Seorang mujtahid haruslah mengedepankan al-Quran dalam menentukan sebuah hukum. Barulah ketika tidak dijelaskan dalam al-Quran beralih pada al-Sunnah dan apabila tidak dijelaskan dalam Sunnah maka merujuk pada ijma’. Karena konsensus ulama’ disandarkan pada kedua sumber hukum pertama dan kedua. Dan bila tidak dijumpai dalam ijma’ maka merujuk pada Qiyas.
2. Sebagai sumber hukum primer periwayatan al-Quran haruslah mutawatir.
3. secara global kandungan yang terdapat dalam al-Quran mencakup tiga klasifikasi. Yaitu akidah, etika dan amaliyah. Dan klasifikasi amaliyah-lah yang menjadi pembahasan dalam ushul fiqh.
4. Al-Sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Quran. Dengan berbagai argumentasi baik ma’qul ataupun manqul maka tidak ada legalisasi dan pembenaran untuk tidak menggunakannya sebagai sumber hukum. Barang siapa mengingkarinya maka di anggap kafir.
5. Posisi sunnah terhadap al-Quran diantaranya adalah sebagai mubayyin, takhshis al-‘am, dan muakkidah.
6. Klasifikasi sunnah dilihat dari periwayatannya secara garis besarnya terbagi menjadi dua. Yaitu mutawawtir dan ahad
7. Ulama’ sepakat dalam menggunakan hadits ahad sebagai sumber hukum dengan berbagai syarat yang telah ditentukan masing-masing dari mereka.
8. Selain dua sumber hukum pokok awal, Ijma’ dan Qiyas adalah dua sumber yang telah disepakati dan secara sistematika keberadaan keduanya ialah setelah al-Quran dan al-Sunnah.


BIBLIOGRAFI

Al-mahalli, Jalaludin. al-Waraqat, Beirut, Lebanon Dar al-Kitab al-Islamiy, tt.

Al-maliki, Alwi Abbas dan Hasan sulaiman Al-Nuriy. Ibanah al-Ahkam 'ala Syarh Bulugh al-Maram juz 1. Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2004

Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta, DEPAG, 2007.

al-Suyuthiy, Jalaludin ‘Abd al-Rahman. ‘Ilm al-Tafsir manqul min kitab Itmam al-Dirayah, Semarang: Toha Putra, tt.

Al-Zuhailiy, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr, 2005

C.I.F.A. Philosophy of Islamic Law of Transactions. Bandung : IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, tt.

Forum Karya Ilmiah 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Lirboyo: Purna Siswa Aliyah 2004, 2006

Hakim, Abdul Hamid, al-Sulam. Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, tt.,

Hakim, Abdul Hamid. Mabadi’ Awwaliyah. Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, tt.,

Khallaf, Abdul Wahhab. ‘ilmu ushul al-fiqh. Maktabah al-‘Alamiyah, tt

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih, alih bahasa oleh Saefullah Ma’shum, Slamet Basyir Dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
PESAN AL-MUKARRAM
ROMO KH. ACHMAD CHALWANI NAWAWI
PADA LAILAH AL-MUADAAH 2007-2008 M. /1428-1429 H.

Ø Di depan para santri saya sampaikan beberapa hal yang dulu merupakan pesan dari guru saya " saudara-saudara semua masih dalam usia yang amat muda maka sebagai seorang pemuda (syubhan) dan sebagai seorang remaja (nashih) ingatlah sebuah hadist di dalam kitab Ihya’ ulumudin, imam al-ghazali memaparkan :
" وما أوتي العالم علما الا وهو شاب "
ِArtinya : seseorang tidak akan dikaruniai ilmu kecuali selagi masih muda.
Saudara-saudara termasuk generasi muda, maka pesan saya sesuai pesan al-syekh Muhammad ibn ‘abdillah ibn Malik al-Andalusiy, dalam nazdam Al-fiyah-nya :
" جد كل الجد وفرح الجدل "
Artinya : bersungguh-sungguhlah dengan segala kesungguhan maka bergembiralah dengan sungguh-sungguh bergembira.
artinya kita boleh bergembira setelah kita bersungguh-sungguh.
Ø Kalaupun kamu ada prestasi ini merupakan fadhl (keutamaan) dari Allah swt. maka jangan sombong. Hazda min fadhlil rabbi (ini anugerah dari Allah).
Ø Abraham lincoln mantan presiden Amerika berkali-kali gagal dalam mencapai prestasinya tapi karena dia tidak putus asa akhirnya bisa berhasil. Maka saudara-saudara saya minta sering mempelajari sejarah para pemimpin supaya tidak muda putus asa.
Ø Seorang yang punya jiwa pemimpin harus punya semboyan " Saya akan menemukan satu jalan, kalau jalan itu tidak ada saya akan membuat jalan " kata-kata bijak ini selalu beliau tanamkan dihatinya (KH. Achmad Chalwani) sejak kecil.
Maka tidak ada sesuatu yang tidak mungkin bagi yang berkemauan keras.
Ø Simbah KH. Ali ma'sum krapyak - diriwayatkan KH. Achmad chalwani - berpesan kepada para santri An-Nawawi " kamarmu gambarlah bedug besar dan penabuhnya, Dibawahnya tulis : Saya jangan hanya jadi tukang penabuh bedug saja " agar kita punya himmah (cita-cita) yang tinggi. Ojo nganti bali mondok mung dadi tukang nabuh bedug "
Ø Mbah Makhrus lirboyo berkata " aku wegah nek mung dadi kyai cilik, kyai cilik karo lurah wae kalah " maka kalian harus punya cita-cita yang tinggi. dikatakan mempunyai cita-cita tinggi saja kadang tidak mencapai setengah tinggi.
Ø Sebagai santri harus kun rijluhu fis saro wa himmatuhu fis suroya " jadilah kaki mengijak di debu akan tetapi cita-cita himmahmu ada di bintang surya " kalau kita tidak punya cita-cita yang tinggi mana mungkin kita mau giat belajar.
Room child creativity of काबुल Khan.

HUKUM ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL

MAKALAH

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Fiqh Sosiologi Hukum

Dosen pengampuh : Khoirul Imam,












Oleh:

Sukabul


Program Studi Syariah Muamalah

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An-Nawawi

Purworejo

2009

HUKUM ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL

A. Pendahuluan

Dalam kajian sosiologi, perubahan sosial dalam masyarakat merupakan wacana utama dimana penelitian dan perbedaan pendapat terjadi diantara para ahli sosiologi. Selama manusia sebagai pendukung dan pelaku kehidupan sosial dan budaya masih hidup, selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.

Perkembangan dunia dalam berbagai bidang pengetahuan yang semakin maju seperti medis, hukum, sosial dan ekonomi dan disertai dengan era globalisasi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk dalam persoalan-persoalan hukum. Islam dan masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan.

Kasus-kasus baru yang status hukumnya secara jelas dan tegas dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-Sunah, tidak akan menimbulkan kontra dikalangan umat Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang kedua sumber tersebut tidak secara jelas dan tegas menyebutkan hukumnya, menuntut umat Islam yang telah mempunyai kapasitas berijtihad untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Maka dari itu, banyak kita jumpai perbedaan pendapat diantara ulama’ mengenai satu kasus dikarenakan perbedaan kondisi dan kultur tempat mereka tinggal. Dan disinilah letak strategisnya posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan “social engineering”. Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional kalau ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.

B. Islam dan Perubahan Sosial

Masyarakat dengan berbagai aktifitas yang dilakukan menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa “hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat”.[1] Senada dengan Marx Weber dan Durkheim, Soerjono Soekanto dengan menyetir pendapat Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial yang berhubungan dengan perubahan hukum. Menurut Arnold, perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga faktor:[2]

  1. Adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan dibidang teknologi.
  2. Adanya kontak atau konflik antar kehidupan masyarakat.
  3. Adanya gerakan sosial (social movement).

Berdasarkan teori-teori yang kami kutip diatas, maka jelas bahwa hukum ada sebagian besar karena merupakan akibat dari pada faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial.

Pengaruh-pengaruh unsur perubahan diatas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk didalamnya pembaruan hukum Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.[3] Untuk menumbuhkan dan menghidupkan ruh Islam agar tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan dalam masyarakat, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad dikalangan umat Islam.[4] Pada posisi ini ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan.[5]

Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru dibidang hukum banyak bermunculan ditengah-tengah masyarakat dan tidak terbatas jumlahnya. Kaitannya dengan hal ini, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid menyatakan bahwa persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al-Qur’an dan al-Sunah), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.[6]

Dari staemen Ibnu Rusyd diatas, semangat atau pesan moral dapat kita ambil adalah anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus hukum baru yang tidak dijelaskan sumber hukumnya dalam nash baik al-Qur’an maupun al-Sunah secara eksplisit . Dengan demikian, aktivitas Ijtihad dalam Islam merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran yang rahmah li al-‘alamin ini sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.

Mengingat hukum Islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang penting, maka perlu ditegaskan aspek mana yang bisa mengalami perubahan (wilayah ijtihadiyah). Menurut hasil seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada awal Desember 1994 disebutkan “Agama dalam pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak berubah, tetapi pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungannya dengan penerapan di dalam dan ditengah-tengah masyarakat, mungkin berubah”.[7] Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perubahan dimaksud bukanlah perubahan secara tekstual, tetapi secara kontekstual.[8] Al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh FKI 2004 menggariskan bahwa permasalahan-permasalahan yang boleh dijadikan objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak terdapat dalil qath’iy[9] yang menjelaskannya.[10]

C. Dinamisasi Ajaran Islam Melalui Ijtihad

Ijtihad merupakan pilar pokok tegaknya syari'at islam, tentunya harus mempunyai landasan normatif sebagai sumber hukum sekaligus sebagai metodologi istinbath hukum dalam rangka dinamisasi ajaran agama.

Terdapat banyak dalil yang menganjurkan untuk melaksanakannya, diantaranya adalah firman Allah:

!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4 Ÿwur `ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9 $VJÅÁyz ÇÊÉÎÈ

Artinya: Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.QS. al-Nisa’(4):105.

Pada ayat ini mengandung ketetapan ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas.[11] Allah ‘azza wa jalla juga berfirman:

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGtƒ ÇËÊÈ

Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. QS. Al-rūm (30): 21

Dan dari al-Sunah ialah hadits yang diriwayatkan Muazd bin Jabal ketika beliau mendapat pembekalan oleh nabi sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di daerah Yaman. Ketika Nabi bertanya, dengan apa kamu memberi keputusan? Muazd menjawab, dengan kitabullah (Al-qur’an). Kemudian Nabi berkata, kalau kamu tidak menemukan didalam al-quran? Aku akan menghukumi dengan sunah Rasul-Nya. Nabi berkata lagi, kalau dalam sunah tidak kamu temukan? Aku akan berijtihad dengan ro'yu.[12] Selain hadits Mu’azd terdapat hadits dari Amr ibn al-'Ash, ia mendengar utusan Allah bersabda:

اذا حَكمَ الحاكمُ فاجتهدَ فاصاب فله اَجْرانِ اذا حَكمَ فاجتهدَ فَاخْطأ فله اجرٌ واحدٌ "رواه البخارى و مسلم"

Artinya: jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian benar, maka bginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala. "HR. Bukhari dan Muslim".

Hadits yang kami sebut terakhir ini secara implisit menunjukkan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah, tapi baik yang benar maupun yang salah tetap mendapatkan pahala, dalam artian keduanya mendapat legitimasi hukum dari syâri' (yang mempunyai syari'at). Oleh karena itu perbedaan pendapat dari masing-masing imam yang telah mencapai kapasitas untuk berijtihad harus disikapi dengan benar, jangan dijadikan perpecahan. Karena itu adalah rahmat bagi kita. Nabi SAW bersabda "perbedaan pendapat umatku adalah suatu rahmat".

Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam al-Qur’an dan al-Sunah, menurut Amir Syarifudin dapat dilihat dari dua segi sebagai berikut:[13]

1. Kedua sumber hukum Islam tersebut secara jelas dan langsung memang tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya.

2. Al-Qur’an dan al-Sunah memang tidak menyinggung hukum suatu kasus, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh hukum memukul kepala orang tua tidak ada aturan secara eksplisit dalam al-Qur’an, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar (uff) terhadap orang tua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup (tranplantasi) tidak ada ketentuan nashnya yang secara spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan al-Qur’an dan al-Hadits, maka diperlukan upaya ijtihad.

Sementara itu, menurut Muhammad Musa al-Tiwana, objek ijtihad itu dapat dibagi menjadi tiga bagian:[14]

1. Ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash.

2. Ijtihad dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan telah disepakati.

3. Ijtihad dalam arti penggunaan ra’yu.

Pandangan al-Tiwana tersebut mengacu pada dua pemeliharaan objek ijtihad yang luas. Pertama, adalah persoalan-persoalan yang sudah ada ketentuan nashnya, namun masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap objek yang seperti ini, cara yang ditempuh adalah penelitian dalam menentukan makna al-‘aam[15] atau al-khash,[16] al-mutlaq[17] dan al-muqayyad.[18] Kedua, persoalan-persoalan yang sama sekali belum ada nashnya. Pada hal yang semacam ini, maka pemecahannya dilakukan melalui ijtihad dengan menggunakan qiyas,[19] istihsan[20] dan dalil-dalil hukum lainnya.[21]

D. Pendekatan Studi Keislaman

Bertitik tolak dari objek ijtihad di atas, ada dua corak penalaran yang perlu dikemukakan dalam upaya menggali maqashid al-syari’ah. Dua corak penalaran dalam berijtihad tersebut adalah penalaran ta’lili, dan penalaran istislahi.

1. Penalaran ta’lili, adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Asumsi dasar dari penalaran ini bahwa nash-nash dalam masalah hukum sebagian diiringi dengan penyebutan illat-nya. Dalam kajian ushul fiqh, corak ta’lili ini mewujud dalam bentuk qiyas dan istihsan.

2. Penalaran Ishtilahi, adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan diri nash.[22]

Kedua model penalaran diatas bertumpu pada penggunaan rasio. Oleh karena itu, terdapat tiga karakter yang melekat dalam dua pendekatan di atas.

1. Pendekatan dengan mencoba memahami ketentuan nash tanpa terikat secara kaku dengan bunyi teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari semangat moral yang terkandung dalam nash.

2. Pendekatan kedua yaitu upaya mengganti pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli.

3. Pendekatan ketiga berupa upaya merumuskan ‘illat hukum dan pesan moral nash dengan melihat setting sosial dan konteks zamannya. Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat yang selalu berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks, maka dua corak pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan solutif dalam menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik dua pendekatan ini adalah kerja ilmiah melalui deduksi analogis dengan dasar pijakannya kemaslahatan.[23]

Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan. Tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia. Disinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim untuk merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi. Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. [24] Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa:

تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة والاحوال والعواعد والنيات

"Berubahnya hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan niat."[25]

Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan:

الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما

Hukum itu berputar bersama ‘illatnya (alasan hukum), baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaanillatnya.[26]

Salah satu bukti konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum Imam Syafi’i ketika beliau berada di Baghdad.[27] Untuk lebih jelas, berikut kami paparkan hal-hal yang melatarbelakangi timbulnya qaul qadim dan qaul jadid imam Syafi’i.[28]

1. Faktor geografis. Faktor geografi sangat menentukan terhadap perkembangan dan pembentukan hukum Islam. Faktor geografis yang sangat menentukan tersebut adalah iklim dan perkembangan daerah itu sendiri. Seperti telah diketahui iklim di Hijaz berbeda dengan iklim di Iraq dan berbeda pula dengan iklim yang ada di Mesir, sehingga melahirkan fatwa Imam Syafi’i yang berbeda. Adanya qaul qadim dengan qaul jadid, membuktikan adanya berbedanya iklim dan geografi.

2. Faktor Kebudayaan dan Adat Istiadat. Faktor kebudayaan dan adat istiadat sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perubahan hukum Islam. Setelah banyaknya negara-negara yang dikuasai oleh Islam, padahal negara-negara yang dikuasai tersebut telah memiliki kebudayaan-kebudayaan dan adat-istiadat masing-masing yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, kebudayaan dan adat-istiadat mereka telah menyatu. Oleh karena itu asimilasi (percampuran) antara kebudayaan (adat istiadat) setempat dengan kebudayaan Islam sering terjadi, sehingga menimbulkan akibat lain dari hukum Islam itu sendiri. Walaupun masyarakat telah mempunyai kebudayaan-kebudayaan lain yang mempengaruhinya, namun para fuqoha dapat pula menimbulkan pengaruh baru, karena adanya dua faktor yang mempengaruhi perkembangan fiqh di daerah-daerah itu, pertama milieu (lingkungan), ke dua system yang ditempuh oleh fuqoha dalam memberikan hukum. Penafsiran-penafsiran itu lahir sesuai dengan susunan masyarakat yang ada ditempat dan jaman itu muncul. Jaman terus menerus membawa perubahan pada suasana masyarakat. Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai pemikiran dijaman tertentu belum tentu sesuai untuk jaman lain.

3. Faktor Ilmu Pengetahuan. Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil ijtihad para imam mujtahid dalam menggali hukum dan menentukan hukum. Imam Syafi’i seorang yang ahli hadits, beliau belajar hadits kepada ImamMalik bin Anas di Madinah, Imam Syafi’i juga seorang ahli ra’yu, karena beliau belajar kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhamamd bin Hasan murid Imam Abu Hanifahdi Iraq. Dengan faktor ilmu pengetahuan Imam Syafi’i tersebut, maka hasil ijtihad Imam Syafi’i tidak sama dengan gurunya yang ahli hadits maupun dengan ahli ra’yu.

Ringkasnya Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam Syafi’i jelas disebabkan faktor keilmuan yang dimiliki, struktur sosial, budaya dan letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir.

Dalam konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik dimana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan. Dengan perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf. Dalam posisi demikian, hukum Islam akan berfungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat.[29]

Untuk menempatkan hukum pada posisi yang betul-betul fungsional dalam menghadapi setiap perubahan sosial, diperlukan terobosan metodologis disertai kemampuan membaca fenomena zaman. Banyak perangkat ilmu bantu yang bisa menopang perumusan hukum menjadi aplikatif, seperti ilmu-ilmu tafsir, tarikh, dan ilmu tata bahasa Arab. Diharapkan melalui pendekatan konvergensi antara ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu lainnya akan dapat mengurangi formalisme hukum Islam. Dalam konteks ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus dilihat dari perspektif nilai saja, tetapi perlu dicari keterkaitan secara organik dan struktural dalam kehidupan sosial. Disinilah letak pentingnya fenomena transformasi pemikiran hukum Islam, tidak hanya dilihat sebagai fenomena keagamaan saja. Transformasi pemikiran hukum Islam di Indonesia merupakan suatu pergumulan kreatif antara Islam dengan masyarakat Indonesia, antara nilai-nilai Islam dengan kenyataan struktural masyarakat. Oleh karena itu, maka program pembaruan pemikiran hukum Islam adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari proses kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Akan tetapi, untuk melakukan upaya pembaruan pemikiran hukum Islam (fiqh) diperlukan beberapa syarat, yaitu; pertama, adanya tingkat pendidikan yang tinggi dan keterbukaan dari masyarakat muslim; kedua, hukum Islam (fiqh) harus dipandang sebagai variasi suatu keragaman yang bersifat partikular yang selalu dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu; ketiga, memahami faktor sosio–kultural dan setting politik yang melatar belakangi lahirnya suatu produk hukum agar dapat memahami partikularisme dari pemikiran hukum tersebut; keempat, mengorientasikan istinbat hukum dari aspek qaulan (materi hukum) kepada aspek manhaj (kerangka metodologis). Disamping itu, perlu juga memahami pemikiran hukum yang tidak dibatasi sekat-sekat madzhab. Keterbatasan alternatif yang dibingkai dengan sekat madzhab akan menghasilkan produk pemikiran yang rigid (kaku) dan akan mempersulit upaya pembaruan hukum Islam itu sendiri.[30]

E. Simpulan

Islam adalah agama yang hanafiah, mudah dan tidak memberatkan pada umatnya. Dalam perjalanannya, hukum Islam selalu sesuai dan disesuaikan dengan kondisi struktur sosial, budaya dan letak geografis masyarakat tertentu. Meminjam kaidah:

تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة والاحوال والعواعد والنيات

"Berubahnya hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan niat."

Kami mencoba untuk membuat konklusi bahwa dari kaidah tersebut, hukum-hukum yang diterapkan dapat sesuai dan relevan dimanapun dan kapanpun.

BIBLIOGRAFI

Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin, Bairut: Daar al-Fikr, tt.

Al-Zuhaili, Wahbah bin Musthofa, Usul al-Fiqh al-Islamiy, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1986

ash-Shiddiqie, Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Azhar, Muhammad, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqhashid Syari’ah Menurut as-Syatibi, Jakarta: Rajawali Press, 1996

Forum Karya Ilmiah (FKI), Kilas balik Teoritis Fikih Islam, Lirboyo: PP. Liboyo, Kediri, 2006

Hakim, Abdul Hamid, Al-sulam, Jakarta: Al-maktabah al-sa'adiyah putra, tt. Mabâdi' Awwaliyah

ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial.

Jazuli. A., Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari'ah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003

Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah, tt.

Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada,1994

Syarifudin, Amir, Ilmu Ushul Fiqh 2 Jakarta: Logos, 1999

www.pta-banten.net/makalah/imam_syafii.pdf

Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1996



[1] ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial.

[2] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 96.

[3] ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.

[4] Ijtihad secara harfiah berasal dari kata kerja jahada dapat diartikan dengan kerja keras, sungguh-sungguh, dan pengetahuan mengenai hukum atau yurisprudensi. Secara terminologi ijtihad diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan atas hukum-hukum syara' dengan jalan menggali dari sumbernya (al-ishtinbath) yang berupa Al-quran Al-sunah. Abdul Hamid hakim, Al-sulam, ( Jakarta: Al-maktabah al-sa'adiyah putra, tt.), hal. 47 Adapun isim fa'il (pelaku, orang yang melakukan) dari ijtihad adalah mujtahid.

[5] ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.

[6] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia, Daar al-Kutub al-Arabiyyah, T.T.), hal. 2.

[7] ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.

[8] Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hal. 58

[9] Dalil qath’iy adalah dalil yang tidak memiliki kemungkinan arahan lain selain makna yang secara sekilas pendengaran dapat difahami oleh akal pikiran.

[10] Forum Karya Ilmiah (FKI), Kilas balik Teoritis Fikih Islam, ( Lirboyo: PP. Liboyo, Kediri, 2006, ) hal. 322

[11] Wahbah bin Musthofa al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islamiy, ( Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1986 ), juz II hlm. 1039

[12] Wahbah bin Musthofa al-Zuhaili, Op. Cit., juz II hlm. 1039. Adapun pengertian ijtihad dengan ro'yu dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah yang dipakai ushuliyin (ulama' ahli usul).

[13] Amir Syarifudin, Ilmu Ushul Fiqh 2 (Jakarta, Logos, 1999), hal. 287.

[14] ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.

[15] Al-'ِِAm (العام) adalah sesuatu yang meliputi dua hal atau lebih tanpa adanya batasan.

[16] Al-khas (الخاص) adalah sesuatu yang tidak mengandung dua makna atau lebih tanpa adanya batasan.

[17] Mutlaq (المطلق) adalah lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu hal tanpa adanya batasan.

[18] Sedangkan muqoyyad (المقيد) adalah lafal yang menunjukkan suatu hal dengan adanya batasan (taqyid).

[19] Qiyas secara etimologi adalah hipotesis, Sedangkan qiyas secara terminologi adalah menyamakan hukum suatu kasus syara' yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus lain yang sudah ada ketetapan hukumnya dalam nash, dikarenakan adanya persamaan diantara keduanya dalam 'illat (kausa, latio legis) yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum.

[20] istihsan berarti berpaling dari dalil satu kepada dalil yang lain. Atau dengan kata lain meninggalkan dalil satu ke dalil lainnya yang lebih kuat

[21] ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit., Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqhashid Syari’ah Menurut as-Syatibi (Jakarta, Rajawali Press, 1996), hal. 100.

[22]Asafri Jaya Bakri, Ibid.

[23] ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.

[24] Ibid.

[25] Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Bairut, Daar al-Fikr, TT), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hal. 444.

[26] A. Jazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari'ah, (Jakarta Timur, Prenada Media, 2003) hlm. 57. Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung, PT Al-Ma’arif, 1996), hal. 550. Abdul Hamid Hakim, Mabâdi' Awwaliyah, op., cit., hlm. 46

[27] ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.

[28] www.pta-banten.net/makalah/imam_syafii.pdf

[29] ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.

[30] Ibid.

KILAS SEJARAH DINASTI UMAYAH

Dinasti Bani Umayah adalah sebuah dinasti yang berkuasa dalam dunia Islam dari tahun 661 hingga 750 M. Dinasti ini didirikan setelah kematia...