Minggu, 10 Juli 2011

DELIK ADAT

MAKALAH
Oleh: Sukabul
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam proses kehidupan manusia, tentu akan ada perselisihan maupun pelanggaran yang dilakukan. Pelanggaran yang terjadi bisa saja merupakan pelanggaran yang berat karena merugikan banyak kalangan dan mencakup bukan hanya mencakup satu dimensi serta pelanggaran yang berada setingkat dibawah pelanggaran berat.
 Jika menggunakan hukum negara, maka penyelesaian pelanggaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentu sudah jelas melalui proses peradilan. Namun bagaimana jika diselesaikan secara hukum adat?

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian delik adat?
2.      Apa jenis-jenis delik adat?
3.      Bagaimana penyelesaian delik adat?

C.    Tujuan
1.      Memahami pengertian delik adat.
2.      Mengetahui jenis-jenis delik adat.
3.      Memahami cara menyelesaikan delik adat.
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Delik Adat
Delik adat terjadi jika melanggar ketentuan dasar hukum adat, yang diantara fungsi utamanya (dasar hukum adat) adalah sebagai berikut:
1.      Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya berperilaku, sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat.
2.      Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
3.      Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali
4.      Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antara warga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.[1]
Sebelum membahas lebih jauh tentang delik adat -terkhusus pengertian delik adat itu sendiri- perlu kiranya penulis sampaikan bahwa ruang lingkup delik adat meliputi lingkup dari hukum perdata adat,[2] yaitu hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum waris.[3] Atau dengan istilah lain hukum perdata adat terdiri atas hukum tentang orang, hukum waris, dan hukum perjanjian.
Dalam suatu masyarakat tentunya terdapat norma tersendiri dalam menilai terhadap hal apa yang baik dan apa yang buruk. Dimana perihal apa yang buruk atau sikap tindak yang dipandang sangat tercela itu akan mendapatkan imbalan yang negatif.
Ahmad Taufiq seorang mahasiswa jurusan hukum universitas Gadjah Mada (UGM) dalam artikelnya berjudul Hukum Adat Delik Adat memaparkan definisi dari delik adat dengan mengutip pendapat Van Vollenhoven. Berikut kutipannya “Menurut Van Vollenhoven, delik Adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan kesalahan yang kecil saja.[4]
Soepomo sebagaimana dikutip oleh Bewa Ragawino, SH. MSI. menyatakan bahwa Delik Adat:
“ Segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya”
Selanjutnya dinyatakan pula:
“Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat”.[5]

Walaupun terkesan abstrak, tetapi dapat diperoleh suatu pedoman sebagai ukuran dalam menentukan sikap-tindak yang merupakan kejahatan, yaitu sikap tindak yang mencerminkan ketertiban batin masyarakat dengan ketertiban dunia gaib. Dengan demikian menurut pandangan adat, ketertiban ada dalam alam semesta atau osmos. Kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta warga-warganya ditempatkan didalam garis ketertiban kosmis tersebut.
Mengenai pengertian delik adat ini, Teer Haar memberikan pernyataan bahwa Setiap perbuatan dalam sistem adat dinilai dan dipertimbangkan berdasarkan tata susunan persekutuan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut dilakukan. Pelanggaran yang terjadi di dalam hukum adat atau juga disebut delik adat menurutnya adalah setiap gangguan terhadap keseimbangan dan setiap gangguan terhadap barang-barang materiil dan imateriil milik seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan reaksi adat.[6]
Pada dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhannya yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan, guna memulihkan keadaan ini maka terjadilah reaksi-reaksi adat.[7]
Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat diambil suatu landasan untuk dapat menentukan sikap-tindak yang dipandang sebagai suatu kejahatan, dan merupakan petunjuk mengenai reaksi adat yang akan diberikan.
 Dengan memperhatikan pandangan yang telah penulis kutip dari para pakar hukum, maka dapat diadakan klasifikasi beberapa sikap-tindak yang merupakan kejahatan, yaitu:
1.      Kejahatan karena merusak dasar susunan masyarakat.
2.      Kejahatan terhadap jiwa, harta, dan masyarakat pada umumnya.

B.     Beberapa Jenis Delik Dalam Lapangan Hukum Adat
Berikut adalah paparan beberapa jenis adat dalam lapangan hukum adat sebagaimana disampaikan Bewa Ragawino:
1.       Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat.
2.       Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.
3.       Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung.
4.       Segala perbutan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan mencemarkan suasana batin masyarakat.
5.       Delik yang merusak dasar susunan masyarakat, misalnya incest.
6.       Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum suatu golongan famili.
7.       Delik yang melanggar kehormatan famili serta melanggar kepentingan hukum seorang sebagai suami.
8.       Delik mengenai badan seseorang misalnya melukai.[8]
Dari paparan di atas, beberapa jenis delik dapat digolongkan menjadi delik yang berat dan segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat. Delik yang termasuk kriteria yang berat ini adalah segala pelanggaran yang menganggu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia ghaib. Delik yang termasuk pelanggaran memperkosa dasar susunan masyarakat diantaranya seperti pengkhianatan, pembakaran kampung, hamil tanpa nikah, melahirkan gadis, zina, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan lain sebagainya.

C.    Penyelesaian Hukum dan Petugas Hukum Untuk Perkara Adat
Secara terpisah, masyarakat adat telah memiliki tata cara sendiri dalam menyelesaikan delik adat. Misalnya adanya Undang-Undang nan dua puluh, yakni Undang-Undang tentang hukum adat delik di Minangkabau.
Dalam menyelesaikan delik adat, tidak ada perbedaan antara hukum perdata maupun pidana. Semua ditangani dengan cara yang sama dan oleh hakim yang sama. Hal ini berbeda dengan hukum barat yang membedakan antara peradilan pidana dan perdata.
Penyelesaian delik adat juga tidak mengenal adanya asas legalitas sebagaimana Pasal 1 Ayat 1 KUHP, dimana menurut asas tersebut “suatu hukum diputuskan jika ada undang-undang yang mengatur”. Dalam hukum adat, keputusan dapat diambil dengan pertimbangan tertua /Pemimpin adat, tanpa harus ada aturan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat bersifat terbuka, bukan seperti hukum barat yang bersifat tertutup.
Selain itu, hukum adat lebih bersifat luwes, tidak paten seperti hukum barat sebagaimana termaktub dalam pasal-pasalnya. Dalam hukum adat, seseorang akan dijatuhi sanksi tergantung latar belakang (Sengaja, Tidak sengaja, Terpaksa) dan akibat dari perbuatannya (Merugikan, Sangat Merugikan).[9]
Memang hal ini secara praktik ada di hukum perdata barat, namun keluwesannya tidak sebagaimana hukum adat yang sangat kental mempertimbangkan latar belakang pelanggaran.
Rawagino menyatakan bahwa menurut Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat desanya, termasuk juga perkara delik adat. bahkan di dalam kenyataan saat ini, hakim perdamaian desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus delik menurut KUH Pidana. Delik-delik adat yang juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganggap sebagai suatu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana.[10]
Jadi, menurut Ragawino, dengan adanya hukum pidana dan perdata barat sejatinya meringankan tugas hakim perdamaian adat, dimana masyarakat rela jika permasalahan yang terjadi diselesaikan dalam undang-undang tersebut, namun hal ini mengurangi substansi dari Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat.

BAB III
PENUTUP
 A.    Simpulan
Delik adat merupakan pelanggaran pidana maupun perdata adat yang jenis-jenisnya dapat dikerucutkan ke dalam dua bagian. Yakni delik adat yang berat dan pelanggaran yang merusak tatanan masayarakat.
Dalam penyelesaian delik adat, diutamakan unsur perdamaian melalui hakim perdamaian desa selaku pengendali delik adat. Jika tidak tercapai perdamaian, maka kepala adat dapat memberikan sanksi sesuai latar belakang serta akibat pelanggaran tersebut.

B.     Saran
Akhir-akhir ini tentunya kita akrab dengan idiologi-idiologi radikal yang terkesan bersikap acuh tak acuh bahkan sulit menerima -kalau tidak ingin dikatakan tidak sama sekali- terhadap budaya, adat istiadat suatu masyarakat khususnya di Indonesia. Ironisnya lagi, target mereka bukan hanya sekedar adat atau sebagian masyarakat. Akan tetapi NKRI dengan pancasila sebagai idiologi negara pun mereka gerogoti. Tentunya kalau berfikir lebih, hal ini merupakan suatu delik dalam tinjauan hukum positif maupun hukum adat. Sebagai warga negara yang baik dan muslim yang taat tentunya perlu kita sematkan dan tanamkan dalam hati kecintaan terhadap bangsa dan negara. Karena “hubbul wathan minal iman”.
Keanekaragaman suku, bahasa dan budaya membuat Indonesia kaya akan adat istiadat. Mari kita jaga kelestarian adat istiadat tersebut sebagai bagian dari jati diri dan pribadi bangsa Indonesia.
  
BIBLIOGRAFI

Haar, B. Ter, Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht, alih bahasa oleh Soebakti Poesponoto, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita

Koesnoe, Mochammad, 1998, Menuju Kepada Penyusunan Teori Hukum Adat Dalam Hukum Adat dan Modernisasi Hukum.  Jogjakarta: Fakultas Hukum UII

Labera, Ahmad Taufiq, Hukum Adat Delik Adat, sumber; http://www.labera.tk/2011/02/hukum-adat-delik-adat.html

Panjalu, Gandhung Fajar, Delik Adat dan Penyelesainnya, sumber; http://www.masterfajar.co.cc/2010/01/delikadat-dan-penyelesaiannya.html

Ragawino, Bewa, tt., Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat di Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran,

Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko, 1983 Hukum Adat Indonesia,  Jakarta: Rajawali Press




[1] Gandhung Fajar Panjalu, Delik Adat dan Penyelesainnya, sumber; http://www.masterfajar.co.cc/2010/01/delikadat-dan-penyelesaiannya.html . tanggal akses 06 Mei 2011
[2] Hukum perdata yang berlaku di Indonesia terdiri atas hukum perdata adat dan hukum perdata Eropa atau hukum perdata Barat. Hukum perdata adat timbul secara turun-temurun dari nenek moyang Indonesia. Hukum perdata adat ini berlaku untuk masyarakat adat, yaitu masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi hukum adat. Hukum adat yang berbentuk tidak tertulis kurang dapat memberikan kepastian hukum, karena orang tidak dapat mengetahui dengan jelas peraturan hukum yang mengatur suatu peristiwa hukumnya yang terjadi dalam masyarakat, dan orang tidak mengetahui juga kedudukannya dalam hukum, artinya tidak mengetahui hak dan kewajiban seseorang dalam hukum. _, Hukum Perdata Barat dan Hukum Perdata Adat, sumber: http://www.indolawcenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1480%3Ahukum-perdata-barat-dan-hukum-perdata-adat&catid=168%3Ahukum-perdata&Itemid=237 . tanggal akses; 06 Mei 2011
[3] Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat di Indonesia, (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran, tt.), hlm. 114
[4] Ahmad Taufiq Labera, Hukum Adat Delik Adat, sumber; http://www.labera.tk/2011/02/hukum-adat-delik-adat.html . tanggal akses 06 Mei 2011
[5] Bewa Ragawino, Op., Cit., hlm. 114
                [6]  B. Ter Haar, Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht, alih bahasa oleh Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), hlm. 125
[7] Menurut Soerjono Soekanto reaksi masyarakat terhadap terjadinya suatu delik atau perilaku yang dianggap menyeleweng, maka masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya, telah menggariskan ketentuan-ketentuan tertentu di dalam hukum adat, yang fungsi utamanya adalah untuk; (1). Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya berprilaku sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat. (2). Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban. (3). Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali. (4). Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antara warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan. Lebih jelasnya rujuk kembali dalam; Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia,  (Jakarta: Rajawali Press, Cetakan Kedua, 1983). hlm. 314
Oleh karena itu, perilaku yang dianggap menyeleweng dari ketentuan adat, maka akan mendapatkan reaksi adat tertentu. Reaksi adat ini juga termasuk mengakomodasi kehendak masyarakat untuk dilakukan pemulihan kembali keadaan yang dianggap telah rusak keseimbangannya akibat delik yang dilakukan seseorang. Reaksi adat ini dapat berupa: (a). Penggantian kerugian immaterial dalam pelbagai rupa, seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan. (b). Bayaran  uang adat kepada korban, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rokhani. (c). Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran aib. (d). Penutup malu dan permintaan maaf. (e). Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati. (f). Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan seseorang di luar tata hukum. Lihat; Mochammad Koesnoe. Menuju Kepada Penyusunan Teori Hukum Adat Dalam Hukum Adat dan Modernisasi Hukum.  (Jogjakarta: Fakultas Hukum UII, 1998), hlm. 63.
[8] Bewa Ragawino, Op., Cit.,, hlm. 116-117
[9] Gandhung Fajar Panjalu, Op., Cit.,
[10] Bewa Ragawino, Op., Cit., hlm. 119

PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM PERBANKAN SYARIAH

MAKALAH
Oleh: Sukabul

A.    Latar Belakang
Islam menjamin keselamatan harta dan memasukkannya dalam kategori dharuriyah al-khamsah yang merupakan implementasi maqashid al-syariah yakni berupa penjagaan terhadap harta. Untuk mewujudkan konsep ini dalam sistem ekonomi syariah yang ada di Negara Indonesia terkhusus pada lembaga perbankan syariah diformulasikan beberapa hukum yang mengatur perlindungan terhadap konsumen atau nasabah bank. Dan agar tetap berjalan sesuai yang diharapkan dan tentunya sesuai dengan apa yang menjadi batasan syara’ perlu adanya pengawasan dalam lembaga perbankan syariah.
Makalah ini mencoba membahas, memaparkan dan memahami sistem pengawasan bank syariah dan perlindungan hukumnya. Dan setelah memahami memungkinkan untuk muncul sebuah pertanyaan tentang relevansi dan efektivitas pengawasan dan perlindungan hukum pada perbankan syariah.

B.     Pengawasan Dalam Pandangan Islam
Tujuan dari sebuah pengawasan dalam pandangan Islam dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah, dan  membenarkan yang hak.[1] Pengawasan atau kontrol dalam Islam secara garis besar terbagi menjadi dua. Yakni kontrol yang berasal dari diri sendiri dan sebuah pengawasan dari luar (sistem).[2] Dengan bertaqwa kepada Allah swt. -Allah yang maha melihat, maha mengetahui-, seorang muslim tentunya faham dengan ini. Oleh karena itu sudah seharusnya muslim bersikap hati-hati karena Allah mengawasi tingkah laku setiap muslim. Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
 Artinya: Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang Telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. QS. Al-Mujadalah (58): 7.
Dalam sebuah hadits, nabi Saw. Bersabda yang artinya “bertakwa kepada Allah dimanapun anda berada”.
Selain dari sisi keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan sang khaliq, pengawasan akan bisa lebih efektif apabila dilakukan dari luar diri sendiri. Didin Hafifudhin mengatakan bahwa sistem pengawasan jenis kedua ini dapat terdiri atas mekanisme pengawasan dari pemimpin yang berhubungan dengan penyelesaian tugas yang telah didelegasikan, kesesuaian antara penyelesaian tugas dan perencanaan tugas dan lainnya.[3]

C.    Pengawasan Bank Syariah
Pengawasan bank syariah (termasuk pula pengaturannya) pada dasarnya memiliki dua sistem, yaitu pengawasan dari aspek: pertama  kondisi keuangan, kepatuhan pada ketentuan perbankan secara umum dan prinsip kehati-hatian bank, dan kedua pemenuhan prinsip syariah dalam kegiatan operasional bank. Berkaitan dengan hal itu, Harisman SE, Akt., MA. Kepala Biro Perbankan Syariah BI mengatakan struktur pengawasan perbankan syariah lebih bersifat multilayer yang secara ideal akan terdiri dari:
1.      Sistem Pengawasan Internal, yang memiliki unsur-unsur; Dewan Komisaris, Dewan Audit, DPS, Direktur Kepatuhan, SKAI – Internal Syariah Reviewer.
Sistem pengawasan internal lebih bersifat mengatur ke dalam dan dilakukan agar ada mekanisme dan sistem kontrol untuk kepentingan manajemen.
2.       Sistem Pengawasan Eksternal, yang terdiri dari unsur BI, Akuntan Publik (termasuk external syariah auditor), DSN dan Stakeholder/Masyarakat Pengguna Jasa.
Pengawasan eksternal pada dasarnya untuk memenuhi kepentingan nasabah dan kepentingan publik secara umum yang dalam hal ini dilakukan oleh BI dan DSN. Secara umum peran dan tanggung jawab BI lebih kepada pengawasan aspek keuangan, sedangkan jaminan pemenuhan prinsip syariah adalah tanggung jawab dan kewenangan DSN dengan DPS sebagai perpanjangan tangannya. Dalam hal ini tentu saja kompetensi dan kemampuan pemahaman prinsip syariah tetap wajib dimiliki oleh pengawas bank dari BI.[4]
Kerjasama antara BI dengan DSN juga dilakukan dalam pengawasan terhadap produk bank syariah. Sedangkan untuk pengawasan operasional bank syariah, BI bekerja sama dengan DSN yang dalam hal ini dilakukan oleh DPS.[5] Hal ini sejalan dengan fungsi dan peran DSN yang dibentuk oleh Majelis Ulama’ Indonesia dengan Surat Keputusannya No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI. Adapun fungsi DPS dalam organisasi bank syariah adalah sebagai berikut:
1)      Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah.
2)      Sebagai mediator antara bank dan dewan syariah nasional (DSN) dalam mengomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.
3)      Sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank, kewajiban melaporkan pada DSN sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun.[6]
Karena pengembangan perbankan syariah masih dalam tahap awal, maka sistem dan mekanisme pengawasan perbankan syariah masih belum lengkap dan perlu banyak penyempurnaan. Oleh karena itu, upaya pengembangan pengawasan perbankan syariah oleh BI akan terus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengembangkan dan menyempurnakan sistem pengawasan, serta meningkatkan kompetensi dan mengembangkan etika pengawasan.[7]

D.    Sistem Perlindungan Hukum dalam kegiatan Usaha Bank Syariah
Di dalam perbankan syariah juga terdapat sistem perlindungan hukum terhadap nasabah bank. Sistem itu dapat dilihat dari sisi hubungan antara bank dengan nasabah, serta hubungan antara bank dengan Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral. Perlindungan hukum perbankan diantaranya sebagai berikut:

1.      Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen
UUPK bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap konsumen di Indonesia. Ada beberapa aturan sebelum disahkannya UUPK. R. Rach Hardjo Boedi Santoso mengatakan bahwa sebelum disahkannya UUPK pada dasarnya telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal 202-205 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya (1949), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan sebagainya.[8]
Tentunya dengan lahirnya UUPK diharapkan dapat menjadi payung hukum dibidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen.

2.      Perlindungan Nasabah melalui Pengawasan Bank Indonesia
Hubungan antara bank dengan Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral, adalah adanya pengaturan dan pengawasan oleh Bank Indonesia. Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia, untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan, kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi), kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian.
Menanggapi adanya beberapa kasus pembobolan bank yang marak terjadi akhir-akhir ini, Gubernur Bank Indonesia menyampaikan pidatonya pada rapat kerja komisi XI-DPR RI terkait perlindungan nasabah di bidang perbankan yang diantaranya beliau mengatakan:
Perbankan adalah industri yang sebagian besar sumber dananya berasal dari masyarakat dan merupakan industri yang mengandalkan basis kepercayaan masyarakat/nasabah. Berkenaan dengan itu, untuk memberikan perlindungan kepada nasabah, Bank Indonesia sangat concern dengan pengaturan kehati-hatian dan pengawasan yang ketat terhadap industri perbankan. Kami senantiasa mengarahkan dan mengatur perbankan nasional agar memiliki internal control yang kuat dan berlapis sebagai line of defense yang memadai guna mengawal seluruh kegiatan bank terhadap berbagai risiko dan potensi kebocoran yang dapat terjadi.[9]

3.      Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Perbankan
Kepercayaan adalah inti dari perbankan sehingga sebuah bank harus mampu menjaga kepercayaan dari para nasabahnya. Hukum sebagai alat rekayasa social terlihat aktualisasinya di sini. Di tataran undang-undang maupun PBI terdapat pengaturan dalam rangka untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah.[10]

E.     Perlindungan Nasabah Bank Syariah Berdasarkan Perundang-Undangan Perbankan.
Dalam UU No.21 Tahun 2008 bab II pasal 2 disebutkan bahwa Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.[11]
Adapun yang dimaksud dengan berasaskan prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung riba, maisir, gharar, objek haram dan menimbulkan kezaliman. Sedangkan yang dimaksud dengan berasaskan demokrasi ekonomi adalah kegiatan usaha yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan.[12]
Tentang otoritas fatwa tentang kehalalan / kesesuaian produk dan jasa keuangan bank dengan prinsip syariah diatur dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/32/PBI/2008 - Komite Perbankan Syariah, merupakan aturan dan mekanisme pengesahan otoritas fatwa tentang kehalalan jasa dan produk perbankan syariah. Secara normatif peraturan BI di atas mengandung norma hukum yang harus ditaati untuk mencapai ketertiban hukum, karena pada prinsipnya tujuan sebuah pengaturan adalah untuk mencapai ketertiban. Oleh karena itu pelanggaran terhadap mekanisme yang sudah diatur adalah hilangnya ketertiban hukum yang secara konstruktif dibangun untuk mencapai tujuan yang diharapkan[13]
simpulan
Dari pengawasan memang seharusnya. Sebagai makhluk yang diberi akal sekaligus nafsu yang juga dibebani hukum syara’, seorang muslim tentunya harus bisa menjaga nafsunya dari hal-hal yang menyeleweng. Karena manusia juga berhasrat, terkadang permainan syaitan pun bisa melengahkannya. Maka dari itu selain perlu pula pengawasan dari pihak luar yang keduanya (pengawasn pribadi dan luar) dapat menjadikan semua amal manusia berada dalam koridor yang dibenarkan.

F.     Simpulan
Pengawasan yang ada dalam bank syariah bukan hanya pengawasan dengan system akan tetapi pengawasan dengan modal takwa. Pengawasan yang berasal dari diri sendiri ini bahkan lebih diutamakan dengan tanpa menafikan urgensitas pengawasan system. Karena dengan pengawasan yang bermodal rasa takut terhadap tuhan akan memberikan dampak yang signifikan dalam setiap waktu dan inilah pengawasan yang efektif.
Perlindungan hukum bank syariah pun cukup bisa menjadi payung perkembangan penerapan sistem ekonomi dan bank syariah ke depan. Dan ini membawa angin segar bagi umat meskipun perlahan namun bisa dikatan pasti langkahnya.


DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Gemala, 2006, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada media Group

Hafifudhin, Didin dan Hendri Tanjung, 2003, Manajemen Syariah Dalam Praktek¸ Jakarta: Gema Insani

Harisman, Pelaksanaan Pengawasan Perbankan Syariah di Indonesia (2), http://pemikirangado-gado.blogspot.com/2010/10/pelaksanaan-pengawasan-perbankan.html

Mannan, Abdul, 2000, Membangun Islam Kaffah, Jakarta: Madina Pustaka

Nasution, Darmin, Penjelasan Gubernur Bank Indonesia Dalam Rapat Kerja Komisi Xi-Dpr Ri Terkait Perlindungan Nasabah Di Bidang Perbankan, (Jakarta: Rapat Kerja Komisi Xi DPR RI Dengan Bank Indonesia - 5 April 2011). Download file:
www.bi.go.id/NR/rdonlyres/.../penjelasan_gbi_raker_komisi11_final.pdf

Santoso, R. Rach Hardjo Boedi, 2009, Perlindungan Hukum Nasabah Bank Syariah Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pengawasan Oleh Bank Indonesia (Protection Punish The Client Of Bank Of Moslem Law Go Together The Observation Execution By Bank Indonesia), Makalah disusun dalam rangka memenuhi persyaratan program magister ilmu hukum program magister ilmu hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Download file:
              www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf



[1] Abdul Mannan, Membangun Islam Kaffah, (Jakarta: Madina Pustaka, 2000), hlm. 152
[2] Didin Hafifudhin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah Dalam Praktek¸Jakarta: Gema Insani, 2003) hlm. 156
[3] Ibid.,
[4] Harisman, Pelaksanaan Pengawasan Perbankan Syariah di Indonesia (2), http://pemikirangado-gado.blogspot.com/2010/10/pelaksanaan-pengawasan-perbankan.html. Akses tanggal 06 Juni 2011
[5] Ibid.,
[6] Gemala Dewi, aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2006), hlm. 70
[7] Harisman, op., cit.
[8] R. Rach Hardjo Boedi Santoso, Perlindungan Hukum Nasabah Bank Syariah Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pengawasan Oleh Bank Indonesia (Protection Punish The Client Of Bank Of Moslem Law Go Together The Observation Execution By Bank Indonesia), (makalah disusun dalam rangka memenuhi persyaratan program magister ilmu hukum program magister ilmu hukum universitas diponegoro semarang 2009), hlm. 10
[9] Darmin Nasution, Penjelasan Gubernur Bank Indonesia Dalam Rapat Kerja Komisi Xi-Dpr Ri Terkait Perlindungan Nasabah Di Bidang Perbankan, (Jakarta: Rapat Kerja Komisi Xi DPR RI Dengan Bank Indonesia - 5 April 2011). Download file: www.bi.go.id/NR/rdonlyres/.../penjelasan_gbi_raker_komisi11_final.pdf . Akses tanggal 06 Juni 2011
[10] R. Rach Hardjo Boedi Santoso, op., cit., hlm. 11
[11] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Download file: www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf . Akses tanggal 06 Juni 2011
[12] R. Rach Hardjo Boedi Santoso, op., cit., hlm. 13
[13] Ibid.

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...