TAMHID AL-MABHATS
(terjemah kitab ushul fiqh al-islamiy Wahbah al-Zuhailiy)
Oleh; Kabul Khan
Setelah mengetahui gambaran global ilmu ushl fiqh dan tujuannya
berupa istinbath hukum dari dalil. Maka kemudian beranjak pada
pembahasan hukum dan dalil. Alasan mengapa hukum dibahas awal karena
hukum merupakan asal (pokok) yang dimaksud.[1]
Hukum mencakup hakikat hukum itu sendiri dan macam-macamnya. Dan dalam pembahasan hukum tentunya akan berkaitan dengan al-hakim yakni Syari’, mahkum ‘alaih yakni orang mukallaf dan mahkum fih yakni pekerjaan mukallaf.
Pembahasan hukum juga berkaitan dengan definisi dan macam-macamnya
yang mana dalam macam-macam hukum itu sendiri akan diketahui mengenai
batasan sesuatu yang wajib, yang dilarang (al-mahzhur), sunah (al-mandub), mubah, makruh, qadha’, ada’, sihhah, fasad, azimah, rukhsah, dan lain-lainnya yang masuk dalam macam-macam hukum.
Dalam pembahasan al-hakim akan diketahui bahwa sesungguhnya
tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Tidak ada hukum bagi Rosul, tidak
pula hukum majikan atas bawahannya, dan makhluk atas makhluk. Jadi,
semuanya kembali pada hukum Allah dan bersumber pada Allah bukan hukum
yang lain.
Pembahasan mahkum ‘alaih akan dijelaskan khitab kepada orang yang lupa, dipaksa (mukrih),
anak kecil, khitab terhadap orang-orang kafir dengan sebagian
cabang-cabang hukum syara’, khitab terhadap orang yang mabuk,
orang-orang yang boleh dan tidak boleh di taklif (dibebani hukum). Kesemuanya itu masuk dalam pembahasan ahliyah dan penghalang-penghalangnya (‘awaridh).
Adapun dalam pembahasan mahkum fih akan diketahui bahwa khitab itu berhubungan dengan af’al (perbuatan-perbuatan manusia) –tidak berhubungan dengan kondisi- dan bahwasanya mahkum fih bukan merupakan sifat terhadap af’al itu sendiri.
Dari paparan diatas, kemudian pembahasan pada bab ini akan di bagi menjadi empat sub bab secara berurutan. Yakni:
- al-hukm (hukum)
- al-hakim (syari’; Allah)
- al-mahkum ‘alaih (mukallaf)
- al-mahkum fih (af’al; pekerjaan manusia)
AL-HUKM
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti mencegah (al-man’). Dan menurut istilah yang dipakai jumhur al-ushuliyyin hukum adalah khithob (kalam) Allah yang mengatur perbuatan-perbuatan orang mukallaf (af'al al-mukallafiin) baik berupa tuntutan (al-iqtidho’), pilihan (tahyir), dan ketetapan (wadh'iy).
Pengertian khithab itu sendiri adalah arah pembicaraan. Seperti
ketika orang diajak bicara untuk memahamkannya. Pengertian ini hanya
sebatas i’tibar (ibarat) yang tidak bersinggungan atau bersifatan dengan
wujud dan menggunakan makna ini untuk sebuah jenis tidaklah
diperbolehkan. Karena pendefinisian suatu yang wujud dengan yang tidak
wujud tidak sah hukumnya. Oleh karena itu, maka yang dikehendaki dari
kata khitab disini adalah konsekuensinya yakni berupa kalam Allah (al-kalam al-nafsiy al-qadim) yang terjelmahkan dalam hukum syara’. Jadi khitab disini bukan arah pembicaraan (taujih al-khitab) karena taujih itu
bukanlah sebuah hukum. Pemutlakan masdar berupa khitab dan yang
dikehendaki adalah sesuatu yang di khitab berdasarkan majaz mursal dari
bab pemutlakan masdar terhadap isim maf’ul. Dan ketika sudah masyhur
majaz tersebut maka akan menjadi hakikat secara ‘urfiyah-nya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa khitab pada dasarnya adalah
sebuah jenis. Penyandaran khitab terhadap lafazd Allah mengecualikan
khitab malaikat, jin dan manusia.
Dalam pembahasan ini pula yang dimaksud dengan khitab adalah khitab
Allah secara mutlak baik itu dinisbatkan kepada Allah secara langsung
seperti al-kitab al-karim atau yang melalui perantara seperti al-sunah,
ijma’, qiyas dan dalil-dalil hukum syara’ lainnya. Karena dalil-dalil
hukum syara’ selain al-kitab sebagaimana telah disebut pada dasarnya
merujuk kembali pada Allah azza wa jalla. Dalil-dalil tersebut
pada hakikatnya juga diketahui karena khitab Allah dan bukanlah sesuatu
yang bisa menetapkan hukum dengan sendirinya.
Al-sunah, meskipun berasal dari Rosulullah akan tetapi keberadaannya
ditetapkan dengan jalan wahyu Allah. Begitu pula dengan ijma dan qiyas,
dimana ijma’ harus bersandar pada kitab dan sunah maupun dalil-dalil
syara’ lainnya dan qiyas bukanlah sesuatu yang menetapkan hukum akan
tetapi yang menyingkap dan memperjelas hukum. Karena dalam qiyas yang
menetapkan hukum pada hakikatnya adalah dalil hukum asal dari al-kitab,
al-sunah atau ijma.
[1] Tujuan mempelajari ushul fiqh karena untuk mengetahui hukum itu sendiri.