Senin, 24 Januari 2011

PERAN PENDUKUNG MADZHAB DALAM PENYEBARAN MADZHAB

PERAN PENDUKUNG MADZHAB DALAM PENYEBARAN MADZHAB
Oleh Sukabul & Siti Anifatul Jannah

A.         Latar Belakang
Fiqh Islam dalam perjalanan dan perkembangannya telah mengalami zaman   kegemilangan dengan munculnya beberapa mujtahid dan fuqoha’ besar yang memiliki peranan penting dalam membangun kemajuan dan kesempurnaan fiqh Islam.
Sejalan dengan munculnya para imam besar maka lahirlah beberapa madzhab fiqh yang diberi nama sesuai dengan nama pendirinya, terikat dengan hasil ijtihad, metode istinbat, dan kaidah-kaidah yang mereka terapkan.
Pada hakikatnya, faktor berkembangnya madzhab-madzhab tersebut bukan hanya karena sisi hukum yang telah dibangunnya atau dari sisi figur pendirinya yang memiliki karakteristik tersendiri dalam memberikan penjelasan yang dapat menarik simpati dari publik, tetapi juga berkat kepiawaian para pendukung madzhab-madzhab tersebut yang siap untuk mendokumentasikan, mempertahankan, serta menyebar luaskan pola pemikiran dan pendapat-pendapat dari para imam madzhab meskipun tindakan ini juga berdampak kurang baik bagi fiqh Islam sendiri.
Dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu diketahui yang diantaranya faktor apakah yang menjadi sebab berkembangnya madzhab-madzhab fiqh dan bagaimana peran para pendukung madzhab terhadap penyebaran madzhab.

B.         Faktor Penyebab Berkembangnya Madzhab- madzhab Fiqh
Diantara faktor utama yang mendorong tersebarnya madzhab-madzhab fiqh di berbagai penjuru negeri adalah hal-hal sebagai berikut:
1.       Adanya gerakan kodifikasi pola pemikiran para imam mujtahid oleh para murid dan pendukung imam madzhab.
2.       Adanya usaha para murid dan simpatisan mereka yang siap menyebarluaskan pola pemikiran dan pendapat-pendapat dari para imam madzhab, bahkan siap mempertahankannya, khususnya mereka yang memiliki posisi kuat dalam organisasi sosial kemasyarakatan yang telah dibangunnya.
3.       Adanya kecenderungan para penguasa dan masyarakat umum untuk memberikan kebebasan terhadap para hakim dalam memberikan suatu keputusan yang berasal dari madzhab yang diikutinya, sehingga dalam berpendapat tidak ada dugaan negatif lantaran mengikuti hawa nafsu dalam memutuskan perkara yang hanya mengikuti pandangan madzhabnya.[1]
4.       Perhatian para fuqaha’ madzhab dalam menyebarkan madzhab mereka dengan cara menggali illatfuru’iyah madzhab dengan membentuk kaidah-kaidah umum yang akan menghimpun semua masalah yang ada.[2] dan menerapkannya dalam berbagai permasalahan yang baru muncul, mengumpulkan setiap masalah
Selain dari beberapa penyebab berkembangnya madzhab-madzhab fiqh tersebut, karya-karya dari para imam madzhab itu sendiri seperti al-Um dan al-Risalah karya al-Syafi’i, al-Muwatha’ karya imam Malik, dan al-Musad karya imam Ibnu hambal juga merupakan salah satu faktor utama bagi tersebarnya madzhab.

1.       Peran Para Pendukung Madzhab Terhadap Penyebaran Madzhab

a.       Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang paling tua diantara empat madzhab Ahli Sunnah yang populer. Madzhab ini dinisbatkan kepada Imam besar Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zutha At-Tamimi, lahir di Kufah tahun 80 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H.[3]
Sistem penyebaran dari suatu pemikiran seorang tokoh, dapat dilihat dari ada dan tidaknya para murid dan pendukungnya, diantara murid-murid imam Abu Hanifah adalah sebagai berikut:
1)      Zufar bin Hudzail bi Qais Al Kufi
Dilahirkan pada tahun 110 H. Beliau adalah orang yang paling menggunakan kiyas diantara teman-teman Abu Hanifah. Beliau tidak mengindahkan kemewahan dunia, namun hidunya selalu disibukkan dengan ilmu dan mengajar sampai meninggalnya tahun 157 H.[4]
2)      Muhammad bin Hasan bin Farqad bin Asy Syaibani
Beliau merupakan salah satu murid Abi hanifah yang banyak sekali menyusun dan mengembangkan hasil karya Abu Hanifah, diantaranya yang terkenal adalah “Al-Kutub al-Sittah (enam kitab).
3)      Al Hasan Ibnu Ziyad al-Lu’lu’iyyi (133-204 H).[5]
4)      Abu Yusuf  Ya’kub bin Ibrahim Al Anshari
Selain ketiga ulama’ tersebut diatas, ada satu murid emas Abu Hanifah yang sangat berperan penting dalam penyebaran mazdhab ini. Beliau adalah Abu Yusuf[6] yang dilahirkan pada tahun 113 H. Beliau adalah orang yang pertama menyusun buku-buku menurut madzhabnya (hanafiyah), mendiktekan masalah-masalah dan menyiarkannya. Tersiarlah ilmu Abu Hanifah ke penjuru dunia.  Abu Yusuf rahimahullah meninggal pada tahun 183 H.[7]
Setelah Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan beliau sebagai guru pada perguruan Abu Hanifah. Selama 16 tahun ia meneruskan tugas gurunya. Disamping mengajar pada mejelis Imam Abu Hanifah, beliau juga menyusun buku-buku yang masing-masing membahas sekitar berbagai bagian detil ilmu fiqh yang beraneka ragam. Di dalamnya ia mencatat ucapan-ucapan Abu Hanifah sendiri, serta hukum-hukum yang telah disimpulkan dalam majelisnya. Ketika buku-buku ini tersebar di seluruh negri, tidak saja lingkungan-lingkungan ilmiah umum yang dipengaruhinya, tetapi buku-buku itu telah menguasai juga pikiran orang-orang kalangan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi dan menarik mereka lebih dekat ke fiqih Hanafi. Sebab pada waktu itu tidak ada ”pusaka” dalam ilmu fiqh yang tersusun rapi, yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka seperti catatan tentang hukum menurut madzhab Hanafi tersebut. Karena itu, sebagai akibat diselesaikannya karya ilmiah ini oleh Abu Yusuf, maka fiqh Hanafi, sebelum masuknya Abu Yusuf ke dalam lingkungan pemerintahan, telah sempat menguasai pikiran-pikiran serta berbagai macam transaksi sehingga tinggal menunggu saat dijadikan sebagai kitab undang-undang negara oleh kekuasaan politik yang sedang memerintah.[8]
Setelah sekian lama menjadi guru, kemudian beliau diangkat sebagai hakim. Jabatan ini dipegangnya selama 16 tahun yang diawali pada masa pemerintahaan Al-Mahdi hingga beliau wafat dimasa pemerintahan Harun al-Rashid. Ketika merasa ajalnya telah dekat ia menyesal, mengapa ia memilih jabatan tersebut dan tidak memilih hidup dalam kemiskinan.[9]
Kedudukannya sebagai hakim agung tidak disia-siakanya untuk menyebar luaskan Madzhab Hanafi. Ia tidak mengangkat seseorang menjadi hakim, kecuali kalau hakim tersebut menganut Madzhab Hanafi. Dengan dukungan kuat dari para khalifah maka tersebarlah Mazdhab Hanafi di negara-negara Barat sekitar tahun 400 H. hingga mendominasi di pulau Sicilia (bagian wilayah kekuasaan Italia sekarang). Di Mesir pada awal kekuasaan pemerintah Abbasiyah, Madzhab Hanafi tetap menjadi rujukan atau referensi bagi lembaga peradilan di Mesir.[10]
Peran pendukung mazdhab Hanafiyah ini sangatlah signifikan. Melalui karya-karya dan dakwah mereka itulah, Abu Hanifah dan madzhabnya berpengaruh sangat luas dalam dunia islam, khususnya mereka yang berhaluan sunni, sehingga pada masa pemerintahan dipegang oleh Khalifah Bani Abbasiyyah, madzhab abu Hanifah menjadi sebuah aliran madzhab yang paling banyak diikuti dan dianut oleh ummat islam, bahkan pada masa kerajaan Ustmani madzhab ini menjadi salah satu aliran madzhab resmi Negara dan sampai sekarang tetap menjadi kelompok mayoritas disamping aliran madzhab Syafi’i.[11]


b.      Madzhab Maliki
Imam Malik bin Anas, pendiri Madzhab Maliki, dilahirkan di Madinah tahun 93 H. beliau berasal dari Kabilah Yamania. Sejak kecil beliau telah hafal al Qur’an. Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, madzhab maliki tersebar luas dan dianut di banyak bagian di seluruh penjuru dunia.[12]
Kitab Al-Muwaththa’ merupakan salah satu faktor utama bagi tersebarnya madzhab Maliki di negeri-negeri Islam. Hasil karya sang imam ini telah membuat madzhabnya terkenal sejauh negeri Islam membentang.
Perkembangan madzhab Maliki tidak dapat lepas dari jasa para murid yang telah meriwayatkan dan menyebarkan madzhabnya setelah beliau wafat.
Adapun para sahabat dan murid Imam Malik yang sangat berjasa dalam mengembangkan madzhabnya adalah:
1)      Abdurrahman bin Al-Qasim Al-Mishriy
Beliau memiliki peranan penting dalam menulis madzhab Imam Malik, berguru kepada Imam Malik selama hampir dua puluh tahun, meriwayatkan kitab Al-Muwaththa’ dan periwayatannya termasuk yang paling shahih dan wafat pada tahun 192 H.[13]
2)      Abu Hasan Ali bin Ziyad At-Thusiy
Beliau merupakan seorang pakar hukum islam di Afrika, wafat pada tahun 183 H.
3)      Abu Abdillah Ziyah bin Abdurrahman al-Qurthuby (w.193 H.), pembuka madzhab Maliki di Andalusia.
4)      Isa bin Dinar al-Qurthuby al Andalusiy (pakar hukum islam di Andalusi. W. 212 H.)
5)      Yahya bin Yahya bin Khatir al-Laithy (penyebar madzhab Maliki di Andalusi. W 234 H.).
6)      Sahnun Abdus Salam bin Sa’id al-Tanukhi, penyusun kitab pegangan para ulama madzhab Maliki. W. 240 H.[14]
Itulah tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran Madzhab Maliki. Hubungan mereka kepada Malik adalah hubungan murid kepada gurunya. Mereka hampir tidak pernah menyelisih keculi sedikit sekali.

c.       Madzhab Syafi’i
Pendiri Madzhab Syafi’i adalah Muhammad bin Idris As-Syafi’I Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H.Imam Syafi’i termasuk salah seorang imam Madzhab yang masuk ke dalam jajaran “Ahli al-sunnah wa al-jama’ah”, yang dalam bidang “furu’iyyah” ada dua kelompok, yaitu:”Ahl al-Hadits dan “Ahl al-Ra’yu” beliau sendiri termasuk “Ahl al-Hadits”.[15]
Diantara teman-teman dan murid-murid imam syafi’i yang turut berperan penting dalam penyebar luasan madzhabnya adalah sebagai berikut:
1)      Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Bhuti
Beliau adalah murid yang paling senior di Mesir dan biasa menggantikan Imam Syafi’i mengajar dan memberi fatwa ketika beliau berhalangan hadir. Beliau adalah sebesar-besar teman Asy Syafi’I dari orang-orang Mesir. Beliau belajar fiqh pada Imam Syafi’i dan meriwayatkan hadits darinya. Beliau dijadikan pemimpin atas teman-temannya sesudah Syafi’i wafat.  Para imam yang tersebar di beberapa Negara belajar padanya, dan mereka menyebarkan ilmu As-Syafi’i ke berbagai penjuru dunia, beliau meninggal dunia pada tahun 231 H.
2)      Abu Utsman bin Sa’id Al-Anmati
Beliaulah orang yang menyebabkan terkenalnya buku-buku Asy Syafi’i di Baghdad dan meninggal pada tahun 288 H.



3)      Hasan bin Muhammad bin Shabah Az-Za’farani Al Baghdadi.
Beliau adalah perawi  madzhab qadim yang paling shahih, dan Kitab Iraqi dinisbatkan kepadanya. Beliaulah yang melakukan pembacaan dalam majlis As-Syafi’i. Beliau meninggal pada tahun 260 H.[16]
Orang-orang yang kami sebutkan di atas merupakan teman-teman As-syafi’i yang terkenal dan menjadi sumber dari orang-orang yang mempelajari ilmunya. Di samping itu mereka mempunyai banyak keistimewaan lain. Seperti halnya hubungan hubungan imam Malik dan teman-temannya, hubungan As-Syafi’I dan teman-temannya juga jarang   berselisih.

d.      Madzhab Hanbali
Imam Ahmad bin Hanbal dilahirkan pada tahun 164  H. Beliau wafat pada tahun 241 H. Kalangan yang berjasa menuliskan madzhab Imam Ahmad adalah murid-muridnya. Merekalah yang mengumpulkan pendapat dan fatwa sang imam, lalu menyusunya sesuai dengan urutan bab fiqh.
Adapun orang yang pertama menyebarkan madzhab Imam Ahamad adalah putranya yang bernama Shalih bin Ahmad bin Hanbal (wafat 266 H). Beliau menyebarkan madzhab ayahnya dengan cara mengirim surat kepada orang yang bertanya dengan jawaban yang pernah disampaikan oleh ayahnya, beliau pernah menjabat sebagai hakim, menukil pendapat ayahnya dan dan diterapkan langsung. Putra imam Ahmad yang pertama yang bernama Abdullah bin Ahmad (wafat 290 H) juga melakukan hal yang sama dengan mengumpulkan kitab Al-Musnad dan menyusunya serta menukilkan fiqh sang ayah, walaupun beliau banyak meriwayatkan hadist.[17]
Perlu diketahui bahwa madzhab Hanbali ini bisa dikatakan sebagai suatu madzhab yang perkembangannya kurang begitu luas, dimana pada awalnya berkembang di Baghdad, kemudian pada abad keempat hijriyyah dapat berkembang di luar Irak dan pada abad keenam dapat juga berkembang di Mesir.
Pada awalnya madzhab ini dihidupkan dan diperbaharui oleh beberapa mujtahid, seperti Ibnu Taimiyah dan muri-murid Ibnu Qayyim, lalu pada abad kedua belas dilakukan lagi pembaharuan oleh imam Muhammad bin Abdul Wahhab di Naajm dengan memmperbaharui system penyebarannya dalam bentuk gerakan, yang lazim dikenal dengan sebutan “Gerakan Wahhabi”. Dari pembaharuan system baru dalam penyebaran madzhab seperti itulah, maka madzhab Ibnu Hanbal berkembang dan menyebar secara signifikan di berbagai wilayah Saudi Arabiyyah, terutama pada masa kekuasaan dipegang oleh Raja Abdul Aziz dari keluarga Sa’ud, sehingga madzhab ini sampai sekarang masih menjadi madzhab resmi Negara dari kerajaan Arab Saudi, bahkan pengikutnya sampai Palestina, Syiria, Irak, dan lain-lain, yang secara keseluruahn jumlahnya tidak kurang dari tiga juta orang.
Ibnu Abdil Wahhab dengan gerakan Wahhabiyyahnya adalah seorang mujaddid dan sekaligus pembaharu madzhab Hanbali setelah Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim dan termasuk juga “Ulama” salaf yang bertekad untuk mengembangkan dan mengembalikan ajaran Islam kepada sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan al-hadist serta melenyapkan “Taqlid Buta” dengan melenyapkan segala bentuk Bid’ah keagamaan.[18]

e.      Madzhab Dzahiri
Madzhab ini didirikan dengan prinsip bahwa sumber hukum fiqh adalah dzahirnya  nash, baik dari al-quran dan sunnah, tidak ada ruang bagi logika dalam menentukan hukum syar’i. oleh karena itu, para pengikut madzhab ini menolak semua jenis logika, tidak menggunakan qiyas, istihsan, dzara’i, kemaslakhatan, maupun logika apapun bentuknya. Madzhab ini menolak qiyas karena ia akan membuka lebar pintu ijtihad dan semua orang dapat melakukan hal itu dalam menggali hukum. Dua orang yang menjadi pendiri dan penerang madzhab ini yaitu Dawud al-Asyafani dan Ibnu Hasm Al –Andalusi. Madzhab ini pertama kali muncul di Baghdad pada pertengahan abad ketiga hijriyyah.[19]
Pada masa Dawud Al-Ashafani Madzhab dzahiri tersebar luas pada zaman pendirinya walaupun banyak yang menentangnya, karena madzhab ini menentang taqlid secara mutlaq. Pengikutnya hanya sedikit dan lebih banyak menentangnya. Tersebarnya pemikiran madzhab ini tidak lepas dari hasil karya yang ditulis oleh Dawud Ash-Zhahiri. Semua hasil karyanya berupa kitab sunnah dan riwayat sahabat yang memuat berbagai dalil yang ditetapkan oleh madzhabnya. Perhatian para murid untuk menyebarkan kitab dan mengajak orang  kepada madzhab ini telah memberi dampak besar dalam penyebaran madzhab Asz-Zhahiri pada abad  ketiga dan keempat hijriyah di negeri timur. Sayang, setelah itu madzhab ini mulai hilang.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa penyebaran madzhab Dzahiri sangat terbatas pada zaman Dawud Al-ashafani, kemudian sedikit demi sedikit hilang dari permukaan.
Ketika Ibnu Hazm muncul pada abad kelima hijriyah, dengan segala usaha gigih dan ijtihadnya madzhab ini muncul kembali. Imam Ibnu Hazm membangun kembali madzhabnya dengan membuat dasar-dasar  madzhab dan menulisnya dalam kitab madzhab serta mengajak orang untuk menyebarkannya.[20]
Mereka para ulama’ mazdhab yang senantiasa mencurahkan segala tenaga untuk membela dan mempertahankan perkataan imam mazdhab. Bahkan terkadang perkataan imamnya menjadi seperti firman Allah SWT dan mereka tiada berani mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah bila bertentangan dengan kesimpulan yg telah ditarik oleh imam mereka.
Selain faktor penyebaran mazdhab yang telah disebutkan, terdapat pula faktor lain yang mempengaruhi berkembangnya mazdhab, yakni faktor ta’asub (fanatisme mazdhab). Hal ini pula yang mempengaruhi semangat mereka dalam menyebarkan pemikiran imam mazdhabnya. Contoh dari adanya fanatisme ini adalah kultus terhadap imam-imam itu demikian mencolok dan berlebihan sampai-sampai Karkhi mengatakan “Setiap ayat atau hadits yang menyalahi pendapat shahabat-shahabat itu kita hendaklah ditakwilkan atau dinasakh.”.[21]
Adanya pelembagaan madzhab-madzhab ialah diantara faktor-faktor lain yang membantu tersebarnya semangat tradisonal ini, usaha yang dilakukan oleh para hartawan dan pihak penguasa dalam mendirikan sekolah-sekolah dimana pengajarannya terbatas pada suatu atau beberapa mazhab tertentu yang menyebabkan tertujunya perhatian para fuqoha’ terhadap mazhab-mazhab tersebut.[22]
Ada dampak yang tidak disadari dari semangat penyebaran mazdhab ini. Dampak-dampak itu diantaranya berpalingnya minat dari berijtihad karena mempertahankan pendapat mazdhabnya, adanya taqlid, umat Islam terpecah belah dalam golongan-golongan hingga mereka berselisih paham, para ulamanya hanya berkutat menghafalkan matan dan tidak mengenal kecuali istilah-istilah atau catatan-catatan lampiran bersama pendapat-pendapat yang dikemukakan serta sanggahannya hingga akhirnya Eropa pun menerkam dunia Islam.

C.         SIMPULAN

Dari pembahasan yang telah di paparkan, dapat ditarik simpulan bahwa perkembangan penyebaran mazdhab diantaranya karena faktor-faktor adanya gerakan kodifikasi pemikiran para imam mazdhab, usaha pengikut mazdhab yang gigih dalam menyebarkan mazdhab yang dianutnya, kecenderungan para penguasa dan masyarakat umum untuk memberikan kebebasan terhadap para hakim dalam memutuskan hukum, dan yang tidak kalah penting adalah adanya karya-karya imam mazdhab itu sendiri.
Peran para pendukung mazdhab ini sangatlah signifikan dimana dampaknya masih terasa sampai sekarang. Madzhab-madzhab fiqih yang berkembang di seluruh penjuru negeri bukan hanya karena usaha dari para Imam Madzhab itu sendiri melainkan juga atas jasa-jasa dari para murid dan pendukung-pendukung dari madzhab-madzhab tersebut yang senantiasa rela mengorbankan waktu, harta, bahkan jiwa mereka untuk mempertahankan dan menyebarluaskan madzhab yang mereka anut sehingga madzhab-madzhab tersebut dapat bertahan dan bahkan masih diikuti hingga sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Abutofa, Abu Yusuf, diakses dari http://abutofa.wordpress.com/2010/07/08/abu-yusuf/

http://www. Al-Warraq.com/ Maktabah al-Shamila/ Tarikh al-baghdadi.

Khallaf, Abd al-Wahab, 1968, Khulasah Tarikh Tashri’ Islami, Jakarta: al-Majlis A’la al-Indunisi, li al-Da’wah al-Islamiyah

Khalil, Rasyad Hanan, 2009, Tarikh Tasyri’ al-Islamiy, alih bahasa: Nadirsyah Hawari, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azmah

Mughniyah, Muhammad Jawad, 2010, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta : Penerbit Lentera

Zein, Muhammad Ma’sum, 2008, Arus Pemikiran Empat Madzhab, Jatim : Darul Hikmah

Zuhri, Muhammad,1980, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Indonesia: Daarul Ihya

__________, Sejarah Perkembangan Fiqh dan Meredupnya, diakses dari http://blog.re.or.id/sejarah-perkembangan-fiqh-dan-meredupnya.htm



[1] Muhammad Ma’sum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzhab,  (Jatim : Darul Hikmah, 2008), hal.114
[2] Rasyad Hanan Khalil, Tarikh Tasyri’ al-islamiy, alih bahasa: Nadirsyah Hawari, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta, Azmah, 2009), hal. 178
[3] Ibid. hal:  172
[4] Muhammad Zuhri.,Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, (Indonesia : Daarul Ihya,1980), hal. 412-413
[5] Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran… op., cit., hal. 138-139
[6] Nama lengkapnya Ya’qub Ibn Ibrahim Ibn Habib Ibn Sa’ad Ibn Bujair, Sa’ad Ibn Bujair juga dikenal dengan nama Sa’ad Ibn Habtah, berasal dari salah satu suku bangsa Arab bernama Bujailah. Keluarganya disebut Ansari karena dari pihak ibu Sa’ad yaitu Habtah, masih mempunyai hubungan darah dengan kaum Anshar. Sementara Sa’ad sendiri adalah seorang sahabat Nabi. Beliau termasuk dari salah satu sahabat yang menawarkan diri untuk dijadikan sebagai anggota pasukan tempur dalam menghadapi orang-orang kafir pada perang Uhud. Namun pengajuan mereka ditolak oleh Nabi, mengingat usia mereka yang masih terlalu muda untuk dijadikan sebagai anggota pasukan. Abutofa, Abu Yusuf, diakses dari http://abutofa.wordpress.com/2010/07/08/abu-yusuf/ pada 23 Januari 2011
[7] Rasyad Hanan Khalil, op., cit. hal. 173
[8] Abutofa, op., cit.
[9] http://www. Al-Warraq.com/ Maktabah al-Shamila/ Tarikh al-baghdadi.
[10] Abd al-Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh Tashri’ Islami, ( Jakarta: al-Majlis A’la al-Indunisi, li al-Da’wah al-Islamiyah, 1968), 86-87.
[11] Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran… op., cit., hal. 139        
[12] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta : Penerbit Lentera, 2010) cet 1, hal. xxvii
[13] Rasyad Hanan Khalil, op., cit., hal.182
[14] Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran…., hal. 156
[15] Ibid, hal.162
[16]  Muhammad Zuhri, Tarjamah Tarikh…., hal. 443
[17] Rasyad Hanan Khalil, Tarikh…., hal. 197
[18] Muhammad Ma’shum Zein,  Arus Pemikiran…., hal: 196-197
[19] Ibid, hal. 200
[20] Ibid, hal: 203-204
[21] Sejarah Perkembangan Fiqh dan Meredupnya, diakses dari http://blog.re.or.id/sejarah-perkembangan-fiqh-dan-meredupnya.htm , pada 22 januari 2011

MASLAHAH MURSALAH; AL-ISTIDLAL AL-MUHKTALAF



MASLAHAH MURSALAH;
AL-ISTIDLAL AL-MUHKTALAF[1]
Oleh:
Sukabul

Kemaslahatan atas makhluk adalah tujuan syariat Islam. Hal ini tercermin dalam produk-produk hukumnya yang senantiasa relevan dalam setiap zaman dan tempat. Allah berfirman dalam QS. Al-Anbiya’ (21); 107,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai Islam agar tidak terkesan kaku para fuqaha’ memformulasikan sebuah kaidah:
تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة والاحوال والعواعد والنيات
"Berubahnya hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan niat."[2]
Syekh Abdul Wahhab Khallaf mengatakan bahwa yang menjadi tujuan umum syari’ (Allah dan RasulNya) dalam pensyariatan hukum ialah mewujudkan kemaslahatan bagi setiap manusia dengan menjamin segala kebutuhan primer (dharuriyah), memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyah) dan pelengkap (tahsiniyah). Setiap hukum syara’ tidaklah diformulasikan kecuali ditujukan untuk salah satu dari ketiga hal tersebut yang dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.[3]  
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang salah satu metode yang berkaitan dalam mewujudkan maslahah bagi umat manusia berupa al-maslahah al-mursalah yang digunakan oleh imam Malik dan para pendukungnya dalam pengambilan hukum.
Refrensi dasar yang dijadikan pedoman dalam penulisan makalah ini adalah kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiy karya ulama’ kontemporer dari Damaskus Syiria Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili. Sebagian besar kutipan dalam makalah ini memang penulis nuqilkan dari kitab tersebut dengan alasan selain dirasa cukup mengakomodir pendapat-pendapat ulama’ yang ada, kitab ini disusun dengan sistematika penulisan yang cukup baik sehingga mudah untuk difahami, apalagi perbendaharaan kata yang ada dalam kitab tersebut tidak begitu asing dan mudah dimengerti bagi seorang pemula.
Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami konsep maslahah mursalah dengan berbagai variannya yang menjadi perdebatan diantara ulama’ akan legalitasnya sebagai salah satu sumber hukum Islam. .
A.       Macam-Macam al-Munasib
Dalam pembahasan masalik al-illat pada bab Qiyas, terdapat pembahasan berupa al-munasabah dimana al-munasabah itu sendiri berarti pemaparan sifat yang secara rasio sesuai dengan penerapan hukum dan merupakan satu diantara metode penerapan illat (yang berarti bahwa sifat itu patut dijadikan landasan penetapan hukum dengan menggunakan metode Qiyas).[4] Dilihat dari segi kelayakannya, Wahbah al-Zuhailiy Membagi al-munasib dalam tiga klasifikasi. Yakni al-munasib al-mu’tabar, al-munasib al-mulgha, dan al-munasib al-mursal. Berikut penjelasan ketiga pembagian tersebut:

1.         Al-Munasib al-Mu’tabar
Al-munasib al-mu’tabar berarti bahwa syari’ mengakuinya sebagai illat penetapan hukum. Hal ini diketahui dari ketentuan-ketentuan hukum syara’ dalam permasalahan-permasalahan kasuistik yang mengacu pada al-munasib tersebut. Semisal semua hukum-hukum syara’ yang diformulasikan dan diberlakukan untuk memelihara maqashid al-syâri’ah al-kulliyah (tujuan-tujuan dasar syariat) yang mencakup lima hal, yakni hifzd al-din (memelihara agama), hifd al-nafs (perlindungan jiwa), hifzd al-’aql (perlindungan terhadap akal), hifzd al-nasl (pemeliharaan keturunan), hifzd al-mal (dan perlindungan atas harta kekayaan).[5]
Wahbah menjelaskan keterangan diatas dengan memberikan contoh bahwa  jihad dan penumpasan kaum murtad bertujuan untuk memelihara agama, pemberlakuan hukum qishash untuk memelihara jiwa, diharamkannya khamr dan sanksi yang diberikan pada peminumnya adalah untuk memelihara akal manusia, keharaman zina ditujukan untuk memelihara garis keturunan, keharaman mencuri, pemotongan tangan pencuri serta pensyariatan ganti rugi atas pelanggaran hak milik dikukuhkan untuk menjaga harta kekayaan. Begitu pula rukhsah (keringanan) diperbolehkannya tidak berpuasa ramadhan bagi musafir dan penderita sakit, qashar dan jama’ dalam shalat bagi musafir, semua ini disyariatkan untuk menolak atau menghindari kesulitan pada manusia.
Dalam menyikapi sifat-sifat tersebut tidak ada perbedaan lagi status kelayakannya sebagai variabel kebolehan penetap hukum (illat) berdasarkan penelitian (istiqra’) bahwa hukum-hukum syara’ diformulasikan untuk menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan (jalb al-maslahah wa daf’ al-mafsadah).

2.         Al-Munasib al-Mulgha
Al-munasib al-mulgha berarti munasib dimana syara’ mengakui dengan menolak keberadaannya sebagai illat penetapan hukum. Hal ini dapat diketahui dengan ketentuan-ketentuan hukum yang menunjukkan tidak diperhitungkannya munasib ini. Contohnya seperti kafarat dari pembatalan puasa ramadhan dikarenakan melakukan hubungan badan dengan lawan jenis. Kafarat dalam hal ini adalah memerdekakan budak, berpuasa selama dua bulan berturut-turut, memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin. Ketentuan kafarat tersebut harus dipenuhi secara berurutan sesuai taraf kemampuan. Bagi orang yang kaya mungkin saja hukuman yang bisa membuatnya bertobat adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Karena dengan kekayaan yang dimilikinya, memerdekakan budak ialah hal yang mudah untuk dilakukan dan dalam hal ini (menghukumi berpuasa pada si kaya) terdapat kemaslahatan agar dia jerah. Namun syara’ tidak menyikapi kemaslahatan tersebut dan tetap mewajibkannya memerdekakan budak sebagaimana yang telah ditentukan dalam al-Sunah. Atau, karena kafarat bertujuan untuk sekedar menguji kadar kepatuhan seorang hamba.
Sifat ini (al-munasib al-mulgha) tidak ada khilaf bahwa ia tidak dapat dijadikan illat hukum sebagaimana yang telah disinggung awal.

3.         Al-Munasib al-Mursal
Munasib yang ketiga ini ialah sifat dimana tidak diketahui bahwa syara’ menyikapinya dengan penolakan atau pengakuan atas keberadaannya baik dalam Nash atau Ijma’. Maksudnya, tidak ditemukan dalam hukum-hukum syara’ hal-hal yang menunjukkan diakui atau ditolak keberadaan sifat tersebut.
Disinilah titik tolak perbedaan pendapat para ulama’ ushul akan kebolehan menjadikan sifat ini sebagai illat. Ada berbagai istilah yang digunakan ushuliyin, Kalangan Malikiyah menyebutnya maslahah mursalah, imam al-Ghazali menyebutnya dengan istishlah, ulama’ ushul kalangan Mutakallimin menyebutnya dengan al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian yang lain menyebut al-istidlal al-mursal, sedangankan al-Haramain dan Ibnu al-Syam’ani menyebutnya dengan istidlal.[6]  

B.        Macam-Macam Maslahah
Pembagian sifat yang selaras dengan penerapan hukum (al-washf al-munasib) diatas ialah dilihat dari segi pengakuan dan tidaknya syara’ terhadap maslahah tersebut. Dari segi prioritas waktu pemenuhannya, maslahah terbagi menjadi tiga macam.

  1. Al-Dharuriyah
Maslahah ini adalah suatu hal yang urgen bagi kehidupan manusia di dunia maupun akhirat. Apabila maslahah ini tidak terwujud maka kehidupan di dunia akan timpang, kebahagian akhirat tidak tercapai dan mendapat siksa. Kemaslahatan ini ialah memelihara maqashid al-syari’ah al-kulliyah (tujuan-tujuan dasar syariat) yang mencakup lima hal, yakni hifzd al-din (memelihara agama), hifd al-nafs (perlindungan jiwa), hifzd al-’aql (perlindungan terhadap akal), hifzd al-nasl (pemeliharaan keturunan), hifzd al-mal (dan perlindungan atas harta kekayaan).

  1. Al-Hajiyah
Maslahah al-hajiyah (sekunder) ialah maslahah yang dibutuhkan manusia untuk menghilangkan kesulitan. Apabila hal ini tidak terwujud maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan yang tidak sampai mengakibatkan bahaya terhadap manusia itu sendiri. Syari’  dalam mewujudkan maslahah ini mensyariatkan ketentuan-ketentuan dalam muamalah, keringanan kebolehan jama’ dan qashar shalat bagi musafir, dipebolehkannya tidak puasa bagi wanita hamil, menyusui dan orang sakit, dan lainnya.

  1. Al-Tahsiniyah
Maslahah ini ditujukan untuk mengakomodasi adat istiadat (kebiasaan) dan akhlak yang mulia. Seperti disyariatkannya bersuci sebelum shalat, berpakaian indah dan rapi, dan lainnya.[7]

C.        Definisi Maslahah Mursalah
Maslahah sama halnya dengan manfaat yang berarti masdar bermakna shalah (damai, baik, dan lainnya), pengarang kitab Lisan al-Arab sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi mengatakan bahwa maslahah bermakna dua wajah, yakni maslahah bermakna shalah dan maslahah yang berarti salah satu dari masalih (beberapa kemaslahatan).[8]
Secara etimologis, kata al-maslahah berarti sesuatu yang baik. Al-maslahah kadang-kadang disebut pula dengan istishlah yang berarti mencari yang baik. Sedangkan al-mursalah secara literal adalah yang lepas. Dan menurut Khalid Ramadhan Hasan, al-mursalah berarti suatu kemaslahatan yang terlepas dari pengukuhan atau penolakan syara’.[9]
Mengutip pendapat Al-Ghazali, Wahbah mengatakan bahwa maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menghindarkan madharat. Adapun dalam pembahasan ini maksud daripada maslahah itu sendiri ialah melestarikan tujuan-tujuan syariat (al-muhafadzah ‘ala maqshud al-syar’i) yang mencakup lima hal pokok berupa hifzd al-din, hifd al-nafs, hifzd al-’aql, hifzd al-nasl, dan hifzd al-mal. Jadi setiap hal yang didalamnya terkandung pemeliharaan terhadap lima prinsip tersebut maka disebut dengan maslahah. Setiap sesuatu yang bisa meniadakan lima prinsip dasar tersebut maka itu sebuah mafsadah, sedangkan menghilangkan mafsadah merupakan sebuah maslahah.[10]
Ta’rif dari al-Ghazali ini menurut wahbah adalah ta’rif yang tepat dalam menjelaskan maslahah. Hal ini karena setiap manusia memiliki penilaian tersendiri terhadap maslahah, apalagi setiap dari mereka cenderung untuk memenuhi kepentingan pribadi dan menghiraukan kemaslahatan umum. Adalah sebuah keniscayaan syari’  dalam memberikan ketentuan-ketentuan syara’ supaya terwujud netralitas dalam menimbang kemaslahatan dan mendistribusikan manfaat. Maslahah haruslah didasarkan pada syara’ bukan hawa nafsu dan rasio.[11]
Al-khawarizmiy yang dikutip pula oleh Wahbah, berkata bahwa yang dimaksud dengan maslahah ialah pemeliharaan terhadap tujuan-tujuan dari syari’ dengan menolak mafsadah (kerusakan) dari makhluk.[12] Sedangkan Khalid Ramadhan Hasan dalam bukunya Mu’jam Ushul al-Fiqh mengatakan bahwa al-maslahah adalah menarik sebuah manfaat dan menolak madharat dengan memelihara tujuan-tujuan syari’ , beliau juga mengutip beberapa pendapat ulama’ ushul tentang definisi maslahah yang diantaranya imam al-Syathibi mengatakan bahwa syariat tidak dikreasikan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan para hamba baik di dunia ataupun di akhirat kelak dan menolak mafsadah yang dihadapi mereka.[13]
Secara terminologis, definisi maslahah mursalah terdapat banyak ragam. Akan tetapi definisi-definisi yang ditawarkan para pakar ushul fiqh kesemuanya mempunyai kedekatan makna. Setelah memaparkan beberapa definisi maslahah mursalah dari sebagian ulama’ ushul, Wahbah memilih definisi lain yang menurutnya lebih memperjelas pengertian maslahah mursalah. Yakni, maslahah mursalah adalah sifat-sifat yang mempunyai keselarasan dengan penetapan-penetapan syara’ dan tujuan-tujuannya, akan tetapi tidak ada dalil yang spesifik mengukuhkan atau menolaknya. Dan dari hubungan karakter atau sifat tersebut dengan hukum ini kemudian dihasilkan sebuah perwujudan kemaslahatan dan menolak atau menghindari mafsadah pada manusia.[14]

D.       Ber-hujjah Dengan Maslahah Mursalah
Dalam menyikapi maslahah al-mursalah sebagai istidlal hukum syara’, terdapat perbedaan pendapat para pakar ushul fiqh. Secara ringkas, berikut pemaparan pendapat-pendapat para ushuliyin yang penulis kutip dari kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiy karya Wahbah al-Zuhailiy:[15]
1.   Jumhur ulama’ berpendapat bahwa maslahah mursalah tidak dapat dijadikan landasan hukum. Ibnu Hajib seorang ulama' kalangan Malikiyah pun mengamininya dengan mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipilih. Demikian juga al-Amudi berkata bahwa inilah pendapat yang benar, dimana para fuqaha’ bersepakat dalam hal ini. Adapun para pakar fiqh Syiah menyepakati akan ketidak bolehannya berfatwa menggunakan maslahah mursalah.
2.   Bolehnya menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah secara mutlak. Pendapat ini berasal dari imam Malik yang kemudian dipilih oleh al-Haramain. Al-munasib al-mursal adalah hujjah secara mutlaq. Diriwayatkan bahwa imam Malik berkata akan kebolehan membunuh sepertiga kelompok orang demi menyelamatkan dua pertiga yang lain. Dalam ketentuan ini imam Malik menyandarkan pada pengamalan berdasarkan maslahah dimana maslahah menurut beliau bisa diambil dari nash ataupun dari keumuman lafazd yang terdapat dalam suatu nash seperti firman Allah QS. Al-hajj (22); 78,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ     
“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…”
begitu pula dalam sebuah hadits:
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak ada perbuatan yang membahayakan diri sendiri dan tidak pula orang lain.”
Dikatakan al-maslahah karena tidak terdapat larangan ataupun perintah dalam syara’ tentang maslahah mursalah dimana dalam maslahah mursalah kemanfaatan yang ada lebih banyak dibandingkan madharat yang ditimbulkannya.
Imam Ahmad pun menggunakan maslahah mursalah sebagaimana tersebut dalam ushul mazdhabnya, bahkan beliau berpendapat bolehnya seorang pemimpin menggunakan maslahah mursalah ini dalam rana siyasah syar’iyah yang mencakup banyak orang yang bertujuan untuk mewujudkan maslahah kepada manusia.
3.   Al-munasib al-mursal menurut al-Ghazali diakui keberadaannya sebagai hujjah apabila maslahah yang terdapat didalamnya berupa maslahah dharuriyah yang pasti terjadi (qath'iyah) dan cakupannya universal (kulliyah). Apabila tidak memenuhi tiga kriteria tersebut maka tidak lah sebuah maslahah diperhitungkan sebagai hujjah. Taraf dharuriyah berarti maslahah yang terkandung merupakan salah satu dari lima prinsip dasar berupa hifzd al-din (memelihara agama), hifzd al-nafs (perlindungan jiwa), hifzd al-’aql (perlindungan terhadap akal), hifzd al-nasl (pemeliharaan keturunan), hifzd al-mal (dan perlindungan atas harta kekayaan). Adapun yang dimaksud qath'iyah ialah bahwa maslahah yang dituju sudah dapat dipastikan terwujud dan maksud dari kulliyah adalah kemaslahatan yang mencakup kepentingan umat Islam.
 Dari pemaparan diatas dapat dikerucutkan lagi bahwa dalam menyikapi maslahah mursalah para ulama' terbagi menjadi dua kubu yang mencegah dan memperbolehkan berhujjah dengan maslahah mursalah. Wahbah mengatakan, mereka yang melarang berhujjah dengan maslahah murslalah ialah ulama' Dhahiriyah, Syi'ah, Syafi'iyah, dan Ibnu Hajib dari kalangan Malikiyah. Yang membolehkan berhujjah dengan maslahah mursalah ialah mereka dari golongan Malikiyah dan Hanabilah. Adapun para ulama' Hanafiyah sebagaimana dikatakan oleh al-Amudi bahwa dalam menyikapi hal itu mereka sejalan dengan ulama' Syafi'iyah yang menolak penggunaan maslahah mursalah. Namun wahbah mengatakan bahwa Hanafiyah menggunakan maslahah mursalah dengan jalan istihsan sebagai metode yang digunakan Abu Hanifah. Kebanyakan dalam menggunakan istihsan yang mereka (hanafiyah) terapkan ialah didasarkan pada maslahah mursalah.[16] Natijah dalam pembahasan sub bab ini adalah bahwa mayoritas ulama’ mengakui maslahah mursalah sebagai hujjah atau salah satu dalil syara’.

E.         Argumentasi Penentang dan Pendukung Legalitas Maslahah Mursalah
Banyak argumen dari masing-masing kubu dalam mengomentari keabsahan maslahah mursalah. Berikut adalah dalil-dalil dari kedua belah pihak yang menentang dan yang menetapkan legalitas maslahah mursalah sebagaimana yang dipaparkan oelh Wahbah.[17]

1.      Adillah al-Nufah (Dalil-Dalil Penentang Maslahah Mursalah)
a.      Penggunaan maslahah mursalah bisa mengurangi kesakralan hukum-hukum syara’, karena dalam penggunaannya sering ditumpangi kepentingan pribadi, hawa nafsu dan mencari kesenangan semata. Menurut Ibnu Hazm, menggunakan maslahah mursalah yang termasuk bagian dari pemuasan diri dengan bersenang-senang dan menuruti keinginan adalah sesuatu yang batal.
Pendapat ini disanggah oleh Wahbah al-Zuhaili bahwa tidak benar penggunaan maslahah mursalah dikatakan sebagai penurutan hawa nafsu. Karena dalam penerapan metode ini harus memenuhi beberapa syarat yang diantaranya adalah adanya kesesuaian maslahah dengan maqashid al-syar’i.
b.      Maslahah mursalah berada dalam dua posisi, yakni posisi penolakan syara’ terhadap sebagian maslahah dan pengukuhan syara’ terhadap sebagian maslahah yang lain. Apabila maslahah mursalah adalah suatu keharusan karena adanya kesamaan dengan maslahah yang mu’tabar (diakui oleh syara’) dalam segi kemaslahatan maka sudah semestinya maslahah mursalah diabaikan karena adanya kesamaan dengan maslahah al-mulgha dilihat dari segi tidak adanya pengukuhan dari syara’. Alasan ihtimal dua hal inilah (kemungkinan maslahah mursalah sebagai maslahah mu’tabar disatu sisi dan maslahah mulgha disisi yang lain) yang menjadikan tidak diperbolehkan menggunakan maslahah mursalah. Karena tidak adanya pertarjihan antara dua hal tersebut maka tidak sah menjadikan maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum syariat. Al-Amudi berkata: maslahah mursalah berada dalam dua posisi antara maslahah mu’tabar dan mulgha. Mengarahkan pada salah satu sisi tersebut tidaklah lebih baik, oleh karenanya maslahah mursalah tidak bisa dijadikan hujjah tanpa adanya pengakuan dari syara’ apakah termasuk maslahah yang mu’tabar atau maslahah yang mulgha.”
Tanggapan terhadap alasan ini ialah bahwa adanya maslahah lebih kuat (rajih) dari unsur mafsadah menjadikan pengakuan legalitas maslahah itu lebih kuat daripada mengabaikannya. Syâri’  pun menjadikan maslahah sebagai prinsip dasar dalam pensyariatan hukum. Selain itu, maslahah yang di abaikan oleh syara’ (maslahah mulgha) jumlahnya relatif sedikit dibandingkan maslahah yang diakui dan dikukuhkan syara’. Maka dari itu, penyamaan (ilhaq) suatu hukum ialah pada hal-hal yang umum dan sering terjadi.
c.       Penggunaan maslahah mursalah akan menyebabkan rusaknya kesatuan dan keumuman syariat. karena, berbedanya hukum disebabkan berbeda-bedanya tempat, kondisi dan pelaku dengan melihat bergantinya maslahah dari waktu ke waktu.
Argumen ini pun tak luput dari sanggahan para pengguna maslahah mursalah. Mereka menanggapi dengan mengatakan bahwa penggunaan maslahah mursalah yaitu ketika tidak terdapat nash yang mengukuhkan keberadaannya atau yang menolaknya. Oleh karena itu, penerapan maslahah mursalah tidaklah menafikan (meniadakan) prinsip kesatuan dan universalitas syariat bahkan sebaliknya dengan menggunakan maslahah mursalah syara’ akan menjadi relevan dalam setiap tempat dan zaman.

2.      Adillah al-Mutsbitun (Dalil-dalil Pendukung Legalitas Maslahah Mursalah)
Para ulama’ yang berpendapat akan kebolehan berhujjah menggunakan maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut ini:
a.      Berdasarkan istiqra’ atau penelitian dihasilkan bahwasanya dalam hukum-hukum syara’ terdapat kemaslahatan bagi manusia. Dari asumsi ini timbullah zdan (dugaan kuat) akan pengukuhan maslahah sebagai ta’lil al-ahkam. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa beramal dengan dugaan yang kuat adalah sebuah kewajiban. Adapun dalil nash yang dijadikan pengukuhan maslahah adalah firman Allah QS. Al-Anbiya’ (21); 107,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Konsekuensi dari rahmat adalah wujudnya kemaslahatan. Allah berfirman pula dalam QS. Al-Baqarah (2); 185 ,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ  
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Ia tidak menghendaki kesukaran bagi kalian…”
tersebut pula dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Majah, bahwa nabi berkata:
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak ada perbuatan yang membahayakan diri sendiri dan tidak pula orang lain.”
b.      Perkembangan zaman yang semakin pesat dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup pun mengalami perubahan pula. Seiring dengan berubahnya kemaslahatan manusia, apabila harus terpaku pada hukum-hukum yang telah ditetapkan syara’ maka akan banyak kemaslahatan manusia yang terabaikan, kejumudan, stagnasi dan terkesan syariat Islam tidak relevan dengan perkembangan zaman.
c.       Para sahabat dan generasi setelahnya berijtihad dan berfatwa pada beberapa kasus dengan didasarkan pada maslahah tanpa terikat ketentuan-ketentuan kaidah Qiyas yakni tanpa adanya pengukuhan dari nash atas maslahah itu sendiri. Hal demikian berjalan tanpa adanya penolakan dan pengingkaran. Fakta ini menimbulkan sebuah dugaan bahwa telah terjadi Ijma’ akan keabsahan penggunaan maslahah mursalah sebagai metode penggalian hukum. Adapun Ijma’ adalah sebuah hujjah yang wajib untuk mengamalkannya. Contoh kebijakan sahabat yang didasarkan pada maslahah mursalah adalah upaya kodifikasi al-Quran atas saran Umar pada khalifah Abu Bakr yang kemudian diteruskan oleh khalifah sesudahnya.

F.         Syarat-Syarat Beramal Dengan Maslahah Mursalah
Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah menentukan tiga syarat dalam beramal menggunakan maslahah mursalah.
1.      Maslahah harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’ , yang berarti maslahah tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Demikian pula maslahah tidak boleh bertentangan dengan nash atau dalil-dalil yang pasti (qath’iyah).
2.      Kemaslahatan harus bisa diterima oleh akal (rasional). Maksudnya, maslahah atau sifat-sifat yang munasib tersebut dapat dirasionalisasikan dan dapat diterima oleh akal.
3.      Cakupan maslahah haruslah bersifat universal, mencakup khalayak umum bukan individual atau sekelompok tertentu. Karena hukum-hukum syara’ berlaku pada semua manusia.[18]
 Wahbah al-Zuhaili pada akhir pembahasan ini (syarat-syarat beramal dengan maslahah mursalah) mengatakan bahwa ketentuan beramal dengan syarat-syarat maslahah mursalah yakni apabila perbuatan atau amal tersebut berupa maslahah yang nyata (haqiqatan) bukan sekedar dugaan (wahmiyah) sekira dapat mewujudkan kemslahatan dan menolak madharat, dan tidak pula ketika beramal dengan maslahah tersebut bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan berdasarkan nash atau Ijma’. Ketentuan yang terakhir menurut Wahbah ialah bahwa cakupan maslahah bersifat umum, yakni dapat mewujudkan manfaat bagi banyak orang.[19]

AL-MARAJI’

Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, tt., Dhawabith al-Maslahah fiy Syari’ah al-Islamiyah, Damsiq: Syiria

Al-Zuhaili, Wahbah, 2008, Ushul Fiqh al-Islamiy, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr

Hasan, Khalid Ramadhan, 1998, Mu’jam Ushul al-fiqh, Mesir: al-Raudhoh

Khallaf, Abdul Wahhab, tt., ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Arab Saudi: Dar al-Ilm

Pulungan, J. Suyuthi, 2002, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada

Zahrah, Muhammad Abu, tt., Ushul Fiqh, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr






[1] Makalah disusun dan diajukan guna memenuhi tugas akhir mata kuliah : Filsafat Hukum Islam Dosen pengampuh: Drs. Mufarichin, SH. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An-Nawawi Program Studi Syariah Muamalah  Purworejo 2011
                [2] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2002) hlm. 36
[3] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Arab Saudi: Dar al-Ilm, tt.) hlm. 197
[4] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2008), juz II hlm. 33
[5] Lihat pula: Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, tt.) hlm. 278
[6] Wahbah al-Zuhailiy, Op., Cit., juz II, hlm. 33-35
[7] Ibid., juz II, hlm. 35-36
[8] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fiy Syari’ah al-Islamiyah, (Damsiq: Syiria, tt.) hlm. 23
[9] Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul al-fiqh, (Mesir: al-Raudhoh, 1998), hlm. 270
[10] Wahbah al-Zuhailiy, op., cit.,  juz II, hlm. 37
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Khalid Ramadhan Hasan, Op., Cit. hlm. 268
[14] Wahbah al-Zuhailiy, Op., Cit., juz II, hlm. 37
[15] Ibid.,  juz II, hlm. 38-39
[16] Ibid.,  juz II, hlm. 41
[17] Lebih lengkapnya, lihat Wahbah, Ibid., juz II, hlm. 41-44
[18] Ibid., juz II, hlm. 77-78
[19] Wahbah al-Zuhailiy, juz II, hlm. 78

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...