AL-TAMHID
1.
Pengertian Ushul al-Fiqh
Para ushuliyin (ahli ushul) dalam mendefinisikan
ushul fiqh kembali pada dua i’tibar. I’tibar yang pertama dilihat
dari segi susunannya (idhafah) dan i’tibar yang kedua dilihat
dari segi disiplin kelimuan (al-‘ilmiyah).
Dari sudut pandang pertama yakni idhafah, ushul
fiqh terdiri dari susunan idhafiy yang membutuhkan adanya spesifikasi
definisi pada tiap kata yang ada. Yakni definisi dari kata ushul dan
definisi dari kata fiqh.
Adapun dari sudut pandang kedua (disiplin ilmu), ushul
fiqh merupakan pindahan atau mengambil dari makna idhafiy-nya yang
kemudian dijadikan nama pada displin ilmu tertentu tanpa melihat terhadap
bagian-bagian yang ada di dalamnya (yakni; ushul dan fiqh). Oleh
karena itu yang dibutuhkan adalah definisi mufrad-nya saja (yakni
pengertian ushul fiqh tanpa mendefinisikan ushul dengan
tersendiri dan fiqh juga tersendiri).
A.
Ilmu Ushul al-Fiqh dari Sudut Pandang Idhafah
Mabhats lafzd al-‘ilm
Kata ilmu dimaksudkan pada
tiga makna sebagai berikut:
2)
Idrak al-masail (menemukan masalah). Yang dimaksud dari bagian yang kedua
ini adalah mengetahui hukum dari masalah-masalah berdasarkan pada dasar yang
pasti dan tidak tergoyahkan.
Kriteria yang kedua ini merupakan ketentuan yang harus
ada dalam bidang akidah. Sedangkan dalam hukum-hukum fiqh tidaklah disyaratkan
adanya ilmu. Akan tetapi dianggap cukup dengan adanya dugaan yang kuat (ghalabah
al-zdan).[2]
3)
Al-Malakah. Yakni masalah yang sudah merupakan sebuah hasil
keputusan dari orang yang mempelajari dan menekuni masalah.
Maksud masalah yang disebut terakhir adalah masalah dalam
pengertian awal. Karena masalah merupakan objek pembelajaran atau kajian dan
apa yang dimaksud secara ‘urfiy (kebiasaannya).[3]
Misalkan permasalahan dalam ilmu nahwu bahwa mubtada’ dibaca rafa’,
hal dibaca nashab.
Adapun ilmu fiqh adalah kumpulan hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah. Hal demikian karena hasil dari kajian masalah-masalah
yang ada akan menghasilkan kumpulan-kumpulan hukum syar’i yang aplikatif (amaliyah).
Mabhats lafzd al-ushul
Kata ushul adalah
bentuk jama’ dari kata ashl (asal) yang secara bahasa berarti sesuatu
yang dijadikan sandaran bangunan yang lainnya baik secara kasat mata (dapat
diindera) maupun maknawiy.
Kata ushul menurut
istilah dimutlakkan pada salah satu dari 5 makna berikut ini:
1)
Ashl bi makna al-dalil (Asal yang dimaknai dengan dalil)
Definisi ini merupakan definisi yang ditawarkan oleh
pakar fiqh sebagaimana dikatakan bahwa asal dalam kewajiban shalat adalah
firman Allah ta’ala “wa aqimu al-shalah...” QS. al-Baqarah (2); 43. Jadi
asal dari masalah ini adalah Kitab dan Sunah yang berarti bahwa dalil dari
masalah tersebut adalah al-Kitab dan al-Sunah. Dari pengertian in,i termasuk
didalamnya adalah ushul fiqh yang berarti dalil-dalil dari fiqh.
2)
Al-qa’idah al-kulliyah (kaidah yang global)
Contoh dari kaidah kulliyah adalah “buniya
al-islam ‘ala khamsah ushul” dan “la dharar wa la dhirar” yang
merupakan ashl dari ushul al-syari’ah (dasar-dasar syariat).
3)
Al-Rajhan
Contoh dari pengertian ushul yang ke tiga ini
adalah ucapan ulama’ “al-ashl fiy al-kalam al-haqiqah” (asal dari sebuah
perkataan adalah makna hakikat). Yang dimaksud disini adalah bahwa sesuatu yang
kuat, unggul (rajih) bagi sipendengar adalah makna hakikat atau makna
asli bukan makna majaz.[4]
4)
Al-Shurah al-muqayyas ‘alaiha (gambaran yang dijadikan persamaan)
Contoh dari makna ushul yang ke empat ini adalah
ucapan ulama’ bahwa khamr adalah asal bagi nabizd. Jadi nabizd
merupakan cabang dalam perseimbangan asalnya yang berupa khamr.
5)
Al-Mustashhab
Dikatakan, bagi orang yang yakin bahwa dirinya dalam
keadaan suci, kemudian ragu di dalam hadats, maka pada dasarnya orang tersebut
dalam keadaan suci. Jadi, orang tersebut meneruskan hukum suci sampai datangnya
perkara yang merusak kesuciannya. dalam sebuah kaidah disebutkan “al-yaqin
la yazul bi al-sakk”[5].
Dalam pembahasan ini,
makna yang dimaksud dari kata ashl adalah makna yang pertama yakni al-dalil.
Jadi ushul fiqh merupakan dalil-dalil fiqh seperti al-Kitab, al-Sunah,Ijma’
dan Qiyas.
Sebagian ulama’ ushul juga
berpendapat bahwa kata ashl juga digunakan dalam pembahasan ini dengan
makna bahasa (ma buniya ‘alaih ghairuh_sesuatu yang dijadikan sandaran
bangunan atas yang lainnya).
Hal ini dikarenakan bahwa
berpindah dari makna lughawiy (bahasa) kepada makna ishthilahiy (syara’)
adalah suatu hal yang bertentangan dengan asal (khilaf al-ashl) dan juga
tidak adanya kemadharatan kalaupun tidak berpindah dari makna lughawiy
ke makna ishthilahiy. Karena penyandaran bangunan akal itu sebagaimana
penyandaran bangunan hukum kepada dalilnya yang semua bangunan atau yang
disandarkan masuk didalamnya dimana mencakup semua bangunan yang dapat di
indera seperti tembok di atas pondasinya atau bangunan akal seperti membangun
atau menyandarkan hukum pada dalilnya. Kemudian apabila kata ashl disandarkan
pada kata fiqh, hal itu berarti menggunakan makna ‘aql (akal) yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud disini adalah bangunan akal bukan bangunan hissiy
(dapat di indera).
Menurut Wahbah
al-Zuhailiy, penggunaan kata ashl dengan arti dalil merupakan penisbatan
terhadap idhafah kata ashl kepada kata fiqh. Dimana hal
tersebut lebih menunjukkan maksud dan lebih menjelaskan apa yang dikehendaki.
Apa itu dalil?
Dalil secara bahasa adalah
sesuatu yang menunjukkan, yang menuntun (al-mursyid). Menurut istilah
pakar ushul fiqh, dalil adalah sesuatu yang menyampaikan pada tujuan (mathlub
khabariy)[6]
dengan adanya pandangan yang benar atau pengayaan pandangan. Seperti alam,
bahwasanya memungkinkan untuk sampai dengan adanya pandangan terhadap hal ihwal
alam dari ke-hudutsan dan perubahannya pada mathlub khabariy yang
berupa pembenaran bahwa sesungguhnya alam itu membutuhkan terhadap pembuat (muhdits).
Maka dikatakan bahwa alam itu hadits (baru), setiap hal yang baru
tentunya harus (membutuhkan) adanya muhdits (yang membuat baru). Mathlub
khabari-nya adalah alam harus ada muhdits-nya.
Contoh lainnya adalah
firman Allah ta’ala “wa aqimu al-shalah...” QS. al-Baqarah (2); 43,
bahwasanya memungkinkan untuk sampai pada mathlub khabariy. Misalnya
dengan adanya pandangan terhadapnya, bahwa ayat tersebut berupa perintah.
Adapun mathlub khabariy-nya adalah pembenaran (al-tashdiq)
bahwa sesungguhnya ayat tersebut berfaidah perintah akan kewajiban shalat
dengan mengatakan bahwa “wa aqimu al-shalah...” adalah perintah untuk
mendirikan shalat yang mana perintah tersebut berfaidah akan kewajiban shalat.
Masing-masing dari kedua
contoh yang telah dipaparkan berupa alam dan wa aqimu al-shalah adalah
dalil menurut pakar ushul fiqh yang maksudnya adalah bahwa dalil menurut mereka
adalah sesuatu yang mufrad yakni berupa hukum syara’. Sedangkan menurut Munathiqah
(ahli manthiq) dalil haruslah sesuatu yang murakkab (tersusun).
Seperti dicontohkan “alam ini hadits (baru), dan setiap hal yang
sifatnya hadits pasti ada yang membuatnya”.[7]
Penunjukan dalil (al-ushuliy) atas hukum ada
kalanya bersifat pasti (qath’iyah). Seperti penunjukan alam akan
wujudnya sang pencipta (Allah azza wa jalla) dan juga bersifat zdanniyah
(persangkaan kuat). Seperti “aqimu al-shalah...” yang menunjukkan
kewajiban shalat.
Bersambung.........
[1] Masalah yang ada di dalam ilmu atau pembahasan dan diskusi merupakan ilmu.
Jadi masalah juga merupakan bagian dari ilmu.
[2] Contoh ghalabah al-zdan adalah istiqra’nya al-Syafi’i
tentang haidh yang akhirnya karena adanya ghalabah al-zdan dari
penelitian yang beliau lakukan disimpulkan adanya batas minimal, maksimal dan
keumuman haidh.
[3] Contohnya dalam skripsi. Pertama harus adanya masalah kemudian harus ada
cara penyelesain masalah tersebut.
[4] Semisal kata dharaba yang memiliki makna hakikat (yakni memukul) dan
memiliki makna majaz. Maka dari itu, dalam memaknai teks-teks sumber hukum
(al-kitab dan al-sunah) langkah pertama adalah memberi makna dengan makna
hakikatnya.
[6] Mathlub adalah sesuatu yang diinginkan atau dituju. Khabariy
yakni sesuatu yang khabarkan seperti barunya alam dan kewajiban shalat.
[7] Hal ini berbeda dengan ulama’ ushul fiqh, dimana mereka mencukupkan dengan mufrad
berupa “alam” yang dianggap sudah berupa dalil bahwa Allah itu ada.