Kamis, 03 November 2011

AL-TAMHID (terjemah kitab ushul fiqh al-islamiy Wahbah al-Zuhailiy) By; Kabul Khan

AL-TAMHID
 
1.      Pengertian Ushul al-Fiqh
Para ushuliyin (ahli ushul) dalam mendefinisikan ushul fiqh kembali pada dua i’tibar. I’tibar yang pertama dilihat dari segi susunannya (idhafah) dan i’tibar yang kedua dilihat dari segi disiplin kelimuan (al-‘ilmiyah).
Dari sudut pandang pertama yakni idhafah, ushul fiqh terdiri dari susunan idhafiy yang membutuhkan adanya spesifikasi definisi pada tiap kata yang ada. Yakni definisi dari kata ushul dan definisi dari kata fiqh.
Adapun dari sudut pandang kedua (disiplin ilmu), ushul fiqh merupakan pindahan atau mengambil dari makna idhafiy-nya yang kemudian dijadikan nama pada displin ilmu tertentu tanpa melihat terhadap bagian-bagian yang ada di dalamnya (yakni; ushul dan fiqh). Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah definisi mufrad-nya saja (yakni pengertian ushul fiqh tanpa mendefinisikan ushul dengan tersendiri dan fiqh juga tersendiri). 
A.     Ilmu Ushul al-Fiqh dari Sudut Pandang Idhafah
Mabhats lafzd al-‘ilm
Kata ilmu dimaksudkan pada tiga makna sebagai berikut:
1)      Al-Masail. Yakni masalah-masalah atau ketentuan-ketentuan yang dibahas di dalam ilmu.[1]
2)   Idrak al-masail (menemukan masalah). Yang dimaksud dari bagian yang kedua ini adalah mengetahui hukum dari masalah-masalah berdasarkan pada dasar yang pasti dan tidak tergoyahkan.
Kriteria yang kedua ini merupakan ketentuan yang harus ada dalam bidang akidah. Sedangkan dalam hukum-hukum fiqh tidaklah disyaratkan adanya ilmu. Akan tetapi dianggap cukup dengan adanya dugaan yang kuat (ghalabah al-zdan).[2]
3)      Al-Malakah. Yakni masalah yang sudah merupakan sebuah hasil keputusan  dari  orang yang mempelajari dan menekuni masalah.
Maksud masalah yang disebut terakhir adalah masalah dalam pengertian awal. Karena masalah merupakan objek pembelajaran atau kajian dan apa yang dimaksud secara ‘urfiy (kebiasaannya).[3] Misalkan permasalahan dalam ilmu nahwu bahwa mubtada’ dibaca rafa’, hal dibaca nashab.
Adapun ilmu fiqh adalah kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Hal demikian karena hasil dari kajian masalah-masalah yang ada akan menghasilkan kumpulan-kumpulan hukum syar’i yang aplikatif (amaliyah).

Mabhats lafzd al-ushul
Kata ushul adalah bentuk jama’ dari kata ashl (asal) yang secara bahasa berarti sesuatu yang dijadikan sandaran bangunan yang lainnya baik secara kasat mata (dapat diindera) maupun maknawiy.
Kata ushul menurut istilah dimutlakkan pada salah satu dari 5 makna berikut ini:
1)      Ashl bi makna al-dalil (Asal yang dimaknai dengan dalil)
Definisi ini merupakan definisi yang ditawarkan oleh pakar fiqh sebagaimana dikatakan bahwa asal dalam kewajiban shalat adalah firman Allah ta’ala “wa aqimu al-shalah...” QS. al-Baqarah (2); 43. Jadi asal dari masalah ini adalah Kitab dan Sunah yang berarti bahwa dalil dari masalah tersebut adalah al-Kitab dan al-Sunah. Dari pengertian in,i termasuk didalamnya adalah ushul fiqh yang berarti dalil-dalil dari fiqh.
2)      Al-qa’idah al-kulliyah (kaidah yang global)
Contoh dari kaidah kulliyah adalah “buniya al-islam ‘ala khamsah ushul” dan “la dharar wa la dhirar” yang merupakan ashl dari ushul al-syari’ah (dasar-dasar syariat).
3)      Al-Rajhan
Contoh dari pengertian ushul yang ke tiga ini adalah ucapan ulama’ “al-ashl fiy al-kalam al-haqiqah” (asal dari sebuah perkataan adalah makna hakikat). Yang dimaksud disini adalah bahwa sesuatu yang kuat, unggul (rajih) bagi sipendengar adalah makna hakikat atau makna asli bukan makna majaz.[4]
4)      Al-Shurah al-muqayyas ‘alaiha (gambaran yang dijadikan persamaan)
Contoh dari makna ushul yang ke empat ini adalah ucapan ulama’ bahwa khamr adalah asal bagi nabizd. Jadi nabizd merupakan cabang dalam perseimbangan asalnya yang berupa khamr.
5)      Al-Mustashhab
Dikatakan, bagi orang yang yakin bahwa dirinya dalam keadaan suci, kemudian ragu di dalam hadats, maka pada dasarnya orang tersebut dalam keadaan suci. Jadi, orang tersebut meneruskan hukum suci sampai datangnya perkara yang merusak kesuciannya. dalam sebuah kaidah disebutkan “al-yaqin la yazul bi al-sakk[5].
Dalam pembahasan ini, makna yang dimaksud dari kata ashl adalah makna yang pertama yakni al-dalil. Jadi ushul fiqh merupakan dalil-dalil fiqh seperti al-Kitab, al-Sunah,Ijma’ dan Qiyas.
Sebagian ulama’ ushul juga berpendapat bahwa kata ashl juga digunakan dalam pembahasan ini dengan makna bahasa (ma buniya ‘alaih ghairuh_sesuatu yang dijadikan sandaran bangunan atas yang lainnya).
Hal ini dikarenakan bahwa berpindah dari makna lughawiy (bahasa) kepada makna ishthilahiy (syara’) adalah suatu hal yang bertentangan dengan asal (khilaf al-ashl) dan juga tidak adanya kemadharatan kalaupun tidak berpindah dari makna lughawiy ke makna ishthilahiy. Karena penyandaran bangunan akal itu sebagaimana penyandaran bangunan hukum kepada dalilnya yang semua bangunan atau yang disandarkan masuk didalamnya dimana mencakup semua bangunan yang dapat di indera seperti tembok di atas pondasinya atau bangunan akal seperti membangun atau menyandarkan hukum pada dalilnya. Kemudian apabila kata ashl disandarkan pada kata fiqh, hal itu berarti menggunakan makna ‘aql (akal) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud disini adalah bangunan akal bukan bangunan hissiy (dapat di indera).
Menurut Wahbah al-Zuhailiy, penggunaan kata ashl dengan arti dalil merupakan penisbatan terhadap idhafah kata ashl kepada kata fiqh. Dimana hal tersebut lebih menunjukkan maksud dan lebih menjelaskan apa yang dikehendaki.

Apa itu dalil?
Dalil secara bahasa adalah sesuatu yang menunjukkan, yang menuntun (al-mursyid). Menurut istilah pakar ushul fiqh, dalil adalah sesuatu yang menyampaikan pada tujuan (mathlub khabariy)[6] dengan adanya pandangan yang benar atau pengayaan pandangan. Seperti alam, bahwasanya memungkinkan untuk sampai dengan adanya pandangan terhadap hal ihwal alam dari ke-hudutsan dan perubahannya pada mathlub khabariy yang berupa pembenaran bahwa sesungguhnya alam itu membutuhkan terhadap pembuat (muhdits). Maka dikatakan bahwa alam itu hadits (baru), setiap hal yang baru tentunya harus (membutuhkan) adanya muhdits (yang membuat baru). Mathlub khabari-nya adalah alam harus ada muhdits-nya.
Contoh lainnya adalah firman Allah ta’ala “wa aqimu al-shalah...” QS. al-Baqarah (2); 43, bahwasanya memungkinkan untuk sampai pada mathlub khabariy. Misalnya dengan adanya pandangan terhadapnya, bahwa ayat tersebut berupa perintah. Adapun mathlub khabariy-nya adalah pembenaran (al-tashdiq) bahwa sesungguhnya ayat tersebut berfaidah perintah akan kewajiban shalat dengan mengatakan bahwa “wa aqimu al-shalah...” adalah perintah untuk mendirikan shalat yang mana perintah tersebut berfaidah akan kewajiban shalat.
Masing-masing dari kedua contoh yang telah dipaparkan berupa alam dan wa aqimu al-shalah adalah dalil menurut pakar ushul fiqh yang maksudnya adalah bahwa dalil menurut mereka adalah sesuatu yang mufrad yakni berupa hukum syara’. Sedangkan menurut Munathiqah (ahli manthiq) dalil haruslah sesuatu yang murakkab (tersusun). Seperti dicontohkan “alam ini hadits (baru), dan setiap hal yang sifatnya hadits pasti ada yang membuatnya”.[7]      
Penunjukan  dalil (al-ushuliy) atas hukum ada kalanya bersifat pasti (qath’iyah). Seperti penunjukan alam akan wujudnya sang pencipta (Allah azza wa jalla) dan juga bersifat zdanniyah (persangkaan kuat). Seperti “aqimu al-shalah...” yang menunjukkan kewajiban shalat.  

Bersambung.........



[1] Masalah yang ada di dalam ilmu atau pembahasan dan diskusi merupakan ilmu. Jadi masalah juga merupakan bagian dari ilmu.
[2] Contoh ghalabah al-zdan adalah istiqra’nya al-Syafi’i tentang haidh yang akhirnya karena adanya ghalabah al-zdan dari penelitian yang beliau lakukan disimpulkan adanya batas minimal, maksimal dan keumuman haidh.
[3] Contohnya dalam skripsi. Pertama harus adanya masalah kemudian harus ada cara penyelesain masalah tersebut.
[4] Semisal kata dharaba yang memiliki makna hakikat (yakni memukul) dan memiliki makna majaz. Maka dari itu, dalam memaknai teks-teks sumber hukum (al-kitab dan al-sunah) langkah pertama adalah memberi makna dengan makna hakikatnya.
[5] Artinya: keyakinan tidak bisa hilang karena adanya keraguan.
[6] Mathlub adalah sesuatu yang diinginkan atau dituju. Khabariy yakni sesuatu yang khabarkan seperti barunya alam dan kewajiban shalat.
[7] Hal ini berbeda dengan ulama’ ushul fiqh, dimana mereka mencukupkan dengan mufrad berupa “alam” yang dianggap sudah berupa dalil bahwa Allah itu ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...