Minggu, 28 Februari 2010

PARADIGMA SIYÂSAH ISLAM

MAKALAH

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqh Siyâsah
Dosen pengampuh : Hartono, S.H.I.
Oleh:
Sukabul
Program Studi Syariah Muamalah
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An-Nawawi
Purworejo
2009




PARADIGMA SIYÂSAH ISLAM

A. Latar Belakang
Setiap fan keilmuan pasti mempunyai objek kajian dan seperangkat metode yang digunakan untuk mempelajarinya. Dalam rangka memahaminya, sudah barang tentu tidak terlepas untuk mengetahui, diantaranya: apa objeknya, luas lapangan bahasannya dan metode-metode yang digunakan untuk menyelami samudra keilmuan suatu fan yang sangat kompleks.
Diantara sekian banyaknya fan ilmu yang ada, pada kesempatan ini, kita akan dihadapkan dengan suatu disiplin ilmu yang akrab disebut fiqh al-siyâsah, sekalipun merupakan bagian dari ilmu fiqh, ia merupakan suatu disiplin ilmu yang otonom. Ilmu ini mengkhususkan diri pada bidang mualamah dengan spesialisasi tata pengaturan negara dan pemerintahan.
Setidaknya dari ulasan diatas, timbullah pertanyaan yang urgen untuk kita ketahui, diantaranya: apa saja objek yang tercakup dalam ilmu ini?, metode apa yang digunakan untuk menerapkan fiqh al-siyâsah?, bagaimana aplikasi fiqh al-siyâsah pada masa-masa awal Islam?, dan apa yang menjadi pijakan fan tersebut?

B. Ta'rîf Fiqh al-Siyâsah
Al-Fiqh dalam lughot al-'arôbiyah ber-sinonim dengan al-fahm yang berarti faham. Sering orang arab berkata " فقهت كلامك " yang berarti " فهمته ". Sedangkan dalam terminologi syar'iy, lafadz fiqh berarti mengetahui hukum-hukum syari'at yang diperoleh dengan jalan ijtihad.
Adapun lafadz al-siyâsah adalah bentuk masdar yang berasal dari kata-kerja lampau "ساس " yang berarti mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan. Lafadz siyâsah semakna dengan lafadz tadbîr yang berarti mengatur. Berangkat dari pengertian harfiah ini, Ahmad Fathi Bahatsi sebagaimana yang dikutip oleh Prof. A. Jazuli memberikan ta'rîf istilah siyâsah sebagai:
" تدبير مصالح العباد على وافق الشرع "
" Pengurusan kemaslahatan umat sesuai dengan syara' "
Pada perkembangannya, lafazd siyâsah ini akrab dengan arti politik. Dalam artikel tentang politik Islam disebutkan bahwa politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah.

C. Objek Kajian Fiqh Siyâsah
Dari batasan-batasan ta'rîf mengenai fiqh siyâsah, baik secara bahasa maupun istilah, tampak bahwa kajian fiqh siyâsah terfokus pada aspek pengaturan. Penekanan ini tampak dari penjelasan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan Abdul Wahhab Khallaf yang dikutip oleh Jazuli. Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan:

" Objek kajian siyâsah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan pen-tadbîran-nya, dengan mengingat persesuaian pen-tadbîran itu dengan jiwa syari'ah, yang kita tidak peroleh dalilnya secara khusus dan tidak berlawanan dengan sesuatu nash dari nash-nash yang merupakan syari'ah 'âmmah yang tetap."

Dan Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa Objek kajian atau pembahasan ilmu siyasâh adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya.

D. Metode Mempelajari Fiqh Siyâsah
Penerapan siyasâh tidak boleh bertentangan dengan dalil-dalil yang bersifat kulliy, bernilai universal sekalipun ia terikat dengan zaman dan makân tertentu. Maka dari itu, dibutuhkan metode yang dapat menjawab kasus-kasus yang bersifat kondisional dan situasional dengan tidak me-nafi-kan keterkaitan dalâil al-kulliyah.
Metode-metode yang digunakan dalam mempelajari fiqh siyâsah tidak berbeda dengan metode-metode dalam mempelajari fan fiqh lainnya seperti munâkahât dan mawârits. Dalam kaitan ini digunakan displin ilmu ushûl al-fiqh dan ilmu qowâ'id al-fiqh .
Dalam mempelajari dan memahami, serta kemudian menerapkan siyâsah, tentunya tidak terlepas dari aturan mainnya. Secara umum dalam fiqh siyâsah digunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Al-Qiyâs.
Qiyâs secara etimologi adalah hipotesis, sebagaimana yang sering kita jumpai dalam kitab-kitab atau buku-buku yang membahas ushûl fiqh, kata qiyâs secara bahasa, logis digunakan sebagai ungkapan menyamakan atau mengembalikan sesuatu pada perkara lain yang setara dengannya.
Sedangkan qiyâs secara terminologi adalah menyamakan hukum suatu kasus syara' yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus lain yang sudah ada ketetapan hukumnya dalam nash, dikarenakan adanya persamaan diantara keduanya dalam 'illat (kausa, latio legis) yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum.
Lebih lanjut, Jazuli menjelaskan bahwa qiyâs dalam fiqh siyâsah digunakan untuk mencari 'illat al-hukm, dengan menggunakan metode qiyâs, hukum dari suatu masalah dapat diterapkan dalam masalah lain pada masa dan tempat berbeda jika keduanya mempunyai persamaan dalam 'illat hukumnya.
Berkenaan pengunaan metode ini, berlaku kaidah fiqih:
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
" Hukum itu berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaan’illatnya."

2. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Kata mashlahah berarti kepentingan hidup manusia. Kata mursalah berarti sesuatu yang tidak terdapat nash syari'at yang membatalkan atau menguatkannya. Hujjah al-Islâm Al-Ghozali sebagaimana yang dikutip Wahbah men-ta'rif-kan mashlahah mursalah secara harfiah dengan redaksi yang berbeda. Beliau menjelaskan bahwa mashlahah mursalah pada dasarnya (secara harfiah) berarti menarik kemanfaatan atau menolak kemadharatan. secara terminologis mashlahah mursalah adalah sifat-sifat yang selaras dengan perilaku penetapan syari'at dan tujuan-tujuannya. Akan tetapi tidak terdapat dalil yang spesifik dari syara' yang mengukuhkan atau menolaknya. Dengan proyeksi jalb al-mashâlih wa daf' al-mafâsid 'an al-nâs (menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan).
Mashlahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam istinbâth al-hukm menurut Abdul Wahhab Khallaf -sebagaimana yang dikutip oleh Jazuli dan Suyuthi- harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
- Objek bersifat esensial berdasarkan penelitian, observasi dan melalui analisa dan pembahasan yang mendalam.
- Objek bersifat umum dan bermanfaat bagi umat.
- Objek tidak bertentangan dengan dalil nash dan ijma'.
Banyak produk hukum yang dihasilkan dengan metode ini. Karena pada umumnya nash-nash al-Quran dan al-Sunnah bersifat global, hanya menjelaskan prinsip-prinsip. Maka dari itu, metode ini dapat memberikan kesempatan luas untuk pengembangan hukum dibidang muamalah.

3. 'Urf
Kata 'urf berarti adat istiadat atau kebiasaan. 'Urf merupakan istilah dari apa yang dikenal manusia dan menjadi tadisinya, baik berupa perbuatan ataupun perkataan.
Pembagian 'urf dari segi legalitasnya dihadapan syara', terdapat 'urf shohîh (legal) dan 'urf fasîd (ilegal). 'urf shohîh adalah hal-hal yang telah lazim dikenal manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara'. Sedangkan 'urf fasîd adalah tradisi yang bertentangan dengan syara'.
4. Istihsân
Secara sederhana istihsân dapat diartikan sebagai berpaling dari dalil satu kepada dalil yang lain. Atau dengan kata lain meninggalkan dalil satu ke dalil lainnya yang lebih kuat.

5. Sadd Al-Zdarî'ah dan Fath Al-Zdarî'ah
sadd al-zdarî'ah dan fath al-zdarî'ah merupakan salah satu metode yang digunakan ulama' dalam mempelajari fiqh siyâsah. Mengenai kedua metode ini Jazuli menjelaskan:
"Dalam fiqh siyâsah, sadd al-zdarî'ah digunakan sebagai upaya pengendalian masyarakat untuk menghindari kemafsadatan. Sebaliknya fath al-zdarî'ah digunakan sebagai upaya perekayasaan masyarakat untuk mencapai kemaslahatan. sadd al-zdarî'ah dan fath al-zdarî'ah merupakan alat bukan tujuan."

6. Istishhâb
Istishhâb adalah memberlakukan ketetapan hukum yang berlaku pada masa lampau hingga ada ketentuan dalil yang mengubahnya.

7. Qawâ'id al-Fiqh al-Kulliyat
Kaidah-kaidah fiqih yang bersifat umum sebagai teori ulama' banyak dipakai untuk melihat ketetapan pelaksanaan fiqh siyâsah.
Kaidah-kaidah fiqh yang sering digunakan untuk mempelajari dan mengembangkan siyâsah antara lain:
1.) Kaidah pertama:
تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة والاحوال والعواعد والنيات
"Berubahnya hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan niat."
Dari kaidah diatas, hukum-hukum yang diterapkan dapat sesuai dan relevan dimanapun dan kapanpun.
2.) Kaidah kedua:
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
"Hukum itu berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaan’illatnya."
3.) Kaidah ketiga:
المشقة تجلب التيسر
"Kesulitan akan menarik kepada kemudahan."
Kaidah ini merupakan isi dan pengertian dari beberapa ayat al-Quran, diantaranya:
        ...الاية 

Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah:185)
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, antara lain ialah perkataan Imam al-Syafi'i:
الامر اذا ضاق اتسع
"Sesuatu, ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)."
Dan qaul sebagian ulama:
الاشياء اذا ضاقت اتسع
"Ketika keadaan menjadi sempit maka hukumnya menjadi luas."
Dari kaidah ketiga ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) ataupun sosial (muamalat) dan merambah lagi pada ranah siyasah, akan mendorong diterapkannya keringanan.
4.) Kaidah keempat:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
"Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan."
Redaksi lain kaidah ini adalah "dar al-mafasid aula min jalb al-mashalih." Menolak mafsadah (kerusakan) lebih diprioritaskan daripada mengambil kemaslahatan.
5.) Kaidah kelima:
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
"Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dilakukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan."
Contoh kebijakan-kebijakan yang harus diterapkan oleh para pemimpin untuk merealisasikan mashlahat diantaranya:
- Seorang pemimpin (imam) dilarang membagikan zakat kepada yang berhak (mustahiq) dengan cara membeda-bedakan diantara orang-orang yang tingkat kebutuhannya sama.
- Seorang pemimpin pemerintahan, sebaiknya tidak mengangkat seorang fasiq menjadi imam shalat. Karena walaupun shalat dibelakangnya tetap sah, namun hal ini kurang baik (makruh).
- Seorang pemimpin tidak boleh mendahulukan pembagian harta bait al-mâl kepada seorang yang kurang membutuhkannya dan mengakhirkan mereka yang lebih membutuhkan.
Qowa'id al-fiqh al-kulliyat diatas hanyalah sebagian konsep-konsep yang sering digunakan dalam siyâsah. Tentu saja, masih banyak kaidah-kaidah lainnya yang secara khusus dapat kita pelajari dalam kitab-kitab atau buku-buku yang membahas fan ini.

E. Fiqh Siyâsah al-Syar'iyah Pada Masa Nabi dan Khulafah al-Rasyidin
Sekilas –dengan pertimbangan untuk empirisme kita semua dan bisa kita mengambil i'tibar darinya- pada ulasan ini kami akan memaparkan secara global paradigma-paradigma Siyâsah pada masa Nabi dan Khulafah al-rasyidin.

1. Siyâsah al-Syar'iyah Pada Masa Rasulullah S.A.W.
Fiqh siyâsah al-syar'iyah faktanya telah dilaksanakan oleh Rasulullah saw., hal ini terlihat setelah Nabi hijrah ke Madinah. Pada periode Madinah yang berlangsung 10 tahun ini, umat Islam berkembang dengan pesat. Di Madinah Nabi membentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan sangat gemilang. Kemudian dibuat aturan-aturan yang mengikat antara hubungan umat Islam dengan sesama maupun dengan lainnya.
Hukum-hukum yang mengatur masyarakat pada masa ini baik yang berhubungan dengan pribadi maupun yang mempunyai korelasi dengan masyarakat, antara lain seperti ibadah, muamalah, jihad, jinâyat (tindak pidana) dan waris. Contoh lain yang menyangkut kepentingan umat dalam pelaksanaan fiqh siyâsah ialah adanya Piagam Madinah, kebijakan intern Nabi saw., atas kaum Muhajirin dan kaum Anshar, kebijakan ekstern seperti perjanjian Nabi saw., dengan kaum Yahudi dan beberapa perang defensif yang dipimpin Nabi sendiri untuk mempertahankan negara dan agama.

2. Siyâsah al-Syar'iyah Pada Masa Khulafah al-Rasyidin
Suksesi politik merupakan persoalan siyâsah pertama yang dihadapi oleh para sahabat setelah wafatnya Nabi saw., sebagaimana dimaklumi Rasulullah tidak menunjuk siapa yang akan menggantikannya dan bagaimana mekanisme pergantiannya. Namun dengan solidaritas tinggi yang telah ditanamkan dalam-dalam oleh Nabi pada para sahabatnya, akhirnya ditetapkanlah Abu Bakr sebagai pengganti Nabi berdasarkan musyawarah terbuka diantara sahabat.
Kebijakan-kebijakan sayyidina Abu Bakr sebagai pemimpin umat pada masa itu antara lain ialah kebijakan kepada orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat dan mulai membukukan al-Quran atas saran dari sayyidina Umar bin Khatthab.
Setelah Abu Bakr wafat, kendali pemerintahan dipegang oleh Umar bin Khatthab. Terpilihnya Umar berdasarkan wasiat dari pemimpin sebelumnya. Kebijakan beliau diantaranya, pertama kali menunjuk seorang hakim khusus mengadili perkara-perkara dibidang kekayaan, tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan.
Khalifah ketiga pengganti Umar ialah pemimpin yang dipilih dengan adanya team formatur bentukan Umar yaitu sayyidina Ustman bin Affan. Kebijakan beliau diantaranya adalah penyatuan umat Islam melalui penyalinan al-Quran pada satu mushhaf, yaitu mushhaf Ustmani.
Pada masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib situasi politik sedang bergejolak. Sudah barang tentu hal ini membuat menantu Nabi ini kurang leluasa dalam upaya pen-tadbir-an umat. Seiring dengan berlalunya waktu konflik intern umat Islam semakin bergejolak yang akhirnya terjadi perang Siffin dan perang Jamal. Kebijakan Ali dalam masa kekuasannya yang penuh dilema diantaranya adalah tentang urusan pajak, administrasi peradilan dan angkatan bersenjata.

F. Landasan Dasar Fiqh Siyâsah al-Syar'iyah
Landasan dasar atau prinsip-prinsip dasar fiqh siyâsah al-syar'iyah meliputi tiga aspek, yaitu al-Quran, al-Sunah dan qoul ulama'.

1. Al-Quran al-Karim
a) Kedudukan manusia dimuka bumi. Nilai dasar ini dapat kita jumpai dalam al-Quran, diantaranya firman Allah swt.:
                     •         
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30).
b) Prinsip manusia sebagai umat yang satu. Allah swt., berfirman:
•  • •    • 
Artinya: Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (Q.S. al-Mukminun: 52)
c) Prinsip penegakan hukum dan keadilan. Allah swt., berfirman:
•           ••     •      •     
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. Al-Nisa': 58).
d) Prinsip kepemimpinan. Allah swt., berfirman:
                              
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-nisa': 59).
e) Prinsip bermusyawarah. Allah swt., berfirman:
           
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S. Al-Syura: 38).
f) Prinsip persatuan dan persaudaraan. Allah swt., berfirman:
       •    
Artinya: Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat: 10).
Dan firman Allah swt., yang artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (Q.S. Ali Imran: 103).
g) Prinsip persamaan. Allah swt., diantaranya adalah firman Allah swt., yang artinya:
"Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S. Al-Hujurat: 13).
h) Prinsip hidup bertetangga. Allah swt., berfirman:
                   
Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (Q.S. Al-Nisa':2).
i) Prinsip ta'awun dan menolong yang lemah. Allah swt., berfirman, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (Q.S. Al-Maidah: 2).
Tersebut diatas adalah sebagian nilai atau prinsip dasar siyâsah dalam al-quran. Sebenarnya masih terdapat banyak prinsip-prinsip siyâsah dalam al-quran al-karim. Diantaranya:
- Prinsip perdamaian dan peperangan yang terdapat dalam Q.S. Al-Nisa': 89-90, Q.S. Al-Hujurat: 9.
- Prinsip ekonomi dan perdagangan dalam Q.S. Al-Nisa': 29, Al-Baqarah: 275 dan 198.
- Prinsip amar ma'ruf nahi munkar dalam Q.S. Ali Imran: 110 dan 114.

2. Al-Sunah
Prinsip-prinsip dasar dari sumber hukum pokok kedua dalam Islam ini diantaranya:
a) Keharusan mengangkat pemimpin. Tersebut dalam H.R. Abu Dawud yang kami kutip dari karya Prof. A. Djazuli:
عن أبي هريرة قال النبي صلى الله عليه وسلم: اذا خرج ثلاثة فى السفر فاليؤمروا احدهم. رواه أبو داود
"Dari Abi Hurairah, Nabi saw., bersabda: apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaklah salah seorang dari mereka menjadi pemimpinnya."
b) Pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Rasulullah SAW. bersabda:
كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته فلامام الذى على الناس راع وهو مسؤل عن رعيته...الحديث
"Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan. Setiap imam yang memimpin atas rakyat bertanggung jawab atas rakyatnya..."
c) Keharusan berlaku adil bagi seorang pemimpin.
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال سبعة يظلمهم الله في ظله يوم لا ظل الا ظله: امام عادل...الحديث
"Dari Abi Hurairah, Nabi saw., bersabda: tujuh orang yang dinaungi Allah swt., dibawah naungan-Nya, pada hari qiyamat yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Yang pertama adalah pemimpin yang adil..".

3. Qoul Ulama'
Jumhur ulama' sepakat mengenai keharusan penyelenggaraan siyâsah. Dalam dari pada itu, mereka sepakat dengan keharusan penyelenggaraan siyâsah berdasarkan syara'. Ibn al-Qayyim -sebagaimana dikutip oleh Jazuli- mengatakan:
لا سياسة الا ما وافق الشرع
"Tidaklah dikatakan siyâsah kecuali sesuai dengan syara'."
Pendapat para ulama diantaranya sebagai berikut:
a) Abu Ishak al-Syatibi, dalam pelaksanaan siyâsah yang syar'i mengusulkan teori maqhâsid al-syariah. Bukan hanya itu, pelaksanaan siyâsah syariah menurut beliau juga bertumpuh pada medium-medium maqhasid al-syariah, semisal sadd al-zdarî'ah dan fath al-zdarî'ah.
b) Berangkat dari pemahaman al-dunya mazra'ah al-akhirah (dunia merupakan ladang bagi akhirat), hujjah al-Islam Al-Ghazali mengatakan, bahwasanya agama tidak sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama bersaudara kembar. Lebih lanjut al-Ghazali berpendapat bahwa seorang ahli hukum harus mempunyai pengetahuan tentang siyâsah. oleh karena itu beliau mengatakan fardhu kifayah mempelajari siyâsah.
c) Kontra dengan kesepakatan mayoritas ulama, sebagaimana yang telah kami sebut awal dengan meminjam istilah Ibn al-Qayyim "Tidaklah dikatakan siyâsah kecuali sesuai dengan syara' ", seorang intelektual muslim kontemporer Syaikh DR. Yusuf al-Qaradhawi hadir dengan konsepnya yaitu Fiqh al-waqi’. Contoh fiqh realitas al-Qaradhawi yang berkaitan dengan siyâsah ialah membenarkan sistem demokrasi dan -sistem tersebut- tidak dianggap bertentangan dengan Islam dan membolehkan bergabung dengan pemerintahan yang bukan Islam.
Perhatian ulama' terhadap fiqh siyâsah tidak pernah putus. Banyak kita kenal nama-nama pemerhati siyâsah diantaranya, Jamaludin al-Afghani, Rosyid Ridho, Abu Zahra, dan seorang ulama' dari Palestina -yang sampai sekarang konsepnya masih terus diperjuangkan dengan gigih oleh para syabâb (aktivis) H.T. baik di luar negeri maupun dinegara kita tercinta ini- yaitu al-Syekh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir. Di Indonesia sendiri ada nama seperti Hasbi al-Shiddiqie, Munawir Sazdali dan lain sebagainya.


G. Simpulan
Dalam ulasan kami yang terakhir ini, akan ditarik beberapa konklusi yang urgen dan sedikit kontribusi pemikiran dari penulis.
Objek kajian siyâsah adalah perbuatan para mukallaf sedangkan objek kajian ilmu ini adalah pengaturan dan perundang-undangan yang disesuaikan dengan pokok-pokok agama untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Adapun metode yang digunakan dalam fan ini tidak berbeda dengan metode mempelajari fiqh pada umumnya. Yaitu selain berpijak pada Mashâdîr al-ahkâm al-muttafaq 'alaihâ juga menggunakan metode-metode seperti istihsan, maslahah mursalah dan istishhâb.
Aplikasi siyâsah syariah tampak jelas dimulai pada masa setelah Nabi hijrah ke Madinah al-munawwarah, berlanjut pada pemerintahan khulafah al-rasyidin dan sampai pada masa kini. Dalam perspektif sejarah berbagai kebijakan-kebijakan pemegang kendali pemerintahan mulai masa Nabi dan masa setelahnya (khulafah al-rasyidin) merupakan bentuk artikulasi nilai dasar fiqh siyâsah syariah.
Sejarah telah membuktikan akan ketepatan sistem siyâsah syariah. Sebagai muslim, sudah seharusnya kita menerapkan -setidaknya memperjuangkan- nilai-nilai siyâsah syariah dalam sistem negara kita. Bukan taklid pada sistem kufur produk barat (demokrasi), yang mana kedaulatan berada ditangan rakyat bukan pada Tuhan. Pada dasarnya, wajib atas umat Islam mewujudkan sistem Islam dan haram mengadopsi sistem demokrasi, teokrasi dan lainnya sebagai acuan dalam hal-ihwal penyelenggaraan pengaturan pemerintah. Analogi -dalam arti bahasa dan bukan berarti meninggalkan nash- dari penulis yang dijadikan argumen ialah, bahwa taklid pada imam mazdhab saja tidak boleh apalagi taklid buta pada sistem kufur buatan musuh-musuh Islam. Dalam ushûl fiqh mungkin ini yang disebut dengan qiyas aula. Jika memang demikian adanya, na'ûzdu billah min zdâlik, semoga Allah mengampuni kita. Renungkanlah dimana letak kesalahannya لعلكم تعقلون " " Mari kita tegakkan siyâsah yang syar'iy. Karena Allah sendiri menetapkan syariat semata-mata untuk kemaslahatan umat. Allah akbar...!!!!
BIBLIOGRAFI

Al-Syuyuthi. Jalaluddin 'Abdur Rahman, al-Asybah wa al-Nazdâir, Surabaya: Al-haramain. 2008

Al-Zuhailiy. Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, Beirut, Libanon: Dar al-Fikr, 2005

Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Lirboyo: Purna Siswa Aliyah 2004, 2006

Hakim. Abdul Hamid, al-Sulam, Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, tt.,

Hakim. Abdul Hamid, Mabâdi' Awwaliyah, Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, tt.,

http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam

http://perwiralangit.blog.friendster.com/2007/08/page/2/

Jazuli. A., Fiqh Siyâsah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari'ah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003

Kakilima Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh Telaah kaidah Fiqh konseptual, Surabaya: Khalista, 2006

mtaufiq@rocketmail.com, Program Al-Quran Digital 2003.

Pulungan. J. Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2002

Supriyadi. Dedi, Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2007

Usman. Muchlis, Kaidah-kaidah Ushûliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbâth Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2002
TA'ARUF NAZDR WA TASHDIQ
ILÂ TAUHID AL RUBUBIYAH
Mengenal Menghayati dan Mengimani Tauhid Rububiyah.


MAKALAH

Di susun dan diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen pengampuh : Sahlan, S.Ag, MSI.
Oleh :
Sukabul

PROGRAM STUDI MUAMALAH JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AN-NAWAWI
PURWOREJO
2009


AL-TAMHÎD

Segala puji bagi Allah swt. Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan membawa hidayah dan agama yang haq serta menyerukan kepada umat manusia untuk menegakkan kalimah al-tauhîd agar kita bisa mendapatkan ridho-Nya dengan menjalani hidup ini diatas jalur aqidah yang lurus. Shalawat dan salam Allah atas uswah al-hasanah rasul mulia yang dengannya Allah meluruskan aqidah umat semesta alam. Semoga juga terlimpahkan kepada keluarga beliau, para sahabat sebagai pelita hidayah dan penyeru untuk tidak menyekutukan-Nya.
Islam adalah keyakinan dan amal. Sedang aqidah itu sendiri ialah sentral dan amal merupakan cabang. Dengan kata lain, aqidah adalah biji dan amal adalah buah. Tanpa iman, amal tidak akan diterima. Allah berfirman swt. yang artinya :
" Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun (QS. Al-Nur : 39)"
Iman kepada Allah yang merupakan rukun pertama dalam arkân al-imân fiy al-Islam mengandung kepercayaan terhadap ke-tauhid-an (keesaan) Allah dan bahwasanya Allah berhak untuk disembah, karena wujûd-Nya tidak diragukan lagi bagi orang-orang yang meyakini dan mau menggunakan otak yang telah dikaruniakan oleh sang khâliq rabb 'alamîn. Wujûd-Nya telah ditunjukkan oleh fitrah, akal, syara' dan panca indera. Namun kadang yang terbesit dalam otak kita adalah keraguan akan rububiyah Allah 'azza wa jalla? " dikarenakan jarang merenung dan menghayati akan agungnya zdat pencipta alam semesta dengan cara taffakur 'alam wa ghoiruh. Kiranya tepat -untuk menambah keimanan kita- dalam makalah ini kami memilih judul " Ta'aruf Nazdr wa Tashdiq ilâ Tauhid al Rububiyah " Mengenal Menghayati dan Mengimani Tauhid Rububiyah.


AL-MABÂHÎTS

1. Pengertian Tauhid Rububiyah

Arti dari tauhid rububiyah adalah keyakinan yang kokoh bahwa hanya Allah semata rabb (tuhan) dan pemilik segala sesuatu. Tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia (Allah) zdat maha pencipta, pengatur dan pemegang kendali alam semesta, Dia sang Khâliq, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan. Istilah lain untuk menyebut tauhid ini ialah tauhid khalîqiyah.
Kita beriman bahwa Allah swt. maha esa dalam rububiyah-Nya, dan bahwasanya Dia sang pencipta dan pengatur segala sesuatu bagi semuanya.
Banyak kita jumpai dalam al-Quran ayat-ayat yang menitik beratkan pada dua macam tauhid, yang tidak lain adalah tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah. Berkaitan dengan pembahasan tauhid rububiyah, Allah berfirman :
                •  
Artinya : Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang maha esa. Allah adalah tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlash 1-4)
Masih banyak lagi ayat-ayat yang memberi perhatian lebih pada tauhid rububiyah ini, sebagaimana nanti -insya Allah- akan kami paparkan.

2. Dasar Kewajiban Beriman Kepada Rububiyah Allah

Ayat-ayat al-Quran banyak yang menjelaskan kewajiban beriman kepada Rububiyah Allah swt. Diantaranya Allah berfirman :
                •                  
Artinya : Sesungguhnya tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, tuhan semesta alam. (QS. Al-A'raaf : 54)
    •                
Artinya : Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah : 29)
Tentang tauhid ini, kaum kafir Quraisy tidaklah mengingkarinya. Begitu pula mayoritas pengikut agama-agama. Mereka semua meyakini bahwa pencipta alam semesta hanyalah Allah semata. Tentang mereka Allah tabarraka wa ta'aala berfirman :
  •               
Artinya : Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: " Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: " Allah ". Katakanlah : " Segala puji bagi Allah " ; tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui (QS. Al-Luqman : 25)
  •            
Artinya :Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: " Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS. Al-'ankabut : 61)

3. Dalil Keesaan Allah Dalam Rububiyah

Sesungguhnya semua ciptaan Allah merupakan dalil nyata tentang wujud malik al-'alam dan keesaannya. Berikut secara terperinci akan kami paparkan pembahasan tentang dalil keesaan Allah dalam rububiyah ditinjau dari empat sudut pandang. Berupa dalil naluriah, yang ada dalam makhluk, ijma' umat umat dan akal manusia itu sendiri.

Dalil Naluri
Pertama dalam menyingkap dan men-tashdiq-kan ke-tauhid-an Allah 'azza wa jalla. adalah dalil naluriah atau fitrah. Pengakuan terhadap rububiyah Allah adalah sesuatu yang sifatnya naluriah, hal ini ada pada setiap diri seseorang yang berjiwa baik ataupun pendosa. Pengakuan ini merupakan perasaan yang pasti ada dalam jiwa setiap insan. Tidak seorang pun bisa menolak perasaan ini dan tidak seorang pun bisa mengingkarinya.
Kadang perasaan yang bersifat fitrah ini tertutup oleh berbagai kenikmatan yang dikaruniakan Allah swt., atau karena telah dikuasai oleh kelalaian manusia itu sendiri yang serakah dan terbuai akan mata' al-ghurur (fatamorgana) dunia yang fana' ini. Namun apabila segala nikmat berubah -semisal sehat menjadi sakit, kaya menjadi miskin dan lain sebagainya- niscaya siapapun orang tersebut, baik kafir ataupun mereka yang beriman akan segera tunduk dan kembali mengakui rububiyah sang khaliq rabb al- 'alamin. Allah swt berfirman :
  •                     
Artinya : Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar. (QS. Luqman 32.)
Sesungguhnya manusia -baik yang kafir atau beriman- tidak akan mampu mengingkari kenyataan akan rububiyah Allah sebagai pencipta dan pengatur segala sesuatu yang ada. Pasti dalam hati, mereka meyakini hal tersebut, meskipun lisan-lisan mereka menolak dan mengucapkan kata ingkar terhadapnya karena kesombongan dan kezhaliman mereka sendiri. Dalam mengisahkan tentang kaum fir'aun Allah swt berfirman :
            
Artinya : Dan mereka mengingkarinya Karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (QS. al-Naml : 14)
Dalam ayat lain yang berkaitan dengan tauhid rububiyah ini Allah swt. berfirman :
  •        
Artinya : Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: " Siapakah yang menciptakan langit dan bumi? ", niscaya mereka akan menjawab: " Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui ". (QS. al-Zukhrf : 9)

Dalil Dalil Yang Ada Pada Makhluk
Dalil kedua adalah adanya makhluk-makhluk Allah. Setiap apa yang diciptakan Allah swt. Merupakan bukti hissiy wa al-mundhabith (pasti dan konkrit) bahwa Allah adalah rabb (tuhan) dan pemilik segala sesuatu. Tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia (Allah) zdat maha pencipta, pengatur dan pemegang kendali alam semesta, Dia sang Khaliq, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan.
Ketika kita dihadapkan pada suatu pertanyaan tentang tanda wujud Allah ta'ala, kiranya solusi yang ditawarkan oleh al-syekh Muhammad al-Fadhaliy cukup reprensentatif untuk menjawab pertanyaan sâil (penanya). Beliau dalam hasyiyah kifayah al-'awan mengatakan :
اذا قيل " ما الدليل علي وجوده تعالى " ان يقال له " هذه المخلوقات "
" ketika ditanya ' apa dalil wujudnya Allah ta'ala ' maka katakanlah pada si-penanya ' dalil akan wujudnya Allah yaitu adanya para makhluk ' "
Allah swt. Berfirman :
        
Artinya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS. Al-Thuur : 35)

Ijma' Umat Umat
Diantara dalil adanya sang pencipta adalah kesepakatan semua umat akan hal ini. Tidak ada satupun dari bani Adam yang diketahui mengingkari hakikat ini, kecuali sebagian kecil yang tidak di anggap dalam ijma' umat ini dalam pengingkarannya. Semisal orang-orang atheis yang mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan Allah telah menciptakan manusia tidaklah benar, karena yang benar sesungguhnya manusialah yang telah menciptakan Allah. Dengan kata lain, manusia itu sendirilah yang telah menciptakan pemikiran tentang tuhan.
Dalam setiap sekte, telah menyebutkan masalah faham, kepercayaan, agama dan isme-isme lainnya, tidak didapati satupun aliran yang mengakui adanya sekutu bagi Allah dalam hal penciptaan alam semesta atau yang mempunyai sifat-sifat yang setara dengan-Nya. Kecuali mereka yang menolak tauhid rububiyah secara keseluruan. Allah berfirman :
         …الاية
Artinya : Berkata rasul-rasul mereka: " Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi? … (QS. Ibrahim : 10)
Dalam masalah ini para utusan menyeru kaumnya sebagaimana menyeru orang yang tidak mempunyai keraguan atau tidak pantas terbesit keraguan dalam hatinya. Maka barang siapa meragukan rububiyah Allah berarti ia tidak mempercayai hal lainnya.

Al-Dalâil al-'Aqliyah
Telah kami jelaskan di muka bahwa bukti rububiyah Allah selain naluriah dan ijma' umat juga terdapat dalil berupa tafakkur akan ciptaan-Nya. Bukti bukti yang ada dalam ciptaan Allah ini bertumpuh pada tiga dasar yang akal tidak mungkin untuk menolaknya dan juga bersesuaian dengan al-Quran dan al-Sunnah. Hal ini tidak memberikan cela sedikitpun bagi siapa saja untuk menolaknya. Tiga poin dasar tersebut adalah :
Pertama : Setiap ciptaan pasti ada yang menciptakannya. Allah swt. berfirman :
                 
Artinya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (QS. Al-thur : 35-36)
Akal sehat tidak akan mengingkari adanya pencipta. Aksioma ini menyatakan bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, artinya setiap yang tercipta pasti ada penciptanya.
Para cendekiawan memaksakan adanya Allah dengan cara yang berbeda-beda. Semisal filsuf perancis bernama Descrates yang sampai pada pengenalan Allah melalui caranya tersendiri, yaitu " Al-Anâ ".
Beruntunnya penetapan adanya Allah dari cara " Diri sendiri atau Al-Anâ " tertera dalam beberapa ayat al-Quran. Diantaranya adalah firman Allah swt. berikut ini :
                  • • •    •  •          •              
Artinya : Dia-lah, yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya), (QS. Al-Nahl : 10-12)
Selain Descrates masih terdapat banyak pendapat ilmuwan yang notabene mereka adalah orang-orang kafir. Berikut kami paparkan komentar sebagian dari mereka dalam pembuktian wujud Allah sang pencipta yang kami kutip dari kumpulan risalah al-imam al-syahid Hasan al-Bana dan artikel-artikel lain yang kami dapatkan.
- Issac Newton mengatakan " janganlah kalian meragukan adanya pencipta, karena sesungguhnya sangat tidak masuk akal pendapat yang mengatakan bahwa alam ini ada dengan tiba-tiba sebagai hukum wujudnya alam ini. " Sebelum membicarakan ilmuwan terkenal dari inggris ini, kami temukan sebuah kata-kata yang dikutip oleh Michael H. Hart yang dijadikan pengantar olehnya sebelum membaca biografi, pemikiran, dan temuan Issac Newton. Kata-kata tersebut ialah " Alam dan hukum alam tersembunyi dibalik malam tuhan berkata, Biarlah Newton ada ! dan semuanya akan terang benderang "
- Hertzel, seorang ahli astronomi dari Inggris mengatakan " semakin luas lingkup pengetahuan, akan semakin bertambah argumentasi yang kuat dan pasti akan adanya pencipta azali yang tidak terbatas kekuasan-Nya dan tidak berkesudahan. "
- Stephen Hawking ilmuwan yang patut kita contoh semangatnya. Walaupun kesehariannya berada diatas kursi roda, ia mengembara ke-ujung jagad raya dengan melakukan berbagai eksperimen dan observasi yang membuat ilmuwan lainnya tercengang. Dalam usaha memahami jagad raya ini kesimpulan yang dia dapatkan ialah " sukar memahami jagad raya tanpa menyebut konsep tuhan. "
Pendapat para ahli ilmu alam dalam hal ini banyak, namun yang kami paparkan barangkali sudah bisa dikatakan representatif dalam usaha untuk membuktikan dan mengajak akal anda semua untuk menerima fakta ilmiah ini.
Kedua : Ciptaan merupakan cerminan dari kemampuan penciptanya dan sifat-sifatnya.
Bila kita lihat lampu listrik akan kita ketahui bahwa pembuatnya mempunyai kaca, kabel dan berbagai komponen listrik lainnya serta mempunyai skil untuk merangkai lampu, sehingga menjadi sebuah lampu yang kita lihat dan dia mengerti tentang kelistrikan.
Demikian pula kita bisa mengetahui sifat-sifat dan kemampuan pencipta dari bekas yang ada dihadapan kita. Karenanya dapat dikatakan bahwa ciptaan merupakan cerminan atas kemampuan dan karakter pembuatnya.
Al-Quran mengajak kita untuk ber-tafakkur dan beri-i'tibar tentang alam, langit dan bumi serta segala sesuatu yang diciptakan Allah agar dengannya kita bisa mengetahui berbagai karakter dan sifat zdat sang maha pencipta dan maha bijaksana. Allah al-'aziz al-kabir berfirman :
                                   •                 •          
Artinya : Allah, dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, Maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira. Dan Sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa. Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. dan dia maha kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Rum :48-50)
Peristiwa terjadinya hujan, membasahi bumi ini yang semula gersang kemudian ada kehidupan didalamnya menunjukkan adanya Pencipta dan kebesaran kekuasaan-Nya.
Ketiga : Suatu ciptaan tidak mungkin dilakukan oleh yang tidak mampu menciptakannya.
Akal tidak akan menolak, kemungkinan besar -kalau boleh dikatakan- kita sudah pasti membenarkan pengakuan Decrates dalam teori " al-Anâ " yang dicetuskan olehnya dalam mencari solusi dan obat penenang kegelisan hati dalam upayanya menyingkap keberadaan sang pencipta, sebagaimana yang telah kami paparkan pada catatan kaki pembahasan pertama tiga poin dasar, yang penggalannya sebagai berikut :

" aku adalah orang yang paling lemah untuk menciptakan diriku sendiri. Jika begitu berarti ada orang lain yang menciptakanku, dan dia harus lebih sempurna dariku. Karena, sesuatu yang kurang tidak akan menciptakan sesuatu yang lebih sempurna darinya, tidak mungkin pula menyamaiku "

Tidak mungkin batu atau benda mati lainnya mempunyai kemampuan untuk menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, memberi manfaat atau mendatangkan madharat. Orang yang mempunyai pola pikir seperti ini, sudah pasti termasuk para jahilin yang mana otak sebagai salah satu nikmat dari Allah hanya dijadikan pelengkap badan saja. Allah swt. berfirman :
                      
Artinya : Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan. (QS. Al-Furqon : 3)
Dan Allah swt., juga berfirman, yang artinya :
" Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berha]a itu tidak dapat memberi pertolongan. Dan jika kamu (hai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala) untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) buat kamu menyeru mereka ataupun kamu herdiam diri. Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka Serulah berhala-berhala itu lalu biarkanlah mereka mmperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar. Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah: "Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, Kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa memberi tangguh (kepada-ku) ". (QS. Al-A'raf : 191-195)
Demikianlah peran akal yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia. Islam memberikan penghargaan yang istimewa terhadap akal dalam perannya pada agama yang hanif dan rahmatan li al-'alamin ini, baik dalam segi teologi, fiqh dan akhlak. Terbukti dalam berbagai kitab-kitab tauhid klasik ataupun kontemporer penggunaan dalil 'aqliyah (rasio) lebih diprioritaskan -bahkan bisa dikatakan dalil akal dalam fan-fan ini mendapat porsi hampir sembilan puluh persen-. Begitu juga dalam bidang fiqh seringkali kita temukan hukum-hukum syara' yang dihasilkan dengan menggunakan berbagai metode ra'yu, semisal Qiyas dan Istihsan.
Al-imam Hasan al-Bana dalam kumpulan risalahnya mengatakan bahwa asas akidah ini -sebagaimana keseluruan hukum-hukum syara'- adalah Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya. Kendati demikian kita harus faham bahwa akidah ini mendapat pembenaran dari akal dan dikukuhkan oleh analisa yang benar. Oleh karena itu Allah memuliakan akal dan menjadikannya sebagai salah satu faktor adanya taklif.

4. Penyebutan Fenomena Alam Dalam Al-Quran

Berbagai argumen yang telah kami sampaikan, diantaranya banyak ayat-ayat berkaitan dengan fenomena alam sebagai dalil agar kita lebih yakin akan rububiyah-Nya.
Al-Quran tidak diragukan lagi bahwasanya bukan merupakan buku astronomi, bukan buku biologi, bukan buku kimia dan bukan pula buku-buku yang berhububgan dengan ilmu alam. Akan tetapi al-Quran adalah kitab petunjuk yang tidak ada keraguan padanya dan pembersih bagi jiwa manusia, penjelas antara halal dan haram, pembeda antara madharat dan maslahah, dan pengantar kepada puncak kebahagian dunia dan akhirat. Sekalipun banyak disinggung didalamnya tentang rincian-rincian ilmu alam dan berbagai macam elemennya.
Al-Quran mengungkap tentang fenomena alam karena beberapa hikmah yang dapat kita jadikan sebagai i'tibar. Antara lain :
1.) Jika al-Quran membahas hakikat ilmu pengetahuan alam, maka akal manusia akan mengalami stagnasi dalam kemerdekaan berfikir.
2.) Tabiat pertumbuhan dan perkembangan akal manusia tidak akan menerima loncatan ini. Akan tetapi diperlukan tahapan-tahapan untuk memahaminya. Pertumbuhan dan perkembangan akal manusia, kualitas dan kesempurnaannya tergangtung ilmu dan pengalaman yang baru diperoleh. Al-Quran adalah buku seluruh zaman, seluruh umat dan semua akal. Menyoroti masalah ilmu alam disesuaikan dengan pengetahuan akal.
Oleh karena itu, kita bisa mengetahui rahasia dibalik jawaban al-Quran kepada para penanya tentang bulan. Al-Quran memalingkan pertanyaan dan mengalihkan setiap pandangan mereka kepada manfaatnya. Allah berfirman :
       ••             •       •    
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (al-Baqarah :189)
3.) Jika al-Quran membahas masalah ini secara tafshiliyah justru akan mengakibatkan kesukaran menghafalnya. Allah berfirman :
       
Artinya : Dan sesungguhnya telah kami mudahkan al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (al-Qamar : 17)
Inilah sebagian hikmah penjelasan al-Quran terhadap ilmu pengetahuan alam. Sebenarnya masih banyak hikmah-hikmah yang lain, namun kami tidak ingin membahasasnya secara panjang lebar. Al-Quran menyebutkan fenomena alam tersebut untuk kita jadikan pelajaran dan agar menjadi jalan untuk beriman dan ma'rifah al-khalîq.













AL-NATÂIJ

Disini, -setelah kami banyak menguras tenaga dan otak untuk berfikir dan menyajikan sebuah makalah tentang Rububiyah Allah. Dan al-hamdulillah bisa terselesaikan. Semoga bermanfaat bagi penulis khususnya, teman-teman semester II STAI-An-Nawawi 2009 yang tercinta dan umat manusia pada umumnya. -berdasarkan ulasan makalah yang kami sampaikan, kiranya dapat di tarik beberapa poin kesimpulan sebagai berikut :
1. Sebagai seorang muslim kita harus mengakui keberadaan sesembahan, yaitu Allah swt. Islam telah menyeru agar meyakini-Nya sebagai al-ma'bud wahdah, tiada sekutu bagi-Nya Dia-lah yang menciptakan alam, langit, bumi dan semua mahkluk.
2. Selagi akal mampu mencapai pengenalan terhadap sang pencipta yang maha agung dan maha kuasa, maka sangat objektif untuk dapat mengimani-Nya. Dan ketika telah mengimani-Nya beranjaklah untuk mengimani bahwa semua yang ada adalah ciptaan-Nya. Karena, tidak mungkin sesuatu itu ada secara kebetulan.
3. Iman kepada Allah swt. adalah keyakinan yang kokoh terhadap wujud (keberadaan) Allah. Bahwa Allah mempunyai sifat-sifat sempurna dan agung, dan bahwa hanya Allah semata yang berhak untuk disembah. Hati meyakini hal itu dengan keyakinan yang atsar (pengaruh)nya terlihat dalam tingkah laku seseorang, berupa melaksanakan perintah dan menjahui larangan Allah 'azza wa- jalla. Hal ini adalah dasar dan otak dari aqidah Islam sebagi sumber dasar utama. Yang mana semua rukun aqidah berdasar dan berinduk kepadanya.
4. Dengan memahami tauhid rububiyah Allah ini dengan berbagai argumen yang telah kami paparkan baik secara manqul (dogmatik) ataupun 'aqliah (rasio) kita bias memahami dan juga meyakinkan mereka bahwa agama yang mereka peluk benar-benar mendapat rekomendasi dari Allah swt. Sehingga semakin bertambah ilmu dan keyakinan sesuai firman-Nya :
       •             
Artinya : Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Fushilat : 53)






















AL-MARÂJÎ'

Al-Bana Hasan. Majmu'at al-Rasâil. Alih bahasa oleh Anis Matta, Rofi' Munawar dan Wahid Ahmadi. Risalah Pergerakan. Solo : Era Intermedia, 2002

Al-Fadhaliy, Muhammad. Tahqiq al-Maqam 'Ala Kifayah al-'Awam. Semarang : Toha Putra, tt.

Al-Mushlih, Abdullah & Shalah al-Shawi. Mâ Lâ Yasa' al-Muslim Jahluh. Alih bahasa oleh : Ahmad Amin Sjihab, Amir Hamzah Dkk. Untuk Setiap Muslim Memahami Aqidah, Syari'at dan Adab. Jakarta : Darul Haq 2003

Al-Qardhawi, Yusuf. Fusûl fiy al-'Aqidah Baina al-Salaf wa al-Khalaf . Alih bahasa oleh Arif Munandar Riswanto. Akidah Salaf dan Khalaf. Jakarta Timur : Pustaka al-Kautsar, 2006

Al-Quran dan Terjemahannya. (Program computer, al-Quran in Word 2002).

Ash-Shiddiqiey, Teungku Muhammad Hasbi. Al-Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1998

'Aziz. Jam'ah Amin 'Abdul. Silsilah min Turâts al-Imam al-Bana fi Tafsir. Alih bahasa oleh : Bahrudin. Wasiat Qur'ani Aktivis al-Harakah. Yogyakarta : Uswah, tt.

Hart. Michael H. Seratus Tokoh Yang Paling Pengaruh Dalam Sejarah, , 1978, alih bahasa oleh : Mahbub Djunaidi, (Jakarta : PT. Dunia Pustaka, 1982.) down load dalam bentuk file zip/chm. di : http//www.pakdenono.com/

Karim, Izzudin & Najib Junaidi. Ringkasan Keyakinan Islam Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ'ah. Surabaya : Pustaka La Raiba Bima Amanta, 2006

Khozin Abu Faqih. Bersama 6 Mursyid 'Am Ikhwanul Muslimin. Solo : Auliya Press, 2006

Syak'ah, Musthafa Muhammad. Islam Bilâ Mazdâhib. Alih bahasa oleh Abu Zaidan al-Zamani & Abu Zahrah al-Jawi. Islam Tanpa Mazdhab. Solo : Tiga Serangkai, 2008

Susanto. Ready. 100 Tokoh Abad ke-20 Paling Berpengaruh. Bandung : Nuansa, 2008
ILMU DAN METODE ILMIAH

A. Latar Belakang

Ilmu dan pengetahuan, apakah kedua istilah ini bersinonim atau mempunyai perbedaan makna? Sering kita bersikap apriori terhadap kedua kata tersebut. Sekilas antara ilmu dan pengetahuan merupakan dua istilah satu makna. Namun basically antara kata ilmu dan pengetahuan berbeda. Untuk mengetahui perbedaan antara keduanya, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian Ilmu, kemudian syarat-syarat, ciri-ciri, landasan atau dasar-dasar ilmu. Hal ini lazim untuk kita ketahui, sehingga karakterisik ilmu sendiri lebih mudah untuk diidentifikasi. Akhirnya, yang urgen adalah metode-metode yang dipakai dalam bidang ilmu pada umumnya.

B. Ilmu

1. Pengertian Ilmu
Ilmu secara etimologi merupakan kata serapan dari bahasa Arab “al-’ilm” yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Kata ilmu -sebagaimana yang kami kutip dari buku Filsafat Ilmu karya Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM- juga merupakan terjemahan bahasa Inggris dari kata science, yang mana kata science sendiri berasal dari bahasa latin scientia yang berarti pengetahuan. Pengetahuan dalam arti ini menunjuk pada pengetahuan secara mutlak.
Pertumbuhan selanjutnya, pengertian ilmu mengalami spesifikasi makna, dimana ilmu menunjuk pada segenap pengetahuan yang sistematis (systematic knowledge). Pemakaian arti yang terakhir ini diteruskan dalam bahasa Jerman dengan istilah winssenchalft yang berlaku terhadap segala pengetahuan apapun yang teratur, termasuk didalamnya naturwinssenchalften yang mencakup ilmu-ilmu alam dan geisteswinssenchalften ilmu tentang pengetahuan kemanusiaan).

2. Syarat-syarat Ilmu
Ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah dimana sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Syarat-syarat ilmiah tersebut adalah:
a. Obyektif. Ilmu harus memiliki obyek kajian, dimana dalam mengkaji obyek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan obyek, dan karenanya disebut kebenaran obyektif bukan subyektif.
b. Metodis. merupakan upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti cara atau jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya pula metodis merujuk pada metode ilmiah.
c. Sistematis. Ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya.
d. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu).

3. Ciri-ciri Ilmu
Disamping memiliki syarat-syarat tertentu, ilmu memiliki pula karakteristik atau sifat yang menjadi ciri hakiki ilmu. Banyak ragam dalam menentukan ciri suatu pengetahuan bisa disebut dengan ilmu yang dikemukakan oleh para ahli filsafat, diantaranya Randall dan Buchler mengemukakan beberapa ciri umum ilmu, yaitu:
a. Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama.
b. Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan.
c. Obyektif tidak bergantung pada pemahaman secara pribadi.
Sedangkan Tim Dosen Filsafat UGM juga memberikan analisisnya bahwa ciri-ciri ilmu ada tiga:
a. Ilmu sebagai bentuk aktivitas intelektual. Ilmu merupakan bentuk kegiatan manusia yang dilakukan secara sadar. Ilmu bukan hanya aktivitas tunggal melainkan rangkaian aktivitas, sehingga dengan demikian merupakan suatu proses. Proses dalam rangkaian aktivitas ini bersifat intelektual, dan mengarah pada tujuan tertentu.
b. Ilmu sebagai suatu produk. Ilmu merupakan suatu kumpulan pengetahuan atau hasil dari aktivitas berfikir manusia.
c. Ilmu sebagai metode. Metode ilmiah boleh dikatakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis.

4. Dasar-dasar llmu
a. Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On dan Ontos, on: ada, dan Logos: ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah, ontologi ialah ilmu yang mebahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani (konkret) maupun rohani (abstrak). Term ontologi pertama kali dipopulerkan oleh Rudolf Goclenius pada 1636 M untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis.
Dalam persoalan ontologi kita dihadapkan dengan bagaimana kita menerangkan hakikat dari segala yang ada. Noeng Muhajir sebagaimana yang dikutip Amstal Bakhtiar mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh suatu perwujudan tertentu, bahasan ontologi bersifat universal.
b. Epistemologi
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Menurut Ahmad Tafsir, epistemologi membahas sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Lebih lanjut Ahmad Tafsir mencotohkan, tatkala manusia baru lahir, ia tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun, setelah berusia empat puluh tahun pengetahuan yang dimiliki banyak sekali, sementara kawannya yang seumur dengannya mungkin saja mempunyai pengetahuan yang lebih daripada dia dalam bidang yang sama atau berbeda. Bagaimana mereka mendapat pengetahuan itu? Mengapa bisa berbeda tingkat akurasinya? Hal-hal tersebut dibicarakan dalam epistemologi.
c. Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani “Axios” yang berarti nilai dan “Logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi secara sederhana merupakan teori tentang nilai. Jujun S. Sumantri mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sedangkan menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.

C. Metode Ilmiah

Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang harus dilakukan untuk melakukan suatu proyek ilmiah (science project). Atau dengan kata lain metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk mendapatkan pengetahuan baru atau untuk mengembangkan pengetahuan yang telah ada.
Metode secara etimologis berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani yaitu “meta” yang berarti sesudah dan “hodos” yang berarti jalan. Jadi metode ilmiah merupakan tata cara yang diambil, berdasarkan sistematika tertentu, untuk mencapai suatu pengetahuan yang benar.
Banyak model langkah-langkah yang digunakan dalam metode ilmiah, sebagaimana diungkapkan oleh para filsuf. Schluter memberikan 15 langkah dalam melaksanakan penelitian dengan metode ilmiah. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan bidang, topik atau judul penelitian.
2. Mengadakan survei lapangan untuk merumuskan masalah-malalah yang ingin dipecahkan.
3. Membangun sebuah bibliografi.
4. Memformulasikan dan mendefinisikan masalah.
5. Membeda-bedakan dan membuat out-line dari unsur-unsur permasalahan.
6. Mengklasifikasikan unsur-unsur dalam masalah menurut hubungannya dengan data atau bukti, baik langsung ataupun tidak langsung.
7. Menentukan data atau bukti mana yang dikehendaki sesuai dengan pokok-pokok dasar dalam masalah.
8. Menentukan apakah data atau bukti yang dipertukan tersedia atau tidak.
9. Menguji untuk diketahui apakah masalah dapat dipecahkan atau tidak.
10. Mengumpulkan data dan keterangan yang diperlukan.
11. Mengatur data secara sistematis untuk dianalisa.
12. Menganalisa data dan bukti yang diperoleh untuk membuat interpretasi.
13. Mengatur data untuk persentase dan penampilan.
14. Menggunakan citasi, referensi dan footnote (catatan kaki).
15. Menulis laporan penelitian.
Dalam melaksanakan penelitian secara ilmiah. Abelson mcmberikan langkah-langkah berikut:
1. Tentukan judul. Judul dinyatakan secara singkat.
2. Pemilihan masalah. Dalam pemilihan ini harus: a). Nyatakan apa yang disarankan oleh judul. b). Berikan alasan terhadap pemilihan tersebut. Nyatakan perlunya diselidiki masalah menurut kepentingan umum. c). Sebutkan ruang lingkup penelitian. Secara singkat jelaskan materi. situasi dan hal-hal lain yang menyangkut bidang yang akan diteliti.
3. Pemecahan masalah. Dalam memecahkan masalah harus diikuti hal-hal berikut:
a) Analisa harus logis. Aturlah bukti dalam bentuk yang sistematis dan logis. Demikian juga halnya unsur-unsur yang dapat memecahkan masalah.
b) Prosedur penelitian yang digunakan harus dinyatakan secara singkat.
c) Urutkan data, fakta dan keterangan-keterangan khas yang diperlukan.
d) Harus dinyatakan bagaimana set dari data diperoleh termasuk referensi yang digunakan.
e) Tunjukkan cara data diolah sampai mempunyai arti dalam memecahkan masalah.
f) Urutkan asumsi-asumsi yang digunakan serta hubungannya dalam berbagai fase penelitian.
Langkah-langkah dalam metode ilmiah pada perkembangannya semakin bervariasi, hal ini wajar, karena harus ada persesuaian dengan adanya spesialisasi ilmu pengetahuan yang semakin banyak. Berdasarkan langkah-langkah yang digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Dari pedoman beberapa ahli yang telah kami sebut di atas dan ahli filsafat lainnya, setidaknya bahwa penelitian dengan menggunakan metode ilmiah sekurang-kurangnya dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1. Merumuskan serta mendefinisikan masalah.
Langkah pertama dalam meneliti adalah menetapkan masalah yang akan dipecahkan. Untuk menghilangkan keragu-raguan. masalah tersebut didefinisikan secara jelas. Sampai ke mana luas masalah yang akan dipecahkan Sebutkan beberapa kata kunci (key words) yang terdapat dalam masalah Misalnya. masalah yang dipilih adalah Bagaimana pengaruh mekanisasi terhadap pendapatan usaha tani di Aceh? Berikan definisi tentang usaha tani, tentang mekanisasi, pada musim apa. dan sebagainya
2. Mengadakan studi kepustakaan.
Setelah masalah dirumuskan, step kedua yang dilakukan dalam mencari data yang tersedia yang pernah ditulis peneliti sebelumnya yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan. Kerja mencari bahan di perpustakaan merupakan hal yang tak dapat dihindarkan oleh seorang peneliti. Ada kalanya, perumusan masalah dan studi keputusan dapat dikerjakan secara bersamaan.
3. Memformulasikan hipotesa.
Setelah diperoleh informasi mengenai hasil penelitian ahli lain yang ada kaitannya dengan masalah yang ingin dipecahkan. Maka tiba saatnya peneliti memformulasikan hipotesa-hipotesa untuk penelitian. Hipotesa tidak lain dari kesimpulan sementara tentang hubungan keterkaitan antar variabel atau fenomena dalam penelitian. Hipotesa merupakan kesimpulan tentatif yang diterima secara sementara sebelum diuji.
4. Menentukan model untuk menguji hipotesa.
Setelah hipotesa-hipotesa ditetapkan. Kerja selanjutnya adalah merumuskan cara-cara untuk menguji hipotesa tersebut. Pada ilmu-ilmu sosial yang telah lebih berkembang. seperti ilmu ekonomi misalnya. pcngujian hipotesa didasarkan pada kerangka analisa (analytical framework) yang telah ditetapkan. Model matematis dapat juga dibuat untuk meng-refleksikan hubungan antar fenomena yang secara implisif terdapat dalam hipotesa, untuk diuji dengan teknik statistik yang tersedia.
Pcngujian hipotesa menghendaki data yang dikumpulkan untuk keperluan tersebut. Data tersebut bisa saja data primer ataupun data sekunder yang akan dikumpulkan oleh peneliti.
5. Mengumpulkan data.
Peneliti memerlukan data untuk menguji hipotesa. Data tersebut yang merupakan fakta yang digunakan untuk menguji hipotesa perlu dikumpulkan. Bergantung dan masalah yang dipilih serta metode penelitian yang akan digunakan. Teknik pengumpulan data akan berbeda-beda. Jika penelitian menggunakan metode percobaan. Misalnya, data diperoleh dan plot-plot percobaan yang dibuat sendiri oleh peneliti pada metode sejarah ataupun survei normal, data diperoleh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden. baik secara langsung ataupun dengan menggunakan questioner. Ada kalanya data adalah hasil pengamatan langsung terhadap perilaku manusia dimana peneliti secara partisipatif berada dalam kelompok orang-orang yang diselidikinya.
6. Menyusun, menganalisa, dan menyusun interfensi.
Setelah data terkumpul, peneliti menyusun data untuk mengadakan analisa. Sebelum analisa dilakukan, data tersebut disusun lebih dahulu untuk mempermudah analisa. Penyusunan data dapat dalam bentuk label ataupun membuat coding untuk analisa dengan komputer. Sesudah data dianalisa, maka perlu diberikan tafsiran atau interpretasi terhadap data tersebut.
7. Membuat generalisasi dan kesimpulan.
Setelah tafsiran diberikan, maka peneliti membuat generalisasi dari penemuan-penemuan, dan selanjutnya memberikan beberapa kesimpulan. Kesimpulan dan generalisasi ini harus berkaitan dengan hipotesa. Apakah hipotesa benar untuk diterima ataukah hipotesa tersebut ditolak.
8. Membuat laporan ilmiah.
Langkah terakhir dari suatu penelitian ilmiah adalah membuat laporan ilmiah tentang hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut.

D. Simpulan

Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode yang kemudiaan dikenal dengan metode ilmiah. Disinilah letak perbedaan antara ilmu dan pengetahuan. Dimana pengetahuan bersifat umum sedangkan ilmu harus memenuhi berbagai kriteria. Yaitu: syarat, ciri, landasan dasar dan metode-metode ilmiah.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif, tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Pengetahuan yang disebut dengan ilmu, diperolehnya melalui langkah-langkah ilmiah, yang secara umum langkah-langkah tersebut ialah: merumuskan serta mendefinisikan masalah, mengadakan studi kepustakaan, memformulasikan hipotesa, menentukan model untuk menguji hipotesa, mengumpulkan data, menyusun, menganalisa, dan menyusun interfensi, membuat generalisasi dan kesimpulan, membuat laporan ilmiah.
BIBLIOGRAFI

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogjakarta: Liberty, 2007

http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/hakikat-ilmu/

http://dossuwandawordpress.com/08/03/29/apakah-yang-dimaksud-dengan-metode-ilmiah/

http://zulhamhafid.wordpress.com/2008/06/29/dasar-dasar-ilmu/

Amsal bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2004

Ahmad tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: PT. Pancaranintan Indragraha, 2007

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...