Sabtu, 21 Januari 2012

DISTRIBUSI PENDAPATAN Perbedaan Distribusi Pendapatan dan Kekayaan; Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam

DISTRIBUSI PENDAPATAN

Perbedaan Distribusi Pendapatan dan Kekayaan; Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam

Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan distribusi dalam ekonomi kapitalis terfokus pada pasca produksi, yaitu pada konsekuensi proses produksi bagi setiap proyek dalam bentuk uang ataupun nilai, lalu hasil tersebut didistribusikan pada komponen-komponen produksi yang berandil dalam memproduksinya, yaitu empat komponen berikut[1]:

1) Upah, yaitu upah bagi para pekerja, dan sering kali dalam hal upah, para pekerja diperalat desakan kebutuhannya dan diberi upah di bawah standar.

2) Bunga, yaitu bunga sebagai imbalan dari uang modal (interest on capital)yang diharuskan pada pemilik proyek.

3) Ongkos, yaitu ongkos untuk sewa tanah yang dipakai untuk proyek; dan

4) Keuntungan, yaitu keuntungan (profit) bagi pengelola yang menjalankan praktek pengelolaan proyek dan manajemen proyek, dan ia bertanggung jawab sepenuhnya.

Akibat dari perbedaan komposisi andil dalam produksi yang dimiliki oleh masing-masing individu, berbeda-beda pula pendapatan yang didapat oleh masing-masing individu. Islam menolak butir kedua dari empat unsur tersebut di atas, yaitu unsur bunga. Para ulama Islam telah sepakat dan lembaga-lembaga fiqih –termasuk MUI juga telah mengeluarkan fatwa– bahwa setiap bentuk bunga adalah riba yang diharamkan.[2] Adapun ketiga unsur yang lain, Islam membolehkannya jika terpenuhi syarat-syaratnya dan terealisasi prinsip dan batasan-batasannya.

Sedangkan dalam ekonomi sosialis, produksi berada dalam kekuasaan pemerintah dan mengikuti perencanaan pusat. Semua sumber produksi adalah milik negara.[3] Semua pekerja berada dalam kekuasaan dan rezim negara. Prinsip dalam distribusi pendapatan dan kekayaan adalah sesuai apa yang ditetapkan oleh rakyat yang diwakili oleh negara dan tidak ditentukan oleh pasar. Negara adalah yang merencanakan produksi nasional. Negara pula yang meletakkan kebijakan umum distribusi dengan segala macamnya baik berupa upah, gaji, bunga, maupun ongkos sewa.

Kaum sosialis mengecam masyarakat kapitalis karena di dalam masyarakat kapitalis kekayaan dan kemewahan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, sedangkan mayoritas masyarakat adalah kaum miskin. Mereka menaruh perhatian pada produksi barang-barang perelengkapan dan barang-barang mewah yang merealisasikan kaum kaya dengan keuntungan yang tinggi bagi para pemilik modal, produksi prabotan mewah, alat-alat kecantikan, dan berbagai macam barang kemewahan tanpa menaruh perhatian pada pemenuhan kebutuhan masyarakat luas yang kebanyakan dari kaum fakir. Kadang kala mereka memproduksi barang-barang yang bermanfaat seperti gandum, susu dan lainnya tetapi jika harganya anjlok, maka mereka spontan tidak segan-segan memusnahkannya dengan melemparkannya ke laut atau membakarnya agar harganya tetap mahal seperti yang diinginkannya.

Dalam kekuasaan sistem kapitalis barlangsung praktek-praktek monopoli yang sangat besar dan mengerikan. Kadang kala menjadi perusahaan yang bergerak dalam berbagai macam jenis usaha samapai sebagian perusahaan tersebut menjadi sebuah negara dalam negara, yang tidak tunduk pada pemeintahan setempat. Bahkan memaksa pemerintahan setempat tunduk kepada kemauan dan kepentingan mereka dengan melakukan penyuapan secara jelas dan memuaskan. Dengan demikian tidak seorang pun yang dapat memaksa mereka membuat suatu jenis produksi dan menentukkan jumlah keuntungan karena mereka sendiri yang mengatur dan menentukkan produksi dan harga.

Kritik kaum sosialis terhadap kaum kapitalis tersebut memang benar. Tetapi, mereka memerangi kebatilan dengan hal yang lebih batil darinya. Mereka berlindung di bawah kekuasaan sosialisme dari monopoli kapitalisme kepada monopoli yang lebih buruk dan lebih parah, yaitu monopoli negara yang menguasai semua sarana produksi seperti tanah, pabrik, dan ladang-ladang penambangan. Negara menguasai keuntungan dan tidak dikembalikan –seperti pengakuan mereka – kepada para buruh (pekerja) yang memimpikan surga yang dijanjikan untuk mereka dalam bayang-bayang sistem sosialisme.[4]

Sosialisme tidak dapat menghapuskan jurang perbedaan yang dikenal di dalam kapitalisme. Bahkan, di dalam sosialisme terdapat perbedaan yang mengerikan dalam soal upah antara dua batas; maksimum dan minimum mencapai perbandingan (1-50) yaitu gaji tertinggi sama dengan lima puluh kali lipat dari gaji kecil.

Ekonomi Islam terbebas dari kedua kedhaliman kapitalisme dan sosialisme. Islam membangun filosofi dan sistemnya di atas pilar-pilar yang lain, yang menekankan pada distribusi para produksi, yaitu pada distribusi sumber-sumber produksi, di tangan siapa kepemilikannya? Apa hak-hak, dan kewajiban-kewajiban atas kepelikan? Hal ini bukan berarti Islam tidak menaruh perhatian kepada kompensasi produksi. Ia memperlihatkannya juga sebagaimana kita lihat dalam perhatiannya terhadap pemenuhan hak-hak pra pekerja dan upah mereka yang adil setimpal dengan kewajiban yang telah mereka tunaikan. Distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting yaitu: nilai kebebasan dan nilai keadilan.

F. Analisis dan Kesimpulan:

1. Distribusi pendapatan dan kekayaan di antara berbagai faktor produksi terdiri dari; Pertama, pembayaran sewa tidak bertentangan dengan jiwa IslamKedua, perbedaan upah akibat bakat dan kesanggupan diakui oleh Islam. Syarat pokoknya adalah majikan tidak mengisap para pekerja dan mereka harus membayar haknya. Ketiga, terdapat kontroversi antara riba dan bunga. Tapi bila arti riba dipandang dalam perspektif sejarahnya tampaknya tidak terdapat perbedaan antara riba dan bunga. Keempat, Islam membolehkan laba biasa bukan laba monopoli atau laba yang timbul dari spekulasi.

2. Dalam ekonomi sosialis, produksi berada dalam kekuasaan pemerintah dan mengikuti perencanaan pusat. Semua sumber produksi adalah milik negara. Semua pekerja berada dalam kekuasaan dan rezim negara. Prinsip dalam distribusi pendapatan dan kekayaan adalah sesuai apa yang ditetapkan oleh rakyat yang diwakili oleh negara dan tidak ditentukan oleh pasar. Negara adalah yang merencanakan produksi nasional. Negara pula yang meletakkan kebijakan umum distribusi dengan segala macamnya baik berupa upah, gaji, bungan, maupun ongkos sewa.

3. Sedangkan dalam ekonomi kapitalis kekayaan dan kemewahan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, sedangkan mayoritas masyarakat adalah kaum miskin. Mereka menaruh perhatian pada produksi barang-barang perelengkapan dan barang-barang mewah yang merealisasikan kaum kaya dengan keuntungan yang tinggi bagi para pemilik modal, produksi prabotan mewah, alat-alat kecantikan, dan berbagai macam barang kemewahan tanpa menaruh perhatian pada pemenuhan kebutuhan masyarakat luas yang kebanyakan dari kaum fakir.

Lain hanya, dalam ekonomi Islam menolak butir kedua dari empat unsur (upah, sewa, bunga, keuntungan), yaitu unsur bunga. ketiga unsur yang lain, Islam membolehkannya jika terpenuhi syarat-syaratnya dan terealisasi prinsip dan batasan-batasannya. Ekonomi Islam terbebas dari kedua kedhaliman kapitalisme dan sosialisme. Islam membangun filosofi dan sistemnya di atas pilar-pilar yang lain, yang menekankan pada distribusi para produksi, yaitu pada distribusi sumber-sumber produksi, di tangan siapa kepemilikannya. memperlihatkannya juga sebagaimana kita lihat dalam perhatiannya terhadap pemenuhan hak-hak pra pekerja dan upah mereka yang adil setimpal dengan kewajiban yang telah mereka tunaikan. Distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting yaitu: nilai kebebasan dan nilai keadilan

SUKUK

Pengenalan Sukuk

Sukuk berasal dari kata “صكوك” bentuk jamak dari kata “صك”dalam bahasa Arab yang berarti cek, atau alat tukar yang sah selain uang. Kata “sukuk” pertama kali diperkenalkan kembali dan diajukan sebagai salah satu alat keuangan Islam pada rapat ulama fikih sedunia yang diselenggarakan oleh Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 2002.

Sukuk bermakna sertifikat dengan nilai yang identik dengan nilai proyek/investasi yang akan diselesaikan yang diumumkan oleh pengeluar sukuk. Oleh karena itu, si pemegang sukuk akan memiliki sejumlah asset dan keuntungan yang diusahakan dengan asset tersebut. Sukuk tidak jauh berbeda dengan surat hutang (conventional bond) biasa, hanya saja sukuk mendasarkan praktinya pada hukum-hukum mu’amalah dalam syariat Islam. Dalam hal ini berarti sukuk menghindarkan dirinya dari 3 hal utama yang menyebabkan keharaman dalam sebuah aktivitas mu’amalah yaitu menghindarkan diri dari Judi (Maysir), Riba, dan ketidak jelasan kontrak (Gharar).

Sebuah sukuk harus dapat menghubungkan keuntungan dan cashflow pembiayaan kepada asset yang dibelinya. Artinya, keuntungan yang dibagikan kepada para pemegang sukuk adalah keuntungan yang memang dihasilkan dari usaha yang menggunakan asset yang dibeli dengan dana sukuk tadi. Dengan begitu, tidak akan terjadi proses jual-beli atas hutang, yang mana hal ini dilarang oleh syariat Islam.

Sehingga jika diringkas, maka 3 konsep utama sukuk yang membedakannya dengan surat hutang konvensional adalah:

1. Transparansi serta kejelasan atas hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat,

2. Sukuk harus dilandasi oleh asset riil, bukan hanya kertas dari pasar derivative,

3. Bahwa pendapatan dari investasi ini harus berasal dari usaha yang melibatkan asset sehingga tidak terjadi proses jual-beli hutang.

A. Mengapa perlu ada sukuk?

Baiklah, sekarang ada apa dengan dengan surat hutang konvensional (conventional bond) sehingga kita memerlukan instrumen lain yang tidak bertentangan dengan syariat Islam? Tentu saja pada surat hutang konvensional terdapat unsur riba yang dilarang untuk dipraktekan apalagi dimakan oleh umat Islam seperti dalam perintah Allah SWT di Al-Qur’an dan hadits. Selain itu, mereka yang membeli surat hutang konvensional selalunya tidak tertarik untuk mengetahui kemana uangnya akan disalurkan/digunakan, apakah untuk aktivitas haram atau halal, apakah untuk memproduksi barang-barang haram dan merusak generasi ataukah halal.

Disisi lain, resiko terbesar yang dihadapi oleh para pemegang surat hutang tersebut adalahpayment default, dimana perusahaan yang menjual surat hutang tersebut tidak dapat mengembalikan uang pokok mereka apalagi membayarkan keuntungan tetapnya. Walaupun saat ini banyak lembaga rating yang membantu para invenstor dalam memilih perusahaan mana yang berpeluang memberikan keuntungan tertinggi, tetap saja kecurangan dapat terjadi akibat permainan orang dalam seperti pada kasus sub-prime mortgage di Amerika di mana lembaga rating bekerja sama dengan perusahaan yang mengeluarkan surat hutang agar banyak yang membeli padahal kondisi mereka sedang carut-marut. Sekali lagi, hal ini memberikan gambaran umum kapitalisme bahwa kebanyakan investor tidak berfikiran apakah investasi tersebut benar-benar ke sektor riil ataukah hanya permainan menaik-turunkan bunga semata di pasar uang.

Nah, pada kondisi seperti ini, sebuah alternative bagi umat Islam yang ingin berinvestasi secara aman sangatlah diperlukan. Kita tidak sedang berandai-andai bahwa kita hidup di zaman dahulu dimana kehidupan dunia belum terhubungkan dengan cepat dan terbuka lebar. Kita harus faham bagaimana kaum kapitalis menguasai dunia melalui penguasaan perusahaan-perusahaan yang memenuhi keperluan hidup orang banyak, khususnya Muslim. Apakah Muslim tidak boleh menjadi pemilik perusahaan-perusahaan tersebut? Atau apakah perusahaan-perusahaan milik Muslim tidak boleh masuk bursa disebabkan instrument yang mengandung riba? Muslim berhak dan wajib menguasai perekonomian dunia, dan Islam melalui kekayaan khazanah pemikiran ulamanya telah menciptakan sukuk sebagai instrument pengganti tersebut yang bebas dari unsur riba, judi, dan gharar.

B. Sukuk dalam sejarah

Bukti-bukti dalam berbagai artikel menunjukan bahwa sukuk telah dikenal sejak abad pertama hijriah. Braudel (1973) dalam Adam dan Thomas (2004) mengatakan bahwa kata “cheque” yang digunakan di Barat sebagai ungkapan untuk surat berharga yang memiliki nilai sesuai nilai yang tertulis diatasnya diambil langsung dari kata “sakk”.

Walaupun hadits atau atsar[1] yang menyebutkan tentang sukuk tidaklah banyak, para ulama telah mendapatkan cukup pemahaman yang dapat digunakan untuk mengembangkan sukuk sebagai alat investasi yang adil. Diantara riwayat yang sering dihubungkan dengan sukuk adalah seperti yang dituliskan oleh Imam Malik dalam al-muwatha’:

Yahya meriwayatkan padaku (Imam Malik) dari Malik bahwa ia mendengar tanda terima/resit/kwitansi (sukukun) dibagikan pada penduduk pada masa Marwan ibn al-Hakam untuk barang-barang yang berada di pasar al-Jar. Penduduk membeli dan menjual kwitansi/resit tersebut diantara mereka sebelum mereka mengambil barangnya. Zayd ibn Tsabit bersama seorang Sahabat Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, pergi menghadap Marwan ibn al-Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah engkau menghalalkan Riba?” Ia menjawab, “Naudzubillah! Apakah itu?” Ia berkata, “Resit-resit ini yang dipergunakan penduduk untuk berjual-beli sebelum menerima barangnya.” Marwan kemudian mengirim penjaga untuk mengikuti mereka dan mengambilnya dari penduduk kemudian mengembalikannya pada pemilik asalnya.

Riwayat ini menunjukan keharaman surat jaminan karena dua hal; (1) apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam riwayat tersebut sesungguhnya adalah jual-beli hutang dan, (2) hal-hal yang berhubungan dengan riba al-nasi’ah terutamanya pada penggunaan dayn dalam pertukaran (sarf) barang yang sama jenisnya.

Jelas riwayat ini seperti menutup pintu untuk keberadaan sukuk. Tetapi yang menjadi catatan penting dalam mu’amalah adalah bahwa “semua aktifitas mu’amalah adalah halal sampai ada dalil yang menjelaskan keharamannya”. Sehingga, sukuk dalam mekanisme dan persyaratan tertentu yang menghindarkan diri dari kedua unsur yang disebutkan dalam riwayat di atas adalah boleh dan halal. Abu Hanifa dan muridnya Abu Yusuf memberikan pandangan bahwa penjualan sesuatu/properti yang belum diterima oleh si penjual namun sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat dicek keberadaannya) adalah diperbolehkan. Maka dari sinilah pondasi instrument bernama sukuk di abad modern ini bermula. (Abu Fahmi

Hukum Pasar Modal Dalam Pandangan Islam

Pasar Modal adalah kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan modal, seperti obligasi dan efek. Pasar modal berfungsi menghubungkan investor, perusahaan dan institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen keuangan jangka panjang.

Di Indonesia, Pasar Modal terdiri atas lembaga-lembaga sebagai berikut:

1- Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)

2- Bursa efek, saat ini ada dua: Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya namun sejak akhir 2007, Bursa Efek Surabaya melebur ke Bursa Efek Jakarta sehingga menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).

3- Perusahaan efek

4- Lembaga Kliring dan Penjaminan, saat ini dilakukan oleh PT. Kliring Penjaminan Efek Indonesia (PT. KPEI)

5- Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, saat ini dilakukan oleh PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (PT. KSEI).

Dalam kaitannya dengan pasar modal ini, ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu barang dan jasa yang diperdagangkan, mekanisme yang digunakan dan pelaku pasar.

Pertama, Barang yang diperdagangkan adalah efek dan obligasi. Dalam bahasa Inggris, Efek disebut security, yaitu surat berharga yang bernilai serta dapat diperdagangkan. Efek dapat dikategorikan sebagai hutang dan ekuitas sebagaimana obligasi dan saham. Perusahaan atapun lembaga yang menerbitkan efek disebut Penerbit Efek. Efek tesebut dapat terdiri dari surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, unit penyertaan kontrak investasi kolektif (seperti misalnya reksadana, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek). Kualifikasi dari suatu efek adalah berbeda-beda sesuai dengan aturan di masing-masing negara.

Efek dapat berupa sertifikat atau dapat berupa pencatatan elektronis yang bersifat: (1) Sertifikat atas unjuk, di mana pemilik yang berhak atas efek tersebut adalah sipembawa (pemegang efek); (2) Sertifikat atas nama, di mana pemilik efek, pemilik yang berhak atas efek tersebut adalah yang namanya tercatat pada daftar yang dipegang oleh penerbit atau biro pencatatan efek.

Dalam hal ini, semua bentuk efek dan obligasi yang perjualbelikan di pasar modal tidak terlepas dari dua hal, yaitu riba dan sekuritas yang tidak ditopang dengan uang kertas (fiat money) yang bestandar emas dan perak. Dengan begitu, nilai efek dan obligasi yang diperdagangkan pasti akan mengalami fluktuasi. Dari aspek ini, efek dan obligasi tersebut hukumnya jelas haram. Karena faktor riba dan sekuritasnya yang haram.[1]

Dalil keharamannya adalah dalil keharaman riba, sebagaimana yang dinyatakan di dalam al-Quran:

﴿وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا﴾

“Allah telah menghalalkan jual-beli, dan mengharamkan riba.” (Q.s. al-Baqarah [02]: 275)

Juga dalil tentang penetapan emas dan perak sebagai mata uang dan standar mata uang. Antara lain, Islam melarang menimbun emas dan perak, padahal keduanya merupakan harta yang halal dimiliki. Islam juga mengaitkan emas dan perak dengan hukum yang tetap, seperti dalam kasus diyat, kadar pencurian, dan sebagainya. Islam menjadikan emas dan perak sebagai alat hitung baik terhadap barang maupun jasa, seperti Dinar, Dirham, Mitsqal, Qirath dan Daniq. Islam mewajibkan zakat uang dalam bentuk emas dan perak, dengan nishab emas dan perak. Islam juga menetapkan, bahwa hukum pertukaran dalam transaksi keuangan adalah dengan menggunakan emas dan perak. Semuanya ini membuktikan, bahwa emas dan perak adalah mata uang, dan ditetapkan oleh Islam sebagai standar mata uang, baik uang kertas maupun kertas berharga yang lainnya.[2]

Kedua, mekanisme (sistem) yang digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komuditi yang bersangkutan, bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli, adalah sistem yang batil dan menimbulkan masalah, bukan sistem yang bisa menyelesaikan masalah, dimana naik dan turunnya transaksi terjadi tanpa proses serah terima, bahkan tanpa adanya komiditi yang bersangkutan.. Semuanya itu memicu terjadinya spekulasi dan goncangan di pasar. Mekanisme (sistem) seperti ini jelas melanggar ketentuan syariah, dimana ketentuan serah-terima, dan kepemilikan barang sebelum transaksi jual-beli, tidak pernah ada.

Mengenai jual-beli barang harus ada serah terima, karena ketika Hakim bin Hazzam bertanya kepada Rasulullah saw.:

«يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَشْتَرِي بُيُوعًا فَمَا يَحِلُّ لِي مِنْهَا وَمَا يُحَرَّمُ عَلَيَّ قَالَ فَإِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعًا فَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ»

“Ya Rasulullah, saya membeli beberapa barang. Mana yang halal dan haram bagi saya? Beliau pun menjawab: ‘Jika kamu membeli barang, maka janganlah kamu menjualnya sampai kamu menyerahterimakannya.” (H.r. Ahmad dari Hakim bin Hazzam)

Sabda Nabi yang menyatakan, “Fala tabi’hu hatta taqbidhahu” menunjukkan, bahwa sebelum terjadinya serah-terima, maka transaksi jual-beli tersebut belum dianggap sah. Jika jual-belinya belum sah, berarti status kepemilikan atas barang yang dijualbelikan juga belum sah. Konsekuensinya, jika barang tersebut dijual lagi, berarti sama dengan menjual barang yang bukan atau belum menjadi miliknya. Dalam konteks ini, berlaku hadits Nabi dari Hakim bin Hazzam:

«قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ الرَّجُلُ يَطْلُبُ مِنىِّ الْبَيْعَ وَلَيْسَ عِنْدِيْ أَفَأَبِيْعُهُ لَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ الله e: لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»

“Ya Rasulullah, ada seseorang meminta saya menjual sesuatu yang bukan menjadi milik saya, apakah boleh saya menjualnya kepada orang itu? Beliau menjawab: ‘Kamu tidak boleh menjual sesuatu yang bukan menjadi milikmu.”(H.r. Baihaqi dari Hakim bin Hazzam)

Ketiga, pelaku pasar. Pelaku pasar yang bermain di pasar modal bisa dipilah menjadi dua, yaitu asing dan domestik. Hukum pelaku pasar domestik sama dengan pelaku pasar domestik lain di pasar-pasar lain, selain pasar modal. Meski khusus untuk pasar modal, statusnya berbeda, karena dua aspek di atas. Adapun untuk pelaku pasar asing, maka hukumnya bisa dikembalikan pada status kewarganegaraan masing-masing. Hukum masuknya mereka di pasar domestik kembali kepada status negara mereka. Jika negara mereka adalah negara Kafir Harbi, seperti Amerika, Inggris dan Israel, misalnya, maka mereka dilarang masuk. Dengan kata lain, hukumnya haram. Namun, jika negara mereka adalah Kafir Mu’ahad, maka pelaku asing tersebut diperbolehkan.

Dari ketiga aspek di atas bisa disimpulkan, bahwa pasar modal adalah sarana yang digunakan untuk memperjualbelikan barang atau jasa yang haram, dengan menggunakan mekanisme dan sistem yang diharamkan, dan didominasi oleh para pelaku asing, yang nota bene tidak memihak pada kepenting domestik. Dengan demikian, berlaku kaidah usul:

«الوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ»

“Sarana yang bisa mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya juga haram.”

Jadi, hukumnya jelas haram. Wallahu a’lam.[rofx/hti]


[1] Lihat, al-‘Allamah as-Sayikh Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, 2004, hal. 175-176. Dr. Mahmud al-Khalidi, Iqtishaduna: Mafahim Islamiyyah Mustanirah, ‘Alam al-Kutub al-Hadits, Yordania, 2005, hal. 375.

[2] Untuk lebih detail, silahkan baca buku an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, karya al-‘Allamah as-Sayikh Taqiyuddin an-Nabhani, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, 2004, hal. 271-273.

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...