Sabtu, 21 Januari 2012

SUKUK

Pengenalan Sukuk

Sukuk berasal dari kata “صكوك” bentuk jamak dari kata “صك”dalam bahasa Arab yang berarti cek, atau alat tukar yang sah selain uang. Kata “sukuk” pertama kali diperkenalkan kembali dan diajukan sebagai salah satu alat keuangan Islam pada rapat ulama fikih sedunia yang diselenggarakan oleh Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 2002.

Sukuk bermakna sertifikat dengan nilai yang identik dengan nilai proyek/investasi yang akan diselesaikan yang diumumkan oleh pengeluar sukuk. Oleh karena itu, si pemegang sukuk akan memiliki sejumlah asset dan keuntungan yang diusahakan dengan asset tersebut. Sukuk tidak jauh berbeda dengan surat hutang (conventional bond) biasa, hanya saja sukuk mendasarkan praktinya pada hukum-hukum mu’amalah dalam syariat Islam. Dalam hal ini berarti sukuk menghindarkan dirinya dari 3 hal utama yang menyebabkan keharaman dalam sebuah aktivitas mu’amalah yaitu menghindarkan diri dari Judi (Maysir), Riba, dan ketidak jelasan kontrak (Gharar).

Sebuah sukuk harus dapat menghubungkan keuntungan dan cashflow pembiayaan kepada asset yang dibelinya. Artinya, keuntungan yang dibagikan kepada para pemegang sukuk adalah keuntungan yang memang dihasilkan dari usaha yang menggunakan asset yang dibeli dengan dana sukuk tadi. Dengan begitu, tidak akan terjadi proses jual-beli atas hutang, yang mana hal ini dilarang oleh syariat Islam.

Sehingga jika diringkas, maka 3 konsep utama sukuk yang membedakannya dengan surat hutang konvensional adalah:

1. Transparansi serta kejelasan atas hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat,

2. Sukuk harus dilandasi oleh asset riil, bukan hanya kertas dari pasar derivative,

3. Bahwa pendapatan dari investasi ini harus berasal dari usaha yang melibatkan asset sehingga tidak terjadi proses jual-beli hutang.

A. Mengapa perlu ada sukuk?

Baiklah, sekarang ada apa dengan dengan surat hutang konvensional (conventional bond) sehingga kita memerlukan instrumen lain yang tidak bertentangan dengan syariat Islam? Tentu saja pada surat hutang konvensional terdapat unsur riba yang dilarang untuk dipraktekan apalagi dimakan oleh umat Islam seperti dalam perintah Allah SWT di Al-Qur’an dan hadits. Selain itu, mereka yang membeli surat hutang konvensional selalunya tidak tertarik untuk mengetahui kemana uangnya akan disalurkan/digunakan, apakah untuk aktivitas haram atau halal, apakah untuk memproduksi barang-barang haram dan merusak generasi ataukah halal.

Disisi lain, resiko terbesar yang dihadapi oleh para pemegang surat hutang tersebut adalahpayment default, dimana perusahaan yang menjual surat hutang tersebut tidak dapat mengembalikan uang pokok mereka apalagi membayarkan keuntungan tetapnya. Walaupun saat ini banyak lembaga rating yang membantu para invenstor dalam memilih perusahaan mana yang berpeluang memberikan keuntungan tertinggi, tetap saja kecurangan dapat terjadi akibat permainan orang dalam seperti pada kasus sub-prime mortgage di Amerika di mana lembaga rating bekerja sama dengan perusahaan yang mengeluarkan surat hutang agar banyak yang membeli padahal kondisi mereka sedang carut-marut. Sekali lagi, hal ini memberikan gambaran umum kapitalisme bahwa kebanyakan investor tidak berfikiran apakah investasi tersebut benar-benar ke sektor riil ataukah hanya permainan menaik-turunkan bunga semata di pasar uang.

Nah, pada kondisi seperti ini, sebuah alternative bagi umat Islam yang ingin berinvestasi secara aman sangatlah diperlukan. Kita tidak sedang berandai-andai bahwa kita hidup di zaman dahulu dimana kehidupan dunia belum terhubungkan dengan cepat dan terbuka lebar. Kita harus faham bagaimana kaum kapitalis menguasai dunia melalui penguasaan perusahaan-perusahaan yang memenuhi keperluan hidup orang banyak, khususnya Muslim. Apakah Muslim tidak boleh menjadi pemilik perusahaan-perusahaan tersebut? Atau apakah perusahaan-perusahaan milik Muslim tidak boleh masuk bursa disebabkan instrument yang mengandung riba? Muslim berhak dan wajib menguasai perekonomian dunia, dan Islam melalui kekayaan khazanah pemikiran ulamanya telah menciptakan sukuk sebagai instrument pengganti tersebut yang bebas dari unsur riba, judi, dan gharar.

B. Sukuk dalam sejarah

Bukti-bukti dalam berbagai artikel menunjukan bahwa sukuk telah dikenal sejak abad pertama hijriah. Braudel (1973) dalam Adam dan Thomas (2004) mengatakan bahwa kata “cheque” yang digunakan di Barat sebagai ungkapan untuk surat berharga yang memiliki nilai sesuai nilai yang tertulis diatasnya diambil langsung dari kata “sakk”.

Walaupun hadits atau atsar[1] yang menyebutkan tentang sukuk tidaklah banyak, para ulama telah mendapatkan cukup pemahaman yang dapat digunakan untuk mengembangkan sukuk sebagai alat investasi yang adil. Diantara riwayat yang sering dihubungkan dengan sukuk adalah seperti yang dituliskan oleh Imam Malik dalam al-muwatha’:

Yahya meriwayatkan padaku (Imam Malik) dari Malik bahwa ia mendengar tanda terima/resit/kwitansi (sukukun) dibagikan pada penduduk pada masa Marwan ibn al-Hakam untuk barang-barang yang berada di pasar al-Jar. Penduduk membeli dan menjual kwitansi/resit tersebut diantara mereka sebelum mereka mengambil barangnya. Zayd ibn Tsabit bersama seorang Sahabat Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, pergi menghadap Marwan ibn al-Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah engkau menghalalkan Riba?” Ia menjawab, “Naudzubillah! Apakah itu?” Ia berkata, “Resit-resit ini yang dipergunakan penduduk untuk berjual-beli sebelum menerima barangnya.” Marwan kemudian mengirim penjaga untuk mengikuti mereka dan mengambilnya dari penduduk kemudian mengembalikannya pada pemilik asalnya.

Riwayat ini menunjukan keharaman surat jaminan karena dua hal; (1) apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam riwayat tersebut sesungguhnya adalah jual-beli hutang dan, (2) hal-hal yang berhubungan dengan riba al-nasi’ah terutamanya pada penggunaan dayn dalam pertukaran (sarf) barang yang sama jenisnya.

Jelas riwayat ini seperti menutup pintu untuk keberadaan sukuk. Tetapi yang menjadi catatan penting dalam mu’amalah adalah bahwa “semua aktifitas mu’amalah adalah halal sampai ada dalil yang menjelaskan keharamannya”. Sehingga, sukuk dalam mekanisme dan persyaratan tertentu yang menghindarkan diri dari kedua unsur yang disebutkan dalam riwayat di atas adalah boleh dan halal. Abu Hanifa dan muridnya Abu Yusuf memberikan pandangan bahwa penjualan sesuatu/properti yang belum diterima oleh si penjual namun sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat dicek keberadaannya) adalah diperbolehkan. Maka dari sinilah pondasi instrument bernama sukuk di abad modern ini bermula. (Abu Fahmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...