Minggu, 10 Juli 2011

DELIK ADAT

MAKALAH
Oleh: Sukabul
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam proses kehidupan manusia, tentu akan ada perselisihan maupun pelanggaran yang dilakukan. Pelanggaran yang terjadi bisa saja merupakan pelanggaran yang berat karena merugikan banyak kalangan dan mencakup bukan hanya mencakup satu dimensi serta pelanggaran yang berada setingkat dibawah pelanggaran berat.
 Jika menggunakan hukum negara, maka penyelesaian pelanggaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentu sudah jelas melalui proses peradilan. Namun bagaimana jika diselesaikan secara hukum adat?

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian delik adat?
2.      Apa jenis-jenis delik adat?
3.      Bagaimana penyelesaian delik adat?

C.    Tujuan
1.      Memahami pengertian delik adat.
2.      Mengetahui jenis-jenis delik adat.
3.      Memahami cara menyelesaikan delik adat.
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Delik Adat
Delik adat terjadi jika melanggar ketentuan dasar hukum adat, yang diantara fungsi utamanya (dasar hukum adat) adalah sebagai berikut:
1.      Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya berperilaku, sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat.
2.      Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
3.      Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali
4.      Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antara warga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.[1]
Sebelum membahas lebih jauh tentang delik adat -terkhusus pengertian delik adat itu sendiri- perlu kiranya penulis sampaikan bahwa ruang lingkup delik adat meliputi lingkup dari hukum perdata adat,[2] yaitu hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum waris.[3] Atau dengan istilah lain hukum perdata adat terdiri atas hukum tentang orang, hukum waris, dan hukum perjanjian.
Dalam suatu masyarakat tentunya terdapat norma tersendiri dalam menilai terhadap hal apa yang baik dan apa yang buruk. Dimana perihal apa yang buruk atau sikap tindak yang dipandang sangat tercela itu akan mendapatkan imbalan yang negatif.
Ahmad Taufiq seorang mahasiswa jurusan hukum universitas Gadjah Mada (UGM) dalam artikelnya berjudul Hukum Adat Delik Adat memaparkan definisi dari delik adat dengan mengutip pendapat Van Vollenhoven. Berikut kutipannya “Menurut Van Vollenhoven, delik Adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan kesalahan yang kecil saja.[4]
Soepomo sebagaimana dikutip oleh Bewa Ragawino, SH. MSI. menyatakan bahwa Delik Adat:
“ Segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya”
Selanjutnya dinyatakan pula:
“Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat”.[5]

Walaupun terkesan abstrak, tetapi dapat diperoleh suatu pedoman sebagai ukuran dalam menentukan sikap-tindak yang merupakan kejahatan, yaitu sikap tindak yang mencerminkan ketertiban batin masyarakat dengan ketertiban dunia gaib. Dengan demikian menurut pandangan adat, ketertiban ada dalam alam semesta atau osmos. Kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta warga-warganya ditempatkan didalam garis ketertiban kosmis tersebut.
Mengenai pengertian delik adat ini, Teer Haar memberikan pernyataan bahwa Setiap perbuatan dalam sistem adat dinilai dan dipertimbangkan berdasarkan tata susunan persekutuan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut dilakukan. Pelanggaran yang terjadi di dalam hukum adat atau juga disebut delik adat menurutnya adalah setiap gangguan terhadap keseimbangan dan setiap gangguan terhadap barang-barang materiil dan imateriil milik seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan reaksi adat.[6]
Pada dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhannya yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan, guna memulihkan keadaan ini maka terjadilah reaksi-reaksi adat.[7]
Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat diambil suatu landasan untuk dapat menentukan sikap-tindak yang dipandang sebagai suatu kejahatan, dan merupakan petunjuk mengenai reaksi adat yang akan diberikan.
 Dengan memperhatikan pandangan yang telah penulis kutip dari para pakar hukum, maka dapat diadakan klasifikasi beberapa sikap-tindak yang merupakan kejahatan, yaitu:
1.      Kejahatan karena merusak dasar susunan masyarakat.
2.      Kejahatan terhadap jiwa, harta, dan masyarakat pada umumnya.

B.     Beberapa Jenis Delik Dalam Lapangan Hukum Adat
Berikut adalah paparan beberapa jenis adat dalam lapangan hukum adat sebagaimana disampaikan Bewa Ragawino:
1.       Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat.
2.       Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.
3.       Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung.
4.       Segala perbutan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan mencemarkan suasana batin masyarakat.
5.       Delik yang merusak dasar susunan masyarakat, misalnya incest.
6.       Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum suatu golongan famili.
7.       Delik yang melanggar kehormatan famili serta melanggar kepentingan hukum seorang sebagai suami.
8.       Delik mengenai badan seseorang misalnya melukai.[8]
Dari paparan di atas, beberapa jenis delik dapat digolongkan menjadi delik yang berat dan segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat. Delik yang termasuk kriteria yang berat ini adalah segala pelanggaran yang menganggu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia ghaib. Delik yang termasuk pelanggaran memperkosa dasar susunan masyarakat diantaranya seperti pengkhianatan, pembakaran kampung, hamil tanpa nikah, melahirkan gadis, zina, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan lain sebagainya.

C.    Penyelesaian Hukum dan Petugas Hukum Untuk Perkara Adat
Secara terpisah, masyarakat adat telah memiliki tata cara sendiri dalam menyelesaikan delik adat. Misalnya adanya Undang-Undang nan dua puluh, yakni Undang-Undang tentang hukum adat delik di Minangkabau.
Dalam menyelesaikan delik adat, tidak ada perbedaan antara hukum perdata maupun pidana. Semua ditangani dengan cara yang sama dan oleh hakim yang sama. Hal ini berbeda dengan hukum barat yang membedakan antara peradilan pidana dan perdata.
Penyelesaian delik adat juga tidak mengenal adanya asas legalitas sebagaimana Pasal 1 Ayat 1 KUHP, dimana menurut asas tersebut “suatu hukum diputuskan jika ada undang-undang yang mengatur”. Dalam hukum adat, keputusan dapat diambil dengan pertimbangan tertua /Pemimpin adat, tanpa harus ada aturan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat bersifat terbuka, bukan seperti hukum barat yang bersifat tertutup.
Selain itu, hukum adat lebih bersifat luwes, tidak paten seperti hukum barat sebagaimana termaktub dalam pasal-pasalnya. Dalam hukum adat, seseorang akan dijatuhi sanksi tergantung latar belakang (Sengaja, Tidak sengaja, Terpaksa) dan akibat dari perbuatannya (Merugikan, Sangat Merugikan).[9]
Memang hal ini secara praktik ada di hukum perdata barat, namun keluwesannya tidak sebagaimana hukum adat yang sangat kental mempertimbangkan latar belakang pelanggaran.
Rawagino menyatakan bahwa menurut Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat desanya, termasuk juga perkara delik adat. bahkan di dalam kenyataan saat ini, hakim perdamaian desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus delik menurut KUH Pidana. Delik-delik adat yang juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganggap sebagai suatu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana.[10]
Jadi, menurut Ragawino, dengan adanya hukum pidana dan perdata barat sejatinya meringankan tugas hakim perdamaian adat, dimana masyarakat rela jika permasalahan yang terjadi diselesaikan dalam undang-undang tersebut, namun hal ini mengurangi substansi dari Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat.

BAB III
PENUTUP
 A.    Simpulan
Delik adat merupakan pelanggaran pidana maupun perdata adat yang jenis-jenisnya dapat dikerucutkan ke dalam dua bagian. Yakni delik adat yang berat dan pelanggaran yang merusak tatanan masayarakat.
Dalam penyelesaian delik adat, diutamakan unsur perdamaian melalui hakim perdamaian desa selaku pengendali delik adat. Jika tidak tercapai perdamaian, maka kepala adat dapat memberikan sanksi sesuai latar belakang serta akibat pelanggaran tersebut.

B.     Saran
Akhir-akhir ini tentunya kita akrab dengan idiologi-idiologi radikal yang terkesan bersikap acuh tak acuh bahkan sulit menerima -kalau tidak ingin dikatakan tidak sama sekali- terhadap budaya, adat istiadat suatu masyarakat khususnya di Indonesia. Ironisnya lagi, target mereka bukan hanya sekedar adat atau sebagian masyarakat. Akan tetapi NKRI dengan pancasila sebagai idiologi negara pun mereka gerogoti. Tentunya kalau berfikir lebih, hal ini merupakan suatu delik dalam tinjauan hukum positif maupun hukum adat. Sebagai warga negara yang baik dan muslim yang taat tentunya perlu kita sematkan dan tanamkan dalam hati kecintaan terhadap bangsa dan negara. Karena “hubbul wathan minal iman”.
Keanekaragaman suku, bahasa dan budaya membuat Indonesia kaya akan adat istiadat. Mari kita jaga kelestarian adat istiadat tersebut sebagai bagian dari jati diri dan pribadi bangsa Indonesia.
  
BIBLIOGRAFI

Haar, B. Ter, Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht, alih bahasa oleh Soebakti Poesponoto, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita

Koesnoe, Mochammad, 1998, Menuju Kepada Penyusunan Teori Hukum Adat Dalam Hukum Adat dan Modernisasi Hukum.  Jogjakarta: Fakultas Hukum UII

Labera, Ahmad Taufiq, Hukum Adat Delik Adat, sumber; http://www.labera.tk/2011/02/hukum-adat-delik-adat.html

Panjalu, Gandhung Fajar, Delik Adat dan Penyelesainnya, sumber; http://www.masterfajar.co.cc/2010/01/delikadat-dan-penyelesaiannya.html

Ragawino, Bewa, tt., Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat di Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran,

Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko, 1983 Hukum Adat Indonesia,  Jakarta: Rajawali Press




[1] Gandhung Fajar Panjalu, Delik Adat dan Penyelesainnya, sumber; http://www.masterfajar.co.cc/2010/01/delikadat-dan-penyelesaiannya.html . tanggal akses 06 Mei 2011
[2] Hukum perdata yang berlaku di Indonesia terdiri atas hukum perdata adat dan hukum perdata Eropa atau hukum perdata Barat. Hukum perdata adat timbul secara turun-temurun dari nenek moyang Indonesia. Hukum perdata adat ini berlaku untuk masyarakat adat, yaitu masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi hukum adat. Hukum adat yang berbentuk tidak tertulis kurang dapat memberikan kepastian hukum, karena orang tidak dapat mengetahui dengan jelas peraturan hukum yang mengatur suatu peristiwa hukumnya yang terjadi dalam masyarakat, dan orang tidak mengetahui juga kedudukannya dalam hukum, artinya tidak mengetahui hak dan kewajiban seseorang dalam hukum. _, Hukum Perdata Barat dan Hukum Perdata Adat, sumber: http://www.indolawcenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1480%3Ahukum-perdata-barat-dan-hukum-perdata-adat&catid=168%3Ahukum-perdata&Itemid=237 . tanggal akses; 06 Mei 2011
[3] Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat di Indonesia, (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran, tt.), hlm. 114
[4] Ahmad Taufiq Labera, Hukum Adat Delik Adat, sumber; http://www.labera.tk/2011/02/hukum-adat-delik-adat.html . tanggal akses 06 Mei 2011
[5] Bewa Ragawino, Op., Cit., hlm. 114
                [6]  B. Ter Haar, Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht, alih bahasa oleh Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), hlm. 125
[7] Menurut Soerjono Soekanto reaksi masyarakat terhadap terjadinya suatu delik atau perilaku yang dianggap menyeleweng, maka masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya, telah menggariskan ketentuan-ketentuan tertentu di dalam hukum adat, yang fungsi utamanya adalah untuk; (1). Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya berprilaku sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat. (2). Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban. (3). Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali. (4). Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antara warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan. Lebih jelasnya rujuk kembali dalam; Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia,  (Jakarta: Rajawali Press, Cetakan Kedua, 1983). hlm. 314
Oleh karena itu, perilaku yang dianggap menyeleweng dari ketentuan adat, maka akan mendapatkan reaksi adat tertentu. Reaksi adat ini juga termasuk mengakomodasi kehendak masyarakat untuk dilakukan pemulihan kembali keadaan yang dianggap telah rusak keseimbangannya akibat delik yang dilakukan seseorang. Reaksi adat ini dapat berupa: (a). Penggantian kerugian immaterial dalam pelbagai rupa, seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan. (b). Bayaran  uang adat kepada korban, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rokhani. (c). Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran aib. (d). Penutup malu dan permintaan maaf. (e). Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati. (f). Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan seseorang di luar tata hukum. Lihat; Mochammad Koesnoe. Menuju Kepada Penyusunan Teori Hukum Adat Dalam Hukum Adat dan Modernisasi Hukum.  (Jogjakarta: Fakultas Hukum UII, 1998), hlm. 63.
[8] Bewa Ragawino, Op., Cit.,, hlm. 116-117
[9] Gandhung Fajar Panjalu, Op., Cit.,
[10] Bewa Ragawino, Op., Cit., hlm. 119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...