Minggu, 10 Juli 2011

ZAKAT DALAM EKONOMI ISLAM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL

ZAKAT DALAM EKONOMI ISLAM
SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL

Oleh: Sukabul & Imam Turmudi            

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna, semuanya Dalam Islam tidak ter-alpakan. Dalam bidang ekonomi yang berskala makro pun Islam memberikan perhatian lebih terhadapnya.
Diantara kebijakan negara dalam hal ekonomi adalah posisi zakat dalam Islam yang juga sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal.
Zaman yang terus maju disertai perkembangan ekonomi negara dan dunia, banyak orang memandang zakat sebagai suatu hal yang tak penting dalam ekonomi. Hal ini barangkali berangkat dari ketidakmauan dalam memahami konsep ekonomi Islam itu sendiri. Padahal secara historis dan konsep apabila benar-benar difahami dan diterapkan tentunya akan berbeda dengan perspektif para penganut sistem konvensional. Zakat akan membawa warna tersendiri bagi ekonomi, angin segar akan datang dan ekonomi pun terasa berkah.
 
B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana relevansi antara zakat dengan ekonomi?
2.      Seberapa urgen kah peranan zakat apabila dijadikan istrumen kebijakan fiskal negara?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Zakat
Diantara arti zakat secara bahasa adalah kesucian, kelayakan dan kebaikan. Dalam karyanya al-Anwal fiy Daulah al-Khilafah, Abdul Qadim Zallum[1] berkata bahwa shadaqah yang menjadi sumber pemasukan baitul mal adalah zakat. Istilah shadaqah digunakan untuk menyebut zakat, begitu pula digunakan istilah zakat terhadap shadaqah. Zakat menurut bahasa artinya berkembang (an-namaau), berarti juga pensucian (tathhir)[2]. Dalam khasanah bahasa, kata zakat memang kaya intrepetasi. Disebutkan pula bahwa zakat berarti al-namau (berkembang), al-rai’ (produk, pemasukan, inkam, pendapatan), dan al-ziyadah (tambahan). Diantara makna zakat secara bahasa ini dapat dilihat pada perkataan sahabat Ali “al-ilmu yazku bi al-infaq”. Selain itu zakat juga berarti al-shalah (baik). Makna zakat secara bahasa juga dapat dilihat diantaranya dalam firman Allah dalam QS. Al-Kahfi (18): 81,
فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
Artinya: Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).[3]

Dan dalam QS. Al-Nur (24): 21
 ...وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا ...
Artinya: ... Sekiranya tidaklah Karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya...[4]

Menurut istilah fiqh zakat diartikan sebagai menjalankan kewajiban atas harta tertentu yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan khusus dan kewajibannya didasarkan pada hitungan haul dan nisab.[5] Ta’rif ini dirasa kurang mengakomodir semua jenis zakat. Zakat fitrah misalnya, mempunyai ketentuan yang tidak didasarkan pada hitungan haul dan nishab. Untuk lebih objektif dapat kita lihat definisi zakat secara istilah dalam litelatur fiqh lainnya baik klasik maupun kontemporer. Diantara Taqiyyudin al-Husaini[6] (fuqaha’ klasik kalangan Syafi’iyah) dan Wahbah al-Zuhailiy (fuqaha’ kontemporer). Taqiyyudin al-Husaini memaparkan definisi zakat sebagai nama suatu kadar harta tertentu yang ditasharufkan kepada golongan-golongan tertentu dengan beberapa syarat.[7] Wahbah menawarkan definisi zakat secara global sebagai hak yang wajib atas harta dan kemudian beliau mengutip definisi zakat antar mazdhab sebagai berikut:
  1. Menurut Malikiyah zakat adalah mengeluarkan sebagian yang telah ditentukan dari harta yang tertentu pula yang telah mencapai nishab dan haul.
  2. Menurut Hanafiyah zakat adalah memberikan sebagian harta tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu pula.
  3. Syafi’iyah mendefinisikan zakat sebagai nama sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan berdasarkan kriteria tertentu.
  4. Hanabilah mendefinisikan zakat sebagai hak yang wajib dalam suatu harta yang diberikan kepada golongan tertentu dalam masa tertentu pula.[8]

B.      Sistem Ekonomi Zakat
Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu vertikal dan horizontal. Zakat merupakan ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (habl min allah; vertikal) dan sebagai kewajiban kepada sesama manusia (habl min al-nas; horizontal). Zakat juga sering disebut sebagai ibadah kesungguhan dalam harta (maliyah ijtihadiyah). Tingkat pentingnya zakat terlihat dari banyaknya ayat yang menyandingkan perintah zakat dengan perintah shalat. Demikianlah hahikat daripada zakat itu sendiri.
Dalam dimensi horizontal (habl min al-nas), zakat merupakan satu ciri dari beberapa ciri sistem ekonomi Islam. Sebagai bagian dari sistem ekonomi dalam Islam, zakat mempunyai enam prinsip[9] yang erat dan akrab dengan wajah Islam itu sendiri. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
  1. Prinsip keyakinan keagamaan. Maksud dari prinsip ini yaitu bahwa orang yang membayar zakat merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan agamanya.
Prinsip yang pertama, zakat sebagai manifestasi dari keyakinan agama, berarti sebagai muslim yang meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah dan percaya bahwa Muhammad adalah utusanNya, sudah seharusnya seorang muslim tersebut menjalankan semua perintah Syari’ (Allah dan Nabi). Karena apabila tidak menjalankan kewajiban kelak akan mendapat siksaan.  Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2); 43,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.[10]

  1. Prinsip pemerataan dan keadilan. Yang berarti merupakan tujuan sosial zakat yaitu membagi kekayaan yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada manusia.
Prinsip yang kedua ini merupakan prinsip secara global dalam prinsip-prinsip hukum Islam. Keadilan yang dituntut oleh Islam mempunyai beragam makna, mencakup keadilan dalam penetapan hukum, penegakan sistem kemanusiaan, dan sebagainya.[11] Termasuk keadilan sosial ekonomi yang salah satu instrumennya adalah melalui zakat. Keadilan adalah syarat bagi terwujudnya kesempurnaan pribadi dan standar kesejahteraan masyarakat. Apabila zakat benar-benar berjalan dan dikelolah secara baik oleh pemerintah tentunya sedikit banyak akan membantu terwujudnya keadilan dan pemerataan ekonomi bagi rakyatnya. Karena dengan adanya zakat -dengan catatan tepat dan benar pengelolahannya- maka keadilan akan dirasakan oleh semua kalangan terlebih orang-orang yang termasuk mustahiq zakat dan program pemerataan ekonomi dapat terbantu. Dan sangat memungkinkan dengan adanya zakat pertumbuhan ekonomi masyarakat dan negara akan mengalami peningkatan yang signifikan. Karena para mustahiq zakat dapat mengembangkan usahanya lewat harta zakat dan akhirnya sukses kemudian ganti posisi sebagai muzakki (pemebri zakat).
  1. Prinsip produktifitas. Yakni menekankan bahwa zakat memang harus dibayar oleh muslim karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu tertentu. Prinsip ketiga ini juga berkaitan dengan prinsip sebelumnya yakni mewujudkan keadilan. Bagi muslim yang mempunyai kemampuan menghasilkan suatu harta dan sudah memenuhi kriteria wajib zakat maka harus membayar zakat tersebut.
  2. Prinsip nalar. Maksud dari prinsip ini bahwa sangat rasional zakat terhadap harta yang menghasilkan itu harus dikeluarkan. Ada hikmah tersendiri akan keharusan mengeluarkan zakat terhadap harta yang menghasilkan. Diantara tujuannya adalah sebagai pensuci harta dan mempererat silahturahmi serta meningkatkan syukur terhadap  karunia tuhan.
  3. Prinsip kebebasan.
Zakat hanya berlaku bagi orang-orang islam yang merdeka. Ketentuan ini merupakan salah satu syarat dari Syarat wajibnya zakat.[12] Sebagaimana yang disebutkan oleh Wahbah al-Zuhaily, bahwa fuqaha’ sepakat zakat tidak wajib bagi seorang hamba. Hal ini dikarenakan seorang hamba tidak mempunyai kepemilikan atas harta, kepemilikan harta yang ada pada seorang hamba adalah kewenangan sayyid. Menurut jumhur ulama’ zakat tersebut wajib dikeluarkan oleh majikannya karena dia lah yang memiliki harta tersebut. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa tidak ada zakat terhadap harta hamba bagi hamba itu sendiri dan juga majikannya. Hal itu dikarenakan kepemilikan seorang hamba sifatnya naqs kurang), padahal zakat berlaku hanya pada kepemilikan yang sempurna dan majikan tidak mempunyai kepemilikan atas harta hambanya.[13]
  1. Prinsip etika dan kewajaran. Yakni zakat tidak dipungut secara semena-mena.
Pemungutan zakat harus disesuaikan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Tentunya sangat ironis apabila tindakan sewena-wena dilakukan dalam penarikan zakat. Semisal seorang yang seharusnya adalah mustahiq zakat justru ditarik zakat. Hal ini tidak berkesinambungan dengan prinsip yang kedua berupa keadilan dan pemerataan. Seharusnya zakat bisa mewujudkan keadilan dengan adanya uluran tangan dari si kaya kepada si miskin bukan sebaliknya yakni adanya unsur pemerasan terhadap rakyat miskin dengan dipaksa memberi upeti untuk penguasa dengan embel-embel zakat. 
Dilihat dari prinsip-prinsip zakat diatas dapat kita lihat bahwa tujuan utama dari zakat itu sendiri adalah untuk mewujudkan (salah satu instrumen) keadilan dalam sosial ekonomi. Fahad al-Hisyami[14] dalam artikelnya yang berjudul “Zakat dan Ekonomi Islam” mengutip beberapa pendapat para cendekiawan tentang tujuan zakat yang substansinya adalah ijad al-adl dalam ranah sosial dan ekonomi. Berikut adalah kutipan langsungnya:

Menurut Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin (Kahf,1999).
Muhammad Daud Ali menerangkan bahwa tujuan zakat adalah : (1) mengangkat derajat fakir miskin; (2) membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil dan mustahik lainnya; (3) membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya; (4) menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta; (5) menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin; (6) menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat; (7) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang terutama yang memiliki harta; (8) mendidik manusia untuk berdisiplin menunaika kewajiban dan menyerahkan hak orang lain padanya; (9) sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial (Ali, 1988).
Sedangkan menurut M.A. Mannan, secara umum fungsi zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati sikaya. Sedangkan dalam bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat.[15] 
Dalam pengelolaan zakat terdapat beberapa prinsip-prinsip yang harus terealisasi agar pengelolahan zakat dapat berhasil sesuai yang diharapkan, diantara:
  1. Prinsip Keterbukaan.
  2. Prinsip Sukarela.
  3. Prinsip Keterpaduan.
  4. Profesionalisme.
  5. Prinsip Kemandirian.
Prinsip Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat hendaknya dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum. Prinsip Sukarela, artinya bahwa dalam pemungutan atau pengumpulan zakat hendaknya senantiasa berdasarkan pada prisip sukarela dari umat islam yang menyerahkan harta zakatnya tanpa ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang dianggap sebagai suatu pemaksaan. Prinsip Keterpaduan, artinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus dilakukan secara terpadu diantara komponen-komponen yang lainnya. Proesionalisme, artinya dalam pengelolaan zakat harus dilakukan oleh mereka yang para pakar dibidangnya baik dalam administrasi, keuangan dan sebaginya. sedangakan prinsip Kemandirian, sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip prefesionalisme, maka diharapkan lembaga-lembaga pengelola zakat dapat mandiri dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu mengunggu bantuan dari pihak lain.[16]
Dari uraian diatas dapat dilihat betapa berpengaruhnya zakat apabila diintegrasikan dalam kerangka teori kebijakan fiskal karena kedudukan zakat jika diadopsi sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal, terutama pengaruhnya terhadap hukum (fiqh) zakat dan kesejahteraan masyarakat.
Tujuan kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam berbeda dari ekonomi konvensional, dalam pandangan sistem konvensional, konsep kesejahteraan hidup adalah untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin bagi individu di dunia ini. Sedangkan dalam Islam, konsep kesejahteraannya sangat luas, meliputi kehidupan di dunia dan di akhirat serta peningkatan aspek spiritual lebih ditekankan daripada aspek materi.

C.      Jenis-jenis Zakat
Dalam al-Anwal fiy Daulah al-Khilafah, salah satu buku mu’tamad yang dijadikan rujukan partai Islam yang berasal dari Palestina (Hizbut Tahrir) disebutkan dan dijelaskan ada empat jenis macam zakat mal dilihat dari objeknya. Empat jenis zakat tersebut adalah zakat hewan,  zakat tanaman dan buah-buahan, zakat emas dan perak, zakat perdagangan. Demikian pula empat macam zakat diatas disebutkan dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyah terbitan Kementrian Wakaf negara Kuwait yang berjumlah 45 jilid dan kitab ‘Umdah al-Raghib fiy Mukhtasar Bughyah al-Thalib karya Syekh Abdullah al-Hariri. Sedangkan Wahbah al-Zuhaily dan Abdurrahman al-Jaziri menyebutkan ada lima macam zakat mal yakni ke empat zakat sebagaimana tersebut diatas ditambah dengan zakat pertambangan.
Tentunya tulisan ini bukan diformulasikan untuk fokus membahas perbedaan pendapat diantara fuqaha’ tentang jumlah macam zakat yang substansinya juga sama. Dalam sub makalah ini, meskipun masih sangat global, bahasan lebih diarahkan kepada pemahaman terhadap jenis-jenis zakat mal dan ketentuan-ketentuan yang bersangkutan.

  1. Zakat Hewan Ternak
Telah terjadi konsesus fuqaha’ atas kewajiban zakat pada hewan ternak yang meliputi:
a.       Unta
Nisab zakat unta dimulai dengan batas minimal lima unta. Hal ini berdasarkan hadits Abi Sa’id al-Khudriy dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda:
ليس دون خمسة ذود صدقة
Artinya: Tidak terkena zakat untuk jumlah unta kurang dari lima ekor. (HR. Muttafaq ‘Alaihi).

Arti dzawudi adalah bilangan unta yang jumlahnya antara tiga sampai enam ekor. Barangsiapa memiliki unta kurang dari lima ekor, maka tidak wajib zakat atasnya. Barangsiapa memiliki unta lima ekor yang digembalakan dan telah berumur genap setahun, maka wajib atasnya zakat seekor kambing.[17]
Ketentuan nishab unta adalah sebagai berikut:
1)      Awal nishab unta adalah 5 ekor, zakatnya seekor kambing dha’n (kambing yang memiliki bulu lebat/domba) yang berumur satu tahun dan masuk tahun ke dua, atau kambing yang berumur dua tahun dan masuk tahun ke tiga.
2)      10 ekor unta, zakatnya dua ekor kambing.
3)      15 ekor unta, zakatnya 3 kambing
4)      20 ekor unta, zakatnya 4 ekor kambing
5)      25 ekor unta, zakatnya 1 bintu makhadh
6)      36 ekor unta, zakatnya 1 bintu labun
7)      46 ekor unta, zakatnya 1 hiqqah
8)      61 ekor unta, zakatnya 1 jadza’ah
9)      76 ekor unta, zakatnya 2 bintu labun
10)    91 ekor unta, zakatnya 2 hiqqah
11)   121 ekor unta, zakatnya 3 bintu labun. Dan seterusnya.[18]
b.      Sapi
Zakat sapi diwajibkan berdasarkan Sunnah dan ijma’ sahabat. Dasar Sunnah adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dzar dari Nabi saw bahwa beliau bersabda yang artinya “Tidak ada yang memiliki unta, sapi atau kambing, kemudian tidak mengeluarkan zakatnya, kecuali didatangkan di hari kiamat nanti yang lebih besar, yang lebih gemuk, dan binatang-binatang itu akan menginjak-injak dan menanduknya. (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Batas nishab pertama yang diwajibkan atas sapi untuk dikeluarkan zakatnya adalah 30 ekor, dengan ketentuan nishab sebagai berikut:
1)      30 ekor sapi zakatnya 1 sapi tabi’  atau tabiah.
2)      40 ekor sapi maka dikeluarkan musinnah.
3)      60 ekor sapi maka dikeluarkan dua ekor tabi’ atau dua ekor tabi’ah.
4)      70 ekor sapi maka dikeluarkan tabi’ dan musinnah.
5)      80 ekor sapi maka dikeluarkan dua ekor musinnah.
6)      90 ekor sapi maka dikeluarkan tiga ekor tabi’ah.
7)      100 ekor sapi maka dikeluarkan seekor musinnah dan dua ekor tabi.
8)      110 ekor sapi maka dikeluarkan dua ekor musinnah dan seekor tabi.
9)      120 ekor sapi maka dikeluarkan tiga ekor musinnah atau empat ekor tabi’ah.[19]
c.       Kambing
Perhitungan nishab kambing adalah sebagai berikut:
1)      Awal nishab untuk kambing adalah 40 ekor, baik berupa dha’n (kambing yang memiliki bulu lebat/domba -pent). Zakatnya 1 ekor jadza’ah domba (usia 6 bulan) atau kambing biasa yang berusia 1 tahun.
2)      121 ekor kambing, zakatnya 2 kambing
3)      201 ekor kambing, zakatnya 3 kambing
4)      400 ekor kambing, zakatnya 4 kambing. Dan setiap kelipatan 100, zakatnya 1 ekor kambing.[20]

  1. Zakat Tanaman dan Buah-buahan
Zakat pertanian dan buah-buahan diwajibkan berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Dalil al-Quran adalah firman Allah QS. al-Anam (6): 141,
وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Artinya: ... Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) pada hari memetik hasilnya (panen)...[21]

Adapun dalil as-Sunnah adalah sabda Nabi saw:
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة
Artinya:  Tidak ada zakat di dalam jumlah kurang dari 5 wasaq. (HR. Muttafaq Alaihi).

Berdasarkan hadits ini, nishab untuk tanaman dan biji-bijian adalah 5 wasaq. Apabila jewawut, gandum, kurma atau kismis belum mencapai 5 wasaq maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.[22]


  1. Zakat Emas dan Perak
Ukuran minimal perak yang harus dikeluarkan zakatnya adalah lima uqiyah, berdasarkan sabda Rasulullah saw yang artinya “Tidak ada zakat kurang dari lima uqiyah.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Ukuran itu Itu setara dengan 200 dirham, karena setiap satu uqiyah sama dengan 40 dirham. Ali bin Abi Thalib berkata “Setiap 200 dirham, zakatnya 5 dirham.”
Dan Ukuran minimal (nishab) dari emas yang harus dikeluarkan zakatnya adalah 20 dinar. Jika kurang dari 20 dinar walaupun satu qirath, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Ali bin Abi Thalib ia berkata “Setiap 20 dinar zakatnya 1/2 dinar, dan setiap 40 dinar zakatnya satu dinar. Nabi saw beliau bersabda bahwa “Tidak ada zakat bagi emas yang kurang dari 20 mitsqal[23].

  1. Zakat Perdagangan
Harta perdagangan adalah sesuatu (selain uang) yang digunakan untuk menjalankan perdagangan, baik dengan pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh keuntungan. Harta perdagangan meliputi makanan, pakaian, kendaraan, barang-barang industri, hewan, barang-barang tambang, tanah, bangunan, dan lain-lain, yang bisa diperjualbelikan.
Barang dagangan harus dihitung pada akhir tahun (haul), baik mencapai nishab atau belum. Maka, jika ternyata pada akhir tahun, mencapai nishab, ia harus dizakati, dan jika tidak sampai nishab maka tidak dizakati. Zakatnya adalah 2,5%-nya.[24]

D.      Dampak Zakat Terhadap Perekonomian
Dalam perspektif ekonomi Islam, zakat dipandang sebagai suatu hal yang sangat penting. bahkan zakat dapat dijadikan instrumen utama kebijakan fiskal suatu negara.
Jika dikelola dengan baik zakat akan menjadi salah satu solusi dari sasaran akhir perekonomian suatu negara. Yakni terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Paling tidak ada beberapa efek jika zakat dikelola dengan baik:[25]
1.      Zakat mendorong pemilik modal mengelola hartanya. Zakat mal itu dikenakan pada harta diam yang dimiliki seseorang setelah satu tahun, harta yang produktif tidak dikenakan zakat. Jadi, jika seseorang menginvestasikan hartanya, maka ia tidak dikenakan kewajiban zakat mal. Hal ini dipandang mendorong produktifitas, karena uang yang selalu diedarkan di masyarakat, akhirnya perputaran uang beredar bertambah. Akhirnya perekonoian suatu negara akan berjalan lebih baik.
2.      Meningkatkan etika bisnis. Kewajiban zakat dikenakan pada harta yang diperoleh dengan cara yang halal. Zakat memang menjadi pembersih harta, tetapi tidak membersihkan harta yang diperoleh secara batil. Maka hal ini akan mendorong pelaku usaha agar memperhatikan etika bisnis.
3.      Pemerataan pendapatan. Pengelolaan zakat yang baik, dan alokasi yang tepat sasaran akan mengakibatkan pemerataan pendapatan. Hal inilah yang dapat memecahkan permasalahan utama bangsa Indonesia (kemiskinan). Kemiskinan di Indonesia tidak terjadi karena sumber pangan yang kurang, tetapi distribusi bahan makanan itu yang tidak merata, sehingga banyak orang yang tidak memiliki kemudahan akses yang sama terhadap bahan pangan tersebut. Dengan zakat, distribusi pendapatan itu akan lebih merata dan tiap orang akan memiliki akses lebih terhadap distribusi pendapatan.
4.      Pengembangan sektor riil. Salah satu cara pendistribusian zakat dapat dilakukan dengan memberikan bantuan modal usaha bagi para mustahiq. Pendistribusian zakat dengan cara ini akan memberikan dua efek yaitu meningkatkan penghasilan mustahiq dan juga akan berdampak pada ekonomi secara makro. Usaha yang dilakukan tersebut merupakan usaha yang meningkatkan sektor riil, menggerakkan pertumbuhan dan aktifitas perekonomian. Hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan komparatif suatu bangsa. Ukuran produktifitas suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan sektor riil-nya dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat.
5.      Sumber dana pembangunan. Banyak kaum dhuafa yang sangat sulit mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun sosial ekonomi. Lemahnya fasilitas ini akan sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum termarjinal. Kesehatan dan pendidikan merupakan modal dasar agar SDM yang dimiliki oleh suatu negara berkualitas tinggi. Peran dana zakat sebagai sumber dana pembangunan fasilitas kaum dhuafa akan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang. Dengan peningkatan kesehatan dan pendidikan diharapkan akan memutus siklus kemiskinan antar generasi.[26]

6.       Aplikasi Empiris Zakat, Infaq dan Shadaqah
Bila berbicara mengenai aplikasi ataupun contoh empiris ZIS di Indonesia tentunya tidak lepas dari badan-badan lembaga yang berwenang dalam menangani perihal tersebut. Semisal pada Zakat, tidak lepas dari badan amil zakat yang tidak lain bertugas menarik dan atau mengumpulkan hingga pada tahap yang teakhir yaitu penyaluran.
Sedangkan kelembagaan zakat di Indonesia diatur dalam Bab III UU Nomor 38 Tahun 1999, meliputi badan amil zakat dan lembaga amil zakat. Badan amil zakat (BAZ) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, dari level pemerintah pusat sampai kecamatan. Badan amil zakat (BAZ) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, dari level pemerintah pusat sampai kecamatan. Badan amil zakat pada semua tingkatan tersebut mempunyai hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif dan informatif. Pengurus BAZ yang meliputi unsur pertimbangan, pengawas dan pelaksana dapat berasal dari unsur pemerintah maupun masyarakat. Sedangkan lembaga amil zakat (LAZ) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat, yang dikukuhkan, dibina dan dilindungi pemerintah. Baik BAZ maupun LAZ bertugas untuk mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai ketentuan agama. Selain zakat, BAZ dan LAZ dapat mengelola dana infaq, sedekah, wasiat, waris dan kafarat. Dalam menjalankan tugasnya, BAZ dan LAZ bertanggungjawab pada pemerintah sesuai tingkatannya. Khusus BAZNAS atau Bazda berkewajiban menyampaikan laporan keuangan tahunan pada DPR atau DPRD.[27]

BAB III
SIMPULAN

Terdapat beberapa poin penting untuk difahami dalam materi yang tersaji. Poin-poin tersebut adalah:
  1. Zakat sangat berkaitan dengan ekonomi. Karena dengan zakat akan terwujud keadilan dalam ranah ekonomi dan sosial masyarakat
  2. Sangat pentingnya zakat sebagai instrumen kebijakan fiskal suatu negara sehingga Islam pun tak meng-alpakan peran tersebut.
  3. Peranan ZIS dalam perekonomian di Indonesia mempunyai kontribusi besar dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan sebuah Negara. Perihal ini dapat dilihat dari manfaat ZIS itu sendiri, diantaranya  mendorong pemodal untuk mengelola hartanya karna zakat mal hanya berlaku pada harta yang diam setelah memenuhi nisob, dan bukan harta yang diinvestasikan dan hal ini akan mengakibatkan perputaran uang secara terus menerus, sehingga dimungkinkan kondisi keuangan di suatu negar akan berjalan stabil  . Zakat mendorong pemilik modal mengelola hartanya. Sedangkan untuk aplikasi ZIS di Indonesia sebagaimana telah diatur dalam kelembagaan zakat Bab III UU Nomor 38 Tahun 1999, meliputi badan amil zakat dan lembaga amil zakat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Husaini, Taqiyudin Abi Bakr Muhammad, 2001, Kifayah al-Ahyar  fiy Hilli Ghayah al-Ikhtishor, Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Al-Zuhailiy, Wahbah, 1987, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr

Departemen Agama RI, 1998, al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra.


http://hadypradipta.blog.ekonomisyariah.net/2009/01/06/di-manakah-eksistensi-zakat-dalam-ekonomi-islam

http://hizbut-tahrir.or.id/2007/05/20/syaikh-abdul-qadim-zallum-amir-hizbut-tahrir-kedua/

http://pujohari.wordpress.com/2009/09/15/sejarah-pengelolaan-zis-di-indonesia

http://salafytobat.wordpress.com/2009/02/01/fiqh-zakat-kitab-fathul-qarib-al-mujib/

Supriyadi, Dedi 2007, Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, Bandung: Pustaka Setia

Wuzarah al-Auqaf wa al-Syuun al-Islamiyah, 1983, Mausu’ah al-Fiqhiyah, Kuwait: Wuzarah al-Auqaf wa al-Syuun al-Islamiyah

Zallum, Abdul Qadim, 2009, al-Anwal fiy Daulah al-Khilafah, alih bahasa oleh Ahmad S. dkk., Sistem Keuangan Negara Khilafah, Jakarta: HTI-Press






[1] Beliau adalah aktivis dan amir Hizbut Tahrir kedua setelah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. Nama lengkap beliau Abdul Qadim bin Yusuf bin Abdul Qadim bin Yunus bin Ibrahim. Abdul Qadim Zallum lahir pada tahun 1342 H –1924 M. dan wafat di Beirut pada malam Selasa tanggal 27 Shafar 1423 H – 29 April 2003 M pada usia lebih dari delapan puluh tahun. Menurut pendapat paling kuat, beliau lahir di Kota al-Khalil, Palestina. Beliau berasal dari keluarga yang dikenal luas dan terkenal keberagamaannya (religius). Ayah beliau rahimahullâh adalah salah seorang dari para penghapal al-Quran (Hafizh al-Quran). Ayahanda Syaikh Zallum bekerja sebagai guru pada masa Daulah al-Khilafah Utsmaniyah. Paman ayahanda beliau, yaitu Syaikh Abdul Ghafar Yunus Zallum, adalah mufti al-Khalil pada masa Daulah al-Khilafah Utsmaniyah. Beliau menempuh pendidikan dasar di Madrasah al-Ibrahimiyah di al-Khalil. Kemudian ayahanda beliau memutuskan untuk mengirim beliau ke al-Azhar asy-Syarif untuk mempelajari fikih. Setelah beliau genap berusia lima belas tahun, ayahanda beliau mengirimkan beliau ke Kairo, yakni ke Universitas al-Azhar. Hal itu terjadi pada tahun 1939 M. Beliau memperoleh ijazah al-Ahliyah al-a’lâ pada tahun 1942 M. Berikutnya, beliau memperoleh ijazah Pendidikan tinggi (Syahâdah al-آliyah) Universitas al-Azhar pada tahun 1947. Kemudian beliau memperoleh Ijazah al-alamiyah dalam bidang keahlian al-Qadhâ’ (peradilan), seperti ijazah doktor sekarang ini, pada tahun 1368 H – 1949 M. Biografi lengkap beliau dengan mudah dapat diakses dalam berbagai situs internet. Adapun kutipan ringkas biografi diatas kami sadur dari situs online HTI; http://hizbut-tahrir.or.id/2007/05/20/syaikh-abdul-qadim-zallum-amir-hizbut-tahrir-kedua/
[2] Abdul Qadim Zallum, al-Anwal fiy Daulah al-Khilafah, alih bahasa oleh Ahmad S. dkk., Sistem Keuangan Negara Khilafah, (Jakarta, HTI-Press, 2009) hlm. 175
[3] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1998).
[4] Ibid.
[5] Wuzarah al-Auqaf wa al-Syuun al-Islamiyah, Mausu’ah al-Fiqhiyah, (Kuwait: Wuzarah al-Auqaf wa al-Syuun al-Islamiyah), 1983, juz 23 hlm. 226
[6] Dia adalah Taqiyuddin Al Husni Abu Bakar Muhammad bin Husaini al-Husni al-Syafi’iy, wafat tahun 829 Hijriah. Kifayah al-Akhyar fiy Hilli Ghayah al-Ikhtishor merupakan salah satu kitabnya yang amat Populer dikarangan Pesantren-pesantren Tradisional. Kitab ini memang cukup baik metode pensyarahannya, karena banyak mengutip dalil-dalil fiqh Dari hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
[7] Taqiyudin Abi Bakr Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Ahyar  fiy Hilli Ghayah al-Ikhtishor, ( Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), Juz 1, hlm. 252
[8] Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1987), juz 2, hlm. 730-731
[9] Untuk menyatukan persepsi kiranya perlu untuk difahami terlebih dahulu arti dari prinsip itu sendiri. Dedi Supriyadi mengutip pendapat Juhaya S. Praja mengatakan bahwa prinsip secara bahasa adalah permulaan, tempat pemberangkatan, titik tolak atau mabda’. Lebih lanjut –mengutip Masjfuk Zuhdi- prinsip adalah asas yang bermakna kebenaran yang dijadikan pokok dasar orang berfikir., bertindak dan sebagainya. Lihat; Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, (Bandung, Pustaka Setia, 2007), hlm. 157
[10] Departemen Agama RI, op., cit.,
[11] Dedi Supriyadi, op., cit., hlm. 160
[12] Syarat wajib zakat yakni  al-hurriyah, Islam, baligh dan berakal, harta termasuk dari harta yang wajib dizakati, harta mencapai satu nishab, kepemilikan harta secara sempurna, harta adalah ziyadah dari kebutuhan pokok. Lihat selengkapnya dalam; Wahbah al-Zuhailiy, op., cit., Juz 2hlm. 738-750
[13] Ibid., juz 2, hlm. 738
[14] Fahad Al Hiyami, adalah salah satu Pengasuh Pondok  Buntet Pesantren. Buntet Pesantren adalah nama sebuah Pondok Pesantren yang umurnya cukup tua. Berdiri sejak abad ke 18 tepatnya tahun 1785. Menurut catatan sejarah seperti yang tertulis dalam buku Sejarah Pondok Buntet Pesantren karya H. Amak Abkari, bahwa tokoh Ulama yang pertama kali mendirikan Pesantren ini adalah seorang Mufti Besar Kesultanan Cirebon bernama Kyai Haji Muqoyyim (Mbah Muqoyyim).
[16] ibid.,
[17] Abdul Qadim Zallum, op., cit.,  hlm. 180
[18] Abu Valech Yanhouth, fiqh Zakat (Kitab Fathul Qarib Al-Mujib), Sumber: http://salafytobat.wordpress.com/2009/02/01/fiqh-zakat-kitab-fathul-qarib-al-mujib/
[19] Abdul Qadim Zallum, op., cit. hlm. 186
[20] Abu Valech Yanhouth, op., cit.
[21] Departemen Agama RI., op., cit.,
[22] Abdul Qadim Zallum, op., cit., hlm. 198
[23] Ibid.
[24] Abu Valech Yanhouth, op., cit.
[25] Hadi Pradipta, Dimanakah Eksistensi Zakat Dalam Ekonomi Islam? (1). Sumber: http://hadypradipta.blog.ekonomisyariah.net/2009/01/06/di-manakah-eksistensi-zakat-dalam-ekonomi-islam
[26] ibid
[27] http://pujohari.wordpress.com/2009/09/15/sejarah-pengelolaan-zis-di-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KILAS SEJARAH DINASTI UMAYAH

Dinasti Bani Umayah adalah sebuah dinasti yang berkuasa dalam dunia Islam dari tahun 661 hingga 750 M. Dinasti ini didirikan setelah kematia...