Senin, 22 Februari 2010

IJTIHAD
DALAM ISLAM

MAKALAH

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam

Oleh
Nama: Sukabul

PROGRAM STUDI MUAMALAH SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AN- NAWAWI
PURWOREJO
2008/2009


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan salah satu aktivitas pokok dalam islam yang telah mendapat legitimasi oleh syâri' (Allah dan Nabi Saw.), pada pertengahan abad ke-4 hijriyah islam bisa dikatakan mengalami puncak kejayaan dalam berbagai bidang, salah satunya pada aspek keilmuan. Terbukti banyak muncul pada saat itu para mujtahid yang berjuang untuk melayani umat, berbagai disiplin ilmu dalam bidang keagamaan yang telah diciptakan pada masa itu sangatlah bervariasi dan bisa dikatakan cukup untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh umat islam pada saat itu. Tidak semua orang bisa berijtihad, sangatlah ketat syarat yang diajukan oleh para ulama' akan hal ini, seperti menguasai disiplin ilmu yang digunakan untuk menentukan suatu hukum, dan juga mengetahui tata cara atau metode-metode ijtihad yang nantinya juga akan berimbas pada pengklasifikasian mujtahid itu sendiri dilihat dari kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Namun aktivitas ijtihad jarang kita jumpai pada masa kini, salah satunya karena umat islam lebih cenderung bertaqlid pada aimmah al-mazdâhib, bahkan ada yang mengatakan pintu ijtihad tertutup, tapi apakah pernyataan itu benar? " Wallâhu a'lam ". Setidaknya jawaban atas apa yang menjadi tanda tanya setelah prolog yang penulis sampaikan akan mendapat titik terang setelah antum membaca dan mencermati karya tulis ini.
B. Rumusan Masalah
1. apa itu ijtihad dan Apa dasar dari ijtihad?
2. Syarat apa saja yang harus ditempuh ketika akan membahas dan menentukan suatu hukum?
3. Adanya bermacam syarat untuk berijtihad, adakah klasifikasi untuk para pelaku ijtihad (mujtahid) berdasarkan syarat yang telah dikuasai?
4. Bagaimana metode berijtihad?
5. Apakah benar peluang untuk berijtihad pada masa kini sudah tidak bisa dalam artian apakah pintu ijtihad itu sudah tertutup?
C. Batasan Masalah
Dalam presentasi makalah ini, kami memberi batasan seputar hal-hal yang berkaitan dengan rumusan masalah yang telah kami paparkan diatas, jika nanti pembahasan keluar dari batasan yang ada, namun dipandang perlu untuk memahaminya, dengan bijak kami akan berijtihad (semaksimal mungkin) untuk memberikan jawaban (baik dalam forum -jika memungkinkan- atau diluar forum) sepengetahuan kami dengan harapan bisa menjadi ilmu yang nafi' bagi penulis dan agar para audiens merasa puas.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Secara harfiah, Ijtihad yang berasal dari kata kerja jahada dapat diartikan dengan kerja keras, sungguh-sungguh, dan pengetahuan mengenai hukum atau yurisprudensi. Secara terminologi ijtihad diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan atas hukum-hukum syara' dengan jalan menggali dari sumbernya (al-ishtinbâth) yang berupa Al-quran Al-sunah. Adapun isim fâ'il (pelaku/orang yang melakukan) dari ijtihad adalah mujtahid.

B. Pensyari'atan Ijtihad
Ijtihad merupakan salah satu pilar pokok tegaknya syari'at islam. Terdapat banyak dalil yang menganjurkan untuk melaksanakannya, diantaranya adalah firman Allah QS. Al-nisâ' 105,
       ••         
Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Pada ayat ini mengandung ketetapan ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas. dan QS. Al-rūm 21,
            ••   •      

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dan dari al-sunah ialah hadits dari Amr ibn al-'Âsh , ia mendengar utusan Allah bersabda:
اذا حَكمَ الحاكمُ فاجتهدَ فاصاب فله اَجْرانِ اذا حَكمَ فاجتهدَ فَاخْطأ فله اجرٌ واحدٌ "رواه البخارى و مسلم"
Artinya: jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian benar, maka bginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala. "HR. Bukhari dan Muslim".
Hadits ini secara implisit menunjukkan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah, tapi baik yang benar maupun yang salah tetap mendapatkan pahala, dalam artian keduanya mendapat legitimasi hukum dari syâri' (yang mempunyai syari'at). Oleh karena itu perbedaan pendapat dari masing-masing imam yang telah mencapai kapasitas untuk berijtihad harus disikapi dengan benar, jangan dijadikan perpecahan. Karena itu adalah rahmat bagi kita. Nabi SAW bersabda "perbedaan pendapat umatku adalah suatu rahmat". Dan juga hadits yang diriwayatkan Muazd bin Jabal ketika mendapat pembekalan oleh nabi sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di daerah yaman. Ketika Nabi bertanya, dengan apa kamu memberi keputusan? Muazd menjawab, dengan kitabullah (Al-quran). Kemudian Nabi berkata, kalau kamu tidak menemukan didalam al-quran? Aku akan menghukumi dengan sunah Rasul-Nya nabi berkata lagi, kalau dalam sunah tidak kamu temukan? Aku akan berijtihad dengan ro'yu. Adapun pengertian ijtihad dengan ro'yu dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah yang dipakai ushuliyin (ulama' ahli usul).

C. Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid
Dalam menentukan kriteria-kriteria seorang mujtahid, para mushonif (pengarang) kitab berbeda-beda pendapat, namun dari ihktilaf tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat seseorang bisa dikatakan mujtahid ketika sudah menguasai delapan bidang pengetahuan.
Pertama, faham dengan makna ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan hukum-hukum syari'at, baik secara lughot (etimologis) atau secara syara' (epistemologis), dan tidak disyaratkan menghafal ayat al-ahkâm (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum) apalagi ayat-ayat Al-qurân secara keseluruan. Cukup hanya mampu merujuknya kembali ketika membutuhkan . Adapun kadar-kadar ayat-ayat hukum yang dalam Al-qurân menurut Al-ghazali, Al-razi, dan Ibn al-Arabi adalah 500 ayat, kemudian Al-Zarkasyi menjelaskan bahwa yang dikehendaki oleh Al-ghazali, Al-razi, dan Ibn al-Arabi hanyalah ayat-ayat yang zhahirnya bermuatan hukum praktis. Lebih dari itu banyak ayat yang apabila digali akan menghasilkan sintesa hukum, tergantung pada kepiawaian dalam menganalisa dalil .
Kedua, mengetahui hadits-hadits tentang hukum, secara lughot ataupun syara' seperti yang telah disebutkan dalam penalaran ayat-ayat Al-qurân. Tidak diharuskan menghafal semua hadits yang berkaitan dengan hukum dan hadits secara keseluruan .
Ketiga, menguasai persoalan-persoalan yang telah menjadi konsensus ulama' terdahulu (ijma'). dalam hal ini, mujtahid tidak harus hafal permasalahan secara keseluruan yang telah disepakai oleh ulama' (ijma'). Cukup hanya memastikan bahwa hukum yang dicetuskan tidak melanggar kesepakatan ulama'.
Keempat, memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum .
kelima, menguasai disiplin ilmu logika (manthiq).
keenam, menguasai bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharaf, balaghoh dan lain sebagainya.
ketujuh, mengetahui nasikh (dalil nash yang menyalin hukum) dan mansukh (dalil nash yang disalin) dari Al-qurân dan Al-sunah, sehingga tidak akan mencetuskan hukum tidak didasarkan pada nash yang telah tersalin hukumnya. Untuk persyaratan ini Wahbah al-Zuhaili memberi solusi untuk merujuk pada kitab-kitab yang menerangkan nasikh dan mansukh. Karena seorang yang akan berijtihad tidak disyaratkan mengetahui secara keseluruan nasikh dan mansukh, yang menjadi keharusan ialah mengetahui bahwa yang menjadi pijakan hukumnya bukan termasuk dalil-dalil yang di nasikh oleh nash yang lain.
Kedelapan, mengetahui kepribadian para râwi (yang meriwayatkan), sehingga dapat memastikan status periwayatannya, kuat atau lemah, shahih atau tidak, diterima atau tidak. Dalam hal ini cukup dengan merujuk pada pendapat imam-imam muhadditsin seperti imam Bukhâri dan Muslim.
Kedelapan syarat ini adalah yang diajukan oleh jumhur ulama', sebenarnya masih terdapat sejumlah persyaratan yang masih diperdebatkan, diantaranya menguasai usul fiqh, syarat ini diajukan Al-ghazali, Mengetahui maqâsid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariat), persyaratan ini diajukan oleh Al-syatibiy. Memiliki kedalaman pemahaman teologi (ilmu kalam), Abu Ishaq meriwayatkan bahwa syarat ini diajukan oleh golongan Qadariyyah. Al-ustazd Abu Mansyur mensyaratkan untuk mengetahui detil-detil cabangan fikih.
D. Stratifikasi Mujtahid
Ijtihad menempati derajat paling tinggi dalam bidang keilmuan syariat islam, sudah pasti persyaratan untuk mencapainya sangat ketat. Adapun syarat yang telah kami paparkan dimuka adalah untuk kualifikasi mujtahid mutlaq. Seiring dengan melemahnya gairah keilmuan islami akhir-akhir ini, muncullah term ijtihad dengan sandaran-sandaran tertentu, sebagaimana yang akan kami paparkan dibawah ini.
Pertama, mujtahid mustaqil, yaitu seorang yang mampu menggali hukum langsung dari Al-qurân dan Al-hadits dengan menggunakan teori usul dan kaidah ciptaan sendiri. seperti qiyas, ihtisan dan lainnya. Masuk dalam kategori ini yaitu para fuqahâ' sahabat, sebagian tabi'in seperti Sa'id bin al-Musayyab dan Ibrahim al-Nakha'i, dan imam-imam madzhab seperti Al-auzâ'i, Laits bin Sa'id, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-syâfi'i, dan Ahmad bin Hambal. Mereka adalah mujtahid mustaqil (independen) meskipun banyak pendapat pendapat dari mereka tidak terkodifikasi secara khusus. Mujtahid mustaqil ini menurut Ibn al-Qayyim sudah terputus semenjak abad ke 4 H. namun Al-suyuti menyangga asumsi tersebut, ia mengklaim bahwa mujtahid mustaqil tetap wujud sampai akhir zaman dengan disandarkan pada hadits:
اِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأمَّةِ عَلى رَأسِ كُلِّ ماِيةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لهَا دِيْنَهَا " رواه ابو داود عن ابى هريرة "
Artinya: Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini (islam) pada penghujung setiap seratus tahun orang-orang yang akan memperbaharui permasalahan agamanya. "HR. Abu Dâwud dari Abi Hurairah ra."
kedua, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil al-muntasib, yaitu seseorang yang padanya telah ditemukan syarat-syarat untuk berijtihad, namun belum mampu menciptakan kaidah-kaidah sendiri dan masih berpegang pada kaidah dan usul imam mazdhabnya. Masuk dalam klasifikasi ini dari kalangan Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zâfr, dari Mâlikiyah seperti Abd al-Rahman bin Qâsim, dan dari Syafi'iyah seperti Al-Buwaithi, Za'farâni, dan Al-Muzani.
ketiga, mujtahid muqoyyad al-mazdhab atau mujtahid takhrij, yaitu seseorang yang menggali hukum dari persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam mujtahidnya. Dengan memakai kaidah-kaidah dan usul imamnya. Seperti Abu Ishaq al-Syairâzi dan Al-Mawardi.
keempat, mujtahid tarjih, yaitu seseorang yang mampu melakukan tarjih (penguatan) terhadap pendapat imam mazdhab dan para muridnya. Seperti Hasan al-Quduriy, Al-Marghinâni pengarang kitab Al-hidayah dari kalangan Hanafiyah.
kelima, mujtahid fatwa, yaitu seseorang yang yang peduli akan kelangsungan mazdhab imamnya, turut melestarikan, mengutip dan mengkaji pendapat imamnya, akan tetapi belum bisa men-tarjih dan memberikan penilaian kuat dan lemah.
E. Metode Ijtihad
Langkah awal yang harus dilakukan ketika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu permasalahan ialah melakukan akumulasi macam-macam disiplin ilmu yang berkaitan dengan obyek permasalahan, seperti gramatika arab, ayat-ayat Al-qurân, hadits-hadits Nabi, pendapat ulama' terdahulu, dan metode-metode qiyas. Kemudian, tanpa terikat dengan fanatisme mazdhab, dilakukan analisa dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama-tama seorang mujtahid harus terlebih dahulu meneliti nash-nash Al-qurân. Tatkala ditemukan ayat-ayat yang menjelaskannya baik secara nash atau zhahir, maka itulah yang harus dijadikan sebagai sandaran hukumnya. Dan ketika tidak ditemukan didalam Al-qurân, maka beranjak pada penelitian sunah Rasulullah, meliputi perkataan, tindakan atau penetapan dan persetujuan Rasulullah. Bila ditemukan penjelasan didalamnya, maka itulah yang harus di adopsi dan dijadikan sebagai keputusan hukum. Kemudian meneliti hasil-hasil ijma' yang valid dari para mujtahid terdahulu. Lalu beralih pada qiyas, dengan menggali illat hukumnya. Sesuai dengan ijtihadnya, diterapkanlah illat-illat tersebut sesuai dengan masâlik al-illat-nya. secara ringkas inilah pilar-pilar penunjang ijtihad, yakni Al-qurân, hadits, ijma' dan qiyas, sebagaimana dikemukakan oleh imam Al-syafi'i. sebagian ulama' menambahkan adanya pengamalan secara kontekstual sesuai dengan ruh syari'at islam.
Adapun metode-metode yang digunakan oleh para mujtahid secara khusus ialah qiyas, maslahah mursalah, urf' (adat), istishab, ihtisan, syar'u man qoblana, qoul sahabat, dan lainnya.
F. Tertutupkah Pintu Ijtihad
Masa setelah Rasulullah Saw wafat sampai pada pertengahan abad keempat hijriyah, ijtihad mencapai perkembangan yang cukup memuaskan dan mengembirakan, bisa dikatakan inilah masa-masa umat islam yang paling gemilang dalam bidang keilmuan khususnya pada fan fiqh. Namun sangat disayangkan setelah masa itu berlalu, seiring dengan kekuasaan islam yang mulai terpecah belah menjadi beberapa Negara, ijtihad ibarat pelita yang menjadi penerang syari'at islam mulai menampakkan indikasi-indikasi kelesuan dan kemunduran. Hal ini disebabkan karena melemahnya kebebasan berfikir, antusianisme terhadap ilmu agama mengalami dekadensi yang pengaruhnya masih kita rasakan sampai sekarang, fanatisme dalam mazdhab, dan munculnya hakim-hakim yang tidak memenuhi persyaratan untuk berijtihad. Aktivitas keilmuan hanya berkutat pada pemikiran mujtahid mazdhab-mazdhab tertentu saja. Dengan dalih melestarikan kemurnian fiqh yang telah dirumuskan imam-imam mazdhab dan para ulama' terdahulu, sebagian ulama' berfatwa bagi semua muslim untuk tetap konsisten pada mazdhab-mazdhab mujtahid terdahulu. Bukan hanya itu, mereka juga mengatakan pintu ijtihad tertutup.
Apakah statemen dari sebagian ulama' itu benar bahwa pintu ijtihad itu sudah tertutup? Dengan menganalisa argumen-argumen dari para ulama' yang mengatakan pintu ijtihad tertutup, yang mana klaim ini tidak berdasarkan pada syara' maupun rasio. yang menjadi sandaran mereka adalah fatwa turun temurun tentang tertutupnya pintu ijtihad dari masa ke masa. Kemudian kita bandingkan dengan argumen para ulama' yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka lebar sebagaimana yang akan kami paparkan dibawah ini:
• Kalau dilihat bahwa ijtihad adalah suatu penggalian hukum dari sumbernya (Al-qurân, Al-sunah, dan Ijma') maka pintu ijtihad masih terbuka lebar. Perkembangan zaman dari berbagai aspek yang begitu cepat akan banyak menimbulkan permasalahan baru yang belum terbahas pada masa lalu, sehingga diperlukan seorang mujtahid yang berijtihad untuk memecahkan problem hukum yang ada pada masyarakat. Menanggapi hal ini Ibn Daqiq al-'id mengatakan "setiap saat tidak akan vakum dari seorang mujtahid, kecuali jika zaman itu telah kacau dan kiamat sudah dekat".
• Wahbah al-Zuhaili menilai penutupan pintu ijtihad merupakan suatu kebijakan temporer pada kondisi dan waktu-waktu tertentu, atau langkah antisipasi timbulnya kekacauan yang diakibatkan oleh aktivitas ijtihad oleh mereka yang bukan ahlinya. Ketika hal-hal tersebut sudah tidak ada lagi, maka wajib kembali pada hukum asal yaitu terbukanya ijtihad. Klaim bahwa pintu ijtihad tertutup adaah lemah, karena tidak berdasarkan pada dalil syara' maupun rasio, mereka hanya mendasarkan pada warisan fatwa tertutupnya pintu ijtihad dari masa ke masa.
• Al-suyuthi dalam karyanya Al-radd 'alâ Man Akhlada Ilâ al-Ardh mengatakan, pendapat mazdhab, wajib berijtihad dan mencela pelaku taqlid. Senada dengan Al-suyuthi, Abu Muhammad al-Baghawi mengatakan menuntut ilmu agama kadang berupa fardhu 'ain dan kadang berupa fardhu Kifâyah, beliau mengatakan menuntut limu yang menyampaikan pada derajat ijtihad, mufti, atau qadhi (hakim) adalah kewajiban yang bersifat kolektif, sehingga bukan lagi termasuk golongan muqollidin (orang-orang yang taklid). Kewajiban ini awalnya bagi semua manusia, hanya saja ketika dalam suatu daerah ada satu atau dua orang yang belajar disiplin ilmu ini maka gugurlah kewajiban itu atas yang lain. Dan sebaliknya jika tidak ada satupun yang melaksanakannya, maka semua penduduk termasuk berbuat maksiat dan berdosa. Hal ini karena meremehkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh syâri'. Allah berfirman dalam QS. Al-taubah 122:
                      
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
• Al-syahrastani mengatakan bahwa semua manusia telah berbuat maksiat atau berdosa jika pada masanya tidak ada satupun orang yang belajar suatu disiplin ilmu yang mendalami dan mengantarkan pada strata mujtahid. Bahwasanya aktivitas yang bersifat duniawi banyak sekali yang tidak dijelaskan secara tegas atau bahkan tidak ditemukan hukumnya dalam Al-qurân, Al-sunah, dan konsensus ulama', maka dari itu perlu adanya penyelesaian agar aktivitas tersebut tidak keluar dari syari'at. Adapun jalan penyelesaiannya yaitu dengan berijtihad.
• Menutup pintu ijtihad akan mempersempit ruang gerak seorang muslim dalam mendalami agamanya, dan itu akan berakibat kurangnya kreativitas muslim yang berdampak pada ketertinggalan dalam khasanah keilmuan.
Demikian adalah argumen sebagian ulama' yang menentang mereka yang mengatakan bahwa pintu ijtihad tertutup.




BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan tentang ijtihad dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan ijtihad itu sendiri akan kami simpulkan beberapa esensi dari makalah yang kami sajikan. Pertama, ijithad dari perspektif ulama' usul fiqh adalah usaha dengan segala kemampuan yang dimiliki (secara maksimal) untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru yang dihadapi masyarakat dunia. Kedua. Ijtihad adalah senjata yang ampuh bagi masyarakat islam dalam menghadapi tantangan global, maka dari itu syâri' (Allah 'azza wa jalla dan Nabi Muhammad SAW) dalam undang-undang dasar islam (Al-qurân dan Al-sunah) telah memberi legitimasi untuk berijtihad baik diterangkan secara eksplisit maupun implisit. Ketiga, tidak seperti dinegara kita yang mana tanpa menguasai berbagai macam disiplin ilmu, hanya dengan bermodalkan ijazah, uang atau yang lainnya kita bisa menjadi hakim yang berwenang untuk memutuskan suatu hukum. Dalam islam, sangatlah ketat dan banyak syarat-syarat yang diajukan untuk bisa berijtihad. Sehingga produk hukumnya jauh lebih maslahat. Keempat, karena ketatnya syarat untuk berijtihad maka ada semacam pembagian mujtahid berdasarkan kapasitas bidang-bidang yang dikuasainya. Kelima, dalam berijtihad ada tata cara tersendiri yang mana ketika menemukan suatu permasalahan maka dialihkan ke Al-qurân, kemudian Al-sunah, dan Ijma' dengan menggunakan metode-metode yang telah ditetapkan. Seperti qiyas, maslahah mursalah, urf' (adat), istishab, ihtisan, syar'u man qoblana, qoul sahabat, dan lainnya. Keenam, berdasarkan pendapat para ulama' yang ada, dapat ditarik suatu konklusi "bahwa ijtihad adalah suatu keniscayaan yang bersifat kolektif (fardhu kifayah), keberadaannya senantiasa dibutuhkaan untuk mendampingi umat dalam merespon perkembangan zaman, maka dari itu salah apabila beranggapan pintu ijtihad tertutup".




BIBLIOGRAFI

Abdusshomad, Muhyidin. 2006, Fiqh Tradisionalis Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Surabaya: Khalista

Ali, Attabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. tt., Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Yayasan ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak

Al-quran digital versi 2.1. 2004

Firdaus. 2004, Usul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Jakarta: Zikrul Hakim

Forum Karya Ilmiah (FKI). 2006, Kilas balik Teoritis Fikih Islam, Lirboyo: PP. Liboyo, Kediri

Hakim, Abdul Hamid. tt., Al-sulam, Jakarta: Al-maktabah al-sa'adiyah putra


Nadwi, M. Fadlil Said al-. tt.Usul fikih Terjemah Syarah al-Waraqat, Surabaya: Al-hidayah

Philosophy of Islamic Law of Transactions, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung


Zuhaili, Wahbah bin Musthofa al-. 1986, Usul al-Fiqh al-Islamiy. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KILAS SEJARAH DINASTI UMAYAH

Dinasti Bani Umayah adalah sebuah dinasti yang berkuasa dalam dunia Islam dari tahun 661 hingga 750 M. Dinasti ini didirikan setelah kematia...