Senin, 22 Februari 2010

SUMBER SUMBER
POKOK HUKUM SYARIAT

MAKALAH

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen pengampuh : Mahsun. M.Ag.


Oleh:
Sukabul


PROGRAM STUDI MUAMALAH JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AN-NAWAWI
PURWOREJO
2009





SUMBER SUMBER
POKOK HUKUM SYARIAT

A. Latar Belakang

Dikatakan " Ketika Ushul (dasar-dasar) telah faham di luar kepala dengan sendirinya lisan akan mengucapkan cabangannya. " kata bijak ini merupakan salah satu motivasi kami dalam belajar dan memahami ushul fiqh. Ushul fiqh sebagai suatu disiplin ilmu dalam islam sangatlah penting untuk kita fahami. Apalagi selain mahasiswa mayoritas dari kita adalah santri. -Wa qila “ ushul fiqh adalah mutiara yang terpendam dalam diri kita” – lantas bagaimana cara kita bisa menggali dan memanfaatkan mutiara tersebut untuk menggapai ridho sang raja diraja penguasa alam semesta? “تعقلون لعلكم “.
Salah satu istrumen terpenting dalam pembahasan fan ini adalah mengetahui sumber-sumber hukum pokok yang telah menjadi konsesus ulama’. Yaitu berupa al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
      …الاية
Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah…(Al-maidah: 49)
Dalam makalah yang kami sajikan -meskipun sangat singkat dan banyak kekurangan- kami mengajak anda semua untuk lebih memahami dan mendalami mashadhir al-ahkam yang telah disepakati. Terutama tentang al-kitab dan al-sunnah dan hal-hal yang bersangkutan dengan kedua sumber hukum pokok tersebut. Dan dalam makalah ini juga -insya Allah- akan sedikit kami singgung pembahasan tentang Ijma’ dan Qiyas.

B. Pengertian Mashadir Al-Syar’iyah

Makna dalil dalam lughot al-arabiyah adalah yang menunjukkan kepada sesuatu, baik bersifat hissiy (inderawi) autaupun maknawiy, baik ataupun buruk. Adapun makna dalil menurut ushuliyyin sebagaimana yang kami kutip dari Abdul wahhab khallaf adalah sesuatu yang dijadikan dalil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia (‘amaliy) dengan didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya baik secara qoth’iy ataupun zhanniy.
“Al-tambih” Sebelum beranjak ke-pembahasan, mungkin akan sedikit rancu apabila tidak kami perjelas -untuk menyegarkan kembali otak-otak yang telah terkontaminasi dengan berbagai macam hal yang syubhat bahkan mungkin lebih dari itu- dan kami ingatkan kembali bahwasanya istilah adillah al-ahkam (dalil-dalil hukum), ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum) dan al-mashadir al-tasyr’iyah lil-ahkam (sumber-sumber hukum islam) merupakan lafadz-lafadz yang mutaradhif mempunyai pengertian yang sama.
Pengertian mashadir al-syar’iyah dalam islam adalah sumber-sumber hukum yang ditetapkan Allah untuk dapat mengetahui perintah-perintah dan larangan-laranganNya. Dengan ungkapan lain Dr. Wahbah al-Zuhailiy memberi definisi bahwa Masadhir al-syar’iyah adalah dalil-dalil syariat yang digunakan untuk menggali hukum-hukum yang berifat syar’iy.
Untuk memperjelas Menurut Wahbah, batasan secara ringkas dalil-dalil tersebut ada kalanya berupa wahyu, yang mana wahyu tersebut adakalanya dibacakan dan ada kalanya tidak dibacakan. Ketika wahyu tersebut dibacakan (matluw) maka dinamakan al-Quran dan apabila wahyu tersebut tidak dibacakan (ghoiru matluw) maka dinamakan al-Sunnah. Adapun yang bukan berupa wahyu, apabila itu merupakan konsensus ulama’ maka dinamakan Ijma’, bila berupa analogi (al-ilhaq) suatu hal dengan lainnya karena adanya titik temu atau persamaan antara keduanya dalam ‘illat hukum maka dinamakan Qiyas. Sedangkan dalil-dalil yang tidak memiliki kriteria yang telah disebutkan dinamakan Istidlal, yang mana klasifikasi ini memiliki beberapa macam jenis.

C. Tertib Urutan Sumber Hukum

Berdasarkan istiqra’ al-ulama’ dapat di tarik kesimpulan bahwa dalil-dalil syar’iyyah yang menjadi sumber intinbat al-hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia ada empat macam, yaitu: al-Quran, al-Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Kemudian beliau Dr. Wahbah al-Zuhailiy memberikan analisisnya dengan memaparkan pembagian dalil menjadi dua klasifikasi. Pertama, yaitu dalil yang telah disepakati oleh mayoritas ulama’ berupa al-Kitab, al-Sunah, Ijma’, dan Qiyas. Kedua, dalil yang masih diperselisihkan oleh jumhur al-ulama’ dalam ber-istidlal dengannya. Dalil-dalil tersebut yang masyhur ada tujuh macam yaitu : al-Istihsan, al-Mashalih al-mursalah atau Istishlah, al-Istishab, ‘urf, Mazhab sahabat, Syar’u man qoblana (syari’at kaum sebelum kita) dan al-Zdaraai’. Selanjutnya dalam menggunakan dalil atau sumber hukum itu sendiri, jumhur ulama’ sepakat bahwa dalil-dalil tesebut mempunyai sistematika yang di mulai dari al-Quran, al-Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Apabila terjadi suatu permasalahan, pertama kali kita harus merujuk pada al-Kitab, jika ditemukan hukumnya dalam al-Kitab maka itulah yang dilaksanakan, kemudian jika tidak ada baru merujuk pada al-Sunah, akan tetapi jika tidak ditemukan hukumnya dalam al-Sunah maka harus di lihat apakah pernah ada mujtahid dalam suatu masa ber-ijma’ mengenai hukumnya ataukah tidak. Lantas apabila ditemukan hukumnya maka hukum tersebut yang dilaksanakan dan jika tidak ditemukan hukumnya seorang mujtahid harus ber-ijtihad untuk mendapatkan hukum kasus tersebut dengan metode men-qiyaskannya dengan hukum yang telah ada dalam nash.
Al-burhan dalam ber-istidlal dengan keempat dalil tersebut adalah firman Allah dalam surat al-Nisa’ 59:
                              
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Adapun sistematika mengenai empat sumber hukum tersebut didasarkan pada hadist dari Muazd bin Jabal ketika mendapat pembekalan oleh nabi sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi qodhi (hakim) di daerah Yaman. Ketika Nabi bertanya kepada mu’azd “dengan apa kamu memberi keputusan?” Muazd menjawab, “dengan kitabullah (Al-quran)”. Kemudian Nabi berkata, “kalau kamu tidak menemukan di dalam al-quran?” “Aku akan menghukumi dengan sunah Rasul-Nya”. Nabi berkata lagi, “kalau dalam sunah tidak kamu temukan?” “Aku akan berijtihad dengan ro'yu”. Adapun pengertian ijtihad dengan ro'yu dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad dalam istilah yang di pakai ushuliyin (ulama' ahli usul).

D. Mashadir Al-Ahkam Al-Syar’iyah Al-Muttafaq ‘Alaiha

Dalam pembahasan ini lebih kami fokuskan pada al-Quran dan al-Sunnah yang menempati urutan pertama dan kedua dalam menetapkan sebuah hukum. Untuk memperjelas berikut adalah pembahasan dari masing-masing empat mashadir yang telah disepakati oleh mayoritas ulama’ berdasarkan sistematikanya.

1. Al-Quran
Al-Quran ada yang mengatakan al-kitab, yang secara lughot dimutlakkan pada makna tulisan dan sesuatu yang di tulis, kemudian diungkapkan sebagai kitab Allah yang di tulis dalam beberapa mushaf. Secara harfiyah al-Quran adalah bentuk masdar yang bermakna qiraah (bacaan) yang kemudian secara ‘urfiyah diungkapkan sebagai kalam Allah swt. yang di baca oleh lisan-lisan para hamba.
Sedangkan secara terminologi, al-Quran atau al-Kitab diartikan sebagai kalam Allah berbahasa arab yang diturunkan (al-munazzal) kepada nabi Muhammad saw. Sebagai mu’jizat yang tertulis dalam lembaran-lembaran yang teriwayatkan secara mutawatir dan mengandung nilai ibadah jika membacanya. Dikecualikan dari ketentuan al-munazzal ‘ala al-nabiy yaitu kitab Taurat, injil dan lainnya. Dan dari al-i’jaz (sebagai mu’jizat) yaitu hadits-hadits rabbaniyah atau hadits qudsiy, seperti HR. Syaikhoni Bhukhori dan Muslim -Ridhiya Allah ‘anhuma- yang dikutip oleh Jalaludin ‘abd al-Rahman al-Suyuthiy:
انا عند ظن عبدي بي.
Artinya: Sesungguhnya aku (Allah) seperti prasangka hambaku padaku (Allah).

Kemu’jizatan Al-Quran
Al-Quran terhimpun dari lembaran mushaf yang di mulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Keberadannya di pandang dari berbagai aspek tetap terpelihara dari perubahan atau pergantian apapun. Hal ini telah disinggung oleh Allah di dalam al-Quran:
  •     
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (QS. al-Hijr: 9)
Di antara kemu’jizatan al-Quran ialah bahwa lafadz dan maknanya berasal dari Allah. Sedangkan rasul tidak lain hanya membacakan dan menyampaikannya.
Al-Quran adalah mu’jizat nabi saw. Kemu’jizatan di sini bersifat ma’nawi (abstrak) bukan madliy (fisik). Berkenaan dengan kemu’jizatan tersebut nabi pernah menantang kaum kafir quraisy untuk membuat semisal al-quran, ternyata mereka tidak sanggup walaupun hanya satu ayat saja. Berikut kami paparkan empat kemu’jizatan al-quran secara global yang kami kutip dari buku terjemah ushul fiqh karangan Prof. Abu Zahrah :
Pertama, Balaghoh (segi keindahan bahasa) al-Quran, mutu keindahan bahasa tidak hanya di kenal oleh kalangan sastrawan arab saja, hal ini di akui oleh para ahli yang pernah belajar dan mendalami ilmu bayan dalam bahasa arab. Mereka membandingkan al-Quran dengan karya sastra lainnya. Akhirnya kesimpulan yang di dapat ternyata al-Quran amat lain dengan jenis syair buatan manusia.
Kedua, pemberitaan al-Quran tentang kejadian pada abad-abad silam yang sesuai dengan kebenaran rasionalis yang terdapat dalam buku-buku kaum ahli kitab. Padahal kita tahu berita itu keluar dari seorang Muhammad saw. yang ummy tidak tahu baca tulis.
Ketiga. Banyak pemberitaan al-Quran akan hal-hal yang terjadi pada masa datang dan hal ini memang benar terbukti kejadiannya.
Keempat, kandungan al-Quran yang memuat beberapa ilmu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh seorang ummiy yang tidak pandai baca tulis dan tidak ada suatu perguruan atau lembaga pendidikan yang mengajarinya.

Kehujjahan Al-Quran
Al-Quran adalah dalil utama dan pertama dalam merujuk dan menetapkan suatu hukum, al-Quran merupakan dasar dan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah ‘azza wa jalla berfirman :
         
Artinya: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,(QS.: Al-Baqarah 2),
                              •   ••  
Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah: 49)
Dan masih banyak ayat maupun hadits yang menerangkan al-Quran sebagai sumber pokok, utama dan pertama dalam Islam.
Darinya legalitas sumber-sumber hukum lainnya tercetuskan. Kewajiban berpegang dan berhujjah dengan al-Sunnah tercantum didalamnya. Begitu pula untuk berpedoman pada Ijma’ dan Qiyas sebagai hujjah. Kita harus bersandarkan pada al-Quran karena al-Quran adalah sumber dari segala sumber pokok hukum Islam.

Periwayatan Al-Quran
Telah kami sebutkan salah satu unsur dari definisi al-Quran adalah teriwayatkan secara mutawatir, yang berarti secara harfiah, mutawatir adalah berulang-ulang dalam tenggang waktu tertentu. Dalam terminologi syariat mutawatir adalah sesuatu yang teriwayatkan oleh sekelompok orang dan mustahil terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berdusta. Sesuatu yang teriwayatkan secara mutawatir ini dapat dipastikan kebenarannya. periwayatan al-Quran secara mutawatir adalah suatu keharusan. Hal ini karena al-Quran sebagai kalam Allah yang didalamnya terkandung hukum-hukum syariat dan keberadaannya sebagai mu’jizat.
Kemutawatiran al-Quran ini terus berlangsung dari generasi ke generasi. Mulanya nabi menghafalkan dihadapan Jibril as. Sebelum Jibril pergi meninggalkan nabi saw. Kemudian para sahabat menghafalkan al-Quran persis seperti apa yang mereka terima dari nabi, pemeliharaan al-Quran selanjutnya dilakukan oleh para tabi’in. Meskipun pada masa sahabat al-Quran telah berhasil dikodifikasikan, hal ini tidak mematahkan semangat mereka untuk menghafal al-Quran sebagaimana para sahabat. Demikianlah praktek para sahabat dan tabi’in -rohimahum Allah- dalam memelihara al-Quran. Sungguh yang demikian merupakan bukti nyata dari firman Allah:
  •     
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (QS. al-Hijr: 9)
Contoh qira’ah yang teriwayatkan secara mutawatir adalah qira’ah sab’ah yaitu qira’ah Abu ‘Amr, Nafi’, ‘Ashim, Kisa’i, Ibn Kastir, Hamzah dan Ibn ‘Amir. Namun ada pula statemen yang mengklaim bahwa qira’ah mutawatirah adalah qira’ah ‘asyrah yaitu qira’ah sab’ah ditambah dengan qira’ah Ya’qub, Abu ja’far dan Khalaf.
Dari keterangan di atas, dapat di tarik konklusi bahwa setiap qira’ah yang periwayatannya tidak memenuhi syarat mutawatir tidaklah dapat dikatakan sebagai al-Quran.

Pokok Pokok Kandungan Al-Quran
Secara garis besarnya kandungan hukum yang terdapat dalam al-Quran terbagi menjadi tiga macam:
1. Hukum-hukum i’tiqodiyah. Yaitu hukum yang wajib bagi mukallaf untuk meyakini atau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya utusan-utusannya dan hari akhir.
2. Hukum-hukum yang berkenaan dengan ahklaq (etika). Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan hati, mengajak untuk berbudi luhur dan berahklak mulia.
3. Hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah. Yaitu hukum yang berhubungan dengan tindakan manusia secara nyata meliputi af’al (perbuatan) dan aqwal (ucapan).
Pada pokok hukum yang ketiga, secara dimensional mencakup hubungan vertikal (ibadah) seperti shalat, puasa, haji, zakat. Dan horizontal (mu’amalah) seperti jual beli, jinazat dan lainnya.
Dari ketiga pembagian di atas, dapat disimpulkan bahwa bagian pertama adalah yang menjadi pembahasan ilmu kalam (ushul al-din), bagian kedua masuk dalam ranah ilmu akhlak dan pembagian pokok hukum ketiga inilah yang menjadi pembahasan dalam ilmu ushul fiqh.

Naskh Dalam Al-Quran
Naskh secara bahasa berarti membatalkan dan menghilangkan. Adapun menurut istilah, naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang muncul lebih akhir.
Para ulama’ sepakat, secara rasional naskh sangat mungkin terjadi dan secara faktual memang terbukti, berbeda dengan ulama’ yahudi yang mengingkari naskh. Hal ini dikarenakan mereka enggan menerima syariat islam yang me-naskh syariat sebelumnya. Secara dogmatik terjadinya naskh didasarkan pada firman Allah:
              •      
Artinya: Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al-Baqarah: 106)
Telah kami sebutkan ittifaq ulama’ bahwa secara rasional maupun faktual naskh bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Namun perlu diketahui mungkin saja itu adalah ittifaq jumhur ulama’ karena ada sebagian ulama’ diantaranya Ubay ibn ka’b dari kalangan sahabat, Abu Muslim al-Ashfihaniy salah satu imam mufassir, dan dari kalangan muhaqqiqun seperti al-ustazd Muhammad Abduh dan sayyid Muhammad Rosyid Ridho mereka menolak adanya naskh dalam al-quran. Senada dengan mereka seorang ulama’ dari Indonesia Abdul Hamid Hakim dalam khulasah bab naskh menyatakan bahwa al-Kitab yang kita imani dan kita yakini tidak di naskh, semua ayat-ayatnya masih berlaku hukumnya dan kita wajib beramal dengannya. Bahkan beliau mengatakan mana dalil orang yang menentang pendapat ini. Dan ada kemungkinan sebenarnya mereka tidak menolak adanya naskh dalam al-Quran. Hanya saja, semisal Abu Muslim al-Ashfhani penolakannya hanya sebatas keengganannya dalam penyebutan beberapa hukum yang mengalami penyalinan dengan istilah naskh ia memilih menyebutnya dengan istilah takhshis.

2. Al-Sunnah
Al-Sunnah adalah sumber hukum pokok kedua setelah al-Quran dalam Islam, semua umat Islam telah mencapai kata sepakat dalam hal ini kecuali sebagian kecil dari mereka para inkar al-sunnah.

Pengertian al-Sunnah
Al-Sunnah secara bahasa jalan yang menjadi kebiasaan, baik ataupun buruk. Ini dapat di lihat dalam hadits nabi saw.:
من سن سنة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها الي يوم القيامة...الحديث
Artinya : Barang siapa yang berbuat baik, maka mendapat pahalanya dan pahala orang yang melakukannya sampai hari kiamat.
Berbeda dengan ulama’ fiqh -yang memberikan ta’rif Sunnah sebagai perbuatan yang dianjurkan tanpa adanya keharusan, dengan gambaran siapa yang mengerjakan akan mendapat pahala dan bila tidak dikerjakan tidak berdosa, yang berarti Sunnah adalah muqobil (antonim) wajib-. Ulama’ ushuliyyin memberikan ta’rif bahwasanya al-sunnah adalah segala sesuatu yang timbul dari nabi saw. Selain al-Quran yang mencakup perbuatan, perkataan dan ketetapan (taqrir). yang dapat digunakan sebagai landasan hukum. Dari pengertian Sunnah yang telah kami paparkan, ta’rif ulama’ ushul-lah yang akan menjadi pembahasan kita kali ini.
Dari definisi sunnah menurut ushuliyyin terdapat tiga pokok pembahasan yaitu:
- Al-Sunnah al-qouliyyah. Yaitu perkataan-perkataan rasulullah. Seperti perkataan beliau : “ tidak ada perbuatan dekstruktif bagi diri sendiri dan orang lain “(al-hadits), “ tidak ada wasiat bagi ahli waris “(HR. Daruqutni) dan “ segala sesuatu tergantung pada niatnya “ (HR. Bukhori) dan lain sebagainya.
- Al-sunnah al-fi’liyah. Yaitu perbuatan yang dikerjakan nabi saw. Seperti menengerjakan shalat lima waktu, melaksanakan ibadah haji, memberi keputusan hukum dengan mendatangkan saksi dan menyumpah pendakwa.
- Al-Sunnah al-taqririyah. Yaitu sikap diam nabi terhadap sesuatu yang dilakukan sahabat -baik berupa perbuatan maupun perkataan- dihadapan beliau, atau tidak dihadapan beliau namun beliau mengetahuinya. Dengan sikap taqrir nabi terhadap apa yang dilakukan sahabat menunjukkan bahwa hal tersebut tidak beliau ingkari atau perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Karena sangat mustahil beliau bersikap diam terhadap sesuatu hal yang bertentangan dengan syariat. Dalam hal ini abdul hamid hakim memberikan ketentuan sebagai berikut : Pertama. Iqrar nabi terhadap suatu ucapan seseorang sama halnya dengan ucapan beliau. Kedua. Iqrar beliau terhadap perbuatan seseorang sama halnya dengan apa yang beliau perbuat. Ketiga. Sesuatu yang dikerjakan tidak di hadapan beliau akan tetapi beliau mengetahuinya maka hukumnya sama dengan sesuatu yang dikerjakan di hadapan beliau. Keempat. Sesuatu yang diucapkan tidak pada majlis beliau akan tetapi beliau mengetahuinya maka hukumnya sama dengan sesuatu yang di ucapkan di hadapan beliau. Ini semua benar karena nabi adalah seorang yang ma’shum (terjaga) dari sifat iqrar terhadap suatu perbuatan yang bertentangan dengan syariat.

Antara Al-Sunnah, Hadits dan Khabar
Dua term yang sering kita dengar dan dikaitkan dengan sunnah yaitu hadits dan khabar. Lantas adakah perbedaan antara ketiga istilah di atas?
Al-Hadits dalam pembahasan ini secara literal berarti sesuatu yang diperbincangkan dan diriwayatkan. Termasuk didalamnya adalah hadits nabi saw. Sedangkan khabar adalah nama untuk sesuatu yang dijadikan perbincangan.
Mengenahi ketiga istilah di atas dan kaitannya dengan ushul fiqh wahbah dalam tamhid pembahasan kedua mashadir ahkam al-mutafaq ‘alaiha yaitu al-Sunnah mengatakan sebagai berikut ; “ saya lebih memilih istilah sunnah dari pada hadits ataupun khabar. Karena khabar seperti halnya hadits yaitu sesuatu yang disandarkan pada nabi saw. sahabat atau yang lain baik berupa qaul (ucapan), fi’l (perbuatan), taqrir (persetujuan) atau sifat. Adapun atsar adalah hadits yang marfu’ dan mauquf. Dan sebagian fuqaha’ lebih men-spesifikasi dengan memberikan pernyataan bahwa atsar adalah hadits mauquf. Sedangkan menurut beliau al-Sunnah hanya mencakup apa yang disandarkan kepada nabi berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat-sifat nabi saw.

Klasifikasi Al-Sunnah
Ada banyak klasifikasi sunnah menurut apa yang telah disebutkan dalam disiplin ilmu mustholah al-hadits. Namu di sini pembasan akan akan diarahkan pada pembagian al-Sunnah dari sisi transmisi periwayatannya.
Menurut mayoritas ulama’, sunnah dilihat dari sisi sanad (transmisi) periwayatannya dibagi menjadi dua. Yaitu sunnah mutawatirah dan sunnah ahad. Adapun kalangan Hanafiyah membagi sunnah dalam hal ini menjadi tiga. Yaitu mutawatir, masyhur dan ahad. Penjelasan dari ketiga macam sunnah tersebut adalah sebagai berikut:
a) Mutawatir
Secara terminologi sunnah mutawatir adalah setiap yang diriwayatkan dari nabi saw. oleh sekelompok orang yang secara akal tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbohong. Hal ini terjadi selama tiga generasi awal yaitu masa sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.
Mengenai kriteria sunnah ini banyak ragam syarat yang diajukan. Kiranya tiga syarat yang kami paparkan cukup representatif dalam bahasan kali ini.
Pertama. Periwayatan harus secara inderawi. Dengan demikian rekomendasi akal tidak bisa untuk dijadikan sandaran dalam periwayatan hadits mutawatir.
Kedua. Harus diriwayatkan oleh sekelompok orang yang secara akal tidak mungkin terjadi kesepakatan untuk melakukan kebohongan.
Ketiga. Dua syarat yang telah disebut di atas harus terpenuhi oleh setiap mata rantai periwayatan.
Berdasarkan ittifaq al-ulama’ hadits mutawatir hukumnya qoth’iy al-tsubut dari rasulullah saw. Hadits ini memberikan faidah yakin secara mutlaq.
b) Masyhur
Sunnah masyhurah adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang sahabat. Kemudian dalam generasi seterusnya (setelah sahabat) hadits tersebut teriwayatkan oleh sekelompok orang yang mustahil untuk sepakat berbohong. Dengan kata lain hadits masyhur adalah hadits yang dalam periwayatan awal hanya teriwayatkan secara ahad kemudian setelah dua generasi setelahnya teriwayatkan secara mutawatir.
c) Ahad
Sunnah ahad adalah sunnah yang diriwayatkan secara ahad tidak sampai pada derajat mutawatir pada tiga generasi. Dalam ungkapan lain sunnah ahad adalah sunnah yang dalam periwayatannya tidak terpenuhi syarat-syarat mutawatir. Sunnah ahad ini hanya memberikan faidah zdan dan terkadang bisa mencapai taraf yakin jika disertai qorinah (indikasi).

Al-sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam
Ada beberapa argumentasi yang dijadikan ulama’ dalam menetapkan al-Sunnah sebagai sumber hukum syariat. Diantaranya dari ayat-ayat al-Quran, Ijma dan rasio. Secara terperinci berikut adalah argumen-argumen yang melandasi statemen di atas.
Pertama. Dalam al-Quran allah menyuruh kita untuk mematuhi dan mengikuti jejak rasulullah saw., serta menjadikan ketaatan pada nabi sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya. Ketika ada perselisihan antara kita Allah memerintahkan ntuk mengembalikannya kepada Allah dan utusan-Nya. Allah tidak memberikan kepada kita pilihan selain apa yang telah ditetapkan Allah dan rasul-Nya. Kita diwajibkan iman kepada rasul saw. Karenanya, orang yang wajib dipatuhi maka aqwal, af’al dan taqrir-nya menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan. Allah swt. Berfirman:
                              
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-nisa’: 59)
•             
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (al-nisa’: 80)
           •        
Artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. Al-nisa: 69)

         •   •    
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (al-hasr: 7)
Wahbah juga mengutip sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Malik bin Anas dalam kitab al-Muwatho' saat beliau saw. melaksanakan haji wada’ bersabda:
تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه
Artinya: Aku tingggalkan dua perkara, apabila kamu pegangi dua perkara tersebut maka kamu tidak akan tersesat selamanya yaitu kitab Allah dan sunnah nabi-Nya.
Kedua. Adalah ijma’ para sahabat setelah beliau saw. wafat dalam kewajiban mengikuti sunnah.
Ketiga. Allah swt. memerintah rasulnya untuk menyampaikan risalah dan mengikuti wahyu, sedangkan menyampaikan risalah tersebut dengan cara membacakan al-Quran dan menjelaskannya. Maka secara rasio kongkretasi dari syariat adalah al-Quran dan ucapan nabi saw.
Beberapa ayat al-Quran ada yang mempunyai makna general dan juga global. Dari argumen-argumen di atas dapat di tarik konklusi bahwa tatkala ada ayat yang secara literal bermakna mujmal atau mutlaq tidak akan dapat difahami kecuali adanya penjelas dari nabi sang penyampai wahyu baik dari segi perkataan atau perbuatan. Maka dengan demikian segala sesuatu yang datang dari nabi dijadikan sumber legislasi hukum Islam. Berikut adalah contoh-contoh ayat yang masih muujmal dan mutlaq:
    …الاية
Artinya : Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat… (al-Nisa’: 77)
              
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (al-Baqarah: 183)

  ••          •     
Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Ali imran: 97)
•      …الاية
Artinya: padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-baqarah: 275 )
              
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya … (al-Maidah: 38)
Kita harus yakin bahwa al-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Quran. Dengan berbagai argumen yang telah kami paparkan di atas dan karena hal ini sudah menjadi ijma’ umat Islam, kecuali sebagian kecil dari para pengingkar sunnah -semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka-.

Posisi Sunnah Terhadap Al-Quran
Dari paparan-paparan yang telah kami sampaikan di muka, jelas bahwasanya al-Sunah memiliki fungsi yang strategis dalam proses legislali hukum islam. akan tetapi di mana atau apa sih posisi al-Sunnah terhadap al-Quran sebagai masadhir ahkam yang utama dan pertama? Berikut kami paparkan manzilah al-Sunnah terhadap al-Quran:
1) Al-Sunnah sebagai muqirrah (penetap) dan muakkidah (penguat) pada hukum yang ada dalam al-Quran
2) Al-Sunnah sebagai interpretasi al-Quran
Ada tiga macam fungsi sunnah sebagai mubayyin al-quran. Pertama. Sunnah sebagai tabyin al-mujmal. Kedua. Sunnah sebagai tahshis al-‘am. Ketiga. Sunnah sebagai ta’yin al-muthlaq.
3) Al-Sunnah sebagai argumen ternaskh-nya al-Quran
Ini adalah pendapat imam Syafi’i yang tidak memperbolehkan Naskh al-Quran dengan al-Sunnah yang didasarkan pada firman Allah:
              •      
Artinya: Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (al-baqarah 106)
4) Al-Sunnah sebagai penetap hukum yang tidak disebutkan dalam al-Quran.
Isyarah tentang hal ini dapat kita lihat saat mu’azd mendapat pembekalan dari rasulullah ketika di utus untuk menjadi qadhi di Yaman. Yakni mu’azd akan mengambil hukum dari al-Sunnah jika tidak menemukannya di dalam al-Quran.
Contoh al-sunnah yang berfungsi sebagai penetap hukum adalah khabar yang menunjukkan ranjam terhadap orang yang berzina muhson, memberi keputusan hukum dengan mendatangkan sanksi dan menyumpah, keharaman memakai emas atau sutra atas kaum laki-laki, mengeluarkan zakat fitrah dan lain sebagainya.

Sisi Argumentatif Khabar Ahad
Para sahabat telah sampai pada kata sepakat dalam mengamalkan khabar ahad. Hadits ahad sebagaimana yang telah kita ketahui adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang, yang bilangan perawinya tidak mencapai batasan mutawatir ataupun masyhur. seringkali mereka menggunakan hadits ahad dalam permasalahan yang mengemuka. Seperti penerimaan mereka terhadap hadits yang diriwayatkan Abu bakr -rodhiya Allah ‘anh- tentang tidak adanya pewarisan keluarga rasul terhadap harta beliau. Begitu pula mayoritas jumhur mengamalkan hadits yang diriwayatkan ‘aisyah -radhiya Allah ‘anha- tentang wajibnya mandi karena bertemunya dua kelamin lawan jenis (HR. Muslim, Ahmad dan turmudzi).
Walaupun para sahabat sepakat dalam menetapkan hadits ahad sebagai hujjah yang mengikat, namun mereka berbeda dalam menetapkan status kehujjahannya. Seperti Abu Bakr dan Umar mensyaratkan dua orang saksi yang mendengar dari nabi. Pada suatu ketika Abu Bakr kedatangan seorang wanita tua yang menuntut warisnya. Ia mengatakan “aku tidak temukan dalam al-quran yang menjelaskan kamu mendapat warisan, dan rasul juga tidak menjelaskannya”. Kemudian beliau menanyakan hal ini kepada sahabat-sahabat yang lain dan berdirilah Mughirah bin Syu’bah kemudian ia berkata “aku mendengar bahwasanya rasulullah memberikan kepadanya seperenam”. Abu Bakr berkata “ adakah orang lain yang menyaksikannya?” lalu Muhammad bin Maslamah berdiri dan bersaksi atas kebenaran ucapan Mughirah. Setelah itu baru Abu Bakr menerimanya dan memutuskan bahwa nenek itu mendapatkan jatah seperenam dari harta waris.
Begitu pula yang dilakukan umar, ia juga mensyaratkan dua saksi dalam penggunaan hadits ahad.
Adapun Ali berbeda dengan Umar dan Abu Bakr. Beliau mempunyai cara tersendiri dalam hal ini. Ia tidak menerima hadits ahad sebelum menyumpah atas kebenaran ucapannya. Beliau berkata: “ketika aku mendengar dari rasuullah sebuah hadits, maka Allah telah menganugerahkan yang dikehendakinya. Dan bila ada seorang yang mengatakan sebuah hadits kepadaku maka aku akan menyumpahnya dan ketika dia telah bersumpah maka aku akan membenarkannya.”
Ada sebagian kelompok yang mengingkari penggunaan hadits ahad sebagai dasar legal syariat. Mereka berdalih bahwa hadits ahad hanya sampai pada zhanniy al-tsubut (keberadaanya berstatus dugaan). Kaitannya dengan ini imam Syafi’i dengan tegas menolak golongan ini dengan sejumlah argumentasi. Wahbah memaparkan lima poin argumen al-Syafi’i dalam menolak mereka.
Pertama. Penerimaan hadits ahad sebagai salah satu bentuk argumentasi legal syariat terkukuhkan dengan cara berfikir analogi.
Kedua. Rasulullah menyarankan untuk menghafal, memahami dan menyampaikan kata-kata beliau baik dengan jalan satu orang atau jamaah.
Ketiga. Para sahabat sering mensosialisakan hukum-hukum syariat dengan khabar ahad. Dan nabi sendiri bersifat taqrir atas perbuatan sahabat tersebut.
Keempat. Pernah nabi mengutus dua belas sahabat kepada dua belas penguasa untuk masuk kepada islam. Dan beliau juga mengirimkan surat pada setiap penguasa pada tiap-tiap utusan.
Kelima. Sebagaimana yang telah dipaparkan, para sahabat menjadikan hadits ahad sebagai dasar hukum apabila tidak menemukan dalil dalam al-Quran atau al-Sunnah.

3. Ijma’
Ijma' secara bahasa mempunyai arti kesepakatan. Dan secara istilah adalah kesepakatan umat islam setelah wafatnya nabi saw. pada suatu masa terhadap suatu perkara atau permasalahan. Ijma menurut jumhur ulama' adalah hujjah.
Ijma' dikatakan sah dengan ucapan sebagian ulama' dan pekerjaan sebagian ulama' yang mana ucapan dan pekerjaan tersebut masyhur. Adapun sebagian dari ulama' bersifat diam tidak memberi renspon atas ucapan dan perbuatan tersebut maka yang seperti ini dinamakan ijma' sukutiy. Contoh ulama' sepakat bahwa semua yang biasa keluar dari dua jalan yaitu al-Baul dan al-ghoith hukumnya membatalkan wudhu.

4. Qiyas
Qiyas sebagai hujjah dalam islam didasarkan pada firman Allah QS. al-Hasr:
" فاعتبروا يا أولى الابصار"
Artinya: Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Secara bahasa Qiyas adalah mengukur atau men-kira-kirakan sesuatu atas sesuatu yang lain agar ditemukan titik temu antara keduanya. Seperti mengukur pakaian dengan lengan yang artinya menkira-kirakan pakaian tersebut dengan lengan.
Secara istilah qiyas adalah mengembalikan hukum cabang (far') kepada hukum ashal karena adanya illat (alasan) yang menjadi titik temu antara keduanya dalam hukum. Contohnya seperti pen-qiyasan beras terhadap gandum yang sama-sama harta ribawiy dengan titik temu sama-sama berupa makanan.
Qiyas sebagai salah satu pilar pokok dalam syariat islam mempunyai empat rukun. Yaitu : far', ashal, hukum ashal, dan illat hukum ashal.



Adapun macam-macam qiyas, dibagi menjadi tiga :
1) Qiyas al-Illat
Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menetapkan atau mewajibkan pada hukum. Seperti men-qiyaskan memukul dengan ucapan yang tercela kepada kedua orang tua dalam keharamannya dengan alasan menyakitkan hati orang tua. Allah berfirman:
ولا تقل لهما اف...الاية
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan " ah " (QS. Al-Isra': 23)
2) Qiyas al-Dilalah
Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menunjukkan pada hukum akan tetapi illat tersebut tidak mewajibkan atau menetapkan pada hukum. Seperti men-qiyaskan harta anak kecil dengan harta orang dewasa dalam kewajiban zakat dengan adanya titik temu bahwa harta anak kecil termasuk harta yang sempurna (mal al-tam). Boleh juga mengatakan tidak wajib zakat-seperti yang dikatakan Abu Hanifah- dengan menqiyaskan pada haji yang mana, haji wajib bagi orang dewasa adapun anak kecil tidak wajib untuk haji.


3) Qiyas al-Syibh
Yaitu menyamakan hukum far' yang masih diragukan antara dua asal dengan mengambil keserupaan yang lebih banyak dari asal tersebut. Contohnya dalam pembahasan budak yang di bunuh, apakah si pembunuh wajib dikenai hukum qishos? karena budak juga termasuk manusia, ataukah cukup hanya dengan membayar ganti rugi? dengan alasan adanya keserupaan budak dengan binatang, bahwa budak adalah harta. Dalam hal ini budak lebih banyak keserupaannya dengan binatang (harta) sebab budak bisa diperjual-belikan, diwariskan, dan diwakafkan.





















E. Simpulan

Demikianlah sekilas tentang mashadhir al-ahkam al-syar’iyah. Dari ulasan makalah di atas, dapat di tarik beberapa poin kesimpulan sebagai berikut :
1. Al-Quran adalah sumber pokok dan pertama dalam penetapan hukum islam. Seorang mujtahid haruslah mengedepankan al-Quran dalam menentukan sebuah hukum. Barulah ketika tidak dijelaskan dalam al-Quran beralih pada al-Sunnah dan apabila tidak dijelaskan dalam Sunnah maka merujuk pada ijma’. Karena konsensus ulama’ disandarkan pada kedua sumber hukum pertama dan kedua. Dan bila tidak dijumpai dalam ijma’ maka merujuk pada Qiyas.
2. Sebagai sumber hukum primer periwayatan al-Quran haruslah mutawatir.
3. secara global kandungan yang terdapat dalam al-Quran mencakup tiga klasifikasi. Yaitu akidah, etika dan amaliyah. Dan klasifikasi amaliyah-lah yang menjadi pembahasan dalam ushul fiqh.
4. Al-Sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Quran. Dengan berbagai argumentasi baik ma’qul ataupun manqul maka tidak ada legalisasi dan pembenaran untuk tidak menggunakannya sebagai sumber hukum. Barang siapa mengingkarinya maka di anggap kafir.
5. Posisi sunnah terhadap al-Quran diantaranya adalah sebagai mubayyin, takhshis al-‘am, dan muakkidah.
6. Klasifikasi sunnah dilihat dari periwayatannya secara garis besarnya terbagi menjadi dua. Yaitu mutawawtir dan ahad
7. Ulama’ sepakat dalam menggunakan hadits ahad sebagai sumber hukum dengan berbagai syarat yang telah ditentukan masing-masing dari mereka.
8. Selain dua sumber hukum pokok awal, Ijma’ dan Qiyas adalah dua sumber yang telah disepakati dan secara sistematika keberadaan keduanya ialah setelah al-Quran dan al-Sunnah.


BIBLIOGRAFI

Al-mahalli, Jalaludin. al-Waraqat, Beirut, Lebanon Dar al-Kitab al-Islamiy, tt.

Al-maliki, Alwi Abbas dan Hasan sulaiman Al-Nuriy. Ibanah al-Ahkam 'ala Syarh Bulugh al-Maram juz 1. Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2004

Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta, DEPAG, 2007.

al-Suyuthiy, Jalaludin ‘Abd al-Rahman. ‘Ilm al-Tafsir manqul min kitab Itmam al-Dirayah, Semarang: Toha Putra, tt.

Al-Zuhailiy, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr, 2005

C.I.F.A. Philosophy of Islamic Law of Transactions. Bandung : IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, tt.

Forum Karya Ilmiah 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Lirboyo: Purna Siswa Aliyah 2004, 2006

Hakim, Abdul Hamid, al-Sulam. Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, tt.,

Hakim, Abdul Hamid. Mabadi’ Awwaliyah. Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, tt.,

Khallaf, Abdul Wahhab. ‘ilmu ushul al-fiqh. Maktabah al-‘Alamiyah, tt

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih, alih bahasa oleh Saefullah Ma’shum, Slamet Basyir Dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KILAS SEJARAH DINASTI UMAYAH

Dinasti Bani Umayah adalah sebuah dinasti yang berkuasa dalam dunia Islam dari tahun 661 hingga 750 M. Dinasti ini didirikan setelah kematia...