Minggu, 22 Januari 2012

SEJARAH KEUANGAN DAN LEMBAGA KEUANGAN ISLAM

SEJARAH KEUANGAN

DAN LEMBAGA KEUANGAN ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan keuangan dan lembaga keuangan dari waktu ke waktu semakin pesat, banyak perubahan dan pembenahan dari berbagai sisi. Baik dari sistem yang digunakan, pengembangan peran lembaganya dan lainnya. Sejarah telah mencatat hal itu, mulai dari pakar ekonomi kuno yang kemudian dikembangkan lagi oleh pengikutnya sampai pada pakar-pakar ekonomi di zaman modern ini.

Dalam perekonomian Islam pun demikian adanya, sejarah telah mengatakan bahwa keuangan dan lembaga keuangan selalu bisa berkembang untuk menyesuaikan keadaan.

Sebagai gambaran globlalnya dapat dicermati dalam sejarah keuangan dan lembaga keuangan masa Nabi, Khulafa’ al-Rasyidin, Paska Khulafa’ al-Rasyidin, negara-negara Islam paska khilafah, dan di Indonesia.

B. Rumusaan Masalah

1. Seperti apa sejarah perkembangan keuangan dan lembaga keuangan pada masa Nabi sampai di Indonesia?

2. Apakah perkembangan yang ada dalam keuangan dan lembaga keuangan Islam sebagaimana tercatat oleh sejarah cenderung maju atau justru sebaliknya semakin terpuruk?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Keuangan dan Lembaga Keuangan Masa Nabi

Masa sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab telah dikenal sebagai pedagang yang sangat ulung. Mereka melakukan aktifitas perdagangan hingga ke berbagai negara. Dari tanah Arab, mereka membawa dagangannya hingga ke benua Afrika, Asia Tengah, Asia Tenggara, hingga ke Eropa.

Di masa jahiliyah tersebut, sistem perdagangan (ekonomi) jauh dari prinsip-prinsip keadilan. Para pedagang berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperdulikan apakah tindakan mereka itu benar atau salah. Maka, ketika Islam datang, segala bentuk perdagangan yang merugikan baik itu bersifat judi (maysir), tidak jelas (gharar), dan berbunga (riba) dihapuskan. Sebab, hal itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin, adil dan transparan.[1]

Muhammad ketika muda mengikuti pamannya, Abu Thalib, berdagang ke Syam, ketika itu beliau telah mempraktekkan sistem perdagangan yang jujur sehingga, masyarakat senang melakukan perdagangan dengannya. Begitu juga ketika beliau turut membawa dagangan Siti Khadijah. Dengan sifatnya yang dikenal jujur (al-amin), barang dagangannya laku terjual.

Ketika Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul pada umur 25 tahun, beliau pun tetap melakukan sistem perdagangan yang jujur, transparan, terbuka, dan berkeadilan. Sistem perdagangan ini masih dilakukan secara pribadi dan kekeluargaan, belum melembaga dalam sebuah sistem yang terstruktur. Karena itu, di zaman beliau belum ada sebuah lembaga keuangan Islam yang mengatur sistem perdagangan secara sistematis, kecuali selalu merujuk pada ajaran Islam yakni al-Quran.[2] Beliau senantiasa mempraktekkan sistem perdagangan dengan tujuan membantu kaum yang lemah (fakir miskin). Rasulullah SAW baru mulai melirik permasalahan ekonomi dan keuangan negara, setelah beliau menyelesaikan masalah politik dan urusan konstitusional di Madinah pada masa awal hijrah.

Selain harta ghanimah (rampasan perang), sumber pendapatan negara pada masa Rasulullah SAW antara lainnya adalah:

1. Zakat[3], Infaq dan Shadaqoh

2. Jizyah

Jizyah sebagaimana didefinisikan oleh Abdul Qadim Zalum[4] adalah hak yang Allah berikan kepada kaum Muslim dari orang-orang kafir sebagai tanda bahwa mereka tunduk kepada Islam. Apabila orang-orang kafir itu telah memberikan jizyah, maka wajib bagi kaum Muslim melindungi jiwa dan harta mereka.[5]

Dari definisi tersebut dapat difahami bahwa jizyah adalah pajak yang dibayar oleh orang non muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.

3. Kharaj

Menurut shahib Abi Hanifah yakni Abu Yusuf,[6] fai’ adalah kharaj itu sendiri yang berarti harta yang dikeluarkan dari bumi.[7] Pendapat beliau ini didasarkan pada firman Allah:

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ[8]

Artinya: Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.[9]

Sedangkan menurut Zallum, Kharaj adalah hak kaum Muslim atas tanah yang diperoleh (dan menjadi bagian ghanimah) dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian damai. Dari sini ada kharajunwah (kharaj paksaan) dan kharaj sulhi (kharaj damai).[10]

4. Pinjaman-pinjaman untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin

5. Khumus

Khumus adalah seperlima bagian yang diambil dari ghanimah, Khumus pada masa Rasul SAW dibagi menjadi lima bagian, yaitu satu bagian untuk Allah dan Rasul, satu bagian untuk kerabat Rasul, dan tiga bagian yang tersisa untuk anak-anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil.[11]

6. Amwal fadhla (berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris)

7. wakaf, harta benda yang didedikasikan kepada kaum muslimin yang disebabkan karena Allah.

8. Bentuk sadaqah lainnya seperti qurban dan kaffarat.

Delapan poin dipaparkan diatas juga disinggung oleh Adiwarman A. Karim, dia mengatakan bahwa “Di zaman Rasul penerimaan atau pemasukan negara terdiri atas kharaj, zakat, jizyah, kaffarah dan lainnya. Disisi pengeluaran digunakan antara lain untuk kepentingan dakwah, pendidikan dan kebudayaan, iptek, hankam, kesejahteraan sosial, dan belanja pegawai.”[12]

Namun semua pendapatan dan penerimaan negara pada masa Rasulullah SAW tersebut belum ada pencatatan yang maksimal. Ketiadaan ini karena beberapa alasan, diantaranya karena Jumlah orang Islam yang bisa membaca dan menulis sedikit. sebagian besar bukti pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana baik yang didistribusikan maupun yang diterima, sebagian besar zakat hanya didistribusikan secara lokal, bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.

Berdasarkan dari pembahasan diatas, dapat kita lihat bahwa pada masa Rasulullah SAW belum terdapat kegiatan ekonomi yang sistematis seperti administrasi asset negara dari berbagai divisi untuk kemaslahatan umat dan eksistensi pemerintah dimasa selanjutnya. Oleh karena itu belum ditemukan fakta-fakta ekonomi sistematis di masa Rasulullah SAW. Contoh kasus semasa kepemimpinan Rasulullah SAW, ketika mendapat amanah zakat ataupun sedekah dari umat Islam di pagi hari, selepas zduhur, zakat dan sedekah itu sudah terbagi habis kepada kaum fakir miskin. Demikian juga dengan harta rampasan perang yang diperoleh kaum Muslim. Biasanya, setelah selesai peperangan, beliau sendiri yang membagikannya tanpa ada yang tersisa.

B. Sejarah Keuangan dan Lembaga Keuangan Masa Khulafa’ al-Rasyidin

Sistem yang diterapkan Rasulullah SAW ini kemudian diikuti oleh Abu Bakr Shiddiq hingga permulaan Khalifah Umar bin Khattab. Meskipun masih sangat sederhana, ada beberapa langkah-langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam mengembangkan ekonomi sebagai sumber keuangan negara pada saat itu. Kebijakan Abu Bakar yang dimaksud diataranya adalah perhatiannya yang akurat terhadap perhitungan zakat dan melakukan penegakan hukum terhadap pihak yang tidak mau membayar zakat dan pajak.[13]

Tetapi, dengan semakin luasnya kawasan yang dibebaskan dan daerah yang ditaklukkan, kekayaan dari rampasan perang juga bertambah, termasuk pemasukan dari kharaj dan jizyah (pajak). Semuanya masih diatur secara sangat sederhana. Setiap negeri yang ditaklukkan, pihak Muslim mengadakan persetujuan dengan pihak yang ditaklukkan, berupa pembayaran jizyah sebesar dua dinar per kepala. Belum termasuk kharaj tanah yang harus dibayar para petani. Hasil kesepakatan yang didapatkan dari kharaj dan jizyah itu kemudian dibagikan untuk kepentingan umat Islam.[14]

Walaupun hasil rampasan perang, jizyah, kharraj dan pemasukan lainnya telah dikeluarkan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum dan keperluan lainnya, kelebihan dari semua hasil pemasukan itu masih tersisa sangat besar.

Kondisi yang demikian ini memaksa Khalifah Umar bin Khattab RA untuk memikirkan suatu sistem moneter atau keuangan negara yang baru tumbuh itu yang diantaranya kemudian beliau mendirikan baitul mal yang berwujud sebuah institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak menerimanya. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya; dimana kaum muslim berhak memilikinya sesuai hukum syara’, yang tidak ditentukan individu pemiliknya, walaupun ditentukan jenis hartanya; maka harta tersebut adalah hak Baitul Mal kaum Muslim.[15] Dalam sebuah artikel yang ada dalam situs koran Republika dijelaskan kebijakan yang dilakukan oleh Umar al-Farruq untuk memberikan solusi tentang keruwetan yang dijelaskan diatas yang diantaranya adalah mendirikan sebuah lembaga berupa Baitul Mal. Berikut adalah kutipan lengkapnya:

Dalam beberapa sumber, dikisahkan bahwa sepulangnya dari menaklukkan Bahrain, Abu Hurairah RA menghadap Khalifah Umar dengan membawa uang 500 ribu dirham -jumlah yang sangat besar pada masa itu- sebagai hasil rampasan perang. Sejak saat itu, Umar membentuk lembaga keuangan khusus atau yang lebih dikenal dengan istilah Baitul Mal.

Pada tahap awal, keberadaan Baitul Mal difungsikan sebagai tempat untuk menghimpun kelebihan dari hasil rampasan perang serta pemasukan dari pembayaran jizyah dan kharaj. Dari dana yang terkumpul di Baitul Mal ini, Khalifah Umar mulai menerapkan sistem pemberian tunjangan kepada orang-orang Arab pedalaman yang selama ini menjadi tentara pasukan Islam.

Pemberian tunjangan ini dimaksudkan agar para tentara tersebut dapat mengkhususkan diri dalam berjihad di jalan Allah, mereka bebas sepenuhnya melaksanakan tugas dakwah. Tujuan lainnya agar tentara Muslim ini senantiasa siap melaksanakan tugas dalam menegakkan agama Islam dan siap melawan tentara Persia, Romawi, dan lainnya. Bersamaan dengan diberlakukannya sistem ini, Umar mulai menerapkan pelarangan pembagian tanah kepada tentara di daerah yang sudah diduduki supaya mereka tidak mementingkan mengolah tanah daripada berjihad. Tidak hanya tunjangan bagi orang-orang dari kalangan militer. Baitul Mal ini juga mengurusi tunjangan untuk masyarakat sipil. Dalam beberapa sumber, lembaga tersebut digambarkan layaknya sebuah kantor registrasi yang mencatat dan menghitung orang-orang dari kalangan militer dan sipil yang harus mendapat tunjangan. Tunjangan ini digunakan oleh masyarakat, antara lain untuk kegiatan perniagaan, pertanian, ataupun pengembalaan hewan ternak. Sebagian besar mereka menerima tunjangan itu dan mengembangkannya dalam perdagangan. Karena itu, mereka yang mendapat tunjangan cepat sekali memperoleh kekayaan, yang dapat dihitung sampai ribuan dengan kelebihan berlipat ganda.[16]

Dizaman Umar bin Khatab penerimaan Baitul Mal mencapai 160 juta dirham, Dari sisi pengeluaran, pembangunan infrastruktur mendapat perhatian yang besar, khalifah Umar bin Khatab memerintahkan Amr bin Ash mengalokasikan sepertiga APBN untuk sarana dan prasarana diantaranya penggalian kanal dari fustat untuk memudahkan transportasi dagang arab- mesir. Juga pembangunan dua kota bisnis yakni Kufah (bisnis dengan Romawi) dan Basrah (bisnis dengan persi). APBN jarang mengalami defisit pada masa Nabi dan sahabat, karena pengeluaran hanya dilakukan bila ada penerimaan.[17]

Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaitan dengan masalah kebijakan fiskal pada masa Umar bin Khatab, diantaranya adalah masalah Baitul Mal sebagaimana yang telah dipaparkan, kepemilikan tanah, zakat, ushr, shadaqah untuk non muslim, koin, klasifikasi pendapatan Negara dan pengeluaran.

Adapun kontribusi lain yang diberikan Umar untuk mengembangkan ekonomi Islam pada masanya dan juga berdampak positif pada masa sesudahnya adalah:[18]

1. Reorganisasi Baitul Mal, dengan mendirikan Diwan Islam yang pertama yang disebut dengan al-Divan (sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiunan dan tunjangan-tunjangan lainnya).

2. Pemerintah bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian kepada warga negaranya.

3. Diversifikasi terhadap objek zakat (zakat terhadap karet disemenanjung Yaman), tarif zakat (misalnya, mengenakan dasar advalorem, satu dirham untuk 40 dirham).

4. Pengembangan Ushr (pajak) pertanian (misalnya, pembebanan sepersepuluh hasil pertanian).

5. Undang-undang perubahan pemilikan tanah (Land reform)

6. Pengelompokan pendapatan Negara dalam 4 bagian yaitu:

SUMBER PENDAPATAN

PENGELUARAN

Zakat dan Ushr

Pendistribusian untuk local, jika berlebihan disimpan.

Khums dan Shadaqah

Fakir miskin dan kesejahteraan

Kharaj, Fay, Jizyah, Ushr, Sewa tetap

Dana pensiun, dana pinjaman (Allowance).

Pendapatan dari semua sumber

Pekerja, pemeliharaan anak terlantar dan dana sosial.

Sistem yang digagas oleh Umar ini kemudian diteruskan oleh kekhalifahan Islam yang berkuasa sesudah Umar. Di masa kekhalifahan Islam dengan fungsi yang juga ditambah seiring dengan kebutuhan negara saat itu.

C. Sejarah Keuangan dan Lembaga Keuangan Paska Khulafa’ al-Rasyidin

Setelah terbunuhnya sayyidina Ali, kepemimpinan umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan yang kemudian tongkat estafet kepemimpinan diserahkan kepada putra mahkota secara sepihak dalam bentuk pewarisan tahta. Ketika dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khalifah Muawiyah dan keturunannya yang sering disebut dengan Bani Umayyah,[19] kondisi Baitul Mal berubah. Jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelolah dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, pada masa pemerintahan ini Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah tanpa adanya transparansi kepada rakyat dan tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.

Keadaan yang demikian ini berlangsung sampai datangnya masa kepemimpinan khalifah ke delapan Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz yang memerintah pada tahun 717-720 M. Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para amir (setingkat gubernur) agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah.[20]

Pada masa keemasan dibawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, kebijakan baru pun dimulai. Umar sebagai raja, mengembalikan harta milik pribadinya ke Baitul Mal. Di antara harta itu, terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Makkah, yang sejak Rasulullah SAW wafat dijadikan milik negara. Namun, pada masa khalifah ke empat Bani Umayah (memerintah 684-685 M), harta tersebut dimasukkan sebagai milik pribadi khalifah dan mewariskan harta tersebut kepada keturunannya.

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, khususnya ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, fungsi Baitul Mal semakin meluas. Baitul Mal tidak hanya sebatas menyalurkan dana tunjangan, tetapi juga dikembangkan dan diberdayakan untuk menyalurkan pembiayaan demi keperluan pembangunan sarana dan prasarana umum. Bahkan, Baitul Mal juga dipakai untuk membiayai proyek penerjemahan buku-buku kekayaan intelektual Yunani kuno. Di sinilah gelombang intelektual Islam dimulai.[21]

Keberhasilan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz membuatnya tidak hanya layak disebut sebagai pemimpin negara, tetapi juga sebagai fiskalis muslim yang mampu merumuskan, mengelola, dan mengeksekusi kebijakan fiskal pada masa kekhalifahannya.[22]

Pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad, khalifah membangun Perpustakaan, sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi, seperti Nizhomiyah. Baghdad kala itu sudah menjadi kota metropolitan. Pada saat yang sama, Barat masih gelap gulita.

Pada periode-periode awal, Khilafah Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari Kharaj.[23] Perbendaharaan Negara penuh dan berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Khalifah
yang paling berjasa adalah al-Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam. Dari keberhasilan kehidupan ekonomi masa al-Mansyur ini maka sektor lain pun ikut mendulang keberhasilan. Diantaranya:

1. Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.

2. Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.

3. Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:

a. Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.

b. Membangun armada-armada dagang.[24]

D. Sejarah Keuangan dan Lembaga Keuangan Islam di Negara-Negara Islam Paska Khilafah

Meski Khilafah Islamiyah hancur pada era imperialisme Barat, praktik lembaga keuangan Islam, seperti Baitul Mal, masih diteruskan umat Islam dalam kelompok-kelompok kecil, misalnya di masjid dan lembaga umat lainnya. Bahkan, pada pertengahan abad 19, praktik lembaga keuangan yang serupa Baitul Mal dikembangkan dalam skala yang lebih besar dan cakupannya internasional, yakni berupa lembaga perbankan syariah.

Secara kolektif, ide berdirinya Bank Syariah ditingkat internasional ini muncul dalam konferensi negara-negara Islam se dunia di Kuala Lumpur Malaysia pada tanggal 21 sampai 27 April 1969 yang di ikuti 19 negara peserta. Konferensi tersebut memutuskan beberapa hal sebagai berikut:

1. Tiap keuntungan harus tunduk kepada hukum untung dan rugi. Jika tidak berarti termasuk riba dan riba baik sedikit ataupun banyak hukumnya adalah haram.

2. Diusulkan supaya di bentuk bank Islam yang bersih dari sistem riba dalam waktu secepat mungkin.

3. Sementara menunggu berdirinya bank Islam, bank-bank yang menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi dengan catatan dalam keadaan dharurat.[25]

Pada tahun 1970, di sidang menteri luar negeri negara-negara organisasi konferensi Islam di Pakistan, Mesir mengajukan proposal untuk mendirikan Bank Syariah yang kemudian diterima. Pada intinya proposal tersebut mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan sistem bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Dalam proposal tersebut juga direkomendasikan asosiasi bank-bank Islam yang bertugas menyediakan bantuan teknis bagi negara-negara Islam yang hendak mendirikan Bank Syariah.[26]

Pada sidang menteri keuangan OKI 1975 di Jeddah disepakati pendirian Bank Pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB). Bank ini memainkan peran penting dalam perkembangan perbankan syariah selanjutnya dimana IDB memberikan pinjaman bebas bunga untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan kepada negara anggota. IDB juga menbantu membantu mendirikan bank-bank Islam di berbagai negara. Keberadan IDB ini telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah yang akhirnya pada awal dekade 1980an bank-bank syariah banyak muncul di berbagai negara seperti Mesir, Sudan, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladhes dan Turki.[27]

E. Sejarah Keuangan dan Lembaga Keuangan Islam di Indonesia

Bank berdasarkan syariah di negeri ini tampak mulai tumbuh. Pertumbuhan itu tampak jelas pada sektor keuangan. Dimana kita telah mencatat beberapa bank umum syariah, BPR syariah, dan unit-unit Baitul Mal wa Tamwil. Lembaga-lembaga ini telah mengelola berjuta bahkan bermiliar rupiah dana masyarakat sesuai dengan prinsip syariah. Lembaga keuangan tersebut harus beroperasi secara ketat berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Prinsip ini sangat berbeda dengan prinsip yang dianut oleh lembaga keuangan non-syariah. Adapun prinsip-prinsip yang dirujuk adalah:

1. Larangan menerapkan bunga pada semua bentuk dan jenis transaksi

2. Menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangan berdasarkan pada kewajaran dan keuntungan yang halal.

3. Mengeluarkan zakat dari hasil kegiatannya.

4. Larangan menjalankan monopoli.

5. Bekerja sama dalam membangun masyarakat, melalui aktivitas bisnis dan perdagangan yang tidak dilarang oleh Islam.[28]

1. Periode Awal perkembangan Bank Syariah di Indonesia

Perkembangan bank-bank syariah di negara ini tidak lain juga karena pengaruh dari bank-bank syariah di negara Islam lainnya. Pada tanggal 18-20 Agustus 1990 MUI menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI 22-25 Agustus 1990 di hotel Sahid Jaya Jakarta yang akhirnya dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.[29]

Kelompok kerja bentukan MUI ini akhirnya membuahkan hasil. Pada 1 November 1991 ditanda tangani akta pendirian Bank Muamalat. Pada saat penandatangan akta ini telah terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84 Miliar. Bank Muamalat ini beroperasi pada 1 Mei 1992 dan sampai September 1999 bank ini telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makasar.[30]

2. Era Reformasi dan Perbankan Syariah

Perkembangan perbankan syariah di era reformasi ditandai dengan di tetapkannya UU no. 10 tahun 1998 tentang perbankan dimana dalam UU tersebut diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan oleh bank-bank syariah. Selain itu UU tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuat cabang syariah atau menkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Contoh bank yang menkonversi diri secara total menjadi bank syariah adalah Bank Mandiri Syariah (BSM) yang dahulunya adalah Bank Susila Bakti (BSB). Sedangkan contoh bank-bank konvensional yang membuat cabang syariah adalah Bank IFI yang membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999, BNI ’46 dan lainnya.[31]

BAB III

SIMPULAN

Sejarah perkembangan keuangan dan lembaga keuangan pada masa nabi terbilang masih sangat sederhana, pemasukan-pemasukan negara baik dari ghanimah, zakat dan lainnya masih bisa diatur dan diawasi oleh Nabi sendiri. Pada masa awal Islam ini juga belum dikenal Baitul Mal dalam bentuk lembaga. Hanya saja nilai-nilai tentang praktek Baitul Mal itu sendiri telah dipraktekkan sendiri oleh Nabi. Sistem yang digunakan Nabi ini masih terus berlangsung sampai pada masa khalifah Abu Bakar yang kemudian ketika kekuasaan beralih pada Umar pendapatan negara semakin bertambah dan dibuatlah kebijakan baru yakni membuat lembaga keuangan berupa Baitul Mal yang mengurus diantaranya output dan input khas negara. Peranan ini pun masih diteruskan dan dikembangkan oleh khalifah sesudah Umar, yang mana pada khalifah sesudah Umar dapat dikatakan pasang surut perkembangannya. Kadang baik kadang juga memprihatinkan. Berbeda pada masa Nabi sampai Umar yang dapat dikatakan 90% selangkah lebih maju dari sebelumnya, karena ada inovasi-inovasi baru yang dimunculkan dan membuahkan manfaat.

Pada abad ke 19 lembaga keuangan syariah mulai serius di bahas dan di kerjakan oleh berbagai negara-negara uslim yang akhirnya berdirilah bank-bank Islam termasuk diantaranya di Indonesia. Perkembangan yang ada tahap ini bisa dikatakan sebagai kemajuan meskipun ada hambatan dan pelan perkembangannya. Terbukti di dunia-dunia barat pun sekarang sudah banyak yang mengadopsi sistem keuangan syariah dan dalam negara kita banyak muncul akhir-akhir ini bank, maupun lembaga keuangan Islam lainnya. Lembaga keuangan syariah di indonesia semakin hari semakin bertambah peminatnya meskipun masih dalam skala kecil jika dilihat tahapan-tahapannya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Karim

Antonio, M. Syafi’i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani

Departemen Agama RI, 1998, al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra

Huda, Nurul, dkk. 2008, Ekonomi Makro Islam; Pendekatan Teoritis. Jakarta; kencana

Karim, Adiwarman A. 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta; Gema Insani

Muhamad, 2000, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, UII Press Yogyakarta

Muhammad, 2002, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam. Jakarta; Salemba empat

Sumitro, Warkum, 2004, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Ya’kub , Abu Yusuf, 1979, Kitab al-Kharraj, Beirut, Lebanon: Dar al-Ma’rifah

Zallum, Abdul Qadim, 2008 al-Anwal fiy Daulah al-Khilafah, alih bahasa oleh Ahmad S, Sistem Keuangan Negara Khilafah, Jakarta; HTI Press

______, Bani Umayyah, http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_umayyah

______, Islam Masa Daulah Bani Abbasiyah, http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/islam-pada-masa-daulah-bani-abbasiyah/

______, Kebijakan fiskal dan Moneter Pertengahan Islam,

http://zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/

______, Kekhalifahan Abbasiyah,

http://id.wikipedia.org/wiki/Kekhalifahan_Abbasiyah#Kemerosotan_Ekonomi

______, Menguak Sejarah Lembaga Keuangan Islam, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/07/09/61187-menguak-sejarah-lembaga-keuangan-islam

______, Syaikh Abdul Qadim Zallum, http://hizbut-tahrir.or.id/2007/05/20/syaikh-abdul-qadim-zallum-amir-hizbut-tahrir-kedua/



[1] Menguak Sejarah Lembaga Keuangan Islam, Akses file tanggal 25 November 2011 di: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/07/09/61187-menguak-sejarah-lembaga-keuangan-islam

[2] Ibid.

[3] Kewajiban zakat mal diperintahkan pada tahun ke-9 H. menurut Bukhari, Rasulullah SAW bersabda kepada Muadz, ketika ia mengirimnya ke Yaman sebagai pengumpul dan pemberi zakat, “Katakan kepada mereka (penduduk Yaman) bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk membayar zakat yang akan diambil dari orang kaya diantara mereka dan memberikannya kepada orang miskin diantara mereka”. Dengan demikian pemerintah pusat berhak menerima keuntungan hanya bila terjadi surplus yang tidak dapat didistribusikan lagi kepada orang-orang yang berhak, dan ditambah kekayaan yang dikumpulkan di Madinah. Di Masa Rasulullah SAW, zakat dikenakan pada hal-hal berikut: benda logam yang terbuat dari emas dan perak, binatang ternak unta, sapi, domba, kambing, berbagai jenis barang dagang termasuk budak dan hewan, hasil pertanian termasuk buah-buahan, harta benda yang ditinggalkan musuh, dan barang temuan.

[4] Beliau adalah al-’alim Syaikh Abdul Qadim bin Yusuf bin Abdul Qadim bin Yunus bin Ibrahim. Syaikh Abdul Qadim Zallum lahir pada tahun 1342 H –1924 M. Menurut pendapat paling kuat, beliau lahir di Kota al-Khalil, Palestina. Beliau berasal dari keluarga yang dikenal luas dan terkenal keberagamaannya (religius). Ayah beliau rahimahullâh adalah salah seorang dari para penghafal al-Quran (Hafizh al-Quran). Beliau membaca al-Quran di luar kepala hingga akhir hayat beliau. Ayahanda Syaikh Zallum bekerja sebagai guru pada masa Daulah al-Khilafah Utsmaniyah. Beliau adalah pakar ekonomi dan juga pakar politik Islam. Al-Anwal fiy Daulah al-Khilafah merupakan salah satu bukunya yang memuat pemikiran-pemikirannya tentang ekonomi Islam dan juga diformulasikan sebagai rujukan dalam sistem keuangan negara Islam. Karir beliau yang paling menonjol dalam politik yakni ketika menjabat sebagai Amir kedua Hizbut Tahrir. Lebih jelasnya dapat dilihat di situs: http://hizbut-tahrir.or.id/2007/05/20/syaikh-abdul-qadim-zallum-amir-hizbut-tahrir-kedua/

[5] Abdul Qadim Zallum, al-Anwal fiy Daulah al-Khilafah, alih bahasa oleh Ahmad S, Sistem Keuangan Negara Khilafah, (Jakarta; HTI Press, 2008), hlm. 74

[6] Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad Al- Anshari Al- Jalbi Al-Kufi Al-Bagdadi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kufah pada tahun 113 h (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). beliau pernah berguru diantara kepada Abu Muhammad Atho bin al-Saib al-Kufi, sulaiman bin Mahram al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah. Selain itu, ia juga menuntut ilmu kepada Abu Hanifah selama tujuh belas tahun, Abu Yusuf tiada henti-hentinya belajar kepada pendiri madzhab Hanafi tersebut. Ia pun terkenal sebagai salah satu murid terkemuka Abu Hanifah. Diantara karyanya tentang ekonomi Islam adalah Kitab al-Kharraj yang banyak dikutip oleh pemikir-pemikir ekonomi Islam.

[7] Abu Yusuf Ya’kub, Kitab al-Kharraj, (Beirut, Lebanon: Dar al-Ma’rifah, 1979). hlm. 23

[8] QS. Al-Hasyr (59): 7

[9] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1998).

[10] Abdul Qadim Zallum, Op., Cit., hlm. 54

[11] Ibid., hlm. 50

[12] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta; Gema Insani, 2001), hlm. 25

[13] Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam. (Jakarta; Salemba empat 2002), hlm.

[14] Menguak Sejarah Lembaga Keuangan Islam, Op., Cit.,

[15] Abdul Qadim Zallum, Op., Cit., hlm. 17

[16] Menguak Sejarah Lembaga Keuangan Islam, Op., Cit.,

[17] Adiwarman A. Karim, Op., Cit., hlm. 26

[18] Nurul Huda, dkk. Ekonomi Makro Islam; Pendekatan Teoritis. (Jakarta; kencana 2008), hlm.

[19] Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafa’ al-Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Umayyah al-Andalus. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah. Akses file tanggal 11 Desember 2011 di : http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_umayyah

[20] Menguak Sejarah Lembaga Keuangan Islam, Op., Cit.,

[21] Ibid.

[22] Kebijakan fiskal dan Moneter Pertengahan Islam, akses file tanggal 11 Desember 2011 di: http://zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/

[23] Kekhalifahan Abbasiyah, akses file tanggal 11 Desember 2011 di: http://id.wikipedia.org/wiki/Kekhalifahan_Abbasiyah#Kemerosotan_Ekonomi

[24] Islam Masa Daulah Bani Abbasiyah, akses file tanggal 11 Desember 2011 di: http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/islam-pada-masa-daulah-bani-abbasiyah/

[25] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Hlm. 8

[26] M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 19-20

[27] Ibid., hlm. 21

[28] Muhamad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, UII Press Yogyakarta, 2000, hal 25

[29] M. Syafi’i Antonio, Op., Cit., hlm. 25

[30] Ibid, hlm.

[31] Ibid,hlm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...