Minggu, 28 Februari 2010

PARADIGMA SIYÂSAH ISLAM

MAKALAH

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqh Siyâsah
Dosen pengampuh : Hartono, S.H.I.
Oleh:
Sukabul
Program Studi Syariah Muamalah
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An-Nawawi
Purworejo
2009




PARADIGMA SIYÂSAH ISLAM

A. Latar Belakang
Setiap fan keilmuan pasti mempunyai objek kajian dan seperangkat metode yang digunakan untuk mempelajarinya. Dalam rangka memahaminya, sudah barang tentu tidak terlepas untuk mengetahui, diantaranya: apa objeknya, luas lapangan bahasannya dan metode-metode yang digunakan untuk menyelami samudra keilmuan suatu fan yang sangat kompleks.
Diantara sekian banyaknya fan ilmu yang ada, pada kesempatan ini, kita akan dihadapkan dengan suatu disiplin ilmu yang akrab disebut fiqh al-siyâsah, sekalipun merupakan bagian dari ilmu fiqh, ia merupakan suatu disiplin ilmu yang otonom. Ilmu ini mengkhususkan diri pada bidang mualamah dengan spesialisasi tata pengaturan negara dan pemerintahan.
Setidaknya dari ulasan diatas, timbullah pertanyaan yang urgen untuk kita ketahui, diantaranya: apa saja objek yang tercakup dalam ilmu ini?, metode apa yang digunakan untuk menerapkan fiqh al-siyâsah?, bagaimana aplikasi fiqh al-siyâsah pada masa-masa awal Islam?, dan apa yang menjadi pijakan fan tersebut?

B. Ta'rîf Fiqh al-Siyâsah
Al-Fiqh dalam lughot al-'arôbiyah ber-sinonim dengan al-fahm yang berarti faham. Sering orang arab berkata " فقهت كلامك " yang berarti " فهمته ". Sedangkan dalam terminologi syar'iy, lafadz fiqh berarti mengetahui hukum-hukum syari'at yang diperoleh dengan jalan ijtihad.
Adapun lafadz al-siyâsah adalah bentuk masdar yang berasal dari kata-kerja lampau "ساس " yang berarti mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan. Lafadz siyâsah semakna dengan lafadz tadbîr yang berarti mengatur. Berangkat dari pengertian harfiah ini, Ahmad Fathi Bahatsi sebagaimana yang dikutip oleh Prof. A. Jazuli memberikan ta'rîf istilah siyâsah sebagai:
" تدبير مصالح العباد على وافق الشرع "
" Pengurusan kemaslahatan umat sesuai dengan syara' "
Pada perkembangannya, lafazd siyâsah ini akrab dengan arti politik. Dalam artikel tentang politik Islam disebutkan bahwa politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah.

C. Objek Kajian Fiqh Siyâsah
Dari batasan-batasan ta'rîf mengenai fiqh siyâsah, baik secara bahasa maupun istilah, tampak bahwa kajian fiqh siyâsah terfokus pada aspek pengaturan. Penekanan ini tampak dari penjelasan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan Abdul Wahhab Khallaf yang dikutip oleh Jazuli. Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan:

" Objek kajian siyâsah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan pen-tadbîran-nya, dengan mengingat persesuaian pen-tadbîran itu dengan jiwa syari'ah, yang kita tidak peroleh dalilnya secara khusus dan tidak berlawanan dengan sesuatu nash dari nash-nash yang merupakan syari'ah 'âmmah yang tetap."

Dan Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa Objek kajian atau pembahasan ilmu siyasâh adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya.

D. Metode Mempelajari Fiqh Siyâsah
Penerapan siyasâh tidak boleh bertentangan dengan dalil-dalil yang bersifat kulliy, bernilai universal sekalipun ia terikat dengan zaman dan makân tertentu. Maka dari itu, dibutuhkan metode yang dapat menjawab kasus-kasus yang bersifat kondisional dan situasional dengan tidak me-nafi-kan keterkaitan dalâil al-kulliyah.
Metode-metode yang digunakan dalam mempelajari fiqh siyâsah tidak berbeda dengan metode-metode dalam mempelajari fan fiqh lainnya seperti munâkahât dan mawârits. Dalam kaitan ini digunakan displin ilmu ushûl al-fiqh dan ilmu qowâ'id al-fiqh .
Dalam mempelajari dan memahami, serta kemudian menerapkan siyâsah, tentunya tidak terlepas dari aturan mainnya. Secara umum dalam fiqh siyâsah digunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Al-Qiyâs.
Qiyâs secara etimologi adalah hipotesis, sebagaimana yang sering kita jumpai dalam kitab-kitab atau buku-buku yang membahas ushûl fiqh, kata qiyâs secara bahasa, logis digunakan sebagai ungkapan menyamakan atau mengembalikan sesuatu pada perkara lain yang setara dengannya.
Sedangkan qiyâs secara terminologi adalah menyamakan hukum suatu kasus syara' yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus lain yang sudah ada ketetapan hukumnya dalam nash, dikarenakan adanya persamaan diantara keduanya dalam 'illat (kausa, latio legis) yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum.
Lebih lanjut, Jazuli menjelaskan bahwa qiyâs dalam fiqh siyâsah digunakan untuk mencari 'illat al-hukm, dengan menggunakan metode qiyâs, hukum dari suatu masalah dapat diterapkan dalam masalah lain pada masa dan tempat berbeda jika keduanya mempunyai persamaan dalam 'illat hukumnya.
Berkenaan pengunaan metode ini, berlaku kaidah fiqih:
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
" Hukum itu berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaan’illatnya."

2. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Kata mashlahah berarti kepentingan hidup manusia. Kata mursalah berarti sesuatu yang tidak terdapat nash syari'at yang membatalkan atau menguatkannya. Hujjah al-Islâm Al-Ghozali sebagaimana yang dikutip Wahbah men-ta'rif-kan mashlahah mursalah secara harfiah dengan redaksi yang berbeda. Beliau menjelaskan bahwa mashlahah mursalah pada dasarnya (secara harfiah) berarti menarik kemanfaatan atau menolak kemadharatan. secara terminologis mashlahah mursalah adalah sifat-sifat yang selaras dengan perilaku penetapan syari'at dan tujuan-tujuannya. Akan tetapi tidak terdapat dalil yang spesifik dari syara' yang mengukuhkan atau menolaknya. Dengan proyeksi jalb al-mashâlih wa daf' al-mafâsid 'an al-nâs (menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan).
Mashlahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam istinbâth al-hukm menurut Abdul Wahhab Khallaf -sebagaimana yang dikutip oleh Jazuli dan Suyuthi- harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
- Objek bersifat esensial berdasarkan penelitian, observasi dan melalui analisa dan pembahasan yang mendalam.
- Objek bersifat umum dan bermanfaat bagi umat.
- Objek tidak bertentangan dengan dalil nash dan ijma'.
Banyak produk hukum yang dihasilkan dengan metode ini. Karena pada umumnya nash-nash al-Quran dan al-Sunnah bersifat global, hanya menjelaskan prinsip-prinsip. Maka dari itu, metode ini dapat memberikan kesempatan luas untuk pengembangan hukum dibidang muamalah.

3. 'Urf
Kata 'urf berarti adat istiadat atau kebiasaan. 'Urf merupakan istilah dari apa yang dikenal manusia dan menjadi tadisinya, baik berupa perbuatan ataupun perkataan.
Pembagian 'urf dari segi legalitasnya dihadapan syara', terdapat 'urf shohîh (legal) dan 'urf fasîd (ilegal). 'urf shohîh adalah hal-hal yang telah lazim dikenal manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara'. Sedangkan 'urf fasîd adalah tradisi yang bertentangan dengan syara'.
4. Istihsân
Secara sederhana istihsân dapat diartikan sebagai berpaling dari dalil satu kepada dalil yang lain. Atau dengan kata lain meninggalkan dalil satu ke dalil lainnya yang lebih kuat.

5. Sadd Al-Zdarî'ah dan Fath Al-Zdarî'ah
sadd al-zdarî'ah dan fath al-zdarî'ah merupakan salah satu metode yang digunakan ulama' dalam mempelajari fiqh siyâsah. Mengenai kedua metode ini Jazuli menjelaskan:
"Dalam fiqh siyâsah, sadd al-zdarî'ah digunakan sebagai upaya pengendalian masyarakat untuk menghindari kemafsadatan. Sebaliknya fath al-zdarî'ah digunakan sebagai upaya perekayasaan masyarakat untuk mencapai kemaslahatan. sadd al-zdarî'ah dan fath al-zdarî'ah merupakan alat bukan tujuan."

6. Istishhâb
Istishhâb adalah memberlakukan ketetapan hukum yang berlaku pada masa lampau hingga ada ketentuan dalil yang mengubahnya.

7. Qawâ'id al-Fiqh al-Kulliyat
Kaidah-kaidah fiqih yang bersifat umum sebagai teori ulama' banyak dipakai untuk melihat ketetapan pelaksanaan fiqh siyâsah.
Kaidah-kaidah fiqh yang sering digunakan untuk mempelajari dan mengembangkan siyâsah antara lain:
1.) Kaidah pertama:
تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة والاحوال والعواعد والنيات
"Berubahnya hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan niat."
Dari kaidah diatas, hukum-hukum yang diterapkan dapat sesuai dan relevan dimanapun dan kapanpun.
2.) Kaidah kedua:
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
"Hukum itu berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaan’illatnya."
3.) Kaidah ketiga:
المشقة تجلب التيسر
"Kesulitan akan menarik kepada kemudahan."
Kaidah ini merupakan isi dan pengertian dari beberapa ayat al-Quran, diantaranya:
        ...الاية 

Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah:185)
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, antara lain ialah perkataan Imam al-Syafi'i:
الامر اذا ضاق اتسع
"Sesuatu, ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)."
Dan qaul sebagian ulama:
الاشياء اذا ضاقت اتسع
"Ketika keadaan menjadi sempit maka hukumnya menjadi luas."
Dari kaidah ketiga ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) ataupun sosial (muamalat) dan merambah lagi pada ranah siyasah, akan mendorong diterapkannya keringanan.
4.) Kaidah keempat:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
"Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan."
Redaksi lain kaidah ini adalah "dar al-mafasid aula min jalb al-mashalih." Menolak mafsadah (kerusakan) lebih diprioritaskan daripada mengambil kemaslahatan.
5.) Kaidah kelima:
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
"Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dilakukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan."
Contoh kebijakan-kebijakan yang harus diterapkan oleh para pemimpin untuk merealisasikan mashlahat diantaranya:
- Seorang pemimpin (imam) dilarang membagikan zakat kepada yang berhak (mustahiq) dengan cara membeda-bedakan diantara orang-orang yang tingkat kebutuhannya sama.
- Seorang pemimpin pemerintahan, sebaiknya tidak mengangkat seorang fasiq menjadi imam shalat. Karena walaupun shalat dibelakangnya tetap sah, namun hal ini kurang baik (makruh).
- Seorang pemimpin tidak boleh mendahulukan pembagian harta bait al-mâl kepada seorang yang kurang membutuhkannya dan mengakhirkan mereka yang lebih membutuhkan.
Qowa'id al-fiqh al-kulliyat diatas hanyalah sebagian konsep-konsep yang sering digunakan dalam siyâsah. Tentu saja, masih banyak kaidah-kaidah lainnya yang secara khusus dapat kita pelajari dalam kitab-kitab atau buku-buku yang membahas fan ini.

E. Fiqh Siyâsah al-Syar'iyah Pada Masa Nabi dan Khulafah al-Rasyidin
Sekilas –dengan pertimbangan untuk empirisme kita semua dan bisa kita mengambil i'tibar darinya- pada ulasan ini kami akan memaparkan secara global paradigma-paradigma Siyâsah pada masa Nabi dan Khulafah al-rasyidin.

1. Siyâsah al-Syar'iyah Pada Masa Rasulullah S.A.W.
Fiqh siyâsah al-syar'iyah faktanya telah dilaksanakan oleh Rasulullah saw., hal ini terlihat setelah Nabi hijrah ke Madinah. Pada periode Madinah yang berlangsung 10 tahun ini, umat Islam berkembang dengan pesat. Di Madinah Nabi membentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan sangat gemilang. Kemudian dibuat aturan-aturan yang mengikat antara hubungan umat Islam dengan sesama maupun dengan lainnya.
Hukum-hukum yang mengatur masyarakat pada masa ini baik yang berhubungan dengan pribadi maupun yang mempunyai korelasi dengan masyarakat, antara lain seperti ibadah, muamalah, jihad, jinâyat (tindak pidana) dan waris. Contoh lain yang menyangkut kepentingan umat dalam pelaksanaan fiqh siyâsah ialah adanya Piagam Madinah, kebijakan intern Nabi saw., atas kaum Muhajirin dan kaum Anshar, kebijakan ekstern seperti perjanjian Nabi saw., dengan kaum Yahudi dan beberapa perang defensif yang dipimpin Nabi sendiri untuk mempertahankan negara dan agama.

2. Siyâsah al-Syar'iyah Pada Masa Khulafah al-Rasyidin
Suksesi politik merupakan persoalan siyâsah pertama yang dihadapi oleh para sahabat setelah wafatnya Nabi saw., sebagaimana dimaklumi Rasulullah tidak menunjuk siapa yang akan menggantikannya dan bagaimana mekanisme pergantiannya. Namun dengan solidaritas tinggi yang telah ditanamkan dalam-dalam oleh Nabi pada para sahabatnya, akhirnya ditetapkanlah Abu Bakr sebagai pengganti Nabi berdasarkan musyawarah terbuka diantara sahabat.
Kebijakan-kebijakan sayyidina Abu Bakr sebagai pemimpin umat pada masa itu antara lain ialah kebijakan kepada orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat dan mulai membukukan al-Quran atas saran dari sayyidina Umar bin Khatthab.
Setelah Abu Bakr wafat, kendali pemerintahan dipegang oleh Umar bin Khatthab. Terpilihnya Umar berdasarkan wasiat dari pemimpin sebelumnya. Kebijakan beliau diantaranya, pertama kali menunjuk seorang hakim khusus mengadili perkara-perkara dibidang kekayaan, tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan.
Khalifah ketiga pengganti Umar ialah pemimpin yang dipilih dengan adanya team formatur bentukan Umar yaitu sayyidina Ustman bin Affan. Kebijakan beliau diantaranya adalah penyatuan umat Islam melalui penyalinan al-Quran pada satu mushhaf, yaitu mushhaf Ustmani.
Pada masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib situasi politik sedang bergejolak. Sudah barang tentu hal ini membuat menantu Nabi ini kurang leluasa dalam upaya pen-tadbir-an umat. Seiring dengan berlalunya waktu konflik intern umat Islam semakin bergejolak yang akhirnya terjadi perang Siffin dan perang Jamal. Kebijakan Ali dalam masa kekuasannya yang penuh dilema diantaranya adalah tentang urusan pajak, administrasi peradilan dan angkatan bersenjata.

F. Landasan Dasar Fiqh Siyâsah al-Syar'iyah
Landasan dasar atau prinsip-prinsip dasar fiqh siyâsah al-syar'iyah meliputi tiga aspek, yaitu al-Quran, al-Sunah dan qoul ulama'.

1. Al-Quran al-Karim
a) Kedudukan manusia dimuka bumi. Nilai dasar ini dapat kita jumpai dalam al-Quran, diantaranya firman Allah swt.:
                     •         
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30).
b) Prinsip manusia sebagai umat yang satu. Allah swt., berfirman:
•  • •    • 
Artinya: Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (Q.S. al-Mukminun: 52)
c) Prinsip penegakan hukum dan keadilan. Allah swt., berfirman:
•           ••     •      •     
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. Al-Nisa': 58).
d) Prinsip kepemimpinan. Allah swt., berfirman:
                              
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-nisa': 59).
e) Prinsip bermusyawarah. Allah swt., berfirman:
           
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S. Al-Syura: 38).
f) Prinsip persatuan dan persaudaraan. Allah swt., berfirman:
       •    
Artinya: Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat: 10).
Dan firman Allah swt., yang artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (Q.S. Ali Imran: 103).
g) Prinsip persamaan. Allah swt., diantaranya adalah firman Allah swt., yang artinya:
"Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S. Al-Hujurat: 13).
h) Prinsip hidup bertetangga. Allah swt., berfirman:
                   
Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (Q.S. Al-Nisa':2).
i) Prinsip ta'awun dan menolong yang lemah. Allah swt., berfirman, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (Q.S. Al-Maidah: 2).
Tersebut diatas adalah sebagian nilai atau prinsip dasar siyâsah dalam al-quran. Sebenarnya masih terdapat banyak prinsip-prinsip siyâsah dalam al-quran al-karim. Diantaranya:
- Prinsip perdamaian dan peperangan yang terdapat dalam Q.S. Al-Nisa': 89-90, Q.S. Al-Hujurat: 9.
- Prinsip ekonomi dan perdagangan dalam Q.S. Al-Nisa': 29, Al-Baqarah: 275 dan 198.
- Prinsip amar ma'ruf nahi munkar dalam Q.S. Ali Imran: 110 dan 114.

2. Al-Sunah
Prinsip-prinsip dasar dari sumber hukum pokok kedua dalam Islam ini diantaranya:
a) Keharusan mengangkat pemimpin. Tersebut dalam H.R. Abu Dawud yang kami kutip dari karya Prof. A. Djazuli:
عن أبي هريرة قال النبي صلى الله عليه وسلم: اذا خرج ثلاثة فى السفر فاليؤمروا احدهم. رواه أبو داود
"Dari Abi Hurairah, Nabi saw., bersabda: apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaklah salah seorang dari mereka menjadi pemimpinnya."
b) Pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Rasulullah SAW. bersabda:
كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته فلامام الذى على الناس راع وهو مسؤل عن رعيته...الحديث
"Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan. Setiap imam yang memimpin atas rakyat bertanggung jawab atas rakyatnya..."
c) Keharusan berlaku adil bagi seorang pemimpin.
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال سبعة يظلمهم الله في ظله يوم لا ظل الا ظله: امام عادل...الحديث
"Dari Abi Hurairah, Nabi saw., bersabda: tujuh orang yang dinaungi Allah swt., dibawah naungan-Nya, pada hari qiyamat yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Yang pertama adalah pemimpin yang adil..".

3. Qoul Ulama'
Jumhur ulama' sepakat mengenai keharusan penyelenggaraan siyâsah. Dalam dari pada itu, mereka sepakat dengan keharusan penyelenggaraan siyâsah berdasarkan syara'. Ibn al-Qayyim -sebagaimana dikutip oleh Jazuli- mengatakan:
لا سياسة الا ما وافق الشرع
"Tidaklah dikatakan siyâsah kecuali sesuai dengan syara'."
Pendapat para ulama diantaranya sebagai berikut:
a) Abu Ishak al-Syatibi, dalam pelaksanaan siyâsah yang syar'i mengusulkan teori maqhâsid al-syariah. Bukan hanya itu, pelaksanaan siyâsah syariah menurut beliau juga bertumpuh pada medium-medium maqhasid al-syariah, semisal sadd al-zdarî'ah dan fath al-zdarî'ah.
b) Berangkat dari pemahaman al-dunya mazra'ah al-akhirah (dunia merupakan ladang bagi akhirat), hujjah al-Islam Al-Ghazali mengatakan, bahwasanya agama tidak sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama bersaudara kembar. Lebih lanjut al-Ghazali berpendapat bahwa seorang ahli hukum harus mempunyai pengetahuan tentang siyâsah. oleh karena itu beliau mengatakan fardhu kifayah mempelajari siyâsah.
c) Kontra dengan kesepakatan mayoritas ulama, sebagaimana yang telah kami sebut awal dengan meminjam istilah Ibn al-Qayyim "Tidaklah dikatakan siyâsah kecuali sesuai dengan syara' ", seorang intelektual muslim kontemporer Syaikh DR. Yusuf al-Qaradhawi hadir dengan konsepnya yaitu Fiqh al-waqi’. Contoh fiqh realitas al-Qaradhawi yang berkaitan dengan siyâsah ialah membenarkan sistem demokrasi dan -sistem tersebut- tidak dianggap bertentangan dengan Islam dan membolehkan bergabung dengan pemerintahan yang bukan Islam.
Perhatian ulama' terhadap fiqh siyâsah tidak pernah putus. Banyak kita kenal nama-nama pemerhati siyâsah diantaranya, Jamaludin al-Afghani, Rosyid Ridho, Abu Zahra, dan seorang ulama' dari Palestina -yang sampai sekarang konsepnya masih terus diperjuangkan dengan gigih oleh para syabâb (aktivis) H.T. baik di luar negeri maupun dinegara kita tercinta ini- yaitu al-Syekh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir. Di Indonesia sendiri ada nama seperti Hasbi al-Shiddiqie, Munawir Sazdali dan lain sebagainya.


G. Simpulan
Dalam ulasan kami yang terakhir ini, akan ditarik beberapa konklusi yang urgen dan sedikit kontribusi pemikiran dari penulis.
Objek kajian siyâsah adalah perbuatan para mukallaf sedangkan objek kajian ilmu ini adalah pengaturan dan perundang-undangan yang disesuaikan dengan pokok-pokok agama untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Adapun metode yang digunakan dalam fan ini tidak berbeda dengan metode mempelajari fiqh pada umumnya. Yaitu selain berpijak pada Mashâdîr al-ahkâm al-muttafaq 'alaihâ juga menggunakan metode-metode seperti istihsan, maslahah mursalah dan istishhâb.
Aplikasi siyâsah syariah tampak jelas dimulai pada masa setelah Nabi hijrah ke Madinah al-munawwarah, berlanjut pada pemerintahan khulafah al-rasyidin dan sampai pada masa kini. Dalam perspektif sejarah berbagai kebijakan-kebijakan pemegang kendali pemerintahan mulai masa Nabi dan masa setelahnya (khulafah al-rasyidin) merupakan bentuk artikulasi nilai dasar fiqh siyâsah syariah.
Sejarah telah membuktikan akan ketepatan sistem siyâsah syariah. Sebagai muslim, sudah seharusnya kita menerapkan -setidaknya memperjuangkan- nilai-nilai siyâsah syariah dalam sistem negara kita. Bukan taklid pada sistem kufur produk barat (demokrasi), yang mana kedaulatan berada ditangan rakyat bukan pada Tuhan. Pada dasarnya, wajib atas umat Islam mewujudkan sistem Islam dan haram mengadopsi sistem demokrasi, teokrasi dan lainnya sebagai acuan dalam hal-ihwal penyelenggaraan pengaturan pemerintah. Analogi -dalam arti bahasa dan bukan berarti meninggalkan nash- dari penulis yang dijadikan argumen ialah, bahwa taklid pada imam mazdhab saja tidak boleh apalagi taklid buta pada sistem kufur buatan musuh-musuh Islam. Dalam ushûl fiqh mungkin ini yang disebut dengan qiyas aula. Jika memang demikian adanya, na'ûzdu billah min zdâlik, semoga Allah mengampuni kita. Renungkanlah dimana letak kesalahannya لعلكم تعقلون " " Mari kita tegakkan siyâsah yang syar'iy. Karena Allah sendiri menetapkan syariat semata-mata untuk kemaslahatan umat. Allah akbar...!!!!
BIBLIOGRAFI

Al-Syuyuthi. Jalaluddin 'Abdur Rahman, al-Asybah wa al-Nazdâir, Surabaya: Al-haramain. 2008

Al-Zuhailiy. Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, Beirut, Libanon: Dar al-Fikr, 2005

Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Lirboyo: Purna Siswa Aliyah 2004, 2006

Hakim. Abdul Hamid, al-Sulam, Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, tt.,

Hakim. Abdul Hamid, Mabâdi' Awwaliyah, Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, tt.,

http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam

http://perwiralangit.blog.friendster.com/2007/08/page/2/

Jazuli. A., Fiqh Siyâsah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari'ah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003

Kakilima Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh Telaah kaidah Fiqh konseptual, Surabaya: Khalista, 2006

mtaufiq@rocketmail.com, Program Al-Quran Digital 2003.

Pulungan. J. Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2002

Supriyadi. Dedi, Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2007

Usman. Muchlis, Kaidah-kaidah Ushûliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbâth Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KILAS SEJARAH DINASTI UMAYAH

Dinasti Bani Umayah adalah sebuah dinasti yang berkuasa dalam dunia Islam dari tahun 661 hingga 750 M. Dinasti ini didirikan setelah kematia...