Senin, 07 November 2011

KH. ACHMAD CHALWANI; PENGAJIAN LAILATUL MUADAAH

KH. ACHMAD CHALWANI
PENGAJIAN LAILATUL MUADAAH  
Tahun Ajaran 2007-2008 M. /1428-1429 H.
By; Kabul Khan


Lailatul muadaah atau malam perpisahan itu hanya istilah saja dan tidak bermakna secara hakiki, perpisahan ini adalah perpisahan yang bermakna majazi. Layaknya sebuah madrasah (lembaga pendidikan) dimana ketika akhir  tahun pelajaran mengadakan acara perpisahan. Demikian pula dengan pondok pesantren An-Nawawi.
Pada kesempatan itu beliau KH. Achmad Chalwani menyampaikan beberapa pesan yang dikatakannya dulu adalah pesan dari gurunya. Beliau mengatakan:
"saudara-saudara semua masih dalam usia yang sangat muda, maka sebagai seorang pemuda (syubhan) dan sebagai seorang remaja (nashih) ingatlah sebuah hadits di dalam kitab Ihya’ ulumudin, imam al-ghazali memaparkan:
" وما أوتي العالم علما الا وهو شاب "
Artinya : seseorang tidak akan dikaruniai ilmu kecuali selagi masih muda.
Maka ilmu ini lebih banyak masuk pada generasi muda bukan generasi yang lainnya.
Saudara-saudara termasuk generasi muda, maka pesan saya sesuai pesan al-syekh Muhammad ibn ‘abdillah ibn Malik al-Andalusiy, dalam nazdam Al-fiyah-nya :
" جد كل الجد وفرح الجدل "
Artinya : bersungguh-sungguhlah dengan segala kesungguhan maka bergembiralah dengan sungguh-sungguh bergembira.
artinya kita boleh bergembira, kita boleh bersukaria setelah kita bersungguh-sungguh. Setelah sekian bulan bersungguh-sungguh dalam belajar di pondok pesantren An-Nawawi maka dalam liburan ini bolehlah sekedar untuk berekreasi”.
Menyinggung kaitannya dengan santri yang berprestasi dan santri yang bisa dikatakan gagal dalam proses belajarnya, beliau berpesan “Kalaupun kamu ada prestasi ini semuanya merupakan fadhl (keutamaan) dari Allah swt. maka jangan sombong. Kalaupun ada prestasi katakanlah Hazda min fadhlil rabbi (ini anugerah dari Allah) dan kalau kebetulan belum berprestasi jangan salahkan Allah. Salahkan diri sendiri karena kita belum bersungguh-sungguh”.
Kita pun tidak boleh panik ketika mengalami kegagalan. Abraham lincoln mantan presiden Amerika berkali-kali gagal dalam mencapai prestasinya. Tapi, karena dia tidak putus asa akhirnya bisa berhasil. Maka para santri pun disarankan untuk sering mempelajari sejarah para pemimpin supaya tidak muda putus asa. Hal ini juga merupakan kegemaran KH. Achmad Chalwani ketika beliau masih muda, beliau sering membaca sejarah para pemimpin baik pemimpin nasional maupun agama. Karena para pemimpin itu tidak pernah panik, putus asa dan itu patut untuk dijadikan sebagai contoh.
Seorang yang mempunyai jiwa kepemimpinan haruslah mempunyai semboyan. Semboyan yang dimaksud oleh beliau adalah “Saya akan menemukan satu jalan, kalau jalan itu tidak ada saya akan membuat jalan". Dan kata-kata bijak ini selalu beliau tanamkan dihatinya (KH. Achmad Chalwani) sejak beliau kecil ungkapnya. Maka, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin bagi yang mempunyai kemauan keras.
Kemauan yang keras, himah yang tinggi sangatlah penting. Al-marhum al-maghfurlah simbah KH. Ali Ma’shum Krapyak pernah hadir di pondok pesantren An-Nawawi dan memberikan wejangan kepada para santri An-Nawawi untuk punya cita-cita yang tinggi. Beliau (KH. Ali Makshum) berkata “kamarmu gambarlah bedug besar dan penabuhnya, Dibawahnya tulis : Saya jangan hanya jadi tukang penabuh bedug saja "agar kita punya himmah (cita-cita) yang tinggi. Ojo nganti bali mondok mung dadi tukang nabuh bedug (jangan sampai sepulang dari pesantren hanya jadi tukang penabuh bedug saja)”.
Al-marhum Kyai Makhrus lirboyo ketika dipesantren sudah punya cita-cita yang sangat tinggi,  kyai Mahrus berkata " reang (aku) wegah nek mung dadi kyai cilik, kyai cilik karo lurah wae kalah " maka kalian harus punya cita-cita yang tinggi. dikatakan mempunyai cita-cita tinggi saja kadang tidak mencapai setengah tinggi.
Sebagai santri harus kun rijluhu fis saro wa himmatuhu fis suroya_ jadilah kaki mengijak di debu akan tetapi cita-cita himmah-mu ada di bintang surya”. Logikanya, kalau kita tidak punya cita-cita yang tinggi mana mungkin kita mau giat belajar.
Dicerikan bahwa ketika beliau KH. Achmad Chalwani nyantri di Lirboyo sering melakukan sowan ke beberapa ulama’ setempat. Diantaranya beliau sowan ke Kyai Zamroji Pare Kediri. Ketika sowan kesana beliau ditanya oleh kyai Zamroji tentang asal daerah. Setelah tahu bahwa yang menghadap kyai Zamroji ini berasal dari Berjan Purworejo, kemudian kyai Zamroji bertanya kalau dengan kyai Nawawi? Dengan gaya bercerita yang khas, beliau KH. Achmad Chalwani menjawab “menawi mboten lepat kulo bin Nawawi_kalau tidak salah saya anak kyai Nawawi”. Setelah tahu bahwa yang ada dihadapannya adalah anak dari Kyai Nawawi kemudian kyai Zamroji menyapa dengan sebutan Gus.[1] Kyai Zamroji berkata “ndos pundi Gus?_ada apa Gus?” jawab KH. Chalwani “anu Romo Kyai, kulo di dawuhi bapak supados nyuwun pandonga dateng kyai-kyai_begini Pak Kyai, saya di suruh oleh bapak supaya meminta berkah doa dari para kyai-kyai”. Apa kata kyai Zamroji kepada Kyai Chalwani muda itu, beliau kyai Zamroji berpesan “gus, anak kyai niku menawi mboten purun ngaji, niku sing susah ura mung bapakne. Tanggane melu susah, bakul dawet susah_gus, anak kyai itu kalau tidak mau belajar yang susah bukan hanya bapaknya. Tapi tetangga pun ikut susah, pedagang cendol susah, pedagang es pun juga ikut susah”. Waktu itu sebagaimana diungkapkan oleh KH. Achmad Chalwani beliau belum faham maksud dari apa yang disampaikan kyai Zamroji itu. Beliau bertanya-tanya apa hubungannya anak kyai dengan para pedagang itu dan setelah berumur 50an tahun baru beliau mendapatkan jawaban dari teka-teki yang terkandung dalam pesan kyai Zamroji yang mana ketika dulu kyai Chalwani tidak mengaji pasti tidak punya ilmu dan ketika tidak punya ilmu tentunya tidak ada orang yang akan mempercayakan anaknya belajar disini. Dengan adanya ilmu yang didapatnya, meskipun sedikit -kata beliau- akhirnya ada orang yang berkenan untuk mengundangnya mengisi pengajian, semisal di daerah sekitar (Purworejo, Magelang, Wonosobo dll.) bahkan di daerah Sumatera dan lainnya. Nah ketika ada pengajian-pengajian seperti itulah didapatkan bakul dawet dan lainnya ikut mencari rizki. Artinya, orang yang mempunyai ilmu sedikit banyak ikut membantu masyarakat dalam mencari mata pencaharian. Demikian juga dengan tetangga, bayangkan andaikata aku tidak punya ilmu kata kyai chalwani. Tentunya tidak ada santri yang ingin belajar disini dan warung-warung sekitar pondok pun susah karena sedikitnya pelanggan.
Orang yang berilmu walaupun sudah meninggal dunia masih bisa membantu masyarakat dalam banyak bidang diantaranya perekonimian. Contohnya sunan Muria yang mempunyai nama asli Raden Umar Said salah satu dari Walisanga putra dari sunan kalijaga. Sunan Muria sudah wafat lebih dari 300 tahun yang lalu, walaupun beliau sudah wafat sampai sekarang dia punya jasa yang besar, punya konsep ekonomi yang sangat jitu dimana sampai sekarang setiap hari tidak kurang dari 600 tukang ojek mencari penumpang di makam beliau.[2] Belum lagi pedagang-pedagang lainnya seperti pedagang tasbih, makanan dan lainnya yang banyak mengais rizki disekitar makam beliau. Demikianlah para wali, walaupun sudah wafat tetapi masih bisa mencarikan rizki kepada banyak orang. Sedangkan kita mencari rizki untuk kebutuhan sendiri terasa sangat kesulitan apalagi menghidupi orang lain.
Kata romo kyai Mahrus Lirboyo “inna likulli syai’ qimah, waqimatul mar’i al-ilmu_sesungguhnya segala sesuatu mempunyai nilai dan nilai seseorang adalah ilmu”. Seorang yang berilmu meskipun sudah meninggal serasa masih hidup sedangkan orang-orang yang tidak berilmu meskipun hidup keberadaannya dianggap tidak ada. Maka dari itu kepada semua santri Kyai Chalwani berpesan berikut “saudara-saudara jangan bosan-bosan dalam menuntut ilmu, apa saja, dimana saja, dalam kondisi apa saja”.
bersambung......


[1] Disela-sela cerita yang disampaikan, beliau KH Achmad Chalwani menyatakan kepada para santrinya untuk menyebut putranya dengan sebutan mas. Karena menurut beliau sebutan “Gus” adalah sapaan buat mereka anak-anak Kyai yang besar seperti di Lirboyo, Ploso, Tebuireng dan lainnya. Dengan gaya yang cukup menggelitik beliau juga menyatakan bahwa sekarang ini ada demam Gus. Kyai-kyai kampung saja anaknya diundang Gus dan akhirnya banyak gus-gus amatir. Oleh karenanya menurut beliau cukup kiranya para santri PP. An-Nawawi menyapa putranya dengan sebutan mas bukan gus. Dari apa yang dapat dicerna oleh penulis, hal ini merupakan wujud tawadhud, kerendahan hati seorang Kyai besar yang ingin mengajari santrinya untuk bersikap demikian juga.
[2] Coba bayangkan! Besok kalau kita mati adakah tukang ojek yang mencari penumpang di kuburan kita???

Minggu, 06 November 2011

KH. ACHMAD CHALWANI; PENGAJIAN THARIQAH RUTINITAS HARI AHAD 23 0ktober 2011




KH. ACHMAD CHALWANI;
PENGAJIAN THARIQAH RUTINITAS HARI AHAD
23 0ktober 2011
Oleh: Kabul Khan[1]

Alhamdulillah pada kesempatan kali ini kita masih bisa diberikan anugerah nikmat oleh Allah untuk mengikuti pengajian rutin thariqah hari Ahad. Demikianlah yang disampaikan beliau KH. Achmad Chalwani ketika mengawali pengajian rutin Thariqah hari Ahad di Aula Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo 23 Oktober 2011.
Pada kesempatan kali ini (kata KH. Achmad Chalwani), mari kita bersama-sama merenungkan sabda nabi Muhammad SAW. Pada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh imam Thabrani, nabi bersabda dalam hadits qudsi (firman Allah dimana susunan kalimatnya dari nabi, bedanya dengan al-Quran adalah bahwa al-Quran adalah firman Allah dan susunan kalimatnya juga dari Allah):
انا مع عبدى ما ذكنى وتحركت بي سفتاه (رواه الطبرنى)
Artinya: Aku (Allah) senantiasa menolong hambaKu ketika hambaKu senantiasa mengingatKu. Dan kedua bibirnya bergerak-gerak untuk mengingatKu (menyebut namaKu). (HR. Thabrani).
Contoh kedua bibir bergerak seperti yang disinggung dalam hadits diatas adalah membaca zdikir Allahumma yaa qadhiyal hajaat, allahumma yaa muhillal musykilat, Allahumma yaa mujibad da’waat dan membaca laa ilaha illah.
Maka dari itu, zdikir merupakan hal yang sangat penting. Dan supaya hati kita bisa mengingat terus pada Allah, berdasarkan hadits diatas maka menggunakan wasilah (lantaran/medium)dengan lisan yang menyebut asma Allah.
Seperti yang biasa telah disampaikan oleh al-mukarram, bahwa orang awan berbeda dengan orang yang khas (wali) dalam tata cara berzdikir. Kalau orang awan zdikirnya dapat dikatakan dari luar kemudian masuk ke hati. Sedangkan para wali zdikirnya adalah dari hati kemudian keluar dan menyinari lingkungan. Jadi kalau para wali, ulama’ terkadang apabila berzdikir badannya tidak bergerak badannya dikarenakan zdikir tersebut sudah sampai ke dalam lubuk hati. Semisal al-marhum simbah KH. Ahmad Abdul Haq dari Watucongol Magelang ketika berzdikir kalimatut tauhid (laa ilaha illallah) tidak banyak bergerak akan tetapi para jamaah dibelakang beliau bergerak semuanya.
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam kitab Salaim al-Fudhala’ mengatakan “bagi orang awan berzdikir dengan suara yang jelas, keras, dan menggerakkan badan dengan tegas itu lebih cepat masuknya ke dalam hati daripada zdikir yang samar (nggrayeng_jawa)”. Jadi zdikir itu harus jelas, gelengan kepala juga harus jelas.
Dalam hadits qudsi yang lain Allah berfirman:
من لم يرنى فلزم بذكر اسمي فان اسمي لم يفرقني
Artinya: barangsiapa tidak melihatKu, maka langgengkanlah menyebut namaKu. Karena namaKu tidak akan berpisah dariKu.
Dimanapun kita sebut nama Allah, maka Allah pasti hadir, mendampingi kita, menolong kita, menjaga kita. Maka penting sekali untuk membaca zdikir laa ilaha illallah.

Kalimat Laa ilaha illallah
Kalimat laa ilaha illallah mempunyai nama yang banyak. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عن علي كرم الله وجه انه قال سمعت سيد الخلائق محمدا صلى الله عليه وسلم يقول سمعت سيد الملائكات جبريل عليه السلام يقول ما نزلت بكلمة اجل من كلمة لا اله الله محمد رسول الله على الارض وبها قامت السموات والارض والجبال
Artinya: Dari ‘Ali -karramallahu wajh- berkata: Aku (Ali) mendengar baginda para makhluk Muhammad SAW berkata: Aku (Nabi) mendengar atasan para malaikat berkata : Tidak aku menurunkan kalimat yang lebih agung (mulia) dari kalimat “laa ilaha illallah Muhammadur rasulullah” diatas bumi. Dan karena kalimat tersebut terciptalah langit, bumi, dan gunung.
Semua yang ada itu berasal dari adanya kalimat laa ilaha illallah, termasuk lautan, daratan, pepohonan dan lainnya. Dalam hadits diatas malaikat Jibril menambahkan:
كان هي كلمة الاحلاص
Artinya: kalimat tersebut (laa ilaha illallah) adalah kalimatul ihklas.
Kalimat laa ilaha illallah dikatakan kalimat ikhlas. Sedangkan surat Qul huwa Allah dinamakan surat al-ikhlas.[2]
Kalimat laa ilaha illallah menurut sayyidina ‘Ali dengan menirukan apa yang dikatakan Nabi dan nabi menirukan apa yang di dengar oleh malaikat Jibril, mempunyai beberapa nama sebagai berikut:
1.     Kalimatul ikhlas
Bagi siapa yang hendak mempunyai rasa ikhlas dalam hatinya maka perbanyaklah membaca laa ilaha illallah.
2.     Kalimatul Islam
Maka dari dari nama itu, bagi yang masuk Islam harus bersahadat (bersaksi) dengan membaca “asyhadu an laa ilaha illallahwa asyhadu anna Muhammadur rasulullah”.
Meskipun sudah masuk Islam bukan berarti tidak lagi membaca kalimat tersebut. Kita tetap diperintahkan memperbanyak membaca kalimat tersebut untuk menebalkan Iman kita.
3.     Kalimatul qurbi
Kalimat qurbi adalah kalimat yang dijadikan sarana mendekatkan diri kepada Allah. Dari segi bahasa qurbi mempunyai arti mendekat. Jadi kalimat laa ilaha illallah dikatakan kalimatul qurbi sebagaimana yang telah dijelaskan.[3]
4.     Kalimatut taqwa
Laa ilaha illallahu juga disebut sebagai kalimatut taqwa yang mana taqwa berarti menjalankan perintah Allah dan menjahui larangannya.
5.     Kalimatun najaat
Menurut Ali dengan menirukan Nabi dan Nabi menirukan Jibril, kalimat laa ilaha illallah juga disebut dengan kalimatun najaat yang berarti kalimat yang menyelamatkan manusia dari neraka dan masuk surga. Hal ini dikarenakan menyebut kalimat laa ilaha illallah yang juga mempunyai nama kalimatun najaat  atau kalimat penyelamat.
6.     Kalimatul ‘ulya
Kalimat laa ilaha illallah juga dinamakan kalimatul ‘ulya atau kalimat yang luhur.

Malaikat Jibril berkata:
ولو وضعت في كافة الميزان ووضعت سبع سماوات وسبع اراض في كافة أخري لرجعت عليهن
Artinya: Seandainya kalimat “laa ilaha illallah” itu ditempatkan dalam satu timbangan dan langit, bumi di tempatkan dalam timbangan yang lainnya pasti berat timbangan “laa ilaha illallah”.
Dari itu, sangatlah penting untuk kita selalu berzdikir kepada Allah.
Kaitannya dengan dzikir ismi zdatiy atau khafiy yakni menyebut Allah Allah dimana lidah lebih utama ditahankan pada bagian atas rongga mulut (cetak duwur_jawa) hal itu disebabkan adanya riwayat bahwa dahulu ketika ada orang meninggal dunia, malaikat mencari amal soleh di seluruh tubuh orang tersebut akan tetapi tidak ditemukan mulai dari tangan, kaki, bahkan hatinya. Akhirnya malaikat menemukan amal soleh tersebut di ujung (pucuk_jawa) lidahnya bekas menyebut Allah Allah. Kemudian orang tersebut diampuni dosanya dan dimasukkan ke dalam surga.

I’tibar dari orang terdahulu
Ada i’tibar dari orang-orang terdahulu, semisal simbah Kyai Abdul Majid Pagedangan Kutowinangun Kebumen dimana ketika umur 11 tahun berangkat mengaji setiap hari Selasa dengan berjalan dari Kutowinangun sampai ke Berjan. Maka dari itu sudah semestinya dengan adanya berbagai fasilitas yang mendukung untuk kita saat ini lebih giat mengaji.
Demikian pula dengan apa yang dilakukan oleh Kyai Samsudi dari desa Jangkrikan Kepil Wonosobo yang setiap hari Selasa berjalan dari desa Jangkrikan menuju Berjan untuk mengikuti pengajian thariqhah.
Selain beliau berdua juga ada salah satu Kyai lainnya yang tanpa kenal lelah dan patut untuk dijadikan tauladan. Yakni beliau Kyai Umar[4] dari Payaman Magelang. Beliau setiap ada pengajian sewelasan di Berjan menghadirinya dengan berjalan kaki. Biasanya beliau menghampiri badal yang ada di daerah Mejing Candimulyo Magelang, Badal yang ada di Mertoyudan[5] dan kemudian bergegas menuju Berjan.
Kyai Umar Payaman adalah murid dari seorang mursyid tariqhah Syadziliyah yakni simbah Kyai Syiraj Payaman. Suatu hari Kyai Syiraj ini berkunjung ke rumah kyai Umar dengan tujuan untuk berbait thariqah kepada muridnya Kyai Umar. Kyai syiraj sebagai mursyid thariqah Syadziliyah tidak enggan berbaiat thariqah Qaddiriyah kepada muridnya tersebut. Dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang alim itu tidak enggan, sungkan dan merasa malu untuk menimbah ilmu dari muridnya sendiri.
Riwayat perkembangan thariqah Qaddiriyah Berjan berkembang di daerah Magelang diantaranya adalah jasa dari tiga Kyai besar. Yakni Kyai Umar Payaman, kyai Muzdakir Muntilan (kakak dari al-maghfurlah simbah Kyai dalhar Watucongol Muntilan) dan Kyai Zarkasyi dari bengkung Secang. Ketiga kyai ini baiat thariqah kepada simbah Kyai Zarkasyi Berjan.
Pada tahap pertama murid dari Simbah Kyai Zarkasyi Berjan ada empat orang. Diantara empat orang tersebut adalah simbah Syiraj dari Buntit Gintungan Gebang Purworejo.
Simbah Syiraj Buntit ini konon dahulu pernah mencalonkan diri menjadi lurah di desa Gintungan akan tetapi gagal. Kemudian mengikuti saran dari simbah Kyai Zarkasyi beliau masuk thariqah Qaddiriyah dan melakukan suluk selama empat puluh hari di Berjan. Setelah itu beliau dijadikan guru thariqah oleh simbah Kyai Zarkasyi dan bertolak untuk tinggal di Riau. Suatu ketika simbah kyai Zarkasyi mendapat surat yang dibawah orang Riau bernama H. Affandi dari raja Johor pertama yang bernama sultan Abu Bakr yang mana isi suratnya bahwa raja Johor tersebut meminta kepada simbah kyai Zarkasyi untuk mengirim guru yang akan mengajar thariqah di daerah Malaya (Malaysia). Setelah membaca surat tersebut, kyai Zarkasyi mengatakan bahwa yang akan kesana adalah kyai Syiraj, surat itu kemudian dibawah oleh H. Affandi dan disampaikan ke kyai Syiraj untuk nantinya dibawah menghadap raja Johor. Setelah menerima surat dan pesan dari kyai Zarkasyi, simbah Syiraj pun bertolak ke Johor dan menghadap kepada raja Abu Bakr. Raja Johor pun menerima kehadirannya dan diberinya kyai Syiraj tanah oleh raja di daerah Batupahat Johor Baru Malaysia. Kemudian beliau pun mengembangkang dan mengajar tariqah Qaddiriyah didaerah tersebut. Setelah kyai Syiraj wafat digantikan oleh anaknya bernama kyai Ghazali. Dan sekarang guru thariqah Qaddiriyah di sana dipimpin oleh cucunya bernama kyai Affandi. Demikianlah kisah perkembangan thariqah Qaddiriyah Berjan yang berkembang dinegeri sebrang yang dibawah oleh kyai dari Buntit bernama Syiraj. Lebih lengkapnya lihat biografi Kyai Nawawi Berjan.
Demikianlah sekilas sejarah dari kyai-kyai yang ahli zdikir. Kita semua harus belajar sejarah supaya tidak tertinggal oleh sejarah. Demikian pesan dari KH. Achmad Chalwani sebelum mengakhiri pengajian yang beliau sampaikan.



[1] Penulis adalah santri KH. Achmad Chalwani yang pernah gagal menempuh ujian akhir madrasah pondok pesantren An-Nawawi dikarenakan kurangnya syarat, sehingga predikat lulus madrasah untuk santri yang satu ini pun ditangguhkan oleh yang berwenang. Ditengah-tengah waktu yang bisa dikatakan banyak menganggur, terkadang ada kebingungan hendak apa kiranya? Nah, dari sini kemudian berinisiatif untuk menulis, yang diantaranya adalah membukukan pengajian al-mukarram KH. Achmad Chalwani. Semoga bermanfaat. Dan semoga bisa lebih produktif dalam menulis. Mohon doa pembaca yang budiman.
[2] Tentang bagian ayat dari surat al-ikhlas diterangkan oleh KH. Achmad Chalwani bahwa lafazd ayat “qul huwa Allahu ahad” itu tertulis di kening sahabat Abu Bakr as-Shiddiq, lafazd “Allahus shomad” tertulis di kening sahabat Umar ibn Khatab, lafazd "lam yalid walam yulad“ tertulis di kening sahabat “Ustman bin Affan dan lafazd “walam yakun lahu kufuwan ahad” tertulis di kening sahabat ‘Ali bin Abi Thalib –karrama Allahu wajh-.
[3] Pada kesempatan tersebut beliau KH. Achmad Chalwani juga menyinggung tentang penyerapan bahasa indonesia dari bahasa Arab. Diantaranya adalah kata Kurban yang berasal dari kata Qoruba, yaqrabu, qurbanan. Jadi kurban hari raya dimaknai dan dimaksudkan dengan mendekatkan diri pada Allah dan siap dekat dengan Allah. Beliau juga menyinggung tentang kesalahan penyerapan kata kurban dalam pemakaiannya di bahasa Indonesia semisal kata-kata kurban kecelakaan dan lainnya. Namun beliau tidak membahas lebih detail tentang itu dan kemudian mengakhirinya dengan mengatakan bahwa itu urusan bahasa dalam penyerapan dan pemakaiannya.
[4] Ada kekhususan dalam diri beliau yang menunujukkan bahwa zdikirnya sudah sampai di dalam hati. Keunikan atau kekhususan yang dimaksud sebagaimana disampaikan oleh KH. Achmad Chalwani adalah bahwa ketika beliau Kyai Umar tidur tasbih yang ada di tangannya memutar sendiri. Dahulu dari Magelang ada seorang alim bernama Sayyid Sagar bin Ahmad al-Jufri. Suatu ketika Sayyid Sagaf tidur di Payaman bersebelahan dengan Kyai Umar dan malam-malam beliau terbangun dan melihat dengan ta’jub kepada Kyai Umar yang sedang tertidur  pulas akan tetapi tasbih yang ada di tangannya berputar sendiri. Ini menunjukkan bahwa zdikir sir kyai Umar sudah masuk.
[5] Badal dari dua daerah tersebut tidak beliau (KH. Achmad Chalwani) sebutkan siapa namanya.

Kamis, 03 November 2011

AL-TAMHID (terjemah kitab ushul fiqh al-islamiy Wahbah al-Zuhailiy) By; Kabul Khan

AL-TAMHID
 
1.      Pengertian Ushul al-Fiqh
Para ushuliyin (ahli ushul) dalam mendefinisikan ushul fiqh kembali pada dua i’tibar. I’tibar yang pertama dilihat dari segi susunannya (idhafah) dan i’tibar yang kedua dilihat dari segi disiplin kelimuan (al-‘ilmiyah).
Dari sudut pandang pertama yakni idhafah, ushul fiqh terdiri dari susunan idhafiy yang membutuhkan adanya spesifikasi definisi pada tiap kata yang ada. Yakni definisi dari kata ushul dan definisi dari kata fiqh.
Adapun dari sudut pandang kedua (disiplin ilmu), ushul fiqh merupakan pindahan atau mengambil dari makna idhafiy-nya yang kemudian dijadikan nama pada displin ilmu tertentu tanpa melihat terhadap bagian-bagian yang ada di dalamnya (yakni; ushul dan fiqh). Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah definisi mufrad-nya saja (yakni pengertian ushul fiqh tanpa mendefinisikan ushul dengan tersendiri dan fiqh juga tersendiri). 
A.     Ilmu Ushul al-Fiqh dari Sudut Pandang Idhafah
Mabhats lafzd al-‘ilm
Kata ilmu dimaksudkan pada tiga makna sebagai berikut:
1)      Al-Masail. Yakni masalah-masalah atau ketentuan-ketentuan yang dibahas di dalam ilmu.[1]
2)   Idrak al-masail (menemukan masalah). Yang dimaksud dari bagian yang kedua ini adalah mengetahui hukum dari masalah-masalah berdasarkan pada dasar yang pasti dan tidak tergoyahkan.
Kriteria yang kedua ini merupakan ketentuan yang harus ada dalam bidang akidah. Sedangkan dalam hukum-hukum fiqh tidaklah disyaratkan adanya ilmu. Akan tetapi dianggap cukup dengan adanya dugaan yang kuat (ghalabah al-zdan).[2]
3)      Al-Malakah. Yakni masalah yang sudah merupakan sebuah hasil keputusan  dari  orang yang mempelajari dan menekuni masalah.
Maksud masalah yang disebut terakhir adalah masalah dalam pengertian awal. Karena masalah merupakan objek pembelajaran atau kajian dan apa yang dimaksud secara ‘urfiy (kebiasaannya).[3] Misalkan permasalahan dalam ilmu nahwu bahwa mubtada’ dibaca rafa’, hal dibaca nashab.
Adapun ilmu fiqh adalah kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Hal demikian karena hasil dari kajian masalah-masalah yang ada akan menghasilkan kumpulan-kumpulan hukum syar’i yang aplikatif (amaliyah).

Mabhats lafzd al-ushul
Kata ushul adalah bentuk jama’ dari kata ashl (asal) yang secara bahasa berarti sesuatu yang dijadikan sandaran bangunan yang lainnya baik secara kasat mata (dapat diindera) maupun maknawiy.
Kata ushul menurut istilah dimutlakkan pada salah satu dari 5 makna berikut ini:
1)      Ashl bi makna al-dalil (Asal yang dimaknai dengan dalil)
Definisi ini merupakan definisi yang ditawarkan oleh pakar fiqh sebagaimana dikatakan bahwa asal dalam kewajiban shalat adalah firman Allah ta’ala “wa aqimu al-shalah...” QS. al-Baqarah (2); 43. Jadi asal dari masalah ini adalah Kitab dan Sunah yang berarti bahwa dalil dari masalah tersebut adalah al-Kitab dan al-Sunah. Dari pengertian in,i termasuk didalamnya adalah ushul fiqh yang berarti dalil-dalil dari fiqh.
2)      Al-qa’idah al-kulliyah (kaidah yang global)
Contoh dari kaidah kulliyah adalah “buniya al-islam ‘ala khamsah ushul” dan “la dharar wa la dhirar” yang merupakan ashl dari ushul al-syari’ah (dasar-dasar syariat).
3)      Al-Rajhan
Contoh dari pengertian ushul yang ke tiga ini adalah ucapan ulama’ “al-ashl fiy al-kalam al-haqiqah” (asal dari sebuah perkataan adalah makna hakikat). Yang dimaksud disini adalah bahwa sesuatu yang kuat, unggul (rajih) bagi sipendengar adalah makna hakikat atau makna asli bukan makna majaz.[4]
4)      Al-Shurah al-muqayyas ‘alaiha (gambaran yang dijadikan persamaan)
Contoh dari makna ushul yang ke empat ini adalah ucapan ulama’ bahwa khamr adalah asal bagi nabizd. Jadi nabizd merupakan cabang dalam perseimbangan asalnya yang berupa khamr.
5)      Al-Mustashhab
Dikatakan, bagi orang yang yakin bahwa dirinya dalam keadaan suci, kemudian ragu di dalam hadats, maka pada dasarnya orang tersebut dalam keadaan suci. Jadi, orang tersebut meneruskan hukum suci sampai datangnya perkara yang merusak kesuciannya. dalam sebuah kaidah disebutkan “al-yaqin la yazul bi al-sakk[5].
Dalam pembahasan ini, makna yang dimaksud dari kata ashl adalah makna yang pertama yakni al-dalil. Jadi ushul fiqh merupakan dalil-dalil fiqh seperti al-Kitab, al-Sunah,Ijma’ dan Qiyas.
Sebagian ulama’ ushul juga berpendapat bahwa kata ashl juga digunakan dalam pembahasan ini dengan makna bahasa (ma buniya ‘alaih ghairuh_sesuatu yang dijadikan sandaran bangunan atas yang lainnya).
Hal ini dikarenakan bahwa berpindah dari makna lughawiy (bahasa) kepada makna ishthilahiy (syara’) adalah suatu hal yang bertentangan dengan asal (khilaf al-ashl) dan juga tidak adanya kemadharatan kalaupun tidak berpindah dari makna lughawiy ke makna ishthilahiy. Karena penyandaran bangunan akal itu sebagaimana penyandaran bangunan hukum kepada dalilnya yang semua bangunan atau yang disandarkan masuk didalamnya dimana mencakup semua bangunan yang dapat di indera seperti tembok di atas pondasinya atau bangunan akal seperti membangun atau menyandarkan hukum pada dalilnya. Kemudian apabila kata ashl disandarkan pada kata fiqh, hal itu berarti menggunakan makna ‘aql (akal) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud disini adalah bangunan akal bukan bangunan hissiy (dapat di indera).
Menurut Wahbah al-Zuhailiy, penggunaan kata ashl dengan arti dalil merupakan penisbatan terhadap idhafah kata ashl kepada kata fiqh. Dimana hal tersebut lebih menunjukkan maksud dan lebih menjelaskan apa yang dikehendaki.

Apa itu dalil?
Dalil secara bahasa adalah sesuatu yang menunjukkan, yang menuntun (al-mursyid). Menurut istilah pakar ushul fiqh, dalil adalah sesuatu yang menyampaikan pada tujuan (mathlub khabariy)[6] dengan adanya pandangan yang benar atau pengayaan pandangan. Seperti alam, bahwasanya memungkinkan untuk sampai dengan adanya pandangan terhadap hal ihwal alam dari ke-hudutsan dan perubahannya pada mathlub khabariy yang berupa pembenaran bahwa sesungguhnya alam itu membutuhkan terhadap pembuat (muhdits). Maka dikatakan bahwa alam itu hadits (baru), setiap hal yang baru tentunya harus (membutuhkan) adanya muhdits (yang membuat baru). Mathlub khabari-nya adalah alam harus ada muhdits-nya.
Contoh lainnya adalah firman Allah ta’ala “wa aqimu al-shalah...” QS. al-Baqarah (2); 43, bahwasanya memungkinkan untuk sampai pada mathlub khabariy. Misalnya dengan adanya pandangan terhadapnya, bahwa ayat tersebut berupa perintah. Adapun mathlub khabariy-nya adalah pembenaran (al-tashdiq) bahwa sesungguhnya ayat tersebut berfaidah perintah akan kewajiban shalat dengan mengatakan bahwa “wa aqimu al-shalah...” adalah perintah untuk mendirikan shalat yang mana perintah tersebut berfaidah akan kewajiban shalat.
Masing-masing dari kedua contoh yang telah dipaparkan berupa alam dan wa aqimu al-shalah adalah dalil menurut pakar ushul fiqh yang maksudnya adalah bahwa dalil menurut mereka adalah sesuatu yang mufrad yakni berupa hukum syara’. Sedangkan menurut Munathiqah (ahli manthiq) dalil haruslah sesuatu yang murakkab (tersusun). Seperti dicontohkan “alam ini hadits (baru), dan setiap hal yang sifatnya hadits pasti ada yang membuatnya”.[7]      
Penunjukan  dalil (al-ushuliy) atas hukum ada kalanya bersifat pasti (qath’iyah). Seperti penunjukan alam akan wujudnya sang pencipta (Allah azza wa jalla) dan juga bersifat zdanniyah (persangkaan kuat). Seperti “aqimu al-shalah...” yang menunjukkan kewajiban shalat.  

Bersambung.........



[1] Masalah yang ada di dalam ilmu atau pembahasan dan diskusi merupakan ilmu. Jadi masalah juga merupakan bagian dari ilmu.
[2] Contoh ghalabah al-zdan adalah istiqra’nya al-Syafi’i tentang haidh yang akhirnya karena adanya ghalabah al-zdan dari penelitian yang beliau lakukan disimpulkan adanya batas minimal, maksimal dan keumuman haidh.
[3] Contohnya dalam skripsi. Pertama harus adanya masalah kemudian harus ada cara penyelesain masalah tersebut.
[4] Semisal kata dharaba yang memiliki makna hakikat (yakni memukul) dan memiliki makna majaz. Maka dari itu, dalam memaknai teks-teks sumber hukum (al-kitab dan al-sunah) langkah pertama adalah memberi makna dengan makna hakikatnya.
[5] Artinya: keyakinan tidak bisa hilang karena adanya keraguan.
[6] Mathlub adalah sesuatu yang diinginkan atau dituju. Khabariy yakni sesuatu yang khabarkan seperti barunya alam dan kewajiban shalat.
[7] Hal ini berbeda dengan ulama’ ushul fiqh, dimana mereka mencukupkan dengan mufrad berupa “alam” yang dianggap sudah berupa dalil bahwa Allah itu ada.

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...