Tahun Ajaran 2007-2008 M. /1428-1429 H.
By; Kabul Khan
Lailatul muadaah atau malam perpisahan itu hanya istilah saja dan tidak
bermakna secara hakiki, perpisahan ini adalah perpisahan yang bermakna majazi.
Layaknya sebuah madrasah (lembaga pendidikan) dimana ketika akhir tahun pelajaran mengadakan acara perpisahan.
Demikian pula dengan pondok pesantren An-Nawawi.
Pada kesempatan itu beliau KH. Achmad Chalwani
menyampaikan beberapa pesan yang dikatakannya dulu adalah pesan dari gurunya.
Beliau mengatakan:
"saudara-saudara semua masih dalam usia yang sangat
muda, maka sebagai seorang pemuda (syubhan) dan sebagai seorang remaja (nashih)
ingatlah sebuah hadits di dalam kitab Ihya’ ulumudin, imam
al-ghazali memaparkan:
" وما أوتي العالم
علما الا وهو شاب "
Artinya : seseorang
tidak akan dikaruniai ilmu kecuali selagi masih muda.
Maka ilmu ini lebih
banyak masuk pada generasi muda bukan generasi yang lainnya.
Saudara-saudara
termasuk generasi muda, maka pesan saya sesuai pesan al-syekh Muhammad ibn
‘abdillah ibn Malik al-Andalusiy, dalam nazdam Al-fiyah-nya :
" جد كل الجد وفرح
الجدل "
Artinya
: bersungguh-sungguhlah dengan segala kesungguhan maka bergembiralah dengan
sungguh-sungguh bergembira.
artinya kita boleh bergembira, kita boleh bersukaria setelah kita bersungguh-sungguh. Setelah sekian bulan bersungguh-sungguh dalam belajar di
pondok pesantren An-Nawawi maka dalam liburan ini bolehlah sekedar untuk
berekreasi”.
Menyinggung kaitannya dengan santri yang berprestasi dan
santri yang bisa dikatakan gagal dalam proses belajarnya, beliau berpesan
“Kalaupun kamu ada prestasi ini semuanya merupakan fadhl (keutamaan)
dari Allah swt. maka jangan sombong. Kalaupun ada prestasi katakanlah Hazda
min fadhlil rabbi (ini anugerah dari Allah) dan kalau kebetulan belum
berprestasi jangan salahkan Allah. Salahkan diri sendiri karena kita belum
bersungguh-sungguh”.
Kita pun tidak boleh panik ketika mengalami kegagalan.
Abraham lincoln mantan presiden Amerika berkali-kali gagal dalam mencapai
prestasinya. Tapi, karena dia tidak putus asa akhirnya bisa berhasil. Maka para
santri pun disarankan untuk sering mempelajari sejarah para pemimpin supaya
tidak muda putus asa. Hal ini juga merupakan kegemaran KH. Achmad Chalwani
ketika beliau masih muda, beliau sering membaca sejarah para pemimpin baik
pemimpin nasional maupun agama. Karena para pemimpin itu tidak pernah panik,
putus asa dan itu patut untuk dijadikan sebagai contoh.
Seorang yang mempunyai jiwa kepemimpinan haruslah
mempunyai semboyan. Semboyan yang dimaksud oleh beliau adalah “Saya akan
menemukan satu jalan, kalau jalan itu tidak ada saya akan membuat jalan".
Dan kata-kata bijak ini selalu beliau tanamkan dihatinya (KH. Achmad Chalwani)
sejak beliau kecil ungkapnya. Maka, tidak ada
sesuatu yang tidak mungkin bagi yang mempunyai kemauan keras.
Kemauan yang keras, himah yang tinggi sangatlah penting.
Al-marhum al-maghfurlah simbah KH. Ali Ma’shum Krapyak pernah hadir di pondok
pesantren An-Nawawi dan memberikan wejangan kepada para santri An-Nawawi untuk
punya cita-cita yang tinggi. Beliau (KH. Ali Makshum) berkata “kamarmu gambarlah bedug besar dan penabuhnya, Dibawahnya
tulis : Saya jangan hanya jadi tukang penabuh bedug saja "agar kita punya
himmah (cita-cita) yang tinggi. Ojo nganti bali mondok mung dadi
tukang nabuh bedug (jangan sampai
sepulang dari pesantren hanya jadi tukang penabuh bedug saja)”.
Al-marhum Kyai Makhrus lirboyo ketika dipesantren sudah
punya cita-cita yang sangat tinggi, kyai
Mahrus berkata " reang (aku) wegah nek mung dadi kyai cilik, kyai cilik karo lurah
wae kalah " maka kalian harus punya cita-cita yang tinggi. dikatakan
mempunyai cita-cita tinggi saja kadang tidak mencapai setengah tinggi.
Sebagai santri harus “kun rijluhu fis
saro wa himmatuhu fis suroya_ jadilah kaki mengijak di debu akan tetapi cita-cita himmah-mu ada di bintang surya”. Logikanya, kalau kita tidak
punya cita-cita yang tinggi mana mungkin kita mau giat belajar.
Dicerikan bahwa ketika beliau KH. Achmad Chalwani nyantri
di Lirboyo sering melakukan sowan ke beberapa ulama’ setempat. Diantaranya
beliau sowan ke Kyai Zamroji Pare Kediri. Ketika sowan kesana beliau ditanya oleh
kyai Zamroji tentang asal daerah. Setelah tahu bahwa yang menghadap kyai
Zamroji ini berasal dari Berjan Purworejo, kemudian kyai Zamroji bertanya kalau
dengan kyai Nawawi? Dengan gaya bercerita yang khas, beliau KH. Achmad Chalwani
menjawab “menawi mboten lepat kulo bin Nawawi_kalau tidak salah saya
anak kyai Nawawi”. Setelah tahu bahwa yang ada dihadapannya adalah anak dari
Kyai Nawawi kemudian kyai Zamroji menyapa dengan sebutan Gus.[1] Kyai Zamroji berkata “ndos pundi Gus?_ada apa Gus?” jawab
KH. Chalwani “anu Romo Kyai, kulo di dawuhi bapak supados nyuwun pandonga
dateng kyai-kyai_begini Pak Kyai, saya di suruh oleh bapak supaya meminta
berkah doa dari para kyai-kyai”. Apa kata kyai Zamroji kepada Kyai Chalwani
muda itu, beliau kyai Zamroji berpesan “gus, anak kyai niku menawi mboten purun
ngaji, niku sing susah ura mung bapakne. Tanggane melu susah, bakul dawet susah_gus,
anak kyai itu kalau tidak mau belajar yang susah bukan hanya bapaknya. Tapi tetangga
pun ikut susah, pedagang cendol susah, pedagang es pun juga ikut susah”. Waktu itu
sebagaimana diungkapkan oleh KH. Achmad Chalwani beliau belum faham maksud dari
apa yang disampaikan kyai Zamroji itu. Beliau bertanya-tanya apa hubungannya
anak kyai dengan para pedagang itu dan setelah berumur 50an tahun baru beliau
mendapatkan jawaban dari teka-teki yang terkandung dalam pesan kyai Zamroji
yang mana ketika dulu kyai Chalwani tidak mengaji pasti tidak punya ilmu dan
ketika tidak punya ilmu tentunya tidak ada orang yang akan mempercayakan
anaknya belajar disini. Dengan adanya ilmu yang didapatnya, meskipun sedikit -kata
beliau- akhirnya ada orang yang berkenan untuk mengundangnya mengisi pengajian,
semisal di daerah sekitar (Purworejo, Magelang, Wonosobo dll.) bahkan di daerah
Sumatera dan lainnya. Nah ketika ada pengajian-pengajian seperti itulah
didapatkan bakul dawet dan lainnya ikut mencari rizki. Artinya, orang yang
mempunyai ilmu sedikit banyak ikut membantu masyarakat dalam mencari mata
pencaharian. Demikian juga dengan tetangga, bayangkan andaikata aku tidak punya
ilmu kata kyai chalwani. Tentunya tidak ada santri yang ingin belajar disini
dan warung-warung sekitar pondok pun susah karena sedikitnya pelanggan.
Orang yang berilmu
walaupun sudah meninggal dunia masih bisa membantu masyarakat dalam banyak
bidang diantaranya perekonimian. Contohnya sunan Muria yang mempunyai nama asli
Raden Umar Said salah satu dari Walisanga putra dari sunan kalijaga. Sunan Muria
sudah wafat lebih dari 300 tahun yang lalu, walaupun beliau sudah wafat sampai
sekarang dia punya jasa yang besar, punya konsep ekonomi yang sangat jitu
dimana sampai sekarang setiap hari tidak kurang dari 600 tukang ojek mencari penumpang
di makam beliau.[2]
Belum lagi pedagang-pedagang lainnya seperti pedagang tasbih, makanan dan
lainnya yang banyak mengais rizki disekitar makam beliau. Demikianlah para
wali, walaupun sudah wafat tetapi masih bisa mencarikan rizki kepada banyak
orang. Sedangkan kita mencari rizki untuk kebutuhan sendiri terasa sangat
kesulitan apalagi menghidupi orang lain.
Kata romo kyai Mahrus Lirboyo “inna likulli syai’ qimah,
waqimatul mar’i al-ilmu_sesungguhnya segala sesuatu mempunyai nilai dan nilai
seseorang adalah ilmu”. Seorang yang berilmu meskipun sudah meninggal serasa
masih hidup sedangkan orang-orang yang tidak berilmu meskipun hidup
keberadaannya dianggap tidak ada. Maka dari itu kepada semua santri Kyai
Chalwani berpesan berikut “saudara-saudara jangan bosan-bosan dalam menuntut
ilmu, apa saja, dimana saja, dalam kondisi apa saja”.
bersambung......
[1]
Disela-sela cerita yang disampaikan,
beliau KH Achmad Chalwani menyatakan kepada para santrinya untuk menyebut
putranya dengan sebutan mas. Karena menurut beliau sebutan “Gus” adalah sapaan
buat mereka anak-anak Kyai yang besar seperti di Lirboyo, Ploso, Tebuireng dan
lainnya. Dengan gaya yang cukup menggelitik beliau juga menyatakan bahwa
sekarang ini ada demam Gus. Kyai-kyai kampung saja anaknya diundang Gus dan
akhirnya banyak gus-gus amatir. Oleh karenanya menurut beliau cukup kiranya
para santri PP. An-Nawawi menyapa putranya dengan sebutan mas bukan gus. Dari apa
yang dapat dicerna oleh penulis, hal ini merupakan wujud tawadhud, kerendahan
hati seorang Kyai besar yang ingin mengajari santrinya untuk bersikap demikian
juga.
[2]
Coba bayangkan! Besok kalau kita mati adakah tukang ojek
yang mencari penumpang di kuburan kita???