Sabtu, 24 Desember 2011

TAMHID AL-MABHATS (terjemah kitab ushul fiqh al-islamiy Wahbah al-Zuhailiy)

TAMHID AL-MABHATS
(terjemah kitab ushul fiqh al-islamiy Wahbah al-Zuhailiy)
Oleh; Kabul Khan
Setelah mengetahui gambaran global ilmu ushl fiqh dan tujuannya berupa istinbath hukum dari dalil. Maka kemudian beranjak pada pembahasan hukum dan dalil. Alasan mengapa hukum dibahas awal karena hukum merupakan asal (pokok) yang dimaksud.[1]
Hukum mencakup hakikat hukum itu sendiri dan macam-macamnya. Dan dalam pembahasan hukum tentunya akan berkaitan dengan al-hakim yakni Syari’, mahkum ‘alaih yakni orang mukallaf dan mahkum fih yakni pekerjaan mukallaf.
Pembahasan hukum juga berkaitan dengan definisi dan macam-macamnya yang mana dalam macam-macam hukum itu sendiri akan diketahui mengenai batasan sesuatu yang wajib, yang dilarang (al-mahzhur), sunah (al-mandub), mubah, makruh, qadha’, ada’, sihhah, fasad, azimah, rukhsah, dan lain-lainnya yang masuk dalam macam-macam hukum.
Dalam pembahasan al-hakim akan diketahui bahwa sesungguhnya tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Tidak ada hukum bagi Rosul, tidak pula hukum majikan atas bawahannya, dan makhluk atas makhluk. Jadi, semuanya kembali pada hukum Allah dan bersumber pada Allah bukan hukum yang lain.
Pembahasan mahkum ‘alaih akan dijelaskan khitab kepada orang yang lupa, dipaksa (mukrih), anak kecil, khitab terhadap orang-orang kafir dengan sebagian cabang-cabang hukum syara’, khitab terhadap orang yang mabuk, orang-orang yang boleh dan tidak boleh di taklif (dibebani hukum). Kesemuanya itu masuk dalam pembahasan ahliyah dan penghalang-penghalangnya (‘awaridh).
Adapun dalam pembahasan mahkum fih akan diketahui bahwa khitab itu berhubungan dengan af’al (perbuatan-perbuatan manusia) –tidak berhubungan dengan kondisi- dan bahwasanya mahkum fih bukan merupakan sifat terhadap af’al itu sendiri.
Dari paparan diatas, kemudian pembahasan pada bab ini akan di bagi menjadi empat sub bab secara berurutan. Yakni:
  1. al-hukm (hukum)
  2. al-hakim (syari’; Allah)
  3. al-mahkum ‘alaih (mukallaf)
  4. al-mahkum fih (af’al; pekerjaan manusia)
 AL-HUKM

Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti mencegah (al-man’). Dan menurut istilah yang dipakai jumhur al-ushuliyyin hukum adalah khithob (kalam) Allah yang mengatur perbuatan-perbuatan orang mukallaf (af'al al-mukallafiin) baik berupa tuntutan (al-iqtidho’), pilihan (tahyir), dan ketetapan (wadh'iy).
Pengertian khithab itu sendiri adalah arah pembicaraan. Seperti ketika orang diajak bicara untuk memahamkannya. Pengertian ini hanya sebatas i’tibar (ibarat) yang tidak bersinggungan atau bersifatan dengan wujud dan menggunakan makna ini untuk sebuah jenis tidaklah diperbolehkan. Karena pendefinisian suatu yang wujud dengan yang tidak wujud tidak sah hukumnya. Oleh karena itu, maka yang dikehendaki dari kata khitab disini adalah konsekuensinya yakni berupa kalam Allah (al-kalam al-nafsiy al-qadim) yang terjelmahkan dalam hukum syara’. Jadi khitab disini bukan arah pembicaraan (taujih al-khitab) karena taujih itu bukanlah sebuah hukum. Pemutlakan masdar berupa khitab dan yang dikehendaki adalah sesuatu yang di khitab berdasarkan  majaz mursal dari bab pemutlakan masdar terhadap isim maf’ul. Dan ketika sudah masyhur majaz tersebut maka akan menjadi hakikat secara ‘urfiyah-nya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa khitab pada dasarnya adalah sebuah jenis. Penyandaran khitab terhadap lafazd Allah mengecualikan khitab malaikat, jin dan manusia.
Dalam pembahasan ini pula yang dimaksud dengan khitab adalah khitab Allah secara mutlak baik itu dinisbatkan kepada Allah secara langsung seperti al-kitab al-karim atau yang melalui perantara seperti al-sunah, ijma’, qiyas dan dalil-dalil hukum syara’ lainnya. Karena dalil-dalil hukum syara’ selain al-kitab sebagaimana telah disebut pada dasarnya merujuk kembali pada Allah azza wa jalla. Dalil-dalil tersebut pada hakikatnya juga diketahui karena khitab Allah dan bukanlah sesuatu yang bisa menetapkan hukum dengan sendirinya.
Al-sunah, meskipun berasal dari Rosulullah akan tetapi keberadaannya ditetapkan dengan jalan wahyu Allah. Begitu pula dengan ijma dan qiyas, dimana ijma’ harus bersandar pada kitab dan sunah maupun dalil-dalil syara’ lainnya dan qiyas bukanlah sesuatu yang menetapkan hukum akan tetapi yang menyingkap dan memperjelas hukum. Karena dalam qiyas yang menetapkan hukum pada hakikatnya adalah dalil hukum asal dari al-kitab, al-sunah atau ijma. 


[1] Tujuan mempelajari ushul fiqh karena untuk mengetahui hukum itu sendiri.

Sabtu, 03 Desember 2011

HIKMAH MAULID NABI MUHAMMAD SAW


 

PENGAJIAN KH. ACHMAD CHALWANI BERJAN PURWOREJO
DALAM SAFARI AL-BARZANJI GABUNGAN IKTRIMEN DAN KESAPP 2010

Setelah mukaddimah dan memberikan penghormatan kepada para tokoh yang hadir, kemudian KH. Achmad Chalwani mengucapan terimakasih kepada masyarakat Adikarso Kebumen yang telah berkenan mengundang beliau untuk mengikuti pengajian dalam rangka safari al-barzanji rutinitas himpunan santri putri An-Nawawi setiap bulan kelahiran Nabi SAW. yang pada kesempatan kali ini diadakan secara gabungan oleh Ikatan Santri Kebumen (IKTRIMEN) dan Keluarga Santri Pondok Purworejo (KESAPP)[1]. Ungkap beliau semoga terimakasihnya kepada masyarakat Adikarso dan segenap yang hadir merupakan salah satu wujud syukur kepada Allah SWT. Karena junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW. bersabda;
ان اشكر الناس لله تباك وتعالى اشكرهم للناس
Artinya; Bahwasanya orang yang bisa bersyukur kepada Allah –tabaraka wa ta’ala- adalah mereka yang bisa bersyukur (berterimakasih) kepada sesamanya.
Menurut sejarah, yang pertama kali memperingati kelahiran nabi secara pribadi adalah nabi sendiri, dimana setiap hari Senin beliau menjalankan ibadah puasa dan pernah ada sahabat yang menanyakan perihal itu kepada nabi Muhammad SAW. Yang kemudian nabi menjawab bahwa hari itu adalah kelahirannya. Dalam hadits di sebutkan;
سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم يوم الاثنين فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيه ولدت رواه مسلم
Artinya; Rasulullah SAW. ditanya tentang puasa hari senin, beliau menjawab hari itu adalah hari kelahiranku. HR. Muslim.
Dari hadits diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa memperingati hari kelahiran merupakan sunah nabi yang berbentuk af’al (perbuatan). Nabi sendiri pernah bersabda;
من احيى سنتى فقد أحبنى ومن أحبنى كان معى فى الجنة
Artinya; Barangsiapa menghidupkan sunahku berarti dia mencintaiku dan barangsiapa yang mencintaiku maka akan bersamaku di surga.
Maka dari itu, kita sebagai umat Islam mempunyai tanggungjawab melestarikan peringatan hari kelahiran, baik itu kelahiran nabi, kelahiran diri sendiri, orang tua, mertua, atau yang lainnya. Adapun waktu memperingatinya bisa seperti nabi sekali dalam seminggu atau setiap bulan sekali berdasarkan tanggal dan juga waktu lainnya. Semisal diperbolehkannya peringatan kelahiran dalam adat jawa yang dikenal dengan selapan dino yang merupakan putaran hari pasaran selama 36 hari. Lebih lanjut beliau menekankan setidaknya minimal kita memperingati hari kelahiran sekali dalam satu tahun. Adapun sarana memperingati kelahiran ungkap beliau bisa dengan hal apapun yang mendapat ridha dari Allah SWT. Dicontohkan memperingati kelahiran dengan berpuasa seperti nabi, membaca istighfar, membaca shalawat, dan bakti sosial.
Indahnya syariat Islam, yang tidak mempersulit umatnya dalam menjalankan ibadah digambarkan oleh beliau KH. Achmad Chalwani ketika menjelaskan peringatan kelahiran di depan para pengunjung pengajian. Dengan dibumbui senda gurau untuk mencairkan suasana ceramah beliau ketika menerangkan peringatan kelahiran dan ceramah setelahnya serasa membius pengunjung. Beliau menjelaskan apabila lahir pada Senin Pon bisa setiap sepekan atau selapan hari sekali berpuasa untuk memperingati kelahiran, apabila tidak berkenan dengan puasa bisa dengan membaca shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali. Dan ada pula peringatan kelahiran dengan bakti sosial, semisal ketika hari kelahiran kita membersihkan halaman tetangga atau dengan memberikan sedekah kepada orang lain dengan diniati memperingati hari kelahiran.
Selain itu ada pula peringatan kelahiran dengan membaca syair-syair sejarah nabi (al-barzanji) yang diiringi dengan rebana agar kesannya ramai. Dalam hal ini, barangsiapa mau mendengarkan sejarah nabi akan langsung mendapat perhatian khusus dari Allah. Bentuk dari perhatian Allah kepada orang yang mau mendengarkan sejarah nabi diantaranya; 1) diampuni dosanya, 2) diberikan cahaya hatinya, 3) dihilangkan kesusahannya, 4) dikabulkan permintaannya, 5) dimudahkan rezekinya.
Mengulas sejarah, kalau sebelumnya dipaparkan bahwa yang pertama kali memperingati kelahiran nabi secara pribadi adalah nabi sendiri. Adapun yang memperingati kelahiran nabi dalam bentuk pengajian umum pertama kalinya adalah seorang sulthan dari daerah Irbili Timur Tengah yang bernama Mudhofarudin bin Zainudin yang masyhur dengan julukan sulthan Mudhofar Syah[2].
Diantara sebab shultan Mudhofar Syah mengadakan peringatan maulid Nabi, karena sulthan melihat keadaan rakyat yang memprihatinkan dari segi ekonomi, pertanian dan pendidikan yang mengakibatkan terjadinya krisis berkepanjangan disemua sektor kehidupan manusia. Dari itulah kemudian sulthan berinisiatif mengadakan peringatan maulid Nabi.
Sebagaimana dituturkan oleh KH. Achmad Chalwani, peringatan maulid Nabi SAW. dilaksanakan selama 7 hari 7 malam dengan berbagai macam kegiatan baik hiburan dan lainnya termasuk bakti sosial pasar murah.
Pada hari terakhir diadakan pengajian umum yang mulai dari ba’da zduhur sampai pukul empat pagi. Penceramahnya adalah Syekh Abu al-Khatab ibnu Dihya dari Maghrobi benua Afrika daerahnya syekh Ali Abil Hasan al-Syazdili. Dalam menyampaikan pengajiannya, syek Ibnu Dihya membuat sebuah makalah yang berjudul “al-Tanwir fiy Maulid al-Basyir al-Nazdir”.
Pengunjung yang menghadiri acara tersebut sekitar ratusan ribu baik dari kalangan pemerintah, rakyat dan juga ulama’. Dan ulama’-ulama’ yang ada pun tidak mengingkari peringatan maulid Nabi. Semua yang hadir pun mendapatkan hidangan dari sulthan. Sehingga, tutur KH. Achmad Chalwani acara tersebut menghabiskan kambing 5000 ekor, ayam 10.000 ekor dan kuda 100 ekor. Tempat jajan dalam bahasa jawa disebut tenong ada sebanyak 30.000 yang dilengkapi dengan roti mentega. Jadi seharusnya bagi para panitia maulid Nabi yang tahu akan sejarah tentunya akan menyediakan roti yang ada menteganya.
Dikisahkan pula ketika syekh Abu al-Khatab ibnu Dihya menyampaikan pengajian ditengah-tengah pengajiannya diselingi membaca al-Barzanji dengan iringan rebana. Ketika syekh Abu al-Khatab ibnu Dihya membaca shalawat dan berjoget ala saman dan rodap yang diikuti oleh sulthan dan sontak semua pengunjung pun mengikuti keduanya.
Berkah dari adanya peringatan maulid Nabi, setelah selesai acara rakyat Irbili pun ada kemajuan, dari segi ekonomi, pertanian dan pendidikan misalnya ada perkembangan yang baik. Kemakmuran yang diperoleh oleh rakyat Irbili ini menjadi bahan pembicaraan di banyak daerah dan negara. Bahkan kemudian daerah-daerah seperti di mesir, makkah, madinah dan lainnya pun ikut mengadakan peringatan maulid Nabi SAW.
Kemasyhuran peringatan maulid Nabi yang mendatangkan berkah melimpah kepada rakyat Irbili ini pun juga sampai ke Indonesia. Di tanah Jawa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi berbentuk pengajian umum adalah seorang yang bernama syekh Alam Akbar Zainul Abidin Jumbun Sirulah putra dari prabu Brawijaya. Beliau adalah seorang raja dikerajaan Demak Bintoro yang mashur dengan nama Raden Fata.
Peringatan maulid Nabi yang dipelopori oleh Raden fata ini sekaligus juga dijadikan sebagai momentum peresmian masjid Agung Demak. Ada banyak kegiatan yang diadakan dalam peringatan maulid Nabi ini. Puncak kegiatan peringatan maulid Nabi di Demak ini adalah adanya pertunjukan kesenian yang digunakan sebagai media dakwah dengan dibumbui nilai-nilai Islam. Kesenian yang dimaksud adalah kesenian Ringgit Wacucal atau bahasa yang sering kita dengar yakni kesenian wayang kulit. Ada makna filosofis tersendiri dari kata wayang yang menurut perkataan beliau KH. Achmad Chalwani wayang itu adalah kepanjangan dari wajib sembayang. Jadi, tutur KH. Achmad Chalwani apabila ada orang yang suka melihat pertunjukan wayang kulit akan tetapi tidak melaksanakan shalat jelas mereka itu tidak tahu sejarah dari wayang itu sendiri.

Bersambung..............




[1] Penulis adalah anggota himpunan KESAPP dan pernah menjabat dalam kepengurusan harian KESAPP sebagai ketua I putra dengan didampingi ketua II Putra (saudara Supangat) pada masa khidmah 2008-2010 yang menggantikan ketua sebelumnya saudara Aliyafie dari Brunorejo Bruno Purworejo. Setelah selesai masa khidmah dan diadakan konggres himpunan KESAPP serta diadakan pula pemilihan langsung ketua KESAPP baru masa khidmah 2010-2012 terpilihlah saudara Rochmat Taufiq santri yang berasal dari daerah Butuh Purworejo sebagai ketua himpunan KESAPP periode ini (2010-2012).
KESAPP adalah organisasi yang menaungi santri-santri di PP. An-Nawawi yang berasal dari Purworejo. Dahulunya KESAPP bukan hanya organisasi di An-Nawawi, akan tetapi KESAPP adalah gabungan dari berbagai santri yang berasal dari Purworejo yang kemudian bersepakat membuat suatu organisasi dengan nama KESAPP. Seiring dengan berjalannya waktu, organisasi ini mengalami kevakuman dimana anggota maupun pengurus tidak bisa aktif dikarenakan berbagai sebab. Oleh karena itu, komisariat KESAPP yang ada di An-Nawawi kemudian berusaha mempertahankan himpunan ini yang alhamdulillah masih bisa eksis sampai sekarang. Demikian sekilas sejarah, untuk mengetahui sejarah KESAPP lebih detail dapat dilihat dalam arsip kepengurusan KESAPP.
[2] Dengan gaya pidato komunikatif, beliau mengulang nama sulthan Mudhofar Syah dengan bertanya kembali kepada pengunjung dan dimintanya pengunjung untuk mengikuti kata-kata beliau serambi bergurau semoga dengan tegasnya mengatakan nama “Syah” bersama-sama yang punya hutang dapat segera sah, terlunasi. Beliau juga memberikan ijazah kepada masyarakat Adikarso dan sekitarnya yang mengikuti pengajian berupa doa agar cepat membayar hutang sambil memberikan motivasi agar lahiriyah melakukan usaha dan bathiniyah berdoa. Adapun doa yang dimaksud adalah “ يا كبير انت الذي لا يقتض الواصفون لوصف عظمته “. Doa tersebut adalah doa membayar hutang yang terdapat dalam kitab peninggalan KH. Nawawi (tidak disebutkan nama kitabnya). Dengan mengisahkan pengalaman pribadinya, beliau KH. Achmad Chalwani mengatakan pernah mempunyai hutang dan rasanya sangat suram, sehingga suatu saat beliau membuka-buka kitab peninggalan ayahandanya dan menemukan doa tersebut. Beliau juga mengatakan bahwa tidak masalah kita punya hutang, dicontohkannya bahwa Nabi pernah mempunyai hutang unta kepada seorang Yahudi. Pada saat jatuh tempo pembayaran hutang orang Yahudi tersebut mondar-mandir di depan rumah Nabi, Nabi pun tahu akan hal itu dan kemudian Nabi memerintahkan kepada salah satu sahabat untuk memberikan unta Nabi kepada orang Yahudi yang ada di depan rumahnya. Sahabat yang tahu bahwa Nabi dahulu pernah hutang unta kepada orang yahudi pun bertanya kepada Nabi karena unta yang diberikan kepada sih Yahudi untuk membayar hutang lebih besar dari pada unta yang dulu dihutang Nabi. Sahabat berkata “apa boleh hutang unta kecil mengembalikan unta yang besar?” Nabi menjawab “khiyarukum ahsanukum qadha’a_sebaik-baiknya kalian adalah ketika mempunyai hutang membayar dengan yang lebih baik dari hutangnya”. Dari hadits tersebut disimpulkan bahwa boleh melebihkan pengembalian hutang asalkan tidak disyaratkan oleh pemberi hutang. Beliau KH. Achmad Chalwani pun mengatakan kembali bahwa tidak apa-apa kita berhutang asalkan membayar hutangnya. Hanya saja kebiasaan manusia umumnya kalau jatuh masa tempo pembayaran sulit untuk melunasinya. Itu yang perlu diperhatikan, jangan sampai kita melakukan yang demikian.

Senin, 07 November 2011

KH. ACHMAD CHALWANI; PENGAJIAN LAILATUL MUADAAH

KH. ACHMAD CHALWANI
PENGAJIAN LAILATUL MUADAAH  
Tahun Ajaran 2007-2008 M. /1428-1429 H.
By; Kabul Khan


Lailatul muadaah atau malam perpisahan itu hanya istilah saja dan tidak bermakna secara hakiki, perpisahan ini adalah perpisahan yang bermakna majazi. Layaknya sebuah madrasah (lembaga pendidikan) dimana ketika akhir  tahun pelajaran mengadakan acara perpisahan. Demikian pula dengan pondok pesantren An-Nawawi.
Pada kesempatan itu beliau KH. Achmad Chalwani menyampaikan beberapa pesan yang dikatakannya dulu adalah pesan dari gurunya. Beliau mengatakan:
"saudara-saudara semua masih dalam usia yang sangat muda, maka sebagai seorang pemuda (syubhan) dan sebagai seorang remaja (nashih) ingatlah sebuah hadits di dalam kitab Ihya’ ulumudin, imam al-ghazali memaparkan:
" وما أوتي العالم علما الا وهو شاب "
Artinya : seseorang tidak akan dikaruniai ilmu kecuali selagi masih muda.
Maka ilmu ini lebih banyak masuk pada generasi muda bukan generasi yang lainnya.
Saudara-saudara termasuk generasi muda, maka pesan saya sesuai pesan al-syekh Muhammad ibn ‘abdillah ibn Malik al-Andalusiy, dalam nazdam Al-fiyah-nya :
" جد كل الجد وفرح الجدل "
Artinya : bersungguh-sungguhlah dengan segala kesungguhan maka bergembiralah dengan sungguh-sungguh bergembira.
artinya kita boleh bergembira, kita boleh bersukaria setelah kita bersungguh-sungguh. Setelah sekian bulan bersungguh-sungguh dalam belajar di pondok pesantren An-Nawawi maka dalam liburan ini bolehlah sekedar untuk berekreasi”.
Menyinggung kaitannya dengan santri yang berprestasi dan santri yang bisa dikatakan gagal dalam proses belajarnya, beliau berpesan “Kalaupun kamu ada prestasi ini semuanya merupakan fadhl (keutamaan) dari Allah swt. maka jangan sombong. Kalaupun ada prestasi katakanlah Hazda min fadhlil rabbi (ini anugerah dari Allah) dan kalau kebetulan belum berprestasi jangan salahkan Allah. Salahkan diri sendiri karena kita belum bersungguh-sungguh”.
Kita pun tidak boleh panik ketika mengalami kegagalan. Abraham lincoln mantan presiden Amerika berkali-kali gagal dalam mencapai prestasinya. Tapi, karena dia tidak putus asa akhirnya bisa berhasil. Maka para santri pun disarankan untuk sering mempelajari sejarah para pemimpin supaya tidak muda putus asa. Hal ini juga merupakan kegemaran KH. Achmad Chalwani ketika beliau masih muda, beliau sering membaca sejarah para pemimpin baik pemimpin nasional maupun agama. Karena para pemimpin itu tidak pernah panik, putus asa dan itu patut untuk dijadikan sebagai contoh.
Seorang yang mempunyai jiwa kepemimpinan haruslah mempunyai semboyan. Semboyan yang dimaksud oleh beliau adalah “Saya akan menemukan satu jalan, kalau jalan itu tidak ada saya akan membuat jalan". Dan kata-kata bijak ini selalu beliau tanamkan dihatinya (KH. Achmad Chalwani) sejak beliau kecil ungkapnya. Maka, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin bagi yang mempunyai kemauan keras.
Kemauan yang keras, himah yang tinggi sangatlah penting. Al-marhum al-maghfurlah simbah KH. Ali Ma’shum Krapyak pernah hadir di pondok pesantren An-Nawawi dan memberikan wejangan kepada para santri An-Nawawi untuk punya cita-cita yang tinggi. Beliau (KH. Ali Makshum) berkata “kamarmu gambarlah bedug besar dan penabuhnya, Dibawahnya tulis : Saya jangan hanya jadi tukang penabuh bedug saja "agar kita punya himmah (cita-cita) yang tinggi. Ojo nganti bali mondok mung dadi tukang nabuh bedug (jangan sampai sepulang dari pesantren hanya jadi tukang penabuh bedug saja)”.
Al-marhum Kyai Makhrus lirboyo ketika dipesantren sudah punya cita-cita yang sangat tinggi,  kyai Mahrus berkata " reang (aku) wegah nek mung dadi kyai cilik, kyai cilik karo lurah wae kalah " maka kalian harus punya cita-cita yang tinggi. dikatakan mempunyai cita-cita tinggi saja kadang tidak mencapai setengah tinggi.
Sebagai santri harus kun rijluhu fis saro wa himmatuhu fis suroya_ jadilah kaki mengijak di debu akan tetapi cita-cita himmah-mu ada di bintang surya”. Logikanya, kalau kita tidak punya cita-cita yang tinggi mana mungkin kita mau giat belajar.
Dicerikan bahwa ketika beliau KH. Achmad Chalwani nyantri di Lirboyo sering melakukan sowan ke beberapa ulama’ setempat. Diantaranya beliau sowan ke Kyai Zamroji Pare Kediri. Ketika sowan kesana beliau ditanya oleh kyai Zamroji tentang asal daerah. Setelah tahu bahwa yang menghadap kyai Zamroji ini berasal dari Berjan Purworejo, kemudian kyai Zamroji bertanya kalau dengan kyai Nawawi? Dengan gaya bercerita yang khas, beliau KH. Achmad Chalwani menjawab “menawi mboten lepat kulo bin Nawawi_kalau tidak salah saya anak kyai Nawawi”. Setelah tahu bahwa yang ada dihadapannya adalah anak dari Kyai Nawawi kemudian kyai Zamroji menyapa dengan sebutan Gus.[1] Kyai Zamroji berkata “ndos pundi Gus?_ada apa Gus?” jawab KH. Chalwani “anu Romo Kyai, kulo di dawuhi bapak supados nyuwun pandonga dateng kyai-kyai_begini Pak Kyai, saya di suruh oleh bapak supaya meminta berkah doa dari para kyai-kyai”. Apa kata kyai Zamroji kepada Kyai Chalwani muda itu, beliau kyai Zamroji berpesan “gus, anak kyai niku menawi mboten purun ngaji, niku sing susah ura mung bapakne. Tanggane melu susah, bakul dawet susah_gus, anak kyai itu kalau tidak mau belajar yang susah bukan hanya bapaknya. Tapi tetangga pun ikut susah, pedagang cendol susah, pedagang es pun juga ikut susah”. Waktu itu sebagaimana diungkapkan oleh KH. Achmad Chalwani beliau belum faham maksud dari apa yang disampaikan kyai Zamroji itu. Beliau bertanya-tanya apa hubungannya anak kyai dengan para pedagang itu dan setelah berumur 50an tahun baru beliau mendapatkan jawaban dari teka-teki yang terkandung dalam pesan kyai Zamroji yang mana ketika dulu kyai Chalwani tidak mengaji pasti tidak punya ilmu dan ketika tidak punya ilmu tentunya tidak ada orang yang akan mempercayakan anaknya belajar disini. Dengan adanya ilmu yang didapatnya, meskipun sedikit -kata beliau- akhirnya ada orang yang berkenan untuk mengundangnya mengisi pengajian, semisal di daerah sekitar (Purworejo, Magelang, Wonosobo dll.) bahkan di daerah Sumatera dan lainnya. Nah ketika ada pengajian-pengajian seperti itulah didapatkan bakul dawet dan lainnya ikut mencari rizki. Artinya, orang yang mempunyai ilmu sedikit banyak ikut membantu masyarakat dalam mencari mata pencaharian. Demikian juga dengan tetangga, bayangkan andaikata aku tidak punya ilmu kata kyai chalwani. Tentunya tidak ada santri yang ingin belajar disini dan warung-warung sekitar pondok pun susah karena sedikitnya pelanggan.
Orang yang berilmu walaupun sudah meninggal dunia masih bisa membantu masyarakat dalam banyak bidang diantaranya perekonimian. Contohnya sunan Muria yang mempunyai nama asli Raden Umar Said salah satu dari Walisanga putra dari sunan kalijaga. Sunan Muria sudah wafat lebih dari 300 tahun yang lalu, walaupun beliau sudah wafat sampai sekarang dia punya jasa yang besar, punya konsep ekonomi yang sangat jitu dimana sampai sekarang setiap hari tidak kurang dari 600 tukang ojek mencari penumpang di makam beliau.[2] Belum lagi pedagang-pedagang lainnya seperti pedagang tasbih, makanan dan lainnya yang banyak mengais rizki disekitar makam beliau. Demikianlah para wali, walaupun sudah wafat tetapi masih bisa mencarikan rizki kepada banyak orang. Sedangkan kita mencari rizki untuk kebutuhan sendiri terasa sangat kesulitan apalagi menghidupi orang lain.
Kata romo kyai Mahrus Lirboyo “inna likulli syai’ qimah, waqimatul mar’i al-ilmu_sesungguhnya segala sesuatu mempunyai nilai dan nilai seseorang adalah ilmu”. Seorang yang berilmu meskipun sudah meninggal serasa masih hidup sedangkan orang-orang yang tidak berilmu meskipun hidup keberadaannya dianggap tidak ada. Maka dari itu kepada semua santri Kyai Chalwani berpesan berikut “saudara-saudara jangan bosan-bosan dalam menuntut ilmu, apa saja, dimana saja, dalam kondisi apa saja”.
bersambung......


[1] Disela-sela cerita yang disampaikan, beliau KH Achmad Chalwani menyatakan kepada para santrinya untuk menyebut putranya dengan sebutan mas. Karena menurut beliau sebutan “Gus” adalah sapaan buat mereka anak-anak Kyai yang besar seperti di Lirboyo, Ploso, Tebuireng dan lainnya. Dengan gaya yang cukup menggelitik beliau juga menyatakan bahwa sekarang ini ada demam Gus. Kyai-kyai kampung saja anaknya diundang Gus dan akhirnya banyak gus-gus amatir. Oleh karenanya menurut beliau cukup kiranya para santri PP. An-Nawawi menyapa putranya dengan sebutan mas bukan gus. Dari apa yang dapat dicerna oleh penulis, hal ini merupakan wujud tawadhud, kerendahan hati seorang Kyai besar yang ingin mengajari santrinya untuk bersikap demikian juga.
[2] Coba bayangkan! Besok kalau kita mati adakah tukang ojek yang mencari penumpang di kuburan kita???

Minggu, 06 November 2011

KH. ACHMAD CHALWANI; PENGAJIAN THARIQAH RUTINITAS HARI AHAD 23 0ktober 2011




KH. ACHMAD CHALWANI;
PENGAJIAN THARIQAH RUTINITAS HARI AHAD
23 0ktober 2011
Oleh: Kabul Khan[1]

Alhamdulillah pada kesempatan kali ini kita masih bisa diberikan anugerah nikmat oleh Allah untuk mengikuti pengajian rutin thariqah hari Ahad. Demikianlah yang disampaikan beliau KH. Achmad Chalwani ketika mengawali pengajian rutin Thariqah hari Ahad di Aula Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo 23 Oktober 2011.
Pada kesempatan kali ini (kata KH. Achmad Chalwani), mari kita bersama-sama merenungkan sabda nabi Muhammad SAW. Pada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh imam Thabrani, nabi bersabda dalam hadits qudsi (firman Allah dimana susunan kalimatnya dari nabi, bedanya dengan al-Quran adalah bahwa al-Quran adalah firman Allah dan susunan kalimatnya juga dari Allah):
انا مع عبدى ما ذكنى وتحركت بي سفتاه (رواه الطبرنى)
Artinya: Aku (Allah) senantiasa menolong hambaKu ketika hambaKu senantiasa mengingatKu. Dan kedua bibirnya bergerak-gerak untuk mengingatKu (menyebut namaKu). (HR. Thabrani).
Contoh kedua bibir bergerak seperti yang disinggung dalam hadits diatas adalah membaca zdikir Allahumma yaa qadhiyal hajaat, allahumma yaa muhillal musykilat, Allahumma yaa mujibad da’waat dan membaca laa ilaha illah.
Maka dari itu, zdikir merupakan hal yang sangat penting. Dan supaya hati kita bisa mengingat terus pada Allah, berdasarkan hadits diatas maka menggunakan wasilah (lantaran/medium)dengan lisan yang menyebut asma Allah.
Seperti yang biasa telah disampaikan oleh al-mukarram, bahwa orang awan berbeda dengan orang yang khas (wali) dalam tata cara berzdikir. Kalau orang awan zdikirnya dapat dikatakan dari luar kemudian masuk ke hati. Sedangkan para wali zdikirnya adalah dari hati kemudian keluar dan menyinari lingkungan. Jadi kalau para wali, ulama’ terkadang apabila berzdikir badannya tidak bergerak badannya dikarenakan zdikir tersebut sudah sampai ke dalam lubuk hati. Semisal al-marhum simbah KH. Ahmad Abdul Haq dari Watucongol Magelang ketika berzdikir kalimatut tauhid (laa ilaha illallah) tidak banyak bergerak akan tetapi para jamaah dibelakang beliau bergerak semuanya.
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam kitab Salaim al-Fudhala’ mengatakan “bagi orang awan berzdikir dengan suara yang jelas, keras, dan menggerakkan badan dengan tegas itu lebih cepat masuknya ke dalam hati daripada zdikir yang samar (nggrayeng_jawa)”. Jadi zdikir itu harus jelas, gelengan kepala juga harus jelas.
Dalam hadits qudsi yang lain Allah berfirman:
من لم يرنى فلزم بذكر اسمي فان اسمي لم يفرقني
Artinya: barangsiapa tidak melihatKu, maka langgengkanlah menyebut namaKu. Karena namaKu tidak akan berpisah dariKu.
Dimanapun kita sebut nama Allah, maka Allah pasti hadir, mendampingi kita, menolong kita, menjaga kita. Maka penting sekali untuk membaca zdikir laa ilaha illallah.

Kalimat Laa ilaha illallah
Kalimat laa ilaha illallah mempunyai nama yang banyak. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عن علي كرم الله وجه انه قال سمعت سيد الخلائق محمدا صلى الله عليه وسلم يقول سمعت سيد الملائكات جبريل عليه السلام يقول ما نزلت بكلمة اجل من كلمة لا اله الله محمد رسول الله على الارض وبها قامت السموات والارض والجبال
Artinya: Dari ‘Ali -karramallahu wajh- berkata: Aku (Ali) mendengar baginda para makhluk Muhammad SAW berkata: Aku (Nabi) mendengar atasan para malaikat berkata : Tidak aku menurunkan kalimat yang lebih agung (mulia) dari kalimat “laa ilaha illallah Muhammadur rasulullah” diatas bumi. Dan karena kalimat tersebut terciptalah langit, bumi, dan gunung.
Semua yang ada itu berasal dari adanya kalimat laa ilaha illallah, termasuk lautan, daratan, pepohonan dan lainnya. Dalam hadits diatas malaikat Jibril menambahkan:
كان هي كلمة الاحلاص
Artinya: kalimat tersebut (laa ilaha illallah) adalah kalimatul ihklas.
Kalimat laa ilaha illallah dikatakan kalimat ikhlas. Sedangkan surat Qul huwa Allah dinamakan surat al-ikhlas.[2]
Kalimat laa ilaha illallah menurut sayyidina ‘Ali dengan menirukan apa yang dikatakan Nabi dan nabi menirukan apa yang di dengar oleh malaikat Jibril, mempunyai beberapa nama sebagai berikut:
1.     Kalimatul ikhlas
Bagi siapa yang hendak mempunyai rasa ikhlas dalam hatinya maka perbanyaklah membaca laa ilaha illallah.
2.     Kalimatul Islam
Maka dari dari nama itu, bagi yang masuk Islam harus bersahadat (bersaksi) dengan membaca “asyhadu an laa ilaha illallahwa asyhadu anna Muhammadur rasulullah”.
Meskipun sudah masuk Islam bukan berarti tidak lagi membaca kalimat tersebut. Kita tetap diperintahkan memperbanyak membaca kalimat tersebut untuk menebalkan Iman kita.
3.     Kalimatul qurbi
Kalimat qurbi adalah kalimat yang dijadikan sarana mendekatkan diri kepada Allah. Dari segi bahasa qurbi mempunyai arti mendekat. Jadi kalimat laa ilaha illallah dikatakan kalimatul qurbi sebagaimana yang telah dijelaskan.[3]
4.     Kalimatut taqwa
Laa ilaha illallahu juga disebut sebagai kalimatut taqwa yang mana taqwa berarti menjalankan perintah Allah dan menjahui larangannya.
5.     Kalimatun najaat
Menurut Ali dengan menirukan Nabi dan Nabi menirukan Jibril, kalimat laa ilaha illallah juga disebut dengan kalimatun najaat yang berarti kalimat yang menyelamatkan manusia dari neraka dan masuk surga. Hal ini dikarenakan menyebut kalimat laa ilaha illallah yang juga mempunyai nama kalimatun najaat  atau kalimat penyelamat.
6.     Kalimatul ‘ulya
Kalimat laa ilaha illallah juga dinamakan kalimatul ‘ulya atau kalimat yang luhur.

Malaikat Jibril berkata:
ولو وضعت في كافة الميزان ووضعت سبع سماوات وسبع اراض في كافة أخري لرجعت عليهن
Artinya: Seandainya kalimat “laa ilaha illallah” itu ditempatkan dalam satu timbangan dan langit, bumi di tempatkan dalam timbangan yang lainnya pasti berat timbangan “laa ilaha illallah”.
Dari itu, sangatlah penting untuk kita selalu berzdikir kepada Allah.
Kaitannya dengan dzikir ismi zdatiy atau khafiy yakni menyebut Allah Allah dimana lidah lebih utama ditahankan pada bagian atas rongga mulut (cetak duwur_jawa) hal itu disebabkan adanya riwayat bahwa dahulu ketika ada orang meninggal dunia, malaikat mencari amal soleh di seluruh tubuh orang tersebut akan tetapi tidak ditemukan mulai dari tangan, kaki, bahkan hatinya. Akhirnya malaikat menemukan amal soleh tersebut di ujung (pucuk_jawa) lidahnya bekas menyebut Allah Allah. Kemudian orang tersebut diampuni dosanya dan dimasukkan ke dalam surga.

I’tibar dari orang terdahulu
Ada i’tibar dari orang-orang terdahulu, semisal simbah Kyai Abdul Majid Pagedangan Kutowinangun Kebumen dimana ketika umur 11 tahun berangkat mengaji setiap hari Selasa dengan berjalan dari Kutowinangun sampai ke Berjan. Maka dari itu sudah semestinya dengan adanya berbagai fasilitas yang mendukung untuk kita saat ini lebih giat mengaji.
Demikian pula dengan apa yang dilakukan oleh Kyai Samsudi dari desa Jangkrikan Kepil Wonosobo yang setiap hari Selasa berjalan dari desa Jangkrikan menuju Berjan untuk mengikuti pengajian thariqhah.
Selain beliau berdua juga ada salah satu Kyai lainnya yang tanpa kenal lelah dan patut untuk dijadikan tauladan. Yakni beliau Kyai Umar[4] dari Payaman Magelang. Beliau setiap ada pengajian sewelasan di Berjan menghadirinya dengan berjalan kaki. Biasanya beliau menghampiri badal yang ada di daerah Mejing Candimulyo Magelang, Badal yang ada di Mertoyudan[5] dan kemudian bergegas menuju Berjan.
Kyai Umar Payaman adalah murid dari seorang mursyid tariqhah Syadziliyah yakni simbah Kyai Syiraj Payaman. Suatu hari Kyai Syiraj ini berkunjung ke rumah kyai Umar dengan tujuan untuk berbait thariqah kepada muridnya Kyai Umar. Kyai syiraj sebagai mursyid thariqah Syadziliyah tidak enggan berbaiat thariqah Qaddiriyah kepada muridnya tersebut. Dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang alim itu tidak enggan, sungkan dan merasa malu untuk menimbah ilmu dari muridnya sendiri.
Riwayat perkembangan thariqah Qaddiriyah Berjan berkembang di daerah Magelang diantaranya adalah jasa dari tiga Kyai besar. Yakni Kyai Umar Payaman, kyai Muzdakir Muntilan (kakak dari al-maghfurlah simbah Kyai dalhar Watucongol Muntilan) dan Kyai Zarkasyi dari bengkung Secang. Ketiga kyai ini baiat thariqah kepada simbah Kyai Zarkasyi Berjan.
Pada tahap pertama murid dari Simbah Kyai Zarkasyi Berjan ada empat orang. Diantara empat orang tersebut adalah simbah Syiraj dari Buntit Gintungan Gebang Purworejo.
Simbah Syiraj Buntit ini konon dahulu pernah mencalonkan diri menjadi lurah di desa Gintungan akan tetapi gagal. Kemudian mengikuti saran dari simbah Kyai Zarkasyi beliau masuk thariqah Qaddiriyah dan melakukan suluk selama empat puluh hari di Berjan. Setelah itu beliau dijadikan guru thariqah oleh simbah Kyai Zarkasyi dan bertolak untuk tinggal di Riau. Suatu ketika simbah kyai Zarkasyi mendapat surat yang dibawah orang Riau bernama H. Affandi dari raja Johor pertama yang bernama sultan Abu Bakr yang mana isi suratnya bahwa raja Johor tersebut meminta kepada simbah kyai Zarkasyi untuk mengirim guru yang akan mengajar thariqah di daerah Malaya (Malaysia). Setelah membaca surat tersebut, kyai Zarkasyi mengatakan bahwa yang akan kesana adalah kyai Syiraj, surat itu kemudian dibawah oleh H. Affandi dan disampaikan ke kyai Syiraj untuk nantinya dibawah menghadap raja Johor. Setelah menerima surat dan pesan dari kyai Zarkasyi, simbah Syiraj pun bertolak ke Johor dan menghadap kepada raja Abu Bakr. Raja Johor pun menerima kehadirannya dan diberinya kyai Syiraj tanah oleh raja di daerah Batupahat Johor Baru Malaysia. Kemudian beliau pun mengembangkang dan mengajar tariqah Qaddiriyah didaerah tersebut. Setelah kyai Syiraj wafat digantikan oleh anaknya bernama kyai Ghazali. Dan sekarang guru thariqah Qaddiriyah di sana dipimpin oleh cucunya bernama kyai Affandi. Demikianlah kisah perkembangan thariqah Qaddiriyah Berjan yang berkembang dinegeri sebrang yang dibawah oleh kyai dari Buntit bernama Syiraj. Lebih lengkapnya lihat biografi Kyai Nawawi Berjan.
Demikianlah sekilas sejarah dari kyai-kyai yang ahli zdikir. Kita semua harus belajar sejarah supaya tidak tertinggal oleh sejarah. Demikian pesan dari KH. Achmad Chalwani sebelum mengakhiri pengajian yang beliau sampaikan.



[1] Penulis adalah santri KH. Achmad Chalwani yang pernah gagal menempuh ujian akhir madrasah pondok pesantren An-Nawawi dikarenakan kurangnya syarat, sehingga predikat lulus madrasah untuk santri yang satu ini pun ditangguhkan oleh yang berwenang. Ditengah-tengah waktu yang bisa dikatakan banyak menganggur, terkadang ada kebingungan hendak apa kiranya? Nah, dari sini kemudian berinisiatif untuk menulis, yang diantaranya adalah membukukan pengajian al-mukarram KH. Achmad Chalwani. Semoga bermanfaat. Dan semoga bisa lebih produktif dalam menulis. Mohon doa pembaca yang budiman.
[2] Tentang bagian ayat dari surat al-ikhlas diterangkan oleh KH. Achmad Chalwani bahwa lafazd ayat “qul huwa Allahu ahad” itu tertulis di kening sahabat Abu Bakr as-Shiddiq, lafazd “Allahus shomad” tertulis di kening sahabat Umar ibn Khatab, lafazd "lam yalid walam yulad“ tertulis di kening sahabat “Ustman bin Affan dan lafazd “walam yakun lahu kufuwan ahad” tertulis di kening sahabat ‘Ali bin Abi Thalib –karrama Allahu wajh-.
[3] Pada kesempatan tersebut beliau KH. Achmad Chalwani juga menyinggung tentang penyerapan bahasa indonesia dari bahasa Arab. Diantaranya adalah kata Kurban yang berasal dari kata Qoruba, yaqrabu, qurbanan. Jadi kurban hari raya dimaknai dan dimaksudkan dengan mendekatkan diri pada Allah dan siap dekat dengan Allah. Beliau juga menyinggung tentang kesalahan penyerapan kata kurban dalam pemakaiannya di bahasa Indonesia semisal kata-kata kurban kecelakaan dan lainnya. Namun beliau tidak membahas lebih detail tentang itu dan kemudian mengakhirinya dengan mengatakan bahwa itu urusan bahasa dalam penyerapan dan pemakaiannya.
[4] Ada kekhususan dalam diri beliau yang menunujukkan bahwa zdikirnya sudah sampai di dalam hati. Keunikan atau kekhususan yang dimaksud sebagaimana disampaikan oleh KH. Achmad Chalwani adalah bahwa ketika beliau Kyai Umar tidur tasbih yang ada di tangannya memutar sendiri. Dahulu dari Magelang ada seorang alim bernama Sayyid Sagar bin Ahmad al-Jufri. Suatu ketika Sayyid Sagaf tidur di Payaman bersebelahan dengan Kyai Umar dan malam-malam beliau terbangun dan melihat dengan ta’jub kepada Kyai Umar yang sedang tertidur  pulas akan tetapi tasbih yang ada di tangannya berputar sendiri. Ini menunjukkan bahwa zdikir sir kyai Umar sudah masuk.
[5] Badal dari dua daerah tersebut tidak beliau (KH. Achmad Chalwani) sebutkan siapa namanya.

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...