AYAT-AYAT IJÂRAH
Oleh: kabul Khan al-Maraghiy
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijârah merupakan sebuah transaksi yang memperjual-belikan manfaat suatu harta benda, sedangkan kepemilikan pokok benda itu tetap pada pemiliknya. Transaksi Ijârah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebagai sebuah kebutuhan yang tidak mungkin sirna bagi manusia, bahkan semakin berkembang dengan berbagai model transaksi baru, Ijârah tidak lepas dari perhatian para Fuqahâ’, yang diantaranya pembahasan ta’rîf al-ijâr dan rukun-rukun Ijârah.
Telah maklum bahwa sumber hukum yang pertama dan utama bagi syariat yang dibawah oleh kakeknya sayyidina Hasan dan Husen adalah al-Quran. Didalam kitab suci ini, segala lini kehidupan telah disinggung tanpa dialpakan satupun oleh Allah. Selain beribadah, untuk memenuhi kebutuhan hidup, kita diwajibkan untuk bekerja mencari rezeki yang telah Allah karuniakan kepada kita. Para Fuqahâ’ dan pakar ekonomi Islam, kaitannya dengan Ijârah pun tidak lepas dan senantiasa berpijak pada sumber rujukan yang pertama ini. Dalil-dalil yang menyinggung Ijârah terkadang tidak menjelaskannya secara sharîh, sehingga butuh kejelihan seseorang untuk menganalisis dalil-dalil ayat tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bentuk muamalah yang seperti apa Ijârah itu? Dan kenapa Ijârah disyariatkan?
2. Bagaimana ayat dalam al-Quran menerangkan Ijârah?
3. Konsekuensi hukum apa yang terkandung dalam ayat-ayat Ijârah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Ijârah
Ijârah berasal dari kata al-ajr yang berarti sama dengan kata al-‘iwadh yaitu ganti rugi atau upah. Menurut Dr. Helmi Karim, Ijârah dalam pandangan syara' berarti akad atas manfaat dengan imbalan atau tukaran dengan syarat-syarat tertentu. Dalam arti luas, Ijârah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu.[1]
Sedangkan Dwi Suwiknyo, SEI. dalam bukunya Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, memberikan makna Ijârah dengan arti akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu aset dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Mu’ajir memberikan upah atau uang sewa kepada musta’jir, sehingga musta’jir mengakui pendapatan sewa atau upah.[2] Misalnya, transaksi mahasiswa yang menyewa rumah untuk kos tempat tinggalnya selama kuliah atau para pekerja yang mendapatkan upah atau gaji setiap bulannya. Dalam al-Quran bentuk kalimat kerja Ijârah yakni ista’jartu disebut dalam QS. Qhashas (28); 26,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya".[3]
Dan juga lafazd ujûrohum disebut dalam al-Quran pada QS. al-Thalâq (65); 6,
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.[4]
Banyak ragam redaksi yang digunakan untuk mendefinisikan Ijârah yang menurut penulis, semuanya mempunyai subtansi makna yang sama. Selain dua pengertian diatas, berikut adalah ta’rîf Ijârah menurut sebagian Fuqahâ’ yang penulis kutip dari kitab Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh karya Dr. Wahbah al-Zuhailiy. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Ijârah menurut etimologi adalahبيع المنفعة yang artinya menjual manfa’at. Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Mengutip pendapat mazdâhîb al-arba’ah, beliau, Dr. Wahbah al-Zuhailiy memilah:
1. Ulama Syafi’iyah memberikan defenisi Ijârah sebagai berikut:
الايجار هو عقد على منفعة مقصودة معلومة محابة قابلة للبذل والاباحة بعوض معلوم
“Ijârah adalah ‘akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
2. Ijârah menurut ulama Hanafiyah:
الايجار هو عقد علي المنا فع بعوض
“Ijârah adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
3. Ulama Malikiyah yang juga diamini oleh Hanabilah mendefinisikan Ijârah:
الايجار هو تمليك منا فع شيئ مباحة مدة معلومة بعوض
“Ijârah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan mengganti.”[5]
Ada yang menerjemahkan Ijârah sebagai jual beli jasa (upah mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.[6]
Mayoritas ulama’ fiqh berpendapat bahwa Ijârah adalah menjual manfaat, dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, dan lain sebagainya, yang semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.[7]
B. Rukun Ijârah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijârah adalah ijâb dan qabûl yang antara lain dengan menggunakan kalimat al-ijâr dan al-isti’jar. Adapun menurut jumhur ulama’, rukun Ijârah ada empat, yaitu:
1. ‘Âqidain (orang yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau memberikan upah) dan musta’jir (orang yang menyewa sesuatu atau menerima upah).
2. Shighat akad yaitu ijâb dan qabûl antara mu’jir dan musta’jir
3. Ujrah (upah)
C. Ayat-Ayat Ijârah
Setelah memahami pengertian dan rukun Ijârah menurut pendapat para pakar fiqh, hal yang perlu untuk diketahui ialah mencari tahu darimana landasan fiqh mereka terhadap Ijârah.
Al-Quran sebagai sumber hukum Islam yang utama dan pertama telah menyinggung ketentuan-ketentuan tentang Ijârah dalam sebagian ayat-ayatnya baik secara eksplisit maupun implisit yang diantaranya termaktub dalam QS. Al-Taubah (9);105, QS. al-Thalâq (65); 6, dan QS. al-Qashash; 26, sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.
1. QS. Al-Taubah (9);105.
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan. [9]
Ayat diatas menjelaskan kewajiban manusia untuk bekerja secara globlal. Banyak bentuk muamalah yang dikerjakan manusia guna memenuhi kebutuhan mereka. Ayat ini menurut penulis dapat dijadikan pijakan Ijârah, karena Ijârah merupakan salah satu bentuk muamalah yang dilakukan manusia untuk memenuhi hajat mereka.
2. QS. Al-Thalâq (65); 6
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.[10]
Kata kunci yang perlu diperhatikan dalam memahami ayat ini ialah lafazd ardha’na yang berarti mereka menyusukan, fa’atûhunna yang berarti maka berilah kepada mereka, dan ujûrahunna yang artinya upah mereka.
Ayat ke enam dari surat al-Thalâq ini masih berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya (QS. al-Thalâq (65); 1-5) yang diantaranya menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan istri yang dicerai.
Pada awal ayat ke enam ini menjelaskan kewajiban para suami memberikan tempat tinggal yang layak kepada para istri yang sedang menjalani masa ‘iddah sesuai dengan kemampuan suami. Allah berfirman:
وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
“dan janganlah kamu menyusahkan mereka”
Tidak diperkenankan bagi seorang suami untuk mempersulit dan menyempitkan hati istri dengan memberikan tempat tinggal yang tidak layak. Apabila istri yang di talak bâ’in sedang hamil, maka wajib memberikan nafkah hingga istri melahirkan. Karena masa berhentinya ‘iddah ialah ketika mereka melahirkan. Sebagaimana termaktub dalam firmanNya:
فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”
Apabila anaknya telah lahir, maka harus dimusyawarahkan mengenai kesehatan terutama air susu ibu. Meskipun masa ‘iddah telah selesai, seorang ibu sebaiknya tetap menyusui anaknya dan mantan suaminya wajib memberikan upah padanya. Sesuai dengan firman Allah:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya”
Berdasarkan prinsip ushûliyah bahwa perintah menunjukkan makna wajib, perintah dalam ayat ini bermakna sebuah kewajiban untuk memberikan upah dan ditujukan kepada para suami yang tetap memberikan nafkah yaitu atas upah menyusui anaknya dengan harga yang berlaku pada umumnya meskipun istri tersebut masa ‘iddah-nya telah selesai. Pemberian upah tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan mantan istrinya. Upah ini serupa dengan ketentuan upah pada transaksi lainnya.[11]
Penutup ayat ini memberitahukan bahwa apabila diantara keduanya (mantan suami dan istri), tidak menyepakati hal tersebut maka suami diperkenankan memilih dan mempekerjakan wanita lain untuk menyusui anaknya tersebut.
وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”
Kewajiban seorang Ayah memberikan upah kepada perempuan yang telah menyusui anaknya ialah berdasarkan kemampuan. Ketentuan ini termaktub dalam ayat berikutnya, QS. al-Thalâq (65); 7,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.[12]
Dalam buku al-Quran wa Tafsiruh yang diterbitkan departemen agama RI. disebutkan apabila kemampuan ayah itu hanya bisa memberikan makan karena rezekinya sedikit, maka hanya itulah yang menjadi kewajibannya.[13] Hal ini karena Allah swt. tidak akan memikulkan beban kepada seorang hamba melebihi batas kemampuannya, sebagaimana firmanNya dalam QS. Al-Baqarah (2); 286,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...الأية
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...[14]
Tiada yang abadi di dunia ini, pada suatu waktu, Allah ‘azza wa jalla akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan, kekayaan sesudah kemiskinan, kecerdasan sesudah kebodohan, kebahagian sesudah penderitaan. Allah berfirman dalam QS. Alam Nasyrah (94); 6,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
3. QS. Al-Qashash (28); 26
Ayat ketiga yang mengindikasikan disyariatkannya Ijârah ialah QS. Al-Qashash (28); 26,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya".[16]
Ayat ini merupakan salah satu bagian ayat yang menceritakan kisah nabi Musa ketika hijrah ke Negeri Madyan karena akan dibunuh oleh Fir’aun dan anak buahnya.
Sebelum membahas QS. Al-Qashash (28); 26 diatas, karena ayat tersebut ialah sebuah cerita sunah nabi Musa ‘alaih al-salâm yang dalam pandangan ulama’ Islam diistilahkan dengan syar’u man qablana, maka, perlu kiranya penulis sampaikan pembahasan syariat umat terdahulu yang bisa dijadikan pijakan istidlâl.
Wahbah al-Zuhailiy mengatakan bahwa Syar’u man qablana ialah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada umat terdahulu melalui perantara para nabi mereka seperti nabi Ibrahim, Musa, Dawud, dan Isa ‘alaihim al-salâm.[17] Masih dalam sumber yang sama, Wahbah membagi syar’u man qablana menjadi dua macam serta penjelasannya sebagai berikut:
a. Hukum-hukum tidak disebutkan dalam syariat kita baik dalam al-Quran ataupun al-Sunah. Syariat yang seperti ini tidak termasuk syariat bagi kita berdasarkan ittifâq.
b. Hukum-hukum yang disebut dalam al-Quran dan al-Sunah. Pembagian kedua ini kemudian dispesifikasikan lagi menjadi tiga macam yang mencakup:
1) Hukum-hukum yang telah di nasakh oleh syariat kita. Hukum-hukum tersebut juga bukan termasuk syariat kita. Seperti hukum yang terkandung dalam QS. Al-An’am (6); 146,
وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Artinya: Dan kepada orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya kami adalah Maha benar.[18]
2) Hukum-hukum yang ditetapkan oleh syariat kita. Hukum-hukum tersebut berlaku pada kita umat nabi Muhammad Saw. Semisal hukum berpuasa yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah (2); 183,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.[19]
Contoh lainnya ialah hukum berkurban yang merupakan syariat bapak kita nabi Ibrahim ‘alaih al-salâm .
3) Hukum-hukum yang diceritakan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada kita dalam al-Quran atau disampaikan melalui nabi Muhammad SAW., tanpa adanya pengingkaran dan penetapan terhadap hukum tersebut. Pembagian ketiga inilah yang kemudian menjadi perdebatan diantara ulama’. Contohnya hukum qishâsh dalam syariat Yahudi yang termaktub dalam QS. Al-Maidah (5); 45,
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.[20]
Terhadap klasifikasi yang ketiga ini para ulama’ terpilah menjadi dua kubu, dimana mayoritas Hanafiyah, malikiyah, sebagian Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat yang kuat berpendapat bahwa hukum-hukum tersebut termasuk syariat bagi kita. Sedangkan Syafi’iyah berdasarkan pendapat yang kuat menurut mereka, Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah berpendapat bahwa syar’u man qablana bukanlah termasuk syariat kita.[21]
Menurut analisis penulis, QS. Al-Qashash (28); 26 dengan didukung oleh dalil-dalil lain tentang Ijârah baik dari al-Quran[22] maupun Sunah Nabi,[23] termasuk dalam klasifikasi syar’u man qablana bagian kedua, yakni hukum-hukum yang ditetapkan oleh syariat kita dan hukum-hukum tersebut berlaku pada kita umat nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana ayat sebelumnya, dalam memahami QS. Al-Qashash (28); 26, juga perlu untuk diperhatikan beberapa kata kunci sebagai berikut:
Ista’jirhu : Ambillah upahan dia sebagai pekerja
Ista’jarta : Engkau ambil upahan sebagai pekerja
Al-Qawiyu : yang kuat
Al-aminu : dapat dipercaya
QS. Al-Qashash (28); 26, menjelaskan tentang nabi Musa ‘alaih al-salâm yang hendak diangkat sebagai pekerja pada keluarga seorang yang saleh[24] dan memiliki dua orang anak perempuan. Sebelumnya nabi Musa telah membantu kedua wanita tersebut saat mengambilkan air untuk minum ternak mereka. Kisah tersebut sebagaimana termaktub dalam firman-Nya QS. Al-Qashash (28); 22 sampai 25.[25]
Dalam bukunya, Dwi Swiknyo, SEI. Menjelaskan bahwa saat pertemuan itulah nabi Musa ‘alaih al-salâm mendapatkan tawaran menjadi pekerja dikeluarga itu untuk mengurus ternak, salah satu dari dua perempuan tersebut berkata pada ayahnya dalam memberikan pertimbangan untuk mempekerjakan Musa, sebagaimana firman Allah:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ
“Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita)”
Pertimbangan untuk menjadikan Musa pekerja dikeluarga itu Karena Musa ‘alaih al-salâm mempunyai tubuh yang kuat dan dapat dipercaya.
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya.[26]
BAB III
SIMPULAN
Dengan didasarkan pada pembahasan Ijârah berserta sebagian ayat yang menyinggung muamalah ini, dapat diambil beberapa poin kesimpulan:
1. Sama halnya dengan arti secara bahasa berupa sewa, upah, jasa atau imbalan Ijârah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, jasa perhotelan dan lain-lain.
2. Pensyariatan Ijârah sudah ada sejak zaman nabi Musa yang berarti Ijârah adalah syar’u man qablana yang masih tetap berlaku bagi umat Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan Ijârah adalah sebuah kegiatan muamalah yang sudah menjadi adat dan hajat manusia.
3. Dengan didasarkan pada QS. Al-Thalâq (65); 6, dan QS. Al-Qashash; 26 seseorang boleh mengangkat pekerja dan menjadi pekerja atas suatu pekerjaan. Dan berdasarkan dua ayat itu juga, pekerja berhak untuk mendapatkan upah atas pekerjaan yang telah diselesaikannya. sebaliknya, pemberi pekerjaan memiliki kewajiban untuk membayar upah kepada pekerja tersebut.
4. Dari ayat-ayat Ijârah yang penulis paparkan dan penjelasan yang ada dalam makalah, dapat diketahui bahwa Ijârah adalah bentuk muamalah yang hukumnya mubah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhailiy, Wahbah, 1987, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr
Al-Zuhailiy, Wahbah, 1999, Al-Wajiz Fiy Ushul al-Fiqh, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr
Departemen Agama RI, 1998, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra
Departemen Agama RI, 2009, Al-Qurân wa Tafsîruhu, Lembaga Percetakan al-Quran Departemen Agama.
Karim, Helmi, 1997, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Suwiknyo, Dwi, 2010, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Jogjakarta: Pustaka pelajar
Syafe’i, Rachmat, 2004, Fiqh Mu’amalah, Bandung: Pustaka Setia
didasarkan pada pembahasan Ijârah berserta sebagian ayat yang menyinggung muamalah ini, dapat diambil beberapa poin kesimpulan
[2] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, (Jogjakarta: Pustaka pelajar, 2010), hlm. 106
[3] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1998).
[4] Ibid.
[5] Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1987), juz 4, hlm. 731-732
[7] Mengenai pendapat diatas, Wahbah Al-Zuhailiy mengutip pendapat Ibn Qayyim dalam I’lâm al-Muwaqqi’în bahwa manfaat sebagai asal Ijârah sebagaimana ditetapkan ulama’ fiqh adalah asal fasîd (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dalam al-Quran, al-Sunah, Ijma’ maupun Qias yang shahîh. Menurutnya benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya pohon yang mengeluarkan buah, pohonnya tetap ada dan dapat dihukumi manfaat, sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Dengan demikian sama saja antara arti manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada. Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh al-Islamiy..., Op., Cit., juz 4, hlm. 733-734
[9] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya.
[10] Ibid.
[11] Dwi suwikno, Op., Cit., hlm. 108-109
[12] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya.
[13] Departemen Agama RI, Al-Qurân wa Tafsîruhu, (Lembaga Percetakan al-Quran Departemen Agama 2009), jilid 10, hlm. 190
[14] Dalam QS. Al-Baqarah (2); 233 juga disebutkan demikian. Adapun redaksinya ialah:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya: Seseorang tidak akan dibebani lebih dari kemampuannya. Ibid., jilid 10, hlm. 190
[15] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya.
[16] Ibid.
[17] Wahbah al-Zuhailiy, al-Wajiz Fiy Ushul al-Fiqh, (Lebanon, Beirut: Dar al-Fikr, 1999), hlm. 101
[18] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Wahbah al-Zuhailiy, al-Wajiz... Op., Cit., hlm. 101-103
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya.
[23] Adapun contoh dari Al-Sunah Nabi Muhammad diantaranya adalah hadits nabi yang dikutip Wahbah:
أعطوا الاجير اجره قبل ان يخف عرقه
Atinya: Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.
من استأجر أجيرا فعليه اجره
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya. Lihat: Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh al-Islamiy..., Op., Cit., juz 4, hlm. 731-732
[24] Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang orang tua itu, apakah dia nabi Su’aib ‘alaih al-salâm atau bukan. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa orang tua tersebut adalah seorang pemuka agama yang shalih dan telah lanjut usia. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa ayah wanita itu adalah nabi Su’aib.
[25] Terjemah ayat tentang kisah Musa dari QS. Al-Qashash (28); 22 sampai 25 sebagai berikut: “Dan tatkala ia menghadap kejurusan negeri Mad-yan ia berdoa (lagi): "Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar".
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang Telah lanjut umurnya".
Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, ke- mudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku Sesungguhnya Aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku".
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu Telah selamat dari orang-orang yang zalim itu".
[26] Dwi Suwiknyo, Op., Cit., hlm. 111
ijin copas bang..
BalasHapus