Minggu, 21 November 2010

MEMILIH CALON PASANGAN: Konsepsi Kafa'ah Dalam Pernikahan Dan Khitbah Dalam Pandangan Islam

MEMILIH CALON PASANGAN:
Konsepsi Kafa'ah Dalam Pernikahan
Dan Khitbah Dalam Pandangan Islam

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam mempunyai karakteristik hukum yang takamul atau syumuliyah, segala lini kehidupan manusia tidak lepas dari pandangan islam, termasuk diantaranya tidak dialpakan didalam agama ini tentang sebuah tata cara untuk menggapai kehidupan bahagia dalam keluarga yang diantara islam memberikan konsep-konsep jitu dalam dalam hal kafa’ah dan lamaran.
Proses mencari jodoh, tidak bisa dilakukan dengan acak (random). Juga tidak bisa semata-mata karena pertimbangan pribadi namun harus dilakukan menurut aturan-aturan berdasar pertimbangan yang mendalam.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis. Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang pernah merasakan perasaan yang berbunga-bunga tidak karuan ketika di suatu tempat bertemu dengan pujaan hatinya, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang (laki-laki) terhadap lawan jenis yang ia sukai.
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap gejala-gejala terserang ”virus merah jambu” apalagi jika sudah sampai pada taraf emergency.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kafa’ah dalam Islam?
2. Haruskah ada kafa’ah dalam sebuah pernikahan?
3. Seperti apa tipe wanita ideal untuk dijadikan istri?
4. Bagaimana cara men-khitbah?

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kafa’ah
Secara bahasa kafa’ah mempunyai arti sama, setara, sepadan. Sedangkan menurut istilah ulama’ fiqh kafa’ah ialah kesetaraan antara suami dan istri yang ditujukan untuk antisipasi adanya problematika nikah dimana kesetaraan tersebut mencakup beberapa hal yang sifatnya khususiyah. Kesetaraan dalam hal ini mencakup keteraan dalam a-din, al-nasab, al-huriyyah, al-sona’ah, al-hal, dan al-mal.

B. Dalil Yang Mendasari Kafa’ah
Pada dasarnya ayat-ayat al-Quran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa’ah dalam perkawinan. diantaranya terdapat dalam al-Quran surat al-An’am ayat 87 sebagai berikut:
          
Artinya:Dan kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan Saudara-saudara mereka. dan kami Telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
Ayat di atas jelas memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya keturunan nabi Muhammad saw), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw yang artinya ”kami Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun”.
Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa’ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib, terdapat hadits yang berbunyi :
إنما انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم إلا فاطمة فإن تزويجها نزل من السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال بناتنا لبنينا وبنونا لبناتنا
Artinya: Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja’far, dan beliau berkata : Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami.
Menurut hadits di atas dapat diketahui bahwa: Anak-anak perempuan (syarifah) menikah dengan anak-anak laki-laki (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya anak-anak laki-laki (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan (syarifah).
Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa’ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan Rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.

C. Pendapat Ulama’ Tentang Pensyaratan Kafa’ah
Konsep kafa’ah dalam pernikahan terkait apakah itu disyaratkan atau tidak masih terjadi silang pendapat diantara fuqaha’. Ikhtilaf tersebut terpilah menjadi dua kubu sebagai berikut:

1. kafa’ah tidak disyaratkan
Diantara ulama’ yang berpendapat demikian adalah imam al-Tsauriy, Hasan al-Bashriy, dan al-Karkhiy seorang ulama’ Hanafiyah. Sebagaimana yang penulis kutip dari karya Wahbah, mereka berpendapat bahwa pada dasarnya kafa’ah bukanlah syarat baik dalam sah dan tidaknya nikah, atau kelestarian pernikahan. Maka dari itu pernikahan tetaplah dikatakan sah dan tetap lestari baik seorang suami itu sepadan bagi istrinya ataupun tidak. Mereka beragumen dengan hadits yang menyatakan tidak ada keutamaan orang arab atas orang ajam, begitu juga terdapat ayat yang artinya ”sungguh, yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa”

2. kafa’ah disyaratkan
pendapat kedua ini merupakan pendapat jumhur ulama’ yang diantaranya adalah mazdahib al-arba’ah. Mereka mengatakan bahwa kafa’ah adalah syarat akan kelestarian atau kebahagian dalam sebuah pernikahan dan bukan termasuk syarat sah pernikahan. Mereka menggunakan beberapa dalil Sunah dan logika yang diantaranya adalah hadits Jabir berikut ini:
لا تنكحوا النساء الا الاكفاء ولا يتزوجوهن الا الاولياء... الحديث
Artinya: janganlah kalian nikahi wanita kecuali yang sepadan dan jangan pula menikahi mereka tanpa wali.
Adapun secara logika, sulit terwujud kemaslahatan pernikahan antara kedua belah pihak tanpa adanya kesepadanan antara suami dan istri.

D. Konsepsi Kafa’ah; Problematika Utama Dalam Mencari Jodoh
Permasalahan tentang kesepadanan (kafa'ah) dalam perkawinan memang merupakan problema utama dalam proses pemilihan calon jodoh. Untuk itu konsepsi kafa'ah dalam perkawinan harus menjadi telaah yang cukup serius bagi para calon pasangan. Muhlisin, pengurus senat mahasiswa Fak. Tarbiyah dan ketua LPM IAIN Sunan Ampel Surabaya menjelaskan berkaitan dengan itu ada dua teori yang menarik untuk di kaji. Pertama, sesuai dengan teori Homogami (perkawinan yang sepadan), seseorang cenderung menikah dengan orang lain yang berada dalam kondisi sosial seperti mereka sendiri. Tapi di segi yang lain menentukan perkawinan. Dalam perkawinan, bukanlah semata-mata masalah persamaan. Barangkali lebih luas dari itu, lantaran persamaan sosial mungkin disertai dengan perbedaan-perbedaan kejiwaan. Kedua, teori Heterogami (perkawinan antara dua orang yang memiliki kondisi yang berbeda). Mereka menganggap bahwa perkawinan adalah suatu persekutuan yang saling melengkapi, karenanya dalam masalah perkawinan setiap orang cenderung memilih jodoh yang cocok. Hingga mereka bisa saling berjanji untuk mendapatkan manfaat dan kepuasan yang maksimal.
Teori di atas masalah pokoknya adalah hanya terletak pada homogami berpijak pada karakter sosial sedangkan heterogami berpijak pada kebutuhan personal atau kebutuhan psikologis tampaknya barangkali memang diperlukan upaya perbaikan dari teori itu sebagai modal pendekatan membangun (developmental approach) yang mekanismenya tidak tergantung dari faktor sosial dan personal yang selalu berubah-ubah (social and personality variables). Yang terpenting justru tujuan akhir dalam rangka panjang dengan adanya interaksi yang beraneka ragam.
Tiap masyarakat mempunyai gambaran dalam pikirannya, bentuk ideal calon jodohnya. Mungkin juga lingkup kelayakan masing-masing personal dalam masyarakat itu berbeda dalam kerangka itu. Misalnya calon istri ideal seorang pemuda desa Kalimeneng Kemiri yaitu; derajat (tidak harus kaya), baik budi, muda dan perawan, subur (tidak mandul), cantik, sopan, pintar dan penuh kasih sayang, jujur dan cakap, enerjik dan produktif, lemah lembut dan periang, sebagai perbandingan dapat pula dicontohkan calon istri seseorang yang berasal dari Bruno juga ada kesamaan namun ada pula yang berbeda. Seorang pemuda warga Bruno yang dicontohkan cenderung kepada apa yang pernah dikatakan nabi yang mencakup harta, nasab, rupa dan agama. Seorang wanita yang mendekati standar sebagaimana dicontohkan diatas, bagi dua laki-laki tersebut berada pada derajat sosial tertinggi untuk dipilih menjadi calon istri.
Pada tataran selanjutnya nilai kesederajatan sosial (social equality) itu berubah bentuknya dengan konsep baru yang didasarkan pada kesederajatan dalam agama (religius equality). Prinsip kesederajatan agama itu tampaknya begitu bisa di terima oleh masyarakat merupakan kombinasi konsep dari berbagai nilai atau faktor lainnya. Munculnya masyarakat religius menjadikan sebab konsepsi kesederajatan dalam agama sebagai falsafah hidup mereka.
Terlepas dari 2 dimensi kesederajatan diatas menurut Muhlisin, berkaitan dari kesederajatan dalam konsep perkawinan, para ahli (agama) sepakat: Dalam perkawinan lelaki harus menganut prinsip Hipogami (menikah wanita yang sederajat atau yang dibawahnya) sedangkan wanita harus menganut asas Hipergami (Menikah dengan lelaki yang sederajat atau yang lebih tinggi). Kesederajatan ini harus dimaknai secara lebih luas dan fleksibel. Hal itu diyakini bahwa secara subtans secara religius telah mampu membentuk kesolehan-kesolehan tertentu baik dalam segi pribadi maupun sosial kemasyarakatan. Perlukah ini kita debat dan gugat.? Namun kiranya perlu dicatat bahwa syarat kesepadanan (Ke-Kufu-an) masih dalam perdebatan ulama’ sebagaimana yang telah penulis singgung awal.
Secara sederhana penulis ingin mencoba menawarkan alternatif rasional pemecahan persoalan. Pertama, Dalam menentukan pemilihan pasangan hendaknya kita mampu berfikir secara mendalam tentang makna filosofis dari sebuah perkawinan dari sini akan muncul sebuah action dalam bentuk kriterium persona dengan segala implikasinya. Kedua, Hendaknya dalam persoalan kita melakukan segala sesuatu harus berkesadaran, konsisten, tanggung jawab, terbuka dan dewasa. Hal ini dilandasi dengan pertimbangan-pertimbangan yang mendalam dan nilai-nilai normatif masyarakat secara proporsional. Diyakinkan dengan dua tawaran ini yang namanya problema hidup akan segera teratasi.
Setelah membahas kafa’ah barulah saatnya penulis mengajak pembaca yang budiman untuk naik ketahap selanjutnya yaitu lamaran yang akan penulis sampaikan pada sub-sub setelah ini.

E. Pengertian Khithbah
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang muslim adalah menetapkan seorang muslimah yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i hal tersebut dijalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada calon istri yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.
Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya).
Titin Fitriyani, mengutip pendapat Sayid Sabiq yang juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang men-khitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.

F. Dalil Khitbah
Titin Fitriyani menyatakan bahwa Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan. Berkaitan dengan peminangan untuk menikah, Allah Swt, berfirman:
               …
Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu… QS. Al-Baqarah 235.
Rasulullah Saw telah bersabda “janganlah seseorang diantara kamu meminang perempuan yang telah dipinang saudaranya hingga peminang pertama telah meninggalkannya atau mengizinkan untuk meminangnya”

G. Proses Khitbah
Khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang laki-laki langsung kepada wanita yang dicintainya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang laki-laki kepada keluarga atau wali pihak wanita. Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu difahami ketika melakukan khitbah, antara lain:

1. Kebolehan Melihat wanitat Yang Di-khithbah
Syamsudin Ramdhan mengungkapkan bahwa sebagian ulama berpendapat, diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi ia tidak boleh melihat auratnya. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda yang artinya:”jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya.” (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya melihat perempuan yang di-khitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat men-khithbah.
2. Tidak boleh men-khithbah wanita yang masih di-khithbah seseorang
Seorang tidak boleh mengkhithbah seorang wanita yang masih berada dalam khithbah-an saudaranya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh saudaranya yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia, dan lainnya. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw “Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya”.
3. Seorang wanita yang dilamar berhak untuk menerima ataupun menolak khithbah
4. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka. Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat. Menurut Muhammad Thalib bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi.

H. Pembatalan Khithbah
Dalam melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut.
Seperti halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari islam, memiliki kelainan seksual, dan lainnya. Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.
Muhammad Thalib mengungkapkan sebagai berikut, membatalkan pinangan adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak menjatuhkan hukuman materiil, sekalipun perbuatan tersebut dipandang cela oleh sebagian orang.

SIMPULAN

Demikianlah sekilas pandangan tentang konsep kafa’ah dan khitbah. Dari uraian diatas penulis mencoba membuat sebuah konklusi sebagai berikut:
1. Maksud dari kafa’ah menurut pandangan fuqaha’ ialah kesetaraan antara suami dan istri dalam berbagai hal yang mencakup kesetaran dalam agaman, garis keturunan, pekerjaan, harta, dan strata sosial
2. Kafa’ah ditujukan agar pernikahan bisa harmonis masih diperselisihkan statusnya. Apakah keberadaannya ada sesuatu yang lazim dalam pernikahan ataupun tidak. Bagi yang mengatakan keharusan akan wujudnya kafa’ah juga tidak lepas dengan konsep taqdiri mereka bahwa sebuah ikatan pernikahan agar bisa harmonis, mawaddah wa rahmah maka kafa’ah menjadi syaratnya.
3. Umumnya wanita ideal untuk dinikah yang tepat adalah wanita yang sesuai dengan konsep kafa’ah dengan laki-laki yang berkaitan. Akan tetapi itupun merupakan tinjauan umum. Jika kita kembalikan pada individu masing-masing ternyata terdapat beragam selera atau impian terhadap wanita idaman mereka, bahkan kemaslahatan pernikahan juga bisa terwujud tanpa harus se-kufu asalkan diantara kedua belah pihak (suami dan istri) bisa saling pengertian.
4. Lamaran dapat diajukan langsung kepada wanita yang bersangkutan ataupun kepada walinya. Adapun teknis seperti melihat wajah, telapak tangan dan lainnya dalam lamaran merupakan sebuah anjuran yang diperbolehkan agar nantinya tidak ada penyesalan dalam pernikahan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhailiy, Wahbah, 1987, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon,

Kurnia, MR. 2005, Memadukan Dakwah dan Keharmonisan Rumah Tangga, al-Azhar Press, Bogor

Muhlisin, Memilih Calon Pasangan: Konsepsi Kafa'ah Dalam Pernikahan, http://ceria.bkkbn.go.id/referensi/substansi/detail/119.

Ramdhan, Syamsudin. 2004, Fikih Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia, Ide Pustaka, Bogor

Syarifudin, Amir, 2003, Garis-garis Besar Fiqh, Prenada media, Jakarta

Taufiq, Mohamad, Get AlQuran in MS-Word ver 0.0.1,
mtaufiq@rocketmail.com/moh.taufiq@gmail.com

Titin Fitriyani, Seputar Khitbah dalam Pandangan Islam, http://baitijannati.wordpress.com/2009/05/14/seputar-khitbah-dalam-pandangan-islam/. Diakses tanggal 5 November 2010

Thalib, Muhammad, 2002, 15 Tututunan Meminang Dalam Islam, Irsyad Baitussalam, Bandung

_____, Dalil-Dalil Yang Mendasari Kafa’ah Syarifah (1), http://benmashoor.wordpress.com/2008/12/22/dalil-dalil-yang-mendasari-kafa%E2%80%99ah-syarifah-1/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KILAS SEJARAH DINASTI UMAYAH

Dinasti Bani Umayah adalah sebuah dinasti yang berkuasa dalam dunia Islam dari tahun 661 hingga 750 M. Dinasti ini didirikan setelah kematia...