Rabu, 12 Juni 2024

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH 

(Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib) 

Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah)


فَصْلٌ فِي أَحْكَامِ الْأُضْحِيَةِ بِضَمِّ الْهَمْزَةِ فِي الْأَشْهَرِ، وَهِيَ اسْمٌ لِمَا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ يَوْمَ عِيدِ النَّحْرِ، وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ تَقَرُّبًا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى. 

Fashal Hukum Seputar Kurban

Kurban, dengan dhammah pada huruf hamzah dalam pendapat yang masyhur, adalah nama untuk hewan ternak yang disembelih pada hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq sebagai bentuk pendekatan diri (Taqarrub) kepada Allah Ta'ala. 

(وَالْأُضْحِيَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ) عَلَى الْكِفَايَةِ فَإِذَا أَتَى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتٍ كَفَى عَنْ جَمِيعِهِمْ، وَلَا تَجِبُ الْأُضْحِيَةُ إِلَّا بِالنَّذْرِ 

(Kurban hukumnya sunnah muakkadah) secara kolektif, jadi jika salah satu anggota keluarga melaksanakannya maka sudah mencukupi bagi seluruh anggota keluarga. Kurban tidak menjadi wajib kecuali karena nazar.

(وَيُجْزِئُ فِيهَا الْجَذَعُ مِنَ الضَّأْنِ) وَهُوَ مَا لَهُ سَنَةٌ وَطَعَنَ فِي الثَّانِيَةِ (وَالثَّنِيُّ مِنَ الْمَعْزِ) وَهُوَ مَا لَهُ سَنَتَانِ وَطَعَنَ فِي الثَّالِثَةِ (وَالثَّنِيُّ مِنَ الْإِبِلِ) مَا لَهُ خَمْسُ سِنِينَ وَطَعَنَ فِي السَّادِسَةِ (وَالثَّنِيُّ مِنَ الْبَقَرِ) مَا لَهُ سَنَتَانِ وَطَعَنَ فِي الثَّالِثَةِ 

(Yang diperbolehkan untuk kurban adalah jadz'a min al-dho’ni) yaitu domba yang telah berusia satu tahun dan memasuki tahun kedua, (dan tsani min al-ma’zi) yaitu kambing kacang yang telah berusia dua tahun dan memasuki tahun ketiga, (dan tsani min al-ibil) yaitu unta yang telah berusia lima tahun dan memasuki tahun keenam, (dan tsani min al-baqar) yaitu sapi yang telah berusia dua tahun dan memasuki tahun ketiga.

(وَتُجْزِئُ الْبَدْنَةُ عَنْ سَبْعَةٍ) اشْتَرَكُوا فِي التَّضْحِيَةِ بِهَا (وَ) تُجْزِئُ (الْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ) كَذَلِكَ (وَ) تُجْزِئُ (الشَّاةُ عَنْ) شَخْصٍ (وَاحِدٍ) وَهِيَ أَفْضَلُ مِنْ مُشَارَكَتِهِ فِي بَعِيرٍ. وَأَفْضَلُ أَنْوَاعِ الْأُضْحِيَةِ إِبِلٌ ثُمَّ بَقَرٌ ثُمَّ غَنَمٌ 

(Seekor unta mencukupi untuk tujuh orang) yang berpartisipasi dalam berkurban dengannya, (dan) juga (seekor sapi mencukupi untuk tujuh orang), (dan) seekor kambing mencukupi untuk (satu) orang, dan ini lebih baik daripada berpartisipasi dalam seekor unta. Dan jenis kurban yang paling baik adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing. 

(وَأَرْبَعٌ) وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ وَأَرْبَعَةٌ (لَا تُجْزِئُ فِي الضَّحَايَا) أَحَدُهَا (الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ) أَيْ الظَّاهِرُ (عَوْرُهَا) وَإِنْ بَقِيَتِ الْحَدَقَةُ فِي الْأَصَحِّ (وَ) الثَّانِي (الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا) وَلَوْ كَانَ حُصُولُ الْعَرَجِ لَهَا عِنْدَ إِضْجَاعِهَا لِلتَّضْحِيَةِ بِهَا بِسَبَبِ اضْطِرَابِهَا (وَ) الثَّالِثُ (الْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا) وَلَا يَضُرُّ يَسِيرُ هَذِهِ الْأُمُورِ (وَ) الرَّابِعُ (الْعَجْفَاءُ) وَهِيَ (الَّتِي ذَهَبَ مُخُّهَا) أَيْ ذَهَبَ دِمَاغُهَا (مِنَ الْهُزَالِ) الْحَاصِلِ لَهَا 

(Ada empat) dan dalam beberapa naskah tertulis (empat jenis hewan yang tidak sah untuk kurban): pertama, (yang buta sebelah dengan kebutaan yang jelas), yaitu yang tampak jelas kebutaannya walaupun masih ada bola matanya menurut pendapat yang lebih sahih. Kedua, (yang pincang dengan kepincangan yang jelas), walaupun kepincangannya terjadi saat dijatuhkan untuk disembelih karena kegelisahannya. Ketiga, (yang sakit dengan penyakit yang jelas), dan tidak merusak jika penyakitnya sedikit. Keempat, (yang sangat kurus), yaitu (yang sumsum tulangnya hilang) atau yang otaknya hilang (karena kurus yang dialaminya).

(وَيُجْزِئُ الْخَصِيُّ) أَيْ الْمَقْطُوعُ الْخُصْيَتَيْنِ (وَالْمَكْسُورَةُ الْقَرْنِ) إِنْ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي اللَّحْمِ وَيُجْزِئُ أَيْضًا فَاقِدَةُ الْقُرُونِ، وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْجَلْحَاءِ (وَلَا تُجْزِئُ الْمَقْطُوعَةُ) كُلُّ (الْأُذُنِ) وَلَا بَعْضُهَا وَلَا الْمَخْلُوقَةُ بِلَا أُذُنٍ (وَ) لَا الْمَقْطُوعَةُ (الذَّنَبِ) وَلَا بَعْضُهُ 

Hewan yang dikastrasi (yaitu yang kedua testisnya telah diangkat) sah untuk kurban, demikian juga hewan yang tanduknya patah jika tidak mempengaruhi dagingnya, dan sah juga yang tidak bertanduk sama sekali, yang disebut sebagai yang tanpa tanduk. (Tidak sah) hewan yang telinganya terpotong seluruhnya atau sebagian, atau yang lahir tanpa telinga, (dan) hewan yang ekornya terpotong atau sebagian dari ekornya.

(وَ) يَدْخُلُ (وَقْتُ الذَّبْحِ) لِلْأُضْحِيَةِ (مِنْ وَقْتِ صَلَاةِ الْعِيدِ) أَيْ عِيدِ النَّحْرِ وَعِبَارَةُ الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا يَدْخُلُ وَقْتُ التَّضْحِيَةِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ يَوْمَ النَّحْرِ، وَمَضَى قَدْرُ رَكْعَتَيْنِ وَخُطْبَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ انْتَهَى، وَيَسْتَمِرُّ وَقْتُ الذَّبْحِ (إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ) وَهِيَ الثَّلَاثَةُ الْمُتَّصِلَةُ بِعَاشِرِ ذِي الْحِجَّةِ.

(Waktu penyembelihan) kurban dimulai (sejak waktu shalat Idul Adha), dan menurut teks kitab Ar-Raudah dan sumber aslinya, waktu penyembelihan dimulai setelah matahari terbit pada hari Idul Adha, dan setelah waktu yang cukup untuk melaksanakan dua rakaat dan dua khutbah yang ringan. Waktu penyembelihan berlanjut (hingga matahari terbenam pada hari terakhir Tasyriq) yang tiga hari berturut-turut setelah tanggal 10 Dzulhijjah.

(وَيُسْتَحَبُّ عِنْدَ الذَّبْحِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ) أَحَدُهَا (التَّسْمِيَةُ) فَيَقُولُ الذَّابِحُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، فَلَوْ لَمْ يُسَمِّ حَلَّ الْمَذْبُوحُ. (وَ) الثَّانِي (الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ) وَيُكْرَهُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ اسْمِ اللهِ وَاسْمِ رَسُولِهِ. (وَ) الثَّالِثُ (اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ) بِالذَّبِيحَةِ، أَيْ يُوَجِّهُ الذَّابِحُ مَذْبَحَهَا لِلْقِبْلَةِ وَيَتَوَجَّهُ هُوَ أَيْضًا. (وَ) الرَّابِعُ (التَّكْبِيرُ) أَيْ قَبْلَ التَّسْمِيَةِ وَبَعْدَهَا ثَلَاثًا كَمَا قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ. (وَ) الْخَامِسُ (الدُّعَاءُ بِالْقَبُولِ) فَيَقُولُ الذَّابِحُ: اللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ، أَيْ هَذِهِ الْأُضْحِيَةُ نِعْمَةٌ مِنْكَ عَلَيَّ وَتَقَرَّبْتُ بِهَا إِلَيْكَ فَتَقَبَّلْهَا مِنِّي.

(Dianjurkan saat menyembelih hewan kurban untuk melakukan lima hal) yang pertama adalah (mengucapkan bismillah), maka penyembelih mengucapkan "Bismillah ir-Rahman ir-Rahim", jika tidak mengucapkannya, sembelihan tetap halal. (Yang kedua) adalah (bershalawat kepada Nabi), dan makruh untuk menggabungkan nama Allah dengan nama Rasul-Nya. (Yang ketiga) adalah (menghadap kiblat) dengan hewan kurban, yaitu penyembelih mengarahkan leher hewan kurban ke arah kiblat dan ia juga menghadap kiblat. (Yang keempat) adalah (takbir), yaitu sebelum dan setelah mengucapkan bismillah tiga kali, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mawardi. (Yang kelima) adalah (berdoa agar diterima), maka penyembelih mengucapkan: "Allahumma hadzihi minka wa ilaika fataqabbal," yang artinya "Ya Allah, ini dari-Mu dan kepada-Mu, maka terimalah," maksudnya hewan kurban ini adalah nikmat dari-Mu atas diriku, dan aku mendekatkan diri kepada-Mu dengannya, maka terimalah dari diriku.

(وَلَا يَأْكُلُ الْمُضَحِّي شَيْئًا مِنَ الْأُضْحِيَّةِ الْمَنْذُورَةِ) بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ التَّصَدُّقُ بِجَمِيعِهَا، فَلَوْ لَحْمِهَا أَخَّرَهُ فَتَلِفَتْ لَزِمَهُ ضَمَانُهَا 

(Dan tidak boleh bagi orang yang berkurban memakan apa pun dari hewan kurban yang dinazarkan) bahkan dia wajib menyedekahkan seluruhnya. Jika ia menunda dagingnya hingga rusak, maka ia wajib menggantinya. 

(وَيَأْكُلُ مِنَ الْأُضْحِيَّةِ الْمُتَطَوِّعِ بِهَا) ثُلُثًا عَلَى الْجَدِيدِ، وَأَمَّا الثُّلُثَانِ فَقِيلَ يَتَصَدَّقُ بِهِمَا، وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي تَصْحِيحِ التَّنْبِيهِ. وَقِيلَ يُهْدِي ثُلُثًا لِلْمُسْلِمِينَ الْأَغْنِيَاءِ وَيَتَصَدَّقُ بِثُلُثٍ عَلَى الْفُقَرَاءِ مِنْ لَحْمِهَا وَلَمْ يُرَجِّحِ النَّوَوِيُّ فِي الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا شَيْئًا مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ 

(Dia -orang yang berkurban- boleh memakan dari hewan kurban yang disunnahkan) sepertiga bagian menurut pendapat yang baru imam Syafi’i (qaul jadid). Adapun dua pertiga lainnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa keduanya harus disedekahkan, dan ini dirajihkan (dikuatkan) oleh An-Nawawi dalam Tashih at-Tanbih. Pendapat lain mengatakan bahwa sepertiga diberikan sebagai hadiah kepada orang-orang Muslim yang kaya, dan sepertiga disedekahkan kepada orang-orang miskin dari dagingnya. An-Nawawi dalam Ar-Raudah dan sumber aslinya tidak merajihkan salah satu dari kedua pendapat ini.

(وَلَا يَبِيعُ) أَيْ يُحَرَّمُ عَلَى الْمُضَحِّي بَيْعُ شَيْءٍ (مِنَ الْأُضْحِيَّةِ) أَيْ مِنْ لَحْمِهَا أَوْ شَعْرِهَا أَوْ جِلْدِهَا، وَيُحَرَّمُ أَيْضًا جَعْلُهُ أُجْرَةً لِلْجَزَّارِ، وَلَوْ كَانَتِ الْأُضْحِيَّةُ تَطَوُّعًا (وَيُطْعِمُ) حَتْمًا مِنَ الْأُضْحِيَّةِ الْمُتَطَوِّعِ بِهَا (الْفُقَرَاءَ وَالْمَسَاكِينَ) وَالْأَفْضَلُ التَّصَدُّقُ بِجَمِيعِهَا إِلَّا لُقْمَةً أَوْ لُقَمًا يَتَبَرَّكُ الْمُضَحِّي بِأَكْلِهَا، فَإِنَّهُ يُسَنُّ لَهُ ذَلِكَ، وَإِذَا أَكَلَ الْبَعْضَ وَتَصَدَّقَ بِالْبَاقِي حَصَلَ لَهُ ثَوَابُ التَّضْحِيَةِ بِالْجَمِيعِ وَالتَّصَدُّقِ بِالْبَعْضِ.

(Dan tidak boleh menjual) artinya haram bagi orang yang berkurban untuk menjual apa pun (dari hewan kurban), baik dari dagingnya, bulunya, maupun kulitnya. Juga haram menjadikannya sebagai upah bagi tukang jagal, meskipun kurban tersebut sunnah. (Dan wajib memberikan makan) dari hewan kurban yang disunnahkan (kepada fakir miskin). Dan yang lebih utama adalah menyedekahkan seluruhnya kecuali sedikit untuk diambil berkahnya dengan memakannya. Dianjurkan baginya untuk melakukan itu. Jika dia memakan sebagian dan menyedekahkan sisanya, maka dia mendapatkan pahala kurban secara keseluruhan dan pahala sedekah sebagian.

فَصْلٌ فِي أَحْكَامِ الْعَقِيقَةِ وَهِيَ لُغَةً اسْمٌ لِلشَّعْرِ عَلَى رَأْسِ الْمَوْلُودِ وَشَرْعًا مَا سَيَذْكُرُهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَالْعَقِيقَةُ) عَنِ الْمَوْلُودِ (مُسْتَحَبَّةٌ) وَفَسَّرَ الْمُصَنِّفُ الْعَقِيقَةَ بِقَوْلِهِ (وَهِيَ الذَّبِيحَةُ عَنِ الْمَوْلُودِ يَوْمَ سَابِعِهِ) أَيْ يَوْمَ سَابِعِ وِلَادَتِهِ بِحَسَبِ يَوْمِ الْوِلَادَةِ مِنَ السَّبْعِ، وَلَوْ مَاتَ الْمَوْلُودُ قَبْلَ السَّابِعِ وَلَا تَفُوتُ بِالتَّأْخِيرِ بَعْدَهُ، فَإِنْ أُخِّرَتْ لِلْبُلُوغِ سَقَطَ حُكْمُهَا فِي حَقِّ الْعَاقِّ عَنِ الْمَوْلُودِ أَمَّا هُوَ فَمُخَيَّرٌ فِي الْعَقِّ عَنْ نَفْسِهِ وَالتَّرْكِ. 

Fashal Hukum Seputar Aqiqah

Aqiqah secara bahasa adalah nama bagi rambut di kepala bayi yang baru lahir, dan secara syar'i adalah sebagaimana yang akan disebutkan oleh penulis dengan perkataannya (Aqiqah) bagi bayi yang baru lahir (disunnahkan). Penulis menjelaskan aqiqah dengan perkataannya (yaitu penyembelihan hewan bagi bayi yang baru lahir pada hari ketujuhnya) yaitu hari ketujuh dari kelahirannya berdasarkan hari kelahirannya dari tujuh hari tersebut, meskipun bayi tersebut meninggal sebelum hari ketujuh. Aqiqah tidak batal jika ditunda setelahnya. Jika ditunda hingga baligh, maka hukumnya gugur bagi orang yang melakukan aqiqah bagi bayi tersebut. Namun, bayi tersebut (setelah dewasa) boleh memilih untuk melakukan aqiqah bagi dirinya sendiri atau tidak melakukannya.

(وَيُذْبَحُ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَ) يُذْبَحُ (عَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ) قَالَ بَعْضُهُمْ: أَمَّا الْخُنْثَى فَيُحْتَمَلُ إِلْحَاقُهُ بِالْغُلَامِ أَوْ بِالْجَارِيَةِ، فَلَوْ بَانَتْ ذُكُورَتُهُ أُمِرَ بِالتَّدَارُكِ، وَتَتَعَدَّدُ الْعَقِيقَةُ بِتَعَدُّدِ الْأَوْلَادِ، 

(Dan disembelih untuk bayi laki-laki dua ekor kambing) dan (untuk bayi perempuan satu ekor kambing). Sebagian ulama mengatakan bahwa untuk bayi khuntsa (hermaprodit) mungkin disamakan dengan bayi laki-laki atau perempuan. Jika ternyata jenis kelaminnya adalah laki-laki, maka diperintahkan untuk menyusul aqiqahnya. Aqiqah dilakukan untuk setiap anak yang lahir.

(وَيُطْعِمُ) الْعَاقُّ مِنَ الْعَقِيقَةِ (الْفُقَرَاءَ وَالْمَسَاكِينَ) فَيَطْبُخُهَا بِحُلْوٍ وَيُهْدِي مِنْهَا لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينَ وَيَتَّخِذُهَا دَعْوَةً، وَلَا يُكْسَرُ عَظْمُهَا 

(Dan -orang yang melakukan aqiqah- memberi makan) dari daging aqiqah kepada (fakir miskin), memasaknya dengan manis, dan memberikan sebagian kepada fakir miskin serta menjadikannya sebagai hidangan dalam sebuah undangan. Tulangnya tidak boleh dipatahkan. 

وَاعْلَمْ أَنَّ سِنَّ الْعَقِيقَةِ وَسَلَامَتَهَا مِنْ عَيْبٍ يَنْقُصُ لِحَمْلِهَا، وَالْأَكْلَ مِنْهَا وَالتَّصَدُّقَ بِبَعْضِهَا وَامْتِنَاعَ بَيْعِهَا، وَتَعْيِينِهَا بِالنَّذْرِ حُكْمُهُ عَلَى مَا سَبَقَ فِي الْأُضْحِيَةِ، 

Perlu diketahui bahwa usia hewan aqiqah dan keutuhannya dari cacat yang mengurangi dagingnya, serta aturan memakannya, menyedekahkan sebagian, larangan menjualnya, dan penentuan aqiqah melalui nazar, hukumnya sama dengan yang telah dijelaskan dalam kurban.

وَيُسَنُّ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ الْيُمْنَى حِينَ يُولَدُ، وَأَنْ يُقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى، وَأَنْ يُحَنِّكَ الْمَوْلُودَ بِتَمْرٍ فَيُمَضَّغُ، وَيُدَلَّكُ بِهِ حَنَكُهُ دَاخِلَ فَمِهِ لِيَنْزِلَ مِنْهُ شَيْءٌ إِلَى الْجَوْفِ، فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ تَمْرٌ فَرُطَبٌ وَإِلَّا فَشَيْءٌ حُلْوٌ وَأَنْ يُسَمَّى يَوْمَ سَابِعِ وِلَادَتِهِ. وَيَجُوزُ تَسْمِيَتُهُ قَبْلَ السَّابِعِ وَبَعْدَهُ، وَلَوْ مَاتَ الْمَوْلُودُ قَبْلَ السَّابِعِ سُنَّ تَسْمِيَتُهُ.

Disunnahkan untuk mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi saat ia lahir, mengumandangkan iqamah di telinga kirinya, serta mentahnik bayi dengan kurma yang dikunyah kemudian digosokkan ke langit-langit mulut bayi hingga masuk ke dalam perutnya. Jika tidak ada kurma, bisa menggunakan kurma basah, atau sesuatu yang manis. Disunnahkan juga untuk memberikan nama pada hari ketujuh kelahirannya. Nama boleh diberikan sebelum hari ketujuh atau setelahnya. Jika bayi meninggal sebelum hari ketujuh, tetap disunnahkan untuk memberinya nama.

Selasa, 29 Agustus 2023

KILAS SEJARAH DINASTI UMAYAH

Dinasti Bani Umayah adalah sebuah dinasti yang berkuasa dalam dunia Islam dari tahun 661 hingga 750 M. Dinasti ini didirikan setelah kematian Khalifah Ali, yang merupakan khalifah keempat dalam periode Khulafaur Rasyidin. Berikut adalah gambaran umum tentang berdirinya dinasti Umayyah, perkembangannya, keruntuhannya, dan perbandingan dengan Khulafaur Rasyidin:

Berdirinya Dinasti Umayyah

Setelah terjadinya perang saudara dalam Islam yang dikenal sebagai Perang Shiffin, Khalifah Ali dibunuh pada tahun 661 M. Setelah kematiannya, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang merupakan gubernur Suriah dan sebelumnya merupakan musuh Khalifah Ali, memerintahkan pasukannya untuk mengangkatnya sebagai khalifah. Tindakan ini menandai berdirinya dinasti Umayyah. Muawiyah menjadi khalifah pertama dari dinasti ini dan menjadikan Damaskus sebagai ibu kota kekhalifahan.

Perkembangan Dinasti Umayyah

Dinasti Umayyah mencapai puncak kekuasaannya di bawah pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Pada masa pemerintahannya, kekhalifahan Umayyah berkembang secara luas, mencakup wilayah yang luas dari Spanyol di barat hingga Persia di timur. Abdul Malik juga dikenal karena reformasi administratif dan keuangan yang dilakukannya, termasuk pengenalan mata uang Islam yang seragam.

Namun, di antara faktor penting dalam perkembangan dinasti Umayyah adalah perlakuan mereka terhadap non-Arab Muslim. Beberapa kelompok dan individu merasa bahwa pemerintahan Umayyah lebih condong memihak kepada suku Arab, yang pada gilirannya menyebabkan ketidakpuasan di antara populasi Muslim yang non-Arab.

Keruntuhan Dinasti Umayyah

Keruntuhan dinasti Umayyah terjadi akibat perang saudara yang dikenal sebagai Revolusi Abbasiyah pada awal abad ke-8 M. Revolusi ini dipimpin oleh kelompok yang dipimpin oleh Abu Muslim, yang menentang kebijakan Umayyah. Pasukan Abbasiyah berhasil mengalahkan dinasti Umayyah dan mendirikan dinasti mereka sendiri, yaitu Dinasti Abbasiyah, yang memindahkan ibu kota ke Baghdad pada tahun 762 M.

Komparasi dengan Khulafaur Rasyidin

Perbedaan utama antara dinasti Umayyah dan Khulafaur Rasyidin adalah dalam hal metode pengangkatan khalifah. Khulafaur Rasyidin, yang terdiri dari Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, diangkat berdasarkan konsensus dan pemilihan dari para sahabat Nabi Muhammad. Mereka diakui secara luas sebagai khalifah yang sah oleh komunitas Muslim pada saat itu.

Di sisi lain, dinasti Umayyah berawal dari kekuasaan politik dan perang saudara. Muawiyah bin Abi Sufyan tidak dipilih secara konsensus, tetapi memperoleh kekuasaannya melalui kekuatan militer dan dukungan dari kalangan tertentu. Ini menciptakan perpecahan dalam umat Islam, di mana sebagian mengakui keabsahan dinasti Umayyah, sementara yang lain tetap setia kepada Khulafaur Rasyidin atau mendukung kelompok lain.

Selain itu, dinasti Umayyah memiliki ciri khas aristokratis dan pusat kekuasaan yang lebih sentralistik dibandingkan dengan Khulafaur Rasyidin yang lebih sederhana dan berbasis konsultatif. Dinasti Umayyah juga dikenal karena dominasinya yang lebih besar atas wilayah-wilayah non-Arab dan perlakuan mereka yang kurang merata terhadap non-Arab Muslim.

Secara keseluruhan, perbandingan antara dinasti Umayyah dengan Khulafaur Rasyidin menunjukkan perbedaan dalam cara pengangkatan, gaya pemerintahan, dan perlakuan terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat Muslim.


Rabu, 05 Juli 2023

Keajaiban Kebaikan - Kisah Abu Sa'id al-Mubarak al-Makhzumi

Pada zaman dahulu, di kota Makkah, hiduplah seorang sahabat bernama Abu Sa'id al-Mubarak al-Makhzumi. Ia dikenal sebagai sosok dermawan dan penuh kebaikan. Kisah kebaikan Abu Sa'id ini menjadi legenda yang terus diceritakan oleh orang-orang Makkah hingga saat ini.

Abu Sa'id adalah seorang pedagang yang sukses. Namun, ia tidak pernah lupa akan tanggung jawabnya sebagai seorang muslim. Setiap kali ia mendapatkan keuntungan dari bisnisnya, ia membagi sebagian besar hartanya kepada yang membutuhkan. Setiap orang yang datang meminta bantuan, baik miskin maupun terlantar, selalu ia layani dengan penuh kasih sayang.

Suatu hari, sebuah bencana melanda Makkah. Gempa bumi yang dahsyat mengguncang kota tersebut, merusak banyak bangunan dan menyebabkan kepanikan di kalangan penduduk. Banyak orang kehilangan tempat tinggal dan kebutuhan pokok mereka.

Abu Sa'id, dengan hati yang penuh belas kasihan, segera bertindak. Ia membuka gudangnya yang berisi makanan, pakaian, dan berbagai barang kebutuhan lainnya. Semua itu ia bagikan kepada para korban gempa bumi tanpa pandang bulu. Tidak ada yang perlu membuktikan kebutuhan mereka, karena Abu Sa'id meyakini bahwa setiap orang yang menghadapi bencana layak mendapatkan pertolongan.

Kisah kebaikan Abu Sa'id menyebar dengan cepat di kalangan masyarakat Makkah. Orang-orang terinspirasi oleh tindakannya yang mulia, dan banyak yang mulai mengikuti jejaknya. Abu Sa'id tidak hanya memberikan bantuan material, tetapi juga memberikan dukungan moral kepada mereka yang terluka dan terpukul secara emosional oleh bencana tersebut.

Berita tentang Abu Sa'id akhirnya mencapai telinga Khalifah Umar bin Khattab (ra), pemimpin muslim saat itu. Khalifah Umar, yang juga dikenal sebagai Khalifah adil, tergerak oleh kebaikan Abu Sa'id. Ia memutuskan untuk mengundang Abu Sa'id ke istana untuk memberikan penghargaan atas dedikasinya kepada kemanusiaan.

Ketika Abu Sa'id tiba di istana, Khalifah Umar menyambutnya dengan hangat. Ia memuji Abu Sa'id atas kebaikan dan kedermawanannya yang luar biasa. Khalifah Umar kemudian memberikan gelar kehormatan "Al-Mubarak" kepada Abu Sa'id, yang berarti "yang diberkahi" dalam bahasa Arab, sebagai pengakuan atas perbuatan baiknya.

Ketika ditanya tentang alasan di balik kebaikannya, Abu Sa'id menjawab dengan sederhana, "Kebaikan adalah sifat yang diajarkan oleh agama kita, dan Allah SWT telah memberkahi saya dengan banyak kekayaan. Saya hanya menyebarkan berkah yang telah diberikan kepada saya."

Pesan Abu Sa'id tentang kebaikan dan kedermawanan terus terdengar di seluruh penjuru Makkah. Kisahnya menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk berbagi kebaikan kepada sesama. Abu Sa'id terus menerus melanjutkan perjuangannya dalam menyebarkan kebaikan, tidak hanya di Makkah, tetapi juga di berbagai tempat lainnya.

Kisah Abu Sa'id al-Mubarak al-Makhzumi mengingatkan kita akan pentingnya berbagi dan peduli terhadap sesama. Ia menunjukkan bahwa kebaikan bisa merubah hidup banyak orang dan menciptakan perubahan positif di masyarakat. Kisah Abu Sa'id mengajarkan kita bahwa tidak peduli seberapa besar atau kecilnya perbuatan baik yang kita lakukan, setiap tindakan kebaikan memiliki dampak yang besar dalam hidup orang lain.

Perjalanan Spiritual Abu Abdullah al-Hakim al-Tirmidhi

Pada suatu zaman di kota Tirmidh, Uzbekistan, hidup seorang ulama terkenal bernama Abu Abdullah al-Hakim al-Tirmidhi. Ia adalah seorang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu agama, dan kecerdasannya dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran membuatnya dihormati oleh masyarakat setempat.

Abu Abdullah tumbuh dalam keluarga yang taat beragama, dan sejak usia muda, ia telah menunjukkan minat besar dalam menggali pengetahuan agama. Ia sering menghabiskan waktu di perpustakaan kota, merenung dalam kitab-kitab suci dan tulisan-tulisan para ulama terdahulu.

Suatu hari, ketika Abu Abdullah berusia 25 tahun, ia merasa ada kegelisahan dalam dirinya. Ia merasa bahwa pengetahuannya belum cukup untuk memahami hakikat sejati agama. Dalam pencariannya akan kebenaran yang lebih dalam, Abu Abdullah memutuskan untuk meninggalkan Tirmidh dan melakukan perjalanan spiritual ke kota-kota suci di Timur Tengah.

Dengan hati yang penuh semangat, Abu Abdullah meninggalkan keluarga dan kota kelahirannya. Ia melakukan perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, melewati padang pasir yang luas dan pegunungan yang curam. Di setiap kota yang ia singgahi, Abu Abdullah mengunjungi ulama terkemuka dan belajar dari mereka.

Selama bertahun-tahun, Abu Abdullah belajar dari ulama-ulama terkenal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Al-Ghazali. Ia menyimak pelajaran mereka dengan seksama, mencatat dan merenungkan setiap kata yang diucapkan. Abu Abdullah terus menantang dirinya sendiri dalam memperdalam pemahaman agama dan menguji kesabaran serta ketekunan dirinya dalam menapaki jalan kebenaran.

Setelah perjalanan spiritual yang panjang dan penuh cobaan, Abu Abdullah kembali ke Tirmidh dengan bekal pengetahuan yang luas dan hati yang penuh kebijaksanaan. Ia segera mulai berbagi pengetahuannya dengan masyarakat, memberikan kuliah-kuliah dan ceramah-ceramah yang memikat.

Kisah perjalanan Abu Abdullah al-Hakim al-Tirmidhi ini menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kepemimpinannya yang bijaksana dan pengetahuannya yang mendalam tentang agama membuatnya menjadi figur yang dihormati. Tulisannya tentang perjalanan spiritualnya yang berjudul "Menapaki Jalan Kebenaran: Perjalanan Abu Abdullah al-Hakim al-Tirmidhi" menjadi karya yang paling terkenal dan dihargai dalam literatur Islam.

Kisah Abu Abdullah al-Hakim al-Tirmidhi mengajarkan kita tentang pentingnya pengetahuan, kesabaran, dan ketekunan dalam mencari kebenaran. Ia mengajak kita untuk tidak puas dengan pengetahuan yang dangkal, tetapi terus menggali pengetahuan dan mendalami pemahaman agama untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam. Kisahnya juga mengingatkan kita akan pentingnya berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan masyarakat, sehingga dapat memberikan manfaat yang luas bagi mereka yang mencari kebijaksanaan dan petunjuk dalam hidup mereka.

Perjalanan Ilmu dan Kesalehan: Abu al-Qasim al-Qushayri di Nishapur, Iran

Di zaman keemasan Islam, di kota Nishapur, Iran, pada tahun 986 M, lahir seorang pemikir dan cendekiawan besar bernama Abu al-Qasim al-Qushayri. Ia tumbuh dalam keluarga yang saleh dan berdedikasi untuk mengejar pengetahuan dan kebenaran. Al-Qushayri tumbuh menjadi seorang ahli teologi yang dihormati dan seorang sufi yang mendalam.

Sejak usia muda, al-Qushayri menunjukkan bakat luar biasa dalam mempelajari dan memahami ajaran agama Islam. Ia menyerap pengetahuan dari para ulama dan terlibat dalam diskusi yang mendalam tentang teologi. Ia juga memiliki hasrat yang mendalam untuk menggali dimensi mistis dan spiritual dalam Islam, yang memimpinnya menuju jalur sufi.

Al-Qushayri menjadi murid beberapa sufi terkemuka pada zamannya, belajar di bawah bimbingan mereka dan menyerap pengalaman mereka dalam mencapai peningkatan spiritual. Ia menjalani suatu perjalanan batin yang mendalam, mengalami pengalaman mistis dan pengabdian yang mendalam kepada Allah.

Sebagai seorang penulis yang ulung, al-Qushayri menulis banyak karya-karya penting, di antaranya adalah "Al-Risalah al-Qushayriyah". Karyanya ini menjadi salah satu karya paling terkenal dalam bidang tasawuf. Dalam karya ini, al-Qushayri menjelaskan konsep-konsep sufi dan memberikan wawasan mendalam tentang pengalaman spiritual dan pengabdian kepada Tuhan.

Namun, perjalanan al-Qushayri tidak terbatas pada pengajaran dan penulisan. Ia juga memberikan pengaruh yang besar dalam masyarakat sekitarnya. Al-Qushayri mendirikan sekolah dan madrasah yang terkenal di Nishapur, tempat para pelajar datang dari berbagai penjuru untuk mempelajari ajaran agama dan mistisisme.

Selama hidupnya, al-Qushayri mengabdikan dirinya untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman Islam. Ia memimpin komunitas yang terdiri dari para ulama, sufi, dan pencari kebenaran lainnya. Dengan kerendahan hati dan kearifan, ia membimbing orang-orang dalam perjalanan mereka menuju Allah, menginspirasi mereka untuk hidup dengan penuh kasih sayang dan ketekunan.

Kehidupan Abu al-Qasim al-Qushayri di Nishapur, Iran, adalah kisah tentang pencarian ilmu dan kesalehan yang memancarkan cahaya di tengah kegelapan. Kisahnya mengilhami generasi setelahnya untuk menjalani hidup yang bermakna, berdampingan dengan pengetahuan dan spiritualitas yang kokoh. Al-Qushayri adalah simbol kebijaksanaan dan keindahan dalam tradisi Islam, dan warisannya tetap hidup hingga saat ini, menerangi jiwa dan hati para pencari kebenaran.

Cahaya dari Keheningan: Kisah Inspiratif Sahl al-Tustari

Pada zaman keemasan Islam, di kota Tustar yang indah di Iran, hiduplah seorang sufi yang bijaksana dan penuh dengan kearifan bernama Sahl al-Tustari. Ia lahir pada tahun 818 M dan sepanjang hidupnya, ia mengabdikan dirinya pada pencarian ilmu dan kedekatan dengan Tuhan.

Sahl al-Tustari tumbuh dalam keluarga yang saleh dan dia telah tertarik pada kehidupan spiritual sejak usia muda. Dari ayahnya, dia belajar tentang Al-Qur'an dan ajaran agama Islam yang mendalam. Namun, Sahl tidak puas hanya dengan pengetahuan teoretis semata. Ia ingin memahami hubungan pribadi dengan Tuhan dan mengeksplorasi dimensi batiniah agama.

Ketika mencapai usia dewasa, Sahl al-Tustari memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan mencari seorang guru sufi yang dapat membimbingnya dalam perjalanan spiritualnya. Ia meninggalkan kota Tustar dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat, mencari para sufi yang bijaksana dan penuh ilmu.

Akhirnya, Sahl menemukan gurunya yang sejati, seorang sufi yang dihormati dengan pengetahuan spiritual yang mendalam. Di bawah bimbingan gurunya, Sahl mulai menjalani kehidupan sufi yang keras dan penuh kesederhanaan. Ia mengasingkan diri di padang pasir yang sunyi, menjalani hidup dengan penuh kesendirian dan meditasi yang dalam.

Selama bertahun-tahun, Sahl al-Tustari mengalami perjalanan spiritual yang luar biasa. Ia mengalami pengalaman transenden dan penghujung malam dalam hubungan pribadinya dengan Tuhan. Dalam ketenangan dan keheningan gurun, ia mendapat pencerahan dan wawasan yang tak terhingga.

Ketika kembali ke Tustar, Sahl al-Tustari menjadi seorang guru yang terkenal dan dikagumi oleh banyak orang. Ia membagikan pengetahuannya tentang kebijaksanaan spiritual dan menginspirasi orang-orang untuk mencari kedekatan pribadi dengan Tuhan.

Kisah hidup Sahl al-Tustari adalah kisah tentang pencarian spiritual yang mendalam, kesederhanaan, dan penemuan makna sejati dalam hubungan dengan Tuhan. Ia mengajarkan bahwa dalam keheningan dan introspeksi, kita dapat menemukan cahaya yang menerangi jalan kita menuju Tuhan. Kisahnya menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang yang mencari jalan spiritual dalam hidup mereka, dan mengingatkan kita akan keindahan dan kearifan yang ada dalam agama Islam.

Ekstase Surgawi: Kisah Al-Hallaj dan Pengorbanan Kesucian

Pada masa yang bergolak di Persia pada abad ke-9 Masehi, hiduplah seorang sufi terkenal yang dikenal sebagai Al-Hallaj. Al-Hallaj adalah seorang tokoh yang penuh keberanian dan ketabahan dalam mencari kebenaran spiritual. Kisahnya mencerminkan perjalanan panjang menuju pencerahan, tetapi juga diwarnai dengan kontroversi yang besar.

Al-Hallaj lahir di kota Shushtar, Persia, pada tahun 858 Masehi. Sejak usia muda, ia menunjukkan minat yang mendalam dalam agama dan spiritualitas. Ia belajar di bawah bimbingan para sufi terkemuka pada masanya, menyerap pengetahuan dan pengalaman spiritual mereka dengan penuh semangat.

Tidak lama kemudian, Al-Hallaj mengembangkan reputasi sebagai seorang sufi yang luar biasa. Ia mengembara ke berbagai tempat suci di Persia, menjalani meditasi yang panjang dan menjalankan ibadah dengan sungguh-sungguh. Namun, ada satu peristiwa yang menjadi titik balik dalam hidupnya.

Suatu malam, ketika Al-Hallaj tengah terfokus dalam meditasinya, dia mengalami pengalaman mistik yang dahsyat. Ia merasakan kehadiran langsung Tuhan dan merasakan dirinya menjadi satu dengan Yang Mahakuasa. Ekstase spiritual yang luar biasa ini membuat Al-Hallaj merasakan keterhubungan yang tak terlukiskan dengan alam semesta.

Tidak mampu menahan kebahagiaan dan kebenaran yang ia alami, Al-Hallaj mulai berbicara tentang pengalaman spiritualnya kepada orang-orang di sekitarnya. Ia berbagi wawasan dan pemahaman tentang kesatuan dengan Tuhan yang telah ditemukan melalui pengalaman ekstasisnya. Namun, pesan-pesannya terkadang berbenturan dengan keyakinan dan norma-norma agama yang berlaku pada saat itu.

Kabar tentang ucapan dan tindakan Al-Hallaj menyebar luas, menarik perhatian dan kontroversi. Banyak orang yang memandangnya sebagai seorang sufi yang penuh cinta dan cahaya, tetapi ada juga yang merasa terganggu dengan keberaniannya dalam mengungkapkan pengalaman mistiknya yang begitu intim dengan Tuhan. Dia mulai diperlakukan dengan kecurigaan dan cemburu oleh para ulama dan otoritas keagamaan.

Akibat pernyataan kontroversialnya, Al-Hallaj ditangkap oleh para otoritas keagamaan. Dia dihadapkan pada tuduhan bid'ah (penyelewengan agama) dan menghina agama. Dalam pengadilan yang diselenggarakan, Al-Hallaj mempertahankan pengalaman mistiknya sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Namun, argumennya tidak diterima, dan dia dijatuhi hukuman mati.

Di tengah-tengah pengadilan dan siksaan yang tak terbayangkan, Al-Hallaj tetap teguh pada keyakinannya. Sebelum eksekusi, dia berdiri dengan tenang di hadapan kerumunan yang mengamati. Dengan suara yang penuh kepasrahan, dia berteriak, "Ana al-Haqq!" yang berarti "Aku adalah Kebenaran!"

Kata-kata terakhir Al-Hallaj tersebut menjadi pesan yang beresonansi di kalangan para pengikutnya. Mereka menyadari bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian yang jarang tercapai oleh manusia biasa. Walaupun terpisah dari tubuh fisiknya, pesan Al-Hallaj terus hidup dan mempengaruhi banyak orang dalam pencarian spiritual mereka.

Kisah Al-Hallaj dan pengorbanan kesuciannya menjadi simbol keberanian dan dedikasi seorang pencari kebenaran. Tulisannya yang penuh dengan keindahan dan makna spiritual menginspirasi banyak generasi yang datang setelahnya. Dia adalah seseorang yang mengajarkan pentingnya mencapai pengenalan diri yang mendalam melalui pengorbanan dan keberanian untuk menyatakan kebenaran sejati.

Dalam tulisan ini, "Ekstase Surgawi: Kisah Al-Hallaj dan Pengorbanan Kesucian," kita menyaksikan perjalanan spiritual Al-Hallaj yang penuh liku dan tantangan. Kisah ini mengajarkan kepada kita betapa pentingnya mengejar kebenaran, meski terkadang hal itu bisa menimbulkan kontroversi dan kesulitan.

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...