Jumat, 28 Oktober 2011

Bom Bunuh Diri Perspektif Maqasid Syari’ah

 
Atas nama Agama, segelentir orang masih menjustifikasi tindakan anarkisnya. Atas nama Tuhan, sekelompok manusia melegalkan pelenyapan nyawa sendiri dan hak hidup orang lain. Atas nama Nabi dan Rasul, satu komunitas bangga menimbulkan suasana kisruh di tengah masyarakat. Dan atas nama kitab suci, mereka pun tega memporak porandakan  tempat sumber nafkah para karyawan dan pekerja yang tidak berdaya.
Bom bunuh diri sering terjadi di negara kita, untuk kesekian kalinya, dalam motif yang tidak jauh berbeda dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Korban meninggal dan terluka berjatuhan, kerusakan infrastruktur dan bangunan tidak bisa dihindarkan, imbas psikologi bagi masyarakat di sekitar kejadian yang lolos dari maut akan terus menghantui, sumber penghidupan bagi mereka yang bekerja di lokasi kejadian terganggu, kalau tidak terputus sama sekali, saling curiga dan berprasangka buruk antar sesama komponen bangsa menjadi fenomena berikutnya.
Motif dan Ideologi pelaku
Dalam beberapa kasus yang terjadi di tanah air, mulai dari bom bunuh diri di Bali I dan II, sekitar kedutaan Australia di Jakarta, di hotel Ritz Carlton dan Jw Marriot I dan II,  motif yang dapat kita simpulkan – dari hasil penyidikan pihak yang berwenang – adalah sentimen agama atau akidah. Harus kita akui, bahwa segelintir dari komunitas muslim di tanah air masih memandang perlu menggunakan kekerasan dalam upaya melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (berdakwah di Jalan Allah), bahkan mungkin menganggapnya sebagai satu-satunya cara untuk melenyapkan kemungkaran di muka bumi. Akar dari cara pandang ini, kalau kita telusuri akan kembali pada salah satu dari dua kutub pro-kontra seputar formalisasi syari’at Islam di tanah air.
Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, menurut pandangan sebagian masyarakat muslim, harus mengaplikasikan syariat Islam secara formal, dijadikan sebagai pijakan dan konstitusi negara. Pendapat demikian ini berangkat dari pemahaman tekstual terhadap firman Allah dalam Al-Qur’an (Qs. 2:208, 5:49). Sementara sebagian muslim lainnya berpendapat, bahwa Syari’at Islam tidak harus diformalkan dalam sebuah institusi Negara, justru syariat Islam harus diamalkan oleh setiap pemeluk Islam secara natural dan penuh kesadaran, tidak perlu adanya penekanan dari sebuah institusi atau lembaga. Pendapat ini dilandaskan pada hasil ijtihad para ulama dengan melakukan pendekatan antara teks Al-Qur’an maupun as-Sunnah dengan realitas dan kemaslahatan.
Menurut saya, dua wacana di atas harus direspon positif dan diapresiasi oleh semua komponen bangsa, terlepas dari mana yang lebih tepat untuk diterapkan dalam konteks negara Indonesia. Karena beberapa hal; Pertama, komunitas muslim di Indonesia adalah mayoritas, maka yang disuarakannya pun akan sangat logis untuk didengarkan.
Kedua, realitas heterogennya umat Islam di Indonesia, hampir semua madzhab akidah, fikih dan sekte pemikiran berkembang secara pesat. Hal ini menuntut timbulnya multi penafsiran terhadap ajarannya dan menafikan mono-tafsir.
Ketiga, iklim demokrasi yang semakin kondusif dalam beberapa tahun terakhir telah mengakomodir kebebasan berekspresi, berpendapat dan berserikat. Kita tidak bisa memaksa para pengusung formalisasi syari’at untuk bungkam atau melarang dalam mewacanakannya ke publik, karena itu adalah wujud berpendapat yang haknya dilindungi oleh undang-undang, begitu juga kalangan yang kontra terhadap formalisasi syari’at, mereka punya hak untuk menyuarakannya, mempengaruhi publik dan pemerintah dalam hal ini.
Yang penting dicatat dalam masalah ini adalah, bagaimana dua sudut pandang ini bisa ditemukan sehingga ada titik temu yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Bagaimana agar konflik “penafsiran” ini tidak menimbulkan teror, intimidasi dan huru-hara yang mengoyak ketentraman masyarakat. Dan bagaimana agar kebijakan pemerintah – dalam masalah ini – berjalan sesuai dengan keinginan publik, yang multi etnis, suku dan keyakinan sehingga bisa diterima oleh seluruh komponen bangsa.
Dari polemik di atas, para pelaku teror, intimidasi dan bom bunuh diri yang mengatas namakan agama, memiliki keyakinan bahwa perintah amar ma’ruf dan nahi munkar (berdakwah di jalan Allah) di bumi Indonesia perlu dilakukan dengan cara yang “tegas”, walaupun berakibat timbulnya korban jiwa, hancurnya infrastruktur, dan lenyapnya ketentraman dalam masyarakat. Keyakinan mereka ini, diperkuat dengan klaim bahwa Islam yang benar adalah apa yang mereka fahami, sementara yang lain tidak murni atau bahkan dikatagorikan sebagai komunitas syirik.
Akan tetapi, tidak berarti seluruh aktivis pengusung formalisasi syari’at di tanah air berpandangan sama seperti katagori di atas yang terkesan kaku dan keras. Kenyataannya banyak dari kalangan yang pro-formalisasi syari’at mengutuk peristiwa bom bunuh diri, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak harus terjadi di tanah air. Seperti pernyataan sikap Partai Keadian Sejahtera (PKS) yang mengutuk peristiwa ini, dan respon Abu Bakar Ba’asyir pimpinan jama’ah Ansharut Tauhid, yang menurutnya hal semacam ini tidak perlu terjadi, karena justeru akan menghambat proses dakwah.
Menjaga Hak Hidup: Pilar Maqasid Syari’ah
Sejauh ini, para pelaku bom bunuh diri di berbagai Negara termasuk di tanah air merupakan orang-orang yang direkrut oleh jaringan tertentu. Mereka yang telah menjadi anggota akan dikader secara militan, didoktrin ideologi khusus, bahkan difasillitasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Untuk kepentingan ini, dengan berkedok ajaran Islam, dalam diri mereka akan dipupuk sikap benci terhadap selain komunitas muslim, ditanam pemahaman legalitas (halal-nya) darah orang-orang non muslim dan para pelaku kemaksiatan kapan dan di manapun, sehingga dapat dilenyapkan dengan cara apapun, tanpa harus membedakan non muslim yang dilindungi secara hukum dan lainnya.
Dalam kerangka maqasid syari’ah (tujuan syari’at), hifdz an Nafs (menjaga hak hidup) termasuk dalam katagori ad Dharuriyat (hal-hal primer) yang akan selalu diperhatikan dan dijaga keberlangsungannya, bersentuhan dengan wilayah ini, berarti bersentuhan dengan pilar sangat sakral dalam maqasid syari’ah (tujuan syari’at). Untuk itu, syari’at Islam dan agama apapun menurut Abu Hamid al Ghazali (al Mustashfa: 2/482) dan Abu Ishak as Syatibi (al Muwafaqat: 2/266), melarang pemeluknya untuk menganiaya apalagi sampai menghabisi nyawa sendiri atau hak hidup orang lain (Qs. 6: 151), dengan tanpa adanya sebab yang membolehkan, seperti peperangan atau hukuman atas tindakan sebelumnya (Qishah), maka Islam memperbolehkannya. “Dan dalam Qishah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (Qs. 2:179).
Berkaitan dengan kasus bom bunuh diri akhir-akhir ini, ada dua pertanyaan menarik: Apakah perjuangan untuk formalisasi syari’at – oleh para pengusungnya – harus melalui mekanisme “huru-hara”?, sedangkan pada saat yang sama iklim demokrasi di negara kita mengakomodir dan memungkinkannya untuk diperjuangkan melalui jalan damai (politik praktis). Apakah kewajiban untuk amar ma’ruf nahi munkar (berdakwah di jalan Allah) tetap dibenarkan dengan cara-cara kekerasan? Sedangkan kondisi di tanah air yang heterogen baik di internal umat Islam maupun di masyarakat secara keseluruhan menuntut untuk terciptanya toleransi antar sesama.
Realitas membuktikan bahwa mayoritas penggerak formalisasi syari’at memilih untuk berdiplomasi lewat jalur politik praktis, terbukti dengan adanya partai-partai politik berideologi Islam, walaupun sebagian lainnya masih memandang tabu dan haram mengikuti alam demokrasi. Dan  para ulama pun telah sepakat bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilaksanakan dengan mekanisme yang menimbulkan fitnah, seperti timbulnya ketidak tentraman di tengah masyarakat, dalam hal ini Rasulullah SAW sebenarnya telah mengingatkan fase-fasenya, yaitu: dengan kekuatan, atau dengan ucapan atau kalau tidak memungkinkan maka cukup dengan mengingkari di dalam hati (HR. Muslim: 49).
Apapun konteknya, dalam kacamata maqasid syari’ah (tujuan syari’at), Hifdz an Nafs (menjaga hak hidup) merupakan ad Dharuriyat (hal-hal primer) yang akan selalu diperhatikan dan dijaga keberlangsungannya. Hak hidup ini dijamin oleh agama untuk dirasakan oleh semua orang tanpa pandang bulu. Para ulama pun berpendapat bahwa menghapus kedzaliman (saling menganiaya) di tengah umat manusia adalah al Maqasid al Udzma (tujuan utama) diutusnya para Rasul ke muka bumi.
Untuk itu, kalaupun benar bom bunuh diri baru-baru ini berdalih amar ma’ruf nahi munkar (berdakwah di jalan Allah) yang diyakini dan dilakukan oleh pelakunya, maka pada hakikatnya bersumber dari dangkalnya pemahaman terhadap ajaran agama, bukan dari ajaran agama itu sendiri. Wallahu’a’lam


Oleh Arwani Syaerozi*
*Penulis adalah alumnus Madrasah Aliyah Al-Hikamus Salafiyah (MHS) Babakan Ciwaringin Cirebon, sedang menyelesaikan program S3 bidang kajian Maqasid Syari’ah dan problematika kemanusiaan di universitas Mohammed V Maroko

Rabu, 26 Oktober 2011

Cara Mudah Membantah Ajaran Sesat Wahhabi

Cara Mudah Membantah Ajaran Sesat Wahhabi (Dari Kitab Sharih al Bayan Fi ar Radd ‘Ala Man Khlaf al Qur’an karya al Imam al Hafizh al Muhaddits Syaikh al Islam Abdullah al Harari al Habasyi)
Anda katakan kepada orang-orang Wahabi: “Ajaran agama kalian itu baru, dirintis oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab. Buktinya, tidak ada seorang muslim-pun sebelum Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang mengharamkan perkataan: ”Yaa Muhammad (Wahai Muhammad)…”. Bahkan orang yang oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab disebutnya sebagai “Syaikh al-Islam”; yaitu Ahmad ibn Taimiyah telah membolehkan mengucapkan “Ya Muhammad…” bagi orang yang sedang kesusahan karena tertimpa semacam lumpuh pada kakinya (al-Khadar). Ibn Taimiyah mengatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang tertimpa semacam kelumpuhan pada kaki yang tidak dapat digerakan untuk mengucapkan “Yaa Muhammad…”. Yang dimaksud al-khadar pada kaki di sini bukan artinya “kesemutan”, juga bukan lumpuh yang permanen, tapi yang dimaksud adalah lumpuh sementara karena terlalu lama duduk atau semacamnya. Rekomendasi Ibn Taimiyah ini ia dasarkan kepada apa yang telah dilakukan oleh sahabat Abdullah ibn Umar, bahwa suatu ketika sahabat yang mulia ini tertimpa al-khadar pada kakinya, lalu ada orang yang berkata kepadanya: “Sebutkan orang yang paling engkau cintai!!”, kemudian Abdullah ibn Umar berkata: “Yaa Muhammad…”.
Anda katakan kepada kaum Wahhabi: “Ibn Taimiyah yang kalian sebut sebagai “syaikh al-Islam” membolehkan perkara di atas, sementara kalian menamakan itu sebagai kekufuran. Dalam hal ini, bahkan Ibn Taimiyah sendiri terbebas dan tidak sejalan dengan apa yang kalian yakini. Dengan dasar apa kalian mengaku sebagai bagian dari orang-orang Islam?! Kalian bukan orang-orang Islam, karena kalian mengkafirkan seluruh umat Islam yang mengucapkan ”Yaa Muhammad…”, padahal tidak ada seorangpun yang mengharamkan perkataan ”Yaa Muhammad…” kecuali kalian sendiri yang pertamakali mengharamkannya. Dan sesungguhnya barangsiapa mengkafirkan umat Islam maka dia sendiri yang kafir, karena umat ini akan senantiasa akan berada dalam agama Islam hingga hari kiamat. Imam al Bukhari dalam kitab Shahih meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
لَنْ يَزَال أمْرُ هذِه الأمّةِ مُسْتَقِيْمًا حَتّى تَقُوْمَ السّاعَةُ أوْ حَتّى يَأتِيَ أمْرُ اللهِ (روَاه البُخَاري)
“Senantiasa urusan umat ini akan selalu dalam kebenaran hingga datang kiamat, atau hingga datang urusan Allah” (HR. al Bukhari)
Jika mereka berkata: ”Ibn Taimiyah tidak berkata demikian!!”, maka anda katakan kepada mereka: ”Ada buktinya, itu ditulis oleh Ibn Taimiyah dalam bukunya berjudul ”al Kalim ath Thayyib”. Para ulama yang menuliskan biografi Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ”al Kalim ath Thayyib” benar-benar sebagai salah satu dari karya-karyanya, di antaranya disebutkan oleh Shalahuddin ash-Shafadi; salah seorang yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri dan banyak mengambil darinya.
Kemudian salah seorang pemuka kaum Wahhabi; al Albani, juga mengakui bahwa al Kalim ath Thayyib adalah salah satu karya Ibn Taimiyah, dan bahkan ia membuat catatan tambahan (ta’liq) terhadap kitab tersebut, walaupun ia berkata bahwa sanad tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar tersebut adalah dla’if. Namunbegitu, walaupun al-Albani menilai sanad tentang perkataan Ibn Umar tersebut dla’if tetapi penilaiannya itu sama sekali tidak memberikan pengaruh apapun, oleh karena Ibn Taimiyah telah mengutip riwayat itu dalam kitabnya tersebut dengan menamakannya ”Pasal: Tentang kaki apa bila terkana al-khadar”, lalu ia menamakan kitabnya tersebut dengan ”al-Kalim ath-Thayyib”, artinya ”Perkataan yang baik” (Lihat kitab, h. 73).
Bahkan, seandainya benar sanad riwayat tersebut berkualitas dla’if (seperti yang sangka al Albani); tetapi Ibn Taimiyah telah jelas-jelas membolehkan hal itu yang karenanya ia mengutip dalam kitabnya tersebut, dan ia namakan dengan ”al Kalim ath Thayyib”. Dari sini anda katakan kepada mereka: ”Dengan demikian siapa sebenarnya yang telah kafir, apakah Ibn Taimiyah yang kalian sebut sebagai ”Syaikh al-Islam” atau kalian sendiri?! Secara tersirat sebenarnya orang-orang wahhabi tersebut telah mengkafirkan Ibn Taimiyah; baik mereka sendiri sadar atau tidak. Sampai di sini tentu mereka tidak berani untuk mengatakan Ibn Taimiyah kafir, juga mereka tidak akan mengatakan bahwa mereka sendiri sebagai orang-orang kafir. Mereka tidak akan memiliki jawaban untuk ini.  Dari sini kita katakan kepada mereka: ”Jika demikian, maka benar bahwa ajaran agama kalian itu adalah ajaran yang baru. Karena dengan pendapat kalian yang mengharamkan perkataan ”Yaa Muhammad…” berarti kalian telah mengkafirkan seluruh umat Islam dari semenjak masa Rasulullah hingga masa kita sekarang ini. Dan bahkan baik disadari oleh kalian atau tidak; kalian telah mengkafirkan ”Imam utama” kalian, yaitu Ibn Taimiyah yang jelas-jelas telah membolehkan perkataan ”Yaa Muhammad…” saat kaki terkena al-khadar”. Mereka akan terdiam seribu bahasa tidak memiliki argumen.
Terlebih dari pada itu semua, tentang penilaian al-Albani yang mengklaim sanad riwayat perkataan Ibn Umar tersebut sebagai sanad yang dla’if, penilaiannya ini sedikitpun tidak dapat dijadikan landasan, karena dia seorang yang tidak memiliki otoritas untuk melakukan penilaian hadits; dla’if atau shahih. Dia bukan seorang hafizh al-hadits, bahkan ia sendiri mengaku bahwa ia tidak hafal walaupun hanya sepuluh buah hadits saja dengan sanad-sanadnya hingga Rasulullah. Ia hanya mengaku-aku bagi dirinya sendiri bahwa dia adalah ”muhaddits kitab” bukan ”muhaddits hifzh”. [Gelar ”aneh” yang ia buat sendiri].
Kemudian jika orang-orang Wahhabi berkata: ”Ibn Taimiyah meriwayatkan perkataan Ibn Umar tersebut dari seorang perawi yang masih diperselisihkan (Mukhtalaf fih)”, maka anda katakan kepada mereka: ”Ibn Taimiyah jelas-jelas meriwayatkannya dalam kitabnya tersebut, itu artinya sebagai bukti bahwa ia menganggap baik perkataan ”Ya Muhammad…”, baik riwayat tersebut shahih atau tidak shahih. Karena seorang yang meriwayatkan sesuatu yang batil sementara ia tidak mengingkarinya itu artinya ia menganggap baik sesuatu tersebut dan menyeru kepadanya.
Kisah tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar di atas diriwayatkan oleh al Hafizh Ibn as Sunny (Lihat ’Amal al Yaum Wa al Laylah, h. 72-73), juga oleh Imam al Bukhari dalam kitab al Adab al Mufrad (Lihat h. 324) dengan jalur sanad selain sanad Ibn as Sunny. Demikian pula telah diriwayatkan oleh al Hafizh al Kabir Imam Ibrahim al Harbi; seorang yang dalam ilmu dan sikap wara’-nya serupa dengan Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam kitab Gharib al Hadits, yang juga dengan jalur sanad selain sanad Ibn as-Sunny (Lihat Gharib al Hadits, j. 2, h. 673-674). Diriwayatkan pula oleh al Hafizh an Nawawi (Lihat al Adzkar, h. 321), oleh al Hafizh Ibn al Jazari dalam kitab al Hishn al Hashin dan dalam kitab ’Iddah al Hishn al Hashin (Lihat h. 105), dan oleh asy Syaukani; seorang yang dalam beberapa masalah sejalan dengan pemahaman Wahabi. Lihat -wahai orang-orang Wahabi-, asy Syaukani meriwayatkannya dalam Tuhfah adz-Dzakirin (Lihat, h. 267), sementara kalian menganggap perkataan ”Yaa Muhammad…” sebagai kekufuran?! Wahai kaum Wahhabi hendak lari kemana kalian?! Jelas tersingkap ”kedok sesat ” ajaran kalian. Lihat pula, Ibn Taimiyah sebagai imam kalian, dan sebagai imam utama dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang banyak mengambil faham sesatnya telah meriwayatkannya dalam karyanya sendiri yang ia namakan dengan ”al-Kalim ath-Thayyib”.
Jika orang-orang Wahhabi berkata: ”Kita yang benar, sementara Ibn Taimiyah tidak benar, ia telah menghalalkan perbuatan syirik dan kufur”, kita katakan kepada mereka: ”Itu berarti kalian telah mengkafirkan imam terkemuka kalian sendiri yang merupakan referensi utama bagi kalian dalam akidah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) dan dalam banyak kesesatannya. Dan itu berarti merupakan pengakuan dari diri kalian sendiri bahwa kalian mengikuti seorang yang kalian anggap sebagai orang kafir, padahal dia adalah rujukan utama kalian dalam berbagai permasalahan akidah yang kalian yakini. Lihat, kalian telah mengikuti Ibn Taimiyah dalam penyataan kufurnya bahwa Kalam Allah dan Kehendak-Nya adalah baharu dari segi materi (al-Afrad) dan qadim dari segi jenis (al-Jins/an-Nau’). Kalian juga mengikutinya dalam keyakinannya bahwa jenis alam ini azaly (tidak bermula) ada bersama Allah bukan sebagai makhluk. Lihat, dengan kekufurnya ini kalian telah menjadikan dia sebagai ikutan dan sandaran dalam segala keyakinan kalian yang nyata-nyata hal itu menyalahai kebenaran, sementara kalian menyalahi dia pada perkara di mana ia telah sesuai dengan kebenaran di dalamnya; yaitu dalam kebolehan mengucapkan kata “Yaa Muhammad…” ketika dalam keadaan sulit atau saat tertimpa musibah.
Kemudian kita katakan pula kepada mereka; ”Pengakuan bahwa kalian sebagai kelompok salafi adalah bohong besar. Siapakah di antara ulama Salaf yang melarang mengatakan kata “Yaa Muhammad…” saat dalam kesulitan? Karena itu haram bagi kalian mengaku sebagai kaum Salafi, karena penamaan ini menipu banyak orang awam, padahal kalian sedikirpun tidak berada di atas keyakinan Ulama Salaf, juga tidak di atas keyakinan Ulama Khalaf, tetapi kalian datang dengan membawa agama dan ajaran yang baru. Sesungguhnya mengucapkan kata “Yaa Muhammad…” untuk tujuan meminta tolong (istigatsah) adalah perkara yang telah disepakati kebolehannya oleh para ulama Salaf dan ulama Khalaf; baik di masa Rasulullah masih hidup atau setelah beliau wafat.
Adapun yang dilarang dalam syari’at adalah mengucapkan kata “Yaa Muhammad…” di hadapan wajah Rasulullah di masa hidupnya untuk tujuan memanggilnya, yaitu setelah turun firman Allah
لاَتَجْعَلُوا دُعَآءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَآءِ بَعْضَكُم بَعْضًا (النور: 63)
”Janganlah kalian menjadikan panggilan terhadap Rasulullah di antara kalian seperti sebagian kalian memanggil sebagian yang lainnya” (QS. An-Nur: 63).
Sebab diharamkan perkara tersebut adalah karena ada suatu kaum yang bersifat kasar memanggil Rasulullah dari laur rumahnya dengan mengatakan ”Wahai Muhammad (Yaa Muhammad) keluarlah engkau kepada kami…!!”. Dari sebab ini kemudian Allah mengharamkan perkara ini karena untuk memuliakan Rasulullah.
Adapun tentang seorang sahabat yang buta yang bertawassul dengan Rasulullah supaya ia mendapatkan kesembuhan dari butanya; yang kemudian Rasulullah mengajari sahabat buta tersebut beberapa kalimat doa untuk ia bacakan; maka bacaannya tersebut tidak dibacakan hadapan Rasulullah. Doa tersebut yaitu:
اللّهُمّ إنّي أسْألُكَ وَأتَوَجَّهُ إلَيكَ بِنَبِيّنَا مُحَمّدٍ نَبيّ الرّحْمَة يَا مُحَمّدُ إنّي أتَوَجّهُ بِكَ إلَى رَبّي عَزّ وَجَلّ فِي حَاجَتِيْ
”Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu; Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad sesungguhnya saya denganmu menghadap kepada Tuhan saya dalam kebutuhanku ini”.
Dalam riwayat hadits ini Rasulullah berkata kepada sahabat buta tersebut: ”Pergilah ke tempat wudlu, berwudlu-lah, lalu kerjakan shalat dua raka’at, kemudian berdoalah dengan membaca doa-doa itu” (HR. Ath Thabarani, lihat al Mu’jam al Kabir, j. 9, h. 17-18 dan al Mu’jam ash Shagir, h. 201-202). Sahabat buta tersebut kemudian keluar dari majelis Rasulullah, beliau berwudlu, lalu shalat dua raka’at, dan membacakan doa yang berisi tawassul dengan Rasulullah tersebut. Setelah beliau menyelesaikan itu semua maka beliau datang kembali menghadap Rasulullah dalam keadaan sudah dapat melihat. Dengan demikian doa yang dibacakan oleh sahabat buta tersebut tidak dihadapan Rasulullah pada masa hidup beliau saat itu. Dari sini kita katakan kepada kaum Wahabi; ”Kalian telah mengambil pendapat Ibn Taimiyah dalam karyanya berjudul at Tawassul Wa al Wasilah bahwa tawassul hanya boleh dilakukan dengan orang yang hadir di hadapan dan dalam keadaan masih hidup, namun terhadap tawassul atau istighatsah dengan yang sudah meninggal; yang padahal itu oleh Ibn Taimiyah sendiri juga dikatakan sebagai perkara baik, seperti bertawassul dengan Rasulullah setelah wafatnya; kalian menyalahinya, bahkan kalian mengklaim bahwa perkara tersebut adalah syirik dan kufur?! Alangkah naifnya kalian, betul-betul jauh dari kebenaran”.
Kemudian dari pada itu, kita katakan pula kepada mereka untuk membantah pendapat mereka yang telah mengatakan bahwa Allah berada di arah atas; atau berada di arsy; ”Seseorang yang dalam posisi berdiri, apakah dari segi jarak posisi kepalanya lebih dekat kepada arsy dibanding seorang yang sedang dalam posisi sujud?” Mereka pasti menjawab bahwa yang dalam posisi berdiri lebih dekat kepada arsy. Lalu kita katakan kepada mereka: ”Kalian telah menjadikan arsy sebagai tempat bagi Allah, padahal ada hadits Rasulullah yang menolak pemahaman sesat kalian ini; adalah riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah bersabda:
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فأكْثِرُوا الدّعَاء (رَوَاه مُسْلِمٌ)
”Seorang hamba yang paling ”dekat” kepada Allah adalah saat dia dalam posisi sujud, maka hendaklah kalian memperbanyak doa (pada posisi tersebut)” (HR. Muslim).
Kalian mengatakan bahwa metode takwil sama dengan ta’thil; artinya menurut kalian memberlakukan takwil sama saja dengan mengingkari wujud Allah dan mengingkari sifat-sifat-Nya; atau dalam istilah kalian ”at-ta’wil ta’thil”. Ini artinya ketika kalian menolak takwil maka berarti sama saja kalian mengakui bahwa keyakinan kalian adalah keyakinan batil, karena keyakinan kalian berseberangan dengan pemahaman zahir (literal) hadits tersebut”.
Adapun kami kaum Ahlussunnah memahami firman Allah:
الرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
dan seluruh ayat-ayat atau hadits-hadits Nabi yang secara zahir (literal) seakan bahwa Allah memiliki tempat dan arah, atau seakan bahwa Allah memiliki anggota badan, atau seakan bahwa Allah memiliki bentuk (batasan), atau bergerak, dan pindah, atau sifat-sifat apapun yang seakan bahwa Allah serupa dengan makhuk-Nya; ini semua kita pahami dengan metode takwil, baik dengan metode takwil Ijmali atau takwil tafshili, sebagaimana hal itu telah dicontohkan oleh beberapa orang dari ulama Salaf, yang kemudian diikuti oleh para ulama Khalaf. Kita katakan; ”Makna teks-teks semacam itu semua bukan dalam makna zahirnya, tetapi itu semua memiliki makna-makna yang sesuai bagi keagungan Allah yang sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Inilah yang dimaksud dari perkataan sebagian ulama Salaf ”Bila Kayf Wa La Tasybih”. Ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa makna ”Bila Kayf” yang dimasud adalah bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihat semacam yang telah disebutkan di atas tidak dipahami dalam pengertian benda atau sifat-sifat benda. Inilah pemahaman yang benar dari maksud perkataan ulama Salaf dan ulama Khalaf ”Bila Kayif”, tidak seperti yang dipahami oleh orang-orang Wahabi; dalam mulutnya mereka mengatakan ”Bila Kayf”, tapi dalam hati mereka meyakini adanya kayf (sifat benda).
Sesungguhnya metode takwil tafshili telah berlakukan oleh para ulama Salaf sekalipun tidak oleh semua mereka. Imam Ahmad ibn Hanbal misalkan, telah mentakwil firman Allah: ”Wa Ja’a Rabbuka” (QS. Al-Fajr: 22) dengan mengatakan bahwa yang dimaksud ”ja’a” dalam ayat tersebut adalah ”datangnya” pahala dari Allah, dalam riwayat lainnya beliau mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ”datangnya perintah Allah” (Lihat al Bidayah Wa an Nihayah, j. 10, h. 327. Imam al Baihaqi mengatakan sanad riwayat ini tidak memiliki cacat sedikitpun). Sementara kalian wahai kaum Wahabi mengatakan dalam mamahami ayat tersebut bahwa Allah turun secara indrawi. Dalam keyakinan kalian bahwa Allah pindah dari arsy ke bumi sebagaimana para Mala’ikat turun secara indrawi; yaitu turun dengan pindah dari arah atas ke arah bumi pada hari kiamat kelak. Seandainya Imam Ahmad berkeyakinan seperti keyakinan kalian maka tentu beliau tidak akan mentakwil ayat di atas; tentu beliau akan memahami ayat tersebut sesuai zahirnya seperti yang kalian pahami, tapi terbukti beliau telah melakukan takwil. Perkataan Imam Ahmad ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi dan disahehkannya dalam kitab Manaqib al-Imam Ahmad.
Demikian pula firman Allah ”Yauma Yuksyafu ’An Saq” (QS. Al-Qalam: 42) oleh sebagian ulama Salaf telah ditakwil secara tafshili; mereka mengatakan yang dimaksud kata “as-Saq” dalam ayat ini adalah “huru-hara (kesulitan) yang teramat dahsyat”, (artinya bahwa Allah akan mengangkat huru-hara tersebut di hari kiamat kelak dari orang-orang mukmin) (Lihat Fath al Bari, j. 13, h. 428, al Asma Wa as Shifat, h. 345). Sementara kalian wahai orang-orang Wahabi memaknai makna “saq” pada ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah memiliki betis sebagaimana manusia memiliki betis yang merupakan salah satu anggota badannya. Bagaimana kalian mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya dengan keyakinan kalian yang rusak ini?! Dengan demikian menjadi jelas bahwa pengakuan kalian sebagai para pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bohong besar.
Sementara itu Imam al Bukhari telah menyebutkan takwil bagi dua ayat dari al Qur’an. Pertama; beliau mentakwil firman Allah:
كُلُّ شَىءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَه (القصص: 88)
Imam al Bukhari mengatakan bahwa makna “al Wajh” dalam ayat tersebut adalah “al Mulk”; artinya kerajaan atau kekuasaan (lihat Shahih al Bukhari, tafsir Surat al Qasas). Takwil ayat ini demikian juga telah disebutkan oleh Imam Sufyan ats Tsauri dalam kitab Tafsir-nya (Lihat Tafsir al Qur’an al Karim, h. 194).  Kedua; Imam al Bukhari mentakwil firman Allah:
هُوَ ءَاخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا (هود: 56)
Ayat ini ditakwil oleh beliau dalam makna “al mulk wa as sulthan” artinya “kerajaan dan kekuasaan” (Lihat Shahih al Bukhari, Tafsir Surat Hud). Imam al Bukhari tidak pernah mentakwil ayat ini seperti yang kalian yakini dalam pengertian bahwa Allah bersentuhan. Benar, makna literal dari ayat tersebut seakan Allah menyentuh setiap ubun-ubun dari segala binatang, tapi memaknainya seperti demikian ini jelas merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), karena Allah tidak disifati dengan menyentuh, dan atau disentuh; sebab menyentuh maupun disentuh adalah dari tanda-tanda makluk.
Adapun takwil hadits riwayat Imam Muslim yang telah kita sebutkan di atas adalah bahwa makna “al Qurb” di sini bukan dalam pengertian dekat dari segi jarak. Demikian pula dengan redaksi-redaksi hadits yang seakan Allah berada atau bertempat di arah atas; itu semua tidak boleh dipahami secara literal (harfiah), tetapi harus dipahami dengan metode takwil. Dengan demikian bagaimana kalian mengatakan bahwa metode takwil sama saja dengan ta’thil (menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah)?! Juga dengan dasar apa kalian mengatakan bahwa metode takwil adalah kufur?!
Anda katakan kepada mereka: “Jika kalian tidak memahami hadits riwayat Imam Muslim ini dengan makna zahirnya (harfiah) maka berarti kalian telah melakukan takwil, dan bila demikian maka berarti kalian telah menyalahi diri kalian sendiri yang anti terhadap takwil. Kalian mengatakan: “Takwil adalah ta’thil”, sementara kalian sendiri memberlakukan takwil.
REFORMASI
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
MAKALAH
Di susun dan diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Tarikh Tasyri'
Dosen pengampuh: Mahsun. M.Ag.

Oleh:
Sukabul
Sofatun Nisa'
PROGRAM STUDI MUAMALAH JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AN-NAWAWI
PURWOREJO
2009
REFORMASI
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas dalam tataran dunia Islam internasional, bahkan disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Meskipun demikian Islam dengan serangkaian varian hukumnya belum bisa diterapkan sepenuhnya dinegara kita ini.
Dengan mempelajari sejarah perkembangan hukum Islam -dinegara yang dikatakan penduduknya mayoritas beragama Islam- dari berbagai periode sampai masa sekarang ini, dengan harapan dapat kita jadikan acuan dalam memperjuangkan hukum Allah dibumi kita tercinta ini. Karena kita tahu -diakui ataupun tidak- hukum Allah lah sebaik-baiknya hukum yang ada.
Selain itu perlu kita cermati pen-tasyri'-an dan taqnin penerapan fikih -yang akhir-akhir ini lebih cenderung diartikan sebagai hukum Islam- dizaman kita ini, baik dari segi pelaksaannya oleh warga negara serta pengakuan negara melalui kodifikasi hukum Islam sebagai hukum resmi negera. Setelah itu baru kemudian beranjak kepada pemahaman konsep reformasi hukum Islam dan gagasan para tokoh-tokoh Islam dinegara ini.
PEMBAHASAN
A. Istilah Hukum Islam di Indonesia
Al-tasyri', al-fiqh, dan al-qanun, setidaknya dari ketiga istilah inilah diambil makna hukum Islam di Indonesia. Hal ini bukan berarti ketiga istilah yang telah disebut awal bermakna satu. Bahkan terkadang didapatkan analisis ahli hukum Islam yang memberikan arti ketiga istilah tersebut dengan natijah dan esensi yang mempunyai perbedaan makna yang signifikan bukan hanya pada tataran semantik belaka namun juga pada sisi hirarki maknanya. Berikut kami paparkan hasil dari analisis para tokoh intelektual Islam dinegara ini terhadap ketiga istilah tersebut:
1. Analisis Jimly ash-Shiddieqi
Dalam makalahnya yang berjudul "Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional" ketika menerangkan Hirarki Makna mengenai Hukum Islam, ia menyinggung ketiga istilah tersebut. Berikut ini kutipan pendapat Jimly:
"Sehubungan dengan digunakannya istilah-istilah hukum Islam, syari’at Islam, fiqh Islam, dan qanun Islam tersebut di atas, penting disadari adanya hirarki makna dalam konsep-konsep mengenai hukum Islam tersebut. Melalui pendekatan hirarki makna ini, kita akan mengetahui bahwa istilah-istilah yang biasa digunakan dalam hubungannya dengan terminologi hukum Islam itu, tidak saja mengandung perbedaan pengertian semantik, tetapi memang berbeda secara konseptual dan maknawi karena perkembangan sejarah. Pada hirarki pertama, pengertian kita tentang norma atau kaidah hukum Islam itu bersifat konkrit dan kontan yang terkait dengan proses turunnya wahyu dari Allah swt. melalui Rasulullah saw yang langsung menjadi jawaban atas pertanyaan yang timbul atau langsung menjadi solusi terhadap aneka persoalan yang terjadi di masa kerasulan nabi Muhammad saw. Pada waktu itu, maka setiap wahyu yang mengandung norma hukum baik yang berisi kaidah larangan (haromat), kewajiban (fardhu atau wajibat), anjuran positif (sunnah), anjuran negatif (makruh), ataupun kebolehan (ibahah), dapat langsung kita sebut sebagai norma hukum (al-ahkam) yang di kemudian hari, ketika umat Islam membutuhkan identitas pembeda, disebut dengan hukum Islam.
pada hirarki makna yang kedua, pengertian hukum Islam itu dapat dikaitkan dengan masa sepeninggal Rasulullah saw. ketika dibutuhkan usaha pengumpulan dan penulisan wahyu Ilahi itu ke dalam satu naskah."[1]
Sehubungan dengan itu, -masih menurut Jimly- bahwa legitimasi negara terhadap keberadaan sub-sistem hukum syari’at Islam di Indonesia, memerlukan format hukum tertentu yang disepakati bersama. Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan adanya tata urutan yang mencakup UUD, Ketetapan MPR, Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah. Dalam Pasal 2 ayat (7) Ketetapan MPR tersebut ditegaskan bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Maka berdasarkan prinsip "lex superiore derogat lex infiriore" secara hirarkis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Akan tetapi, dalam hukum juga berlaku prinsip "lex specialis derogat lex generalis" yang berarti bahwa peraturan yang khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang sifatnya umum.[2]
2. Analisis Jaih Mubarak
Hukum Islam seringkali dipahami sebagai terjemahan dari term fikih (al-fiqh), al-syarî`at, al-hukm al-Islâmî, Syarî`at Law, dan Islamic Law. Padahal, masing-masing istilah tersebut memiliki kerangka pemikiran tersendiri. Oleh karena itu, ulama dalam berbagai tulisan dan forum telah berusaha ikut serta menjelaskan terminlogi-terminologi tersebut sehingga antara yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan dan ditempatkan secara proporsional.[3]
Berlainan dengan tanggapan awal, Jaih Mubarak dalam analisisnya mengatakan bahwa sebagian ulama' cenderung menyamakan antara istilah al-tasyri' dan al-fiqh. Dan hal ini bukan berarti tanpa masalah, selain dua istilah tersebut berasal dari kata syari'ah dan al-fiqh juga disebabkan dalam konteks tertentu keduanya memang berbeda. Syari'ah dinilai sebagai khithob Allah yang qoth'iy. Sedangkan al-fiqh merupakan bentuk bentuk interpretasi ulama' terhadap al-Quran dan al-Sunnah.[4]
Pendapat Jaih diatas adalah merupakan hasil analisis Ibrahim Hosen (mantan Guru Besar Hukum Islam IAIN -sekarang UIN- Syarif Hidayatullah Jakarta dan mantan ketua Komisi Fatwa MUI). Yang mana menurut beliau hukum Islam itu ada dua: pertama, hukum Islam yang secara langsung dan tegas ditetapkan oleh Allah melalui dalil qath`iy; dan kedua, hukum Islam yang ditetapkan pokok-pokoknya saja dan ditetapkan oleh Allah melalui dalil zhanniy. Hukum Islam yang pertama disebut syari`ah (al-syarî`at). Syari`ah diyakini bersifat konstan, sempurna, dan tetap berlaku universal (sepanjang zaman), tidak mengenal perubahan dan tidak dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Sedangkan hukum Islam yang kedua disebut fikih. Fikih bersifat dinamis (fleksibel), tidak bersifat universal, dan hukum-hukumnya pun mengalami perubahan sesuai zaman dan waktu.[5]
Gagasan Ibrahim Hosen mengenai syari`ah dan fikih merupakan penyederhanaan dari kerancuan pemahaman mengenai hubungan antara ajaran dasar agama (Alquran dan hadits) dengan pemahaman ulama terhadap ajaran dasar agama.[6]
Istilah al-qanun menurut Jaih Mubarak sebenarnya hanya istilah teknis yang muncul dan dikenal didunia Islam secara meluas setelah Negara-negara islam merdeka dari cengkeram penjajah barat. Oleh karena itu antara al-tasyri' dengan al-qanun terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Diantaranya perbedaan tersebut adalah bahwa al-tasyri' mengikat karena ketaatan hamba kepada sang pencipta, sedangkan al-qanun mengikat karena adanya kesepakatan.[7]
3. Analisis Yusril Ihza Mahendra
Analisis dari Yusril cenderung berbeda dari sebelumnya. Menurutnya, makna hukum Islam di Indonesia telah sesuai dengan syariat Islam tanpa memperdebatkan istilah, tetapi lebih cenderung ke subtansi maknanya.[8]
Dalam perspektif historis dan Sosiologis Hukum Islam di Indonesia, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, jelaslah bahwa hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah muslim di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui berbagai mass media dan perantara lainnya untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih dan lain sebagainya.
B. Perjalanan Hukum Islam Di Indonesia
Dalam prakteknya penerapan hukum Islam dinegara ini telah melalui berbagai proses yang terkadang terkesan sulit untuk diterapkan. Sebelum beranjak pada pembahasan yang reformasi hukum Islam di Indonesia, sedikit akan kami singgung perjalanan hukum Islam di negara Indonesia pada masa pra penjajahan Belanda sampai pada era reformasi dengan harapan setidaknya apa yang akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.
  1. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi.[9] Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, terutama wilayah indonesia dan malaysia kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara[10] Pengaruh dakwah Islam cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah indonesia yang lainnya. Hal ini terbukti dengan munculnya berbagai kerajaan Islam pada masa itu yang telah menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif dalam wilayah kekuasaan kerajaan tersebut. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
  1. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.[11]
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: Pertama. Dalam Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
Kedua. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
ketiga. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.[12]
  1. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
pada masa ini nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai dibidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.[13]
  1. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[14]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.[15]
Status hukum Islam pada periode ini tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan bahwa kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi kabut rahasia suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.[16]
  1. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Muhammad Dahlan, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.[17]
  1. Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.[18]
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.[19]
C. Konsep Reformasi Dalam Hukum Islam
Dalam sub bab ini akan kami jelaskan tentang bagaimana asas-asas reformasi menurut Islam. Untuk itu, secara khusus akan kami paparkan konsep-konsep reformasi yang terdapat dalam ajaran Islam.
Konsep Reformasi dalam Islam identik dengan islāh, yakni memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu yang belum sempurna, termasuk mengganti yang usang dan rusak. Kata islāh berasal dari kata aslaha-yuslihu- islāh yang berarti lawan daripada kata rusak (fasad). Dalam al-Qur’an, istilah ini sering dikaitkan dengan perbuatan yang merusak dan perbuatan yang buruk. Al-Qur’an memuat istilah islāh dalam beberapa ayat. Antaranya: akhir ayat 220 QS. al-Baqarah:
û $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur 3 y7tRqè=t«ó¡our Ç`tã 4yJ»tGuŠø9$# ( ö@è% ÓyŸxô¹Î) öNçl°; ׎öyz ( bÎ)ur öNèdqäÜÏ9$sƒéB öNä3çRºuq÷zÎ*sù 4 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ yÅ¡øÿßJø9$# z`ÏB ËxÎ=óÁßJø9$# 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNä3tFuZôãV{ 4 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇËËÉÈ
Artinya: Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[20]
Reformasi dalam Islam menurut Kamaruzzaman bukan bermakna mengubah ajaran Islam, namun lebih kepada gerakan untuk kembali kepada Islam, kepada pesan-pesan aslinya, dengan lebih menekankan aspek teologi dalam kesatuan.[21]
Hal ini nampaknya diamini pula oleh Abdul Manan. menurutnya konsep reformasi hukum Islam secara istilah disamakan dengan modernisasi, reaktualisasi, rekonstruksi, tarjih, islah dan tajdid.[22]
Konsep reformasi yang dimaksud Mannan dalam bukunya adalah lebih cenderung diserupakan dengan konsep tajdid (pembaruan) yang mempunyai dua makna: pertama, pembaruan yang berarti mengembalikan segala sesuatu kepada aslinya. Kedua, pembaruan yang berarti modernisasi yaitu apabila tajdid itu sasarannya mengenai hal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar, landasan dan sumber berubah-berubah, seperti metode, siste, teknik, strategi dan lainnya untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi, ruang dan waktu.[23]
Masalah-masalah hukum yang perlu direformasi (diperbarui) adalah hal-hal sebagai berikut:[24]
  1. Manhaj Ilahi, baik tentang akidah, syari’ah atau akhlak untuk mengatur hubungan manusia dengan dengan tuhannya (hablun min Allah) dan hubungan antar sesama manusia.
  2. Fikrah (pemikiran) dan Syakhiyah yang terus maju. Iman dan Islamnya yang telah usang menjadi baru kembali sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu dalam melakukan pembaharuan hukum Islam hendaklah menjauhi hal-hal yang qath’i karena objek yang dapat diperbarui adalah hal-hal yang menyangkut dhanny saja. Dengan menjauhi dari sifat jumud yang mendukung status Qou yang ingin bertahan dengan fatwa-fatwa terdahulu, padahal hukum-hukum tersebut tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat kini.
lebih lanjut Mannan menegaskan statemennya dengan mengutip pendapat Yusuf Qardhawi bahwa yang dimaksud dengan Tajdid adalah berupaya mengembalikannya pada keadaan semula sehingga ia tampil seakan barang baru. Hal itu dengan cara memperkokoh yang lemah, memperbaiki yang usang dan menambal kegiatan yang retak sehingga kembali mendekat pada bentuknya yang pertama, sehingga tajdid al-din bukan berarti bermakna mengubah agama tetapi mengembalikannya menjadi seperti era Rasululloh SAW, para sahabat, dan tabiin.[25]
Dari beberapa pengertian tentang pembaruan, tajdid hukm al-Islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka para mujtahid dengan cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah isthinbat al-hukm yang dibenarkan sehingga menjadikan hukum islam solihun li kulli zaman wa al-makan. Inilah yang didalam istilah Ushul fiqh kemudian dikenal dengan Ijtihad.
Teknik-teknik pembaharuan hukum menurut Abdullah Na'im sebagaimana yang kutip oleh Dedi Supriyadi adalah sebagai berikut:[26]
  1. Takhsis al-qadha (hak penguasa untuk memutuskan dan menguatkan keputusan pengadilan).
  2. Takhayyur; menyeleksi pendapat lintas mazdhab.
  3. interpretasi ulang.
  4. Siyasah al-syari'ah (kebijakan penguasa untuk menerapkan aturan-aturan administrasi yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat).
  5. Tajdid (reformasi) dilakukan dilakukan melalui berbagai keputusan pengadilan.
Ringkasnya, menurut Dedi, proses trasformasi hukum Islam dalam perspektif reformasi hukum Islam terbagi menjadi tiga macam. Yaitu: adaptasi, sekuler, dan kombinasi.[27]
D. Reformasi Hukum Islam di Indonesia: Suatu Keniscayaan
Ahmad Imam Mawardi sebagaimana yang dikutip oleh Dedi menyatakan:
“Bagi pengikut aliran hukum Roscoe Pound (1870-1964), dekan Harvard Law School, yang menekankan peran faktor sosial dalam perjalanan hukum, atau pengikut madzhab hukum kontemporer bernama Legal Incentives School, yang menggunakan model pilihan rasional untuk memperoleh efek hukum yang diharapkan dan untuk kemudian mengunakan kenyataan masyarakat sebagai alat pengukur kelayakan sebuah hukum untuk diterapkan, reformulasi hukum merupakan sebuah kewajaran dan, bahkan, keharusan sejarah. Karena sesungguhnya, fenomena sosial kemasyarakat tidaklah statis atau tetap, melainkan selalu berubah, dan yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri.”[28]
Disinilah, menurut Dedi Supriyadi sebuah peradaban dimulai termasuk reformasi hukum.[29]
Berbeda dengan aliran di atas, aliran madzhab hukum menyatakan bahwa hukum bersifat permanen. Yang harus berubah bukanlah hukum, melainkan pola perilaku masyarakat itu sendiri agar sesuai dengan apa yang dikehendaki hukum. Dalam tataran teoritis, kedua aliran berpikir ini bisa jadi berdiri sendiri-sendiri, namun dalam tataran aplikasi empirik tidak ada satu negara pun yang hanya berpegang pada satu diantara dua aliran hukum di atas, melainkan mengkombinasikannya, meskipun kecenderungan umumnya masih bisa dipetakan seperti tersebut di atas. Kenyataan ini diungkapkan oleh Steven Vago: "Laws maintain the status quo but also provide for necessary changes."[30]
Dalam konteks Indonesia, munculnya pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.
Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum. Ide-ide mereka seakan terkubur oleh fanatisme masyarakat terhadap kitab-kitab kuning. Baru sejak dikenalkannya urgensi pluralisme pemikiran hukum lewat Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Inpres tahun 1991, gagasan yang terpendam lama itu mendapat angin segar untuk bangkit kembali. Setidaknya, respon positif masyarakat bisa dibaca dari animo dan antusiasme mereka terhadap kajian sosiologi hukum dan terbitnya buku Fiqh Sosial-nya Ali Yafie.[31]
Munculnya era reformasi yang menjadi lambang menguatnya civil society dan runtuhnya mitos birokrasi yang memapankan cengkeraman kuku-kuku kekuasaan seakan menjadi awal yang baik bagi terbukanya peluang pengembangan hukum Islam yang mengakar pada social demand dan bukan pada kepentingan politik negara. Dalam analisa Imam Mawardi, ada empat alasan mengapa kita harus mereformasi dan mereformulasi hukum islam di Indonesia. Kutipannya sebagai berikut:
“usaha reformulasi hukum Islam pada masa ini sangat mempunyai peluang, sedikitnya karena empat alasan. Pertama, nuansa perpolitikan yang kerap kali menjadi hambatan manifestasi ide-ide baru pembaharuan hukum tampak mulai melunak dan membuka pintu perubahan. Terjadinya krisis legitimasi di kalangan elite politik, menurut Daniel S. Lev, seringkali menjadi peluang nyata bagi munculnya reformasi atau reformulasi hukum. Kedua, menguatnya kelas menengah (middle class) yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa dan profesional. Kelas yang disebut sebagai linchpin oleh Lev dalam menjelaskan gerakan hukum ini menjadi the determining factor dalam perubahan-perubahan hukum di Eropa dan juga di Asia dan Afrika paska kolonial. Indonesia sendiri tentu bukan sebuah pengecualian. Munculnya pemikiran hukum yang cukup baru dan berani di kalangan yang kerap kali dicap sebagai tradisional serta maraknya kajian-kajian ilmiah di kalangan mahasiswa, plus demonstrasinya, merupakan salah satu qarinah bangkitnya kelas menengah ini. Ketiga, adanya semangat yang utuh untuk bergerak menuju terciptanya masyarakat madany (civil society) yang berarti pula pemberdayaan masyarakat sipil. Maka, mau tidak mau, perubahan-perubahan menuju keberpihakan terhadap masyarakat sipil menjadi suatu keniscayaan. Dan yang terakhir, munculnya sejarah baru perkembangan teori hukum yang mendukung perubahan hukum untuk kepentingan sosial di Indonesia, seperti teori sociological jurisprudence dalam hukum umum dan teori ‘urf dan maslahah dalam hukum Islam.
Reformasi Hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa, pembaruan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai ke tingkat Peraturan Desa, dan pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain, dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi kelembagaan (institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform).[32]
Dalam ketiga agenda besar itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia merancang suatu proyek penelitian mengenai eksistensi Hukum Islam yang sejak dulu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hukum dan keadilan yang memang jelas keberadaan atau eksistensinya dalam kerangka sistem hukum nasional. Secara instrumental, banyak ketentuan perundang-undangan Indonesia yang telah mengadopsi berbagai materi Hukum Islam ke dalam pengertian Hukum Nasional. Secara institusional, eksistensi Pengadilan Agama sebagai warisan penerapan sistem Hukum Islam sejak zaman pra penjajahan Belanda, juga terus dimantapkan keberadaannya. Dan secara sosiologis-empirik, praktek-praktek penerapan Hukum Islam itu di tengah-tengah masyarakat juga terus berkembang dan bahkan makin lama makin meningkat dan meluas ke sektor-sektor kehidupan hukum yang sebelumnya belum diterapkan menurut ketentuan Hukum Islam. Perkembangan ini, bahkan berpengaruh pula terhadap kegiatan pendidikan hukum di tanah air, sehingga kepakaran dan penyebaran kesadaran mengenai eksistensi Hukum Islam itu di Indonesia makin meningkat pula dari waktu ke waktu.[33]
Sehubungan dengan itu, perlu ditelaah mengenai berbagai aspek perkembangan eksistensial Hukum Islam itu dalam kaitannya dengan pelaksanaan agenda reformasi hukum nasional yang sekarang tengah berlangsung. Di satu segi, Hukum Islam perlu dijadikan objek penelaahan, sehingga agaenda pembaruan atau reformasi hukum nasional juga mencakup pengertian pembaruan terhadap Hukum Islam itu sendiri. Tetapi di pihak lain, sistem Hukum Islam itu sendiri dapat pula berperan penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi hukum nasional sebagai keseluruhan. Jangan sampai, misalnya, karena kesibukan kita memikirkan keseluruhan sistem Hukum Nasional yang perlu direformasi, menyebabkan kita lalai memperhitungkan faktor sistem Hukum Islam yang sangat penting artinya dalam keseluruhan pengertian sistem Hukum Nasional yang sedang mengalami proses transformasi menuju ke masa depan yang diharapkan akan menjadikan hukum sebagai satu kesatuan sistem yang ‘supreme’ dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[34]
SIMPULAN
Secara sosiologis empiris praktik penerapan Hukum Islam itu di tengah-tengah masyarakat kita diakui atau tidak terus mengalami perkembangan dan bahkan makin lama makin meningkat dan meluas ke sektor-sektor kehidupan hukum yang sebelumnya belum diterapkan menurut ketentuan hukum Islam. Hal ini merupakan wujud nyata dari reformasi dan reformulasi hukum Islam dinegara kita ini.
Sebab-sebab pentingnya pembaruan hukum Islam di Indonesia menurut hemat kami dilandasi dari beberapa faktor berikut: Pertama, Untuk mengisi kekosongan hukum dalam permasalahan sosial kemasyarakatan yang membutuhkan solusi hukum harus segera diselesaikan dan diberi solusi hukumnya. Kedua, pengaruh globalisasi ekonomi dan Iptek yang terus berkembang pesat sehingga perlu adanya hukum yang mengaturnya. Ketiga, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk dijadikan sebagai suatu rujukan dalam membuat hukum nasional. Keempat pengaruh para pambaru pemikiran hukum Islam baik di Indonesia maupun dunia.
DAFTAR PUSTAKA
ash-Ashiddiqie.Jimly. Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional. http://zfikri.wordpress.com/2007/08/03/jimly-asshiddiqie-hukum-islam-reformasi-hukum-nasional/
Al-Quran al-Karim.
Effendy. Bahtiar Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998. http://www.//google.com.
Hutabarat,Ramly. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005
Ikhsan. Muhammad. hukum islam di indonesia; dulu dan sekarang http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=500&Itemid=193
Manan. Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006
Mawardi. Ahmad Imam. pemberdayaan pemikiran hukum islam di idonesia (sebuah upaya reformulasi dalam konteks reformasi) http://www.//google.com.
Supriyadi.Dedi. Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2007


[1] Lihat Jimly ash-Ashiddiqie. Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional. Makalah disampaikan dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September, 2000. http://zfikri.wordpress.com/2007/08/03/jimly-asshiddiqie-hukum-islam-reformasi-hukum-nasional/
[2] ibid.
[4] Dedi Supriyadi. Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia. (Bandung, Pustaka Setia, 2007) hlm 329-330.
[5] Jaih Mubarak. Op., Cit.,
[6] Hal ini dikarenakan dalam berbagai literatur, fikih itu sendiri dipahami secara berbeda, terutama antara pandangan ulama Hanafi dengan ulama lainnya (Malikiah dan Syafi`iah). Oleh karena itu, penjelasan mengenai fikih dan syari`at lebih merupakan upaya untuk mendapatkan kejelasan, bukan untuk menyelesaikan.
[7] Dedi Supriyadi. Op., Cit. hlm 330.
[8] Ibid. hlm 332.
[9] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional. (Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005) hlm 61
[10] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998. http://www.//google com.

[11] Muhammad Ikhsan. hukum islam di indonesia; dulu dan sekarang http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=500&Itemid=193
[12] Muhammad Ikhsan. Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ramly Hutabarat, op.cit. hal. 89-90. Titik kompromi lain juga terlihat dalam rumusan tentang syarat menjadi Presiden Republik Indonesia yang haruslah “orang Indonesia asli dan beragama Islam.”
[15] Ibid., hal. 92-93
[16]Muhammad Ikhsan. Op., Cit.
[17] Ibid.
[18] Ibid. lihat pula Jimly Ashshiddiqie. Op, Cit.
[19] Jimly. Op., Cit.
[20] Al-Quran al-Karim. Istilah islāh juga dapat ditemukan dalam beberapa ayat al-Quran semisal dalam surat al-Nisā’ (4): 114, surat Hud (11): 88, dan surat al-A‘rāf (7): 56.
[22] Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006) hlm 145
[23] Ibid. hlm 147
[24] Ibid hlm 149
[25] Ibib. Hlm 150
[26] Lihat Dedi Supriyadi. Op., Cit. hlm 336-337
[27] Ibid. hlm 336-337
[28] Dedi Supriyadi. Ibid hlm 338. Lihat pula Ahmad Imam Mawardi. pemberdayaan pemikiran hukum islam di idonesia (sebuah upaya reformulasi dalam konteks reformasi) http://www.//google com.
[29] Dedi Supriyadi. Ibid. hlm 338
[30] Ahmad Imam Mawardi. Op., Cit.
[31] Ibid. Lihat pula Dedi Supriyadi. Op., Cit. hlm 338
[32] Jimly. Op., Cit.
[33] Ibid.
[34] Ibid.

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...