Rabu, 15 Desember 2010

TA’ADDUD AL-ZAWJAH FIY AL-ISLAM ; POLIGAMI DALAM PANDANGAN ISLAM


Oleh:
kabul Khan

AL-TAMHID

A.      Latar Belakang
Hal-hal unik yang cukup mengesankan dibenak kita diantaranya yakni ketika membahas pertarungan sebuah dalil yang kemudian di-istinbath-kan melalui berbagai metode dengan dibenturkan pada perasaan seorang wanita yang dimadu. Dikatakan unik dan menarik karena memang sudah menjadi fitrah kaum hawa diciptakan dan diberi oleh Allah Swt. sifat sensitive dan seringnya menyelesaikan problematika hidupnya dengan modal perasaan terlebih dahulu. -dan inilah yang menjadikan serasinya laki-laki dengan wanita-. Dan terkadang ketika kita amati suatu dalil nash atau lainnya terkesan tidak tepat bahkan melukai perasaan.
Islam datang dengan aturan yang sesuai dengan fitrah manusia dan sejalan dengan kepentingan kehidupannya. Islam memperhatikan individu tanpa harus mengesampingkan umum.
Diantara sendi-sendi kehidupan yang juga disinggung oleh agama yang dibawah Muhammad Saw., ialah sebuah macam pernikahan yang terkadang terjadi salah pemahaman dalam mempersepsikannya baik dari hukum, batasan dan syarat yang harus terpenuhi. Macam pernikahan tersebut ialah pernikahan seorang laki-laki dengan istri lebih dari satu yang kemudian dikenal dengan istilah ta’adu al-zawjat atau poligami.

B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hukum poligami dan berapa maksimum jumlah Istri bagi seorang laki-laki?
2.      Benarkah poligami merupakan syariat Islam yang mendiskriminsikan kaum perempuan?
3.      Apa hikmah yang terkandung dari pensyariatan poligami?
4.      Banyak pendapat tentang poligami. Mana yang harus kita ikuti?


AL-MABHATS

A.      pengertian
Poligami berasal dari kata poli yang berarti banyak dan gamy yang berarti istri. Jadi, poligami berarti mempunyai istri banyak. Abdur Rahman Ghazali mengatakan bahwa secara terminologi poligami berarti seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Atau, seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, akan tetapi dibatasi paling banyak empat wanita.[1]
Poligami ialah menikahi beberapa lawan jenis dalam waktu yang sama atau dengan kata lain poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan. Lawan dari poligami ialah poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. Drs. Sidi Ghazalba mengatakan bahwa, sebenarnya istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi karena poligami lebih banyak dikenal di negara Islam termasuk Indonesia, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami.[2]
Dari uraian diatas dapat ditarik sebuah konklusi singkat bahwa poligami adalah ikatan perkawinan dimana salah satu pihak mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, Jadi poligami disini  adalah ikatan perkawinan dimana seorang suami punya beberapa istri dalam waktu bersamaan.

B.      Dasar Hukum Poligami
Islam sebagai agama yang rensponsif terhadap berbagai problematika hidup umat, turut serta memberikan perhatiannya dalam menggapai kehidupan keluarga yang harmonis sebagaimana didambakan oleh setiap muslim. Diantara problematika yang sering menjadikan keluarga kurang bahagia menurut sebagian kalangan adalah seorang suami yang mempunyai banyak istri.
Poligami yang sudah membudaya jauh sebelum kedatangan Islam[3] ini tidak serta merta ditolak oleh risalah yang dibawah Muhammad Saw. Islam datang dengan wajah yang toleran, ia (Islam) bertindak moderat dengan mempertimbangkan berbagai aspek, terutama perasaan istri yang dimadu. Solusi yang diberikan ialah adanya pembatasan poligami dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki untuk bisa mempunyai istri lebih dari satu.
Diantara dalil poligami -baik yang dijadikan sebagai argumentasi ulama’ yang pro juga kaum yang kontra dengan poligami- yaitu QS. Al-Nisa’ (4); 3 dan 129,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Sebab turunnya ayat ini dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Hatim disebutkan Aisyah RA., berkata: ada seorang pria yang mengurus anak perempuan yatim kemudian menikahinya. Anak yatim ini tetap berada dalam kekuasaannya dan tidak beri hak sesuatu apapun. Karena itu turunlah ayat QS. Al-nisa’ (4):3.[4]
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[5]
Selain sebagian dalil naql berupa nash al-Kitab, terdapat pula Hadits yang dijadikan landasan poligami, baiklah penulis kutipkan beberapa Hadits tentang poligami yang diantara:
عن سليم عن ابيه رضى الله عنه ان غيلا بن سلمة أسلم وله عشر نسوة فأسلمن معه فأمره أنيتخير منهن اربعا. رواه أحمد والترمذي وصححه ابن حبان والحاكم وعلله البخارى وأبو زرعه وأبو حاتم. 
“Dari salim dari ayahnya -radhiy allah ‘anh- bahwasanya Ghailan bin Salamah masuk Islam dan diikuti oleh sepuluh istrinya. Maka nabi memerintahkan pada sahabat Ghailan untuk memilih empat dari mereka. HR. Ahmad, Tirmidziy, dishahikan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Hatim. Akan tetapi Imam Bukhari, Abu Zur’ah dan Abu Hatim menganggap hadits tersebut Muallal. [6]
Hadits tentang sahabat Ghailan menjelaskan kandungan QS al-Nisa’ (4) ayat 3 yang diantara tidak halal bagi seorang muslim untuk menikah lebih dari empat wanita.
Dalam menjelaskan madlul QS Al-Nisa’ (5) ayat 3, Wahbah al-Zuhailiy mengutip hadits Ibnu Umar tentang kisah masuk islamnya sahabat Ghailan dan para istrinya serta dua Hadits berikut ini:
روي أبو داود وابن ماجه عن قيس بن الحارث قال أسلمث وعندى ثمان نسوة, فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم, فذ كرت ذلك له, فقال اختر منهن أربعا.
Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Qais bin al-Harits, dia berkata: aku masuk islam dan aku mempunyai delapan istri, kemudian aku datang pada nabi saw., dan menyampaikan perihal tersebut padanya, kemudian beliau berkata pilihlah empat dari mereka.
روى الشافعي عن نوفل بن معاوية أنه أسلم وتحته خمس نسوة, فقال له النبي صلى الله عليه وسلم أمسك أربعا وفارق الأخرى  
Al-Syafi’i meriwayatkan dari naufal bin Mu’awiyah, bahwasanya dia (Naufal) masuk Islam dan bersamanya terdapat lima wanita, maka Nabi saw., berkata padanya tahanlah empat dan cerailah yang lain.[7]
Dalil 'aqli (logika) yang mengindikasikan poligami diperbolehkan dapat kita lihat bahwa Allah al-hakim telah melarang kita untuk lebih cenderung kepada salah satu istri-istri kita, sebagaimana termaktub pada QS. Al-Nisa (4); 129 diatas. Hal ini mengindikasikan dibolehkannya poligami, karena Allah tidak akan melarang kita hal demikian kalau kita belum beristri lebih dari satu. Selain itu, Rasulullah Saw., melaksanakan poligami dan Allah tidak melarang beliau dalam hal ini. Rasulullah Saw., juga tidak melarang para sahabatnya untuk berpoligami, karena tidak mungkin Rasulullah membiarkan kemungkaran berkembang diantara para sahabatnya.

C.      Al-Aqwal  Fiy Ta’adud al-Zawjat; Ragam Pendapat Mengenai Hukum Poligami
Islam sangatlah menghormati kaum perempuan[8] dan untuk mengangkat derajat mereka -yang pada masa sebelum Islam sangatlah hina-, dalam hal ini, kaitannya dengan poligami, Allah ‘azza wa jalla melalui utusannya Muhammad Saw., sungguh sangat menjunjung tinggi kaum hawa, dimana Allah memberikan ketentuan atau aturan yang berkaitan dengan hukum dan pelaksanaan poligami. Terlepas dari pro dan kontra tentang poligami, baik yang hanya memperbolehkan, menganjurkan, bahkan yang berani mengharamkan poligami dengan argumen tertentu -yang kadang juga bersifat subjektif-,  yang pasti Allah telah berfirman dalam QS. Al-Nisa (4): 3,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Ayat inilah yang menjadi pijakan utama pembahasan poligami. Seperti yang lazim terjadi, tingkat intelektual seseorang yang digunakan dalam menganalisis dasar hukum baik berupa al-Quran ataupun masadhir ahkam lainnya, menjadikan timbulnya perbedaan interpretasi yang berkonsekuensi pada hukumnya. Termasuk dalam hal ini adalah pemahaman tentang dalil poligami.
Kontroversi seputar poligami memang cukup menarik untuk dikaji, apalagi yang berperan dalam menentukan hukum poligami serta ketentuan-ketentuannya bukan hanya mereka yang berkompeten dalam istinbath al-hukum (baca; mujtahid). Kaum orientalis dan aktivis wanita banyak menyerukan wacana anti poligami pada abad ini, lebih ironisnya, sebagian muslim awam yang tidak memenuhi kriteria untuk berijtihad -bahkan baca al-Quran saja belum lancar- dan mereka kurang mengetahui betul sejarah -kalau tidak ingin dikatakan sama sekali tidak mengetahui sejarah-, ikut berperan serta dalam menyuarakan larangan poligami, bahkan tidak jarang diantara mereka mengutip dalil-dalil syar’i yang bersifat interpretable (ijtihadiy) untuk memperkuat dan meligitimasi pendapat mereka yang salah secara syar’iy.
Diskursus tentang poligami ini, menurut penulis dapat disederhanakan menjadi tiga golongan. Yakni; Pertama, kalangan yang pro poligami dan berpendapat akan wajibnya menikah lebih dari satu. Kedua, golongan pro dan menghukumi mubah terhadap poligami dan Ketiga, mereka yang melarang pelaksanaan poligami kecuali dalam keadaan dharurat. Berikut adalah pendapat para fuqaha’ dan ahli tafsir tentang poligami dari kalangan Mutaqaddimin sampai pada ulama’ Kontemporer.

1.       Golongan Yang Mewajibkan Poligami; Ahl al-Dhahir
Para ulama’ dari kalangan Dhahiriyah[9] berpendapat akan wajibnya berpoligami. Yang dijadikan argumentasi akan kewajiban berpoligami diantaranya karena mereka konsisten dengan prinsip ushuliyah bahwa perintah pada hakikatnya menunjukkan makna wajib. Dalam fan ushul fiqh dikenal kaidah “الاصل فى الأمر للوجوب” yang artinya “hukum asal perintah adalah untuk makna wajib”.
Alasan kedua, ayat poligami QS. Al-Nisa’ (4); 3, secara performance tampak berbentuk perintah. Kaitannya dengan ini, mufassir Ali al-Shobuni mengatakan, mereka (ulama’ Dhahiriyah) selain sangat bersikukuh dalam memegangi dhahir ayat adalah para ulama’ yang cenderung berfaham fundamentalistik yang kemudian dikenal dengan mazdhab Dhahiriyah. Ahlu Dhahir menganggap bahwa perintah menikah dalam ayat poligami QS. Al-Nisa’ (4); 3 ialah wajib.[10]
Imam Fahkr al-Raziy dalam mengomentari pendapat ini memberikan tanggapan yang tegas dengan mengatakan disini Allah menentukan hukum, bahwa meninggalkan poligami (karena tidak mampu) lebih utama daripada melaksanakannya dan ini menunjukkan bahwa menikah lebih dari satu bukanlah sesuatu yang disunahkan, apalagi wajib hukumnya.[11]
Nafas subtansial dalam sebuah pernikahan bagi manusia salah satunya adalah bersifat biologis. Keberadaannya sama dengan penyaluran aspek manusiawiyah dalam hal jasmani seperti makan dan minum. Allah juga memerintahkan untuk makan dan minum sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Baqarah (2); 60,
وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Dan (Ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku Telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
Teman-teman santri yang tergabung dalam Forum kajian Ilmiah PP. Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo membuat konklusi “bahwa perintah menikah yang terbaca dalam surat al-Nisa’ senada artinya dengan perintah makan dan minum sebagai sebuah intruksi ibahah atau tidak ada larangan (izin)”.[12]

2.       Golongan Yang Menghukumi Mubah Poligami; Jumhur Ulama’
Mereka adalah jumhur fuqaha’ dan ahli tafsir yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya dalam bidang hukum amaliyah praktis manusia. Hasil ijtihad mereka lebih berbobot dan lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada yang lain. Bahkan Allah menyuruh kita apabila belum mencapai derajat mujtahid untuk bertanya dan ittiba’ pada pendapat mereka.[13]
Dalam kitab-kitab fiqh klasik, tidaklah penulis dapatkan pembahasan seputar kontroversi poligami yang panjang lebar, mereka para pengarang kitab fiqh lebih berkonsentrasi pada pembahasan al-qism wa al-nusyuz dan ini mengindikasikan bahwa mereka tidak mempermasalahkan tentang poligami asalkan syarat-syaratnya telah terpenuhi.[14] Demikian pula tidak terdapat perbedaan tentang kebolehan poligami dalam pemikiran ulama’ pertengahan berdasarkan analisis penulis.
Dalam mazdhab syafi’i seorang laki-laki diperbolehkan beristri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya mencapai empat saja. Diberikannya kesempatan kepada suami untuk berpoligami ialah berdasarkan firman Allah QS. Al-Nisa’ (4); 3.[15]
Syaikh Abdurrhaman al-Jaziry mengatakan bahwa aimmah al-madzahib al-arba’ah, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, telah bersepakat bahwa hukum poligami adalah mubah. Hal ini disimpulkan melalui kitab al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah karya beliau pada pembahasan pembagian nafkah dan bermalam kepada para istri (mabahits al-qasm bayna al-zawjat fiy al-mabit wa al-nafaqah wa nahwihima).[16]
Ibnu Hazm sebagaimana dikutip Ariij, menyatakan bahwa para ulama’ bersepakat apabila seorang lelaki muslim menikahi maksimum empat orang wanita sekaligus, dan hukumnya adalah halal.[17]
Kaitannya dengan perintah menikah dalam QS. Al-Nisa’ (4); 3 apakah mengandung makna wajib atau hanya sekedar mubah? Jumhur ulama’ berpendapat bahwa perintah menikah itu menunjukkan hukum ibahah, tak ubahnya dengan perintah makan dan minum. Al-Shobuni, dalam pembahasan ayat poligami memberikan kesimpulan yang diantaranya boleh berpoligami sampai empat dengan syarat harus adil dan kalau tidak bisa berlaku adil hanya boleh kawin dengan satu wanita.[18]
Selama kurang lebih 1300 tahun (abad ke-18 M atau 13 H), para ulama tidak berbeda pendapat dalam membincangkan hukum poligami (ta'addud al-zawjat).  Semua ulama’ masa itu sepakat tentang kemubahan (kebolehan) berpoligami berdasarkan nas-nas dan dalil yang bersifat qath'iy (pasti).

3.       Kalangan Yang Melarang Poligami; Ulama’ Kontemporer
Golongan ini adalah ulama’ yang bisa dikatakan mewakili umat Islam yang tidak setuju dengan adanya poligami. Para ulama’ di zaman ini berpendapat bahwa boleh menikahi wanita lebih dari satu dengan syarat-syarat dan kondisi tertentu. Yaitu apabila dalam keadaan darurat, jadi apabila tidak dalam keadaan darurat maka diharamkan poligami. Diantara tokoh ulama’ yang termasuk golongan yang disebut sebagai pemikir kontemporer dan perundangan-undangan modern ini adalah Muhammad Abduh, Sayyid Qutb, Fazlur Rahman, Amina Wadud dan lain lain.[19] Contoh diperbolehkannya poligami dalam keadaan darurat adalah apabila istri yang sakit-sakitan dan mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi atau mandul maka suami diperbolehkan berpoligami.
Kebolehan melakukan poligami hanya dalam keadaan darurat ini merupakan sebuah aplikasi hukum Islam yang elastis tidak ambigu.[20] Ijtihad yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh bahwa poligami adalah suatu tindakan yang tidak boleh atau haram, akan tetapi poligami hanya mungkin bisa dilakukan seorang suami dalam dalam hal-hal tertentu. kebolehan poligami sangat tergantung pada kondisi situasi dan tuntutan zaman. karena itu, konteks sejarah ketika turunnya ayat al-Quran  (asbabun nuzul) tentang kebolehan berpoligami harus dibaca secara cermat dan jernih, yang salah satunya ayat al- Quran tersebut turun seusai perang Uhud, ketika banyak pejuang Islam (mujahidin) yang gugur di medan perang, sebagai konsukuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan suaminya. akibatnya, banyak anak yatim terabaikan dalam kehidupan, pendidikan dan masa depannya.
Walaupun Muhammad Abduh bertindak ketat dalam hukum poligami -sebagaimana yang kami kutip dari blog saudara Zailani Hakim-, akan tetapi masih ada kemungkinan untuk melakukannya, yaitu apabila ada ada tuntutan yang benar-benar mengharuskan seseorang melaksanakannya. Larangan atau kebolehan melakukan poligami menurut Abduh lebih banyak ditentukan oleh tuntuatan zaman yaitu keadaan darurat. Menurut Abduh poligami yang dilakukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan hukumnya haram. kalau alasannya dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata menjadi tidak boleh. tetapi jika alasannya karena darurat maka kemungkinan dibolehkannya untuk melakukan tetap ada.[21]

Sebuah Wacana; Kritik Penulis Terhadap Pendapat Mufassir Muhammad Abduh
Pendapat Muhammad Abduh yang mengatakan haram poligami kecuali dalam keadaan darurat sangatlah tidak sesuai untuk kemudian dikomsumsi oleh seluruh atau sebagian besar umat Islam di dunia. Karena, Islam datang untuk mewujudkan rahmat bagi alam. Pendapat beliau memang sesuai dengan keadaan negara Mesir saat itu akan tetapi belum tentu tepat untuk diterapkan dinegara lainnya seperti di Indonesia. Jumlah wanita yang melebihi kaum laki-laki sudah diprediksi sebelumnya yang kemudian diberilah solusi untuk berpoligami agar kaum hawa bisa terlindungi dalam naungan suami.
Jika al-‘Alim Mujaddid muhammad Abduh mengajak untuk meneliti asbab al-nuzul ayat dan kemudian mengarahkan pada tidak diperbolehkannya poligami, penulis juga hendak mengajak pembaca sekalian untuk merujuk kembali kepada kitab-kitab tafsir klasik dimana disebutkan bahwa asbab al-nuzul-nya QS. Al-nisa’ (4); 3 tidak hanya karena seusai perang akan tetapi ada kasus lain yang mengindikasikan kebolehan poligami meskipun bukan dalam keadaan emergency sebagaimana yang telah penulis paparkan.
Pada akhir kutipan, Muhammad Abduh juga mengatakan kalau poligami alasannya dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata menjadi tidak boleh. Ketidak sepakatan penulis dengan pendapat ini dikarenakan bahwa salah satu tujuan dari pernikahan adalah menghalalkan sesuatu yang semula haram, ketika seorang laki-laki tidak kuat untuk menahan nafsu libidonya yang bisa berakibat fatal tentunya sangatlah diperbolehkan untuk kemudian berpoligami.
Dari kesekian pendapat ulama’ yang telah dipaparkan, masih terdapat pendapat tentang poligami yang cukup menarik untuk sedikit disinggung. Pendapat ini muncul dari seorang intelektual muslim kontempore yang sangat kontroversial yang bernama Dr. Ir. Muhammad Syahrur.[22] pengarang al-Kitâb wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah[23] (al-Kitab dan al-Quran; Qira’ah Kontemporer) dan Nahw ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islamiy.
  Berbeda dengan cendikiawan muslim lainnya, dalam karyanya Nahw ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islamiy yang ditelah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia beliau mengatakan:[24]
Sesungguhnya Allah Swt tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi Dia sangat menganjurkannya, namun dengan kedua syarat yang harus terpenuhi: Pertama, bahwa istri kedua, ketiga dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim; kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim.

Metodologi yang digunakan Syahrur lebih didominasi faktor sosial untuk kemaslahatan janda dan para anak yatim, apabila kita merujuk pada karyanya dalam menjelaskan poligami akan kita lihat kejelihan beliau dalam mengaitkan QS. Al-Nisa’ (4) 1-5, berupa hubungan sebab akibat antara poligami dengan anak-anak yatim.

D.      Batasan maksimal Istri
Berkaitan dengan konsepsi batas maksimal istri, Syari’ telah mengabadikannya dalam teks QS. Al-Nisa’ (4); 3. Adapun sebab dari turunnya ayat tersebut telah penulis paparkan sebelumnya.
Menurut mazdhab  Ahli Sunnah, tidak diperbolehkan bagi para laki-laki beristri lebih dari empat pada satu waktu meskipun dalam masa ‘iddah. Apabila ingin menikah yang kelima kalinya maka salah satu dari istri yang empat harus diceraikan dan harus menunggu sampai masa ‘iddah-nya selesai kemudian baru laki-laki tersebut menikah dengan wanita yang dikehendaki. Karena menurut mereka, nash Quran yang menjadi pijakan poligami tidak memperbolehkan untuk mengumpulkan lebih dari empat dalam satu waktu.[25]
 Ulama’ Dhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa diperbolehkan para laki-laki menikahi sembilan wanita. Pendapat ini disandarkan pula pada QS. Al-nisa’ (4): 3 dengan melihat dhahir nash pada kata-kata matsna, wa tsulatsa, wa ruba’. Huruf wawu pada ayat tersebut menurut mereka mempunyai arti jam’ bukan arti takhyir.[26] Analisis mereka juga diperkuat dengan keberadaan Nabi yang wafat meninggalkan sembilan istri.
Kesalahan analisis yang membawa fi’l al-nabi sebagai argumentasi untuk memperkuat pendapat mereka ialah bahwasanya fi’l al-nabi berupa menikahi sembilan istri adalah sebuah kekhususan yang diberikan Allah kepada nabi Muhammad saw dan tidak berlaku pada umatnya. Diantara qorinah yang menunjukkan perbuatan Nabi dalam berpoligami merupakan suatu kekhususan adalah sabda Nabi sendiri yang memerintah sahabat Ghailan untuk menceraikan sebagian istrinya.
Sebagian mereka (Imamiyah dan Dhahiriyah) berpendapat lebih ekstrim, yaitu mereka membolehkan kawin sampai delapan belas orang, dengan alasan bahwa bilangan-bilangan tersebut disebut dengan mengulang-ulang dan adanya kata penghubung “wawu” yang menunjukkan arti jumlah atau nilai ganda. Jadi ayat tersebut menunjukkan arti jumlah “2 + 2 + 3 + 3 + 4 + 4 = 18”.[27]
Menanggapi argumentasi mereka, Imam Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Ibnu Kastir mengatakan, “Sesungguhnya Sunah Rasulullah Saw. yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah Saw. tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita.” Lebih lanjut Ibnu kastir mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’i ini telah disepakati dikalangan para ulama’, kecuali apa yang diriwayatkan dari segolongan ulama Syi’ah.[28]
Faham-faham kaum Syi’ah dan Dhahiriyah menyalahi aturan dalam memahami Bahasa Arab dan ijma’ kaum muslimin atau tabi’in yang tidak pernah memadu lebih dari empat orang.
Penolakan terhadap penyimpangan makna teks yang membatasi poligami juga dapat dilihat dari segi bahasa. Para ahli bahasa sepakat bahwa makna kata matsna wa tsulatsa wa ruba’ diartikan dengan “nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai, bisa dua-dua, tiga-tiga dan empat-empat”.[29]  

E.       Syarat Poligami
kebolehkan poligami itu dengan syarat harus adil. Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan dua firman Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’ (4); 3 dan 129.
Keadilan yang dimaksud pada kedua ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang. Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam QS. Al-Nisa’ (4); 129 itu adalah adil dalam cinta dan jima’. Adil yang semacam ini jarang terjadi. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja, maka itu tidak dosa.[30]
Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau darurat mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain: Isteri mandul, isteri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin, bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa, sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat selingkuh, bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.[31]
Menurut Syahrur, persyaratan esensial dalam praktek poligami adalah, Pertama, pelibatan janda yang memiliki anak sebagai istri kedua, ketiga dan keempat. Kedua, harus ada keadilan diantara para anak dari istri pertama dan anak-anak yatim para janda yang dinikahi berikutnya. Jika ini yang dipraktekkan oleh kalangan Muslim, maka esensi hukum (hikmah al-tasyri’) adanya praktek poligami dalam perkawinan Islam menjadi menonjol ketimbang sebagai sarana untuk memuaskan nafsu para laki-laki yang tidak cukup dengan satu orang istri.[32]
Dalam akhir pembahasan bab poligami, Muhammad Ali al-Shobuni mengatakan boleh berpoligami sampai empat dengan syarat harus adil. Kalau tidak bisa berlaku adil hanya boleh kawin dengan satu wanita.[33] Adapun Wahbah menyebutkan ada dua syarat poligami, yakni berbuat adil secara lahiriyah dan mampu memberikan nafkah.[34]
Banyak ulama’ yang juga ikut andil dalam pembahasan syarat poligami yang pada dasarnya apa yang mereka kemukakan tidaklah jauh berbeda dengan persyaratan yang telah penulis kutip. Dari pendapat-pendapat tentang syarat poligami diatas, penulis lebih cenderung dengan pendapat Wahbah yang menambahkan syarat mampu memberikan nafkah kepada para istri. Dengan alasan, meskipun bisa berlaku adil kepada para istri apabila tidak mampu memberikan nafkah kepada mereka tentunya akan timbul sebuah kemadharatan bagi keluarga yang berpoligami.

F.       Hikmah Poligami
Banyak sekali hikmah yang bisa kita ambil dari pensyariatan poligami dalam Islam. Dari kesekian banyak hikmah poligami dapat diklasifikasikan menjadi dua macam. Yakni dari segi yang bersifat umum melibatkan banyak kalangan dan khusus. Kiranya apa yang kami kutipkan dari Wahbah tentang hikmah ta’adud al-zawjat bisa dianggap cukup untuk meningkatkan iman dan rasa syukur pada Allah azza wa jalla akan karunia yang Ia berikan kepada kita.
Prof. Dr. Wahbah Zuhailiy menyebutkan dalam bukunya beberapa hikmah umum dan khusus dari poligami. Berikut kutipannya:[35]
  1. Hikmah Umum
a.       Fenomena lebih banyaknya jumlah perempuan daripada laki-laki, hal ini didasari oleh beberapa sebab seperti pasca peperangan dan lain-lain. Lihatlah jerman pasca PD I, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1-4 atau 1-6. Salah satu kesempurnaan agama Allah lah yang telah memberikan solusi sebelum masalah-masalah seperti ini muncul.
b.      Perlunya suatu umat atau bangsa kepada jumlah penduduk yang lebih dari yang telah ada untuk menambah kekuatan pasukan peperangan atau untuk menambah personil dalam perkebunan.
c.       Sebagai penunjang dalam Dakwah Islamiah sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah saw.
  1. Hikmah Khusus
a.       Beberapa pria dianugerahi oleh Allah kekuatan lebih sehingga dia kurang merasa cukup dengan hanya satu istri, hal ini desebabkan sang istri yang sudah berumur, panjangnya waktu datang bulannya dan lain-lain. menyikapi hal ini, islam telah memberikan solusi yang lebih baik daripada mendatangi lokalisasi-lokalisasi yang tersebar dihampir setiap daerah. Karena agama Islam tidak datang untuk orang arab saja, akan tetapi juga untuk Indonesia, Hindia atau daerah tertentu, Islam adalah agama bagi seluruh manusia dan syariatnya sesuai dengan seluruh manusia dan selalu menjawab tantangan seluruh zaman.
b.      Fakta beberapa istri yang tidak dapat memberikan suaminya seorang anak, maka sebagian perempuan dapat merelakan suaminya untuk menikah lagi demi meneruskan generasinya.

AL-NATIJAH

Dengan prinsip رأينا صواب ورأيهم خطاء secara mantap dari makalah yang telah penulis sampaikan, dapat ditarik beberapa natijah sebagai berikut:
1.       Pada dasarnya poligami dalam pandangan Islam adalah mubah untuk dilakukan. Kebolehan poligami dalam Islam bukanlah tak terbatas, berdasarkan pendapat yang bisa dijadikan pijakan, batas maksimal melakukan poligami hanya sebanyak empat istri.
2.       Jika ada kalangan yang mengatakan terdapat diskriminasi dalam pensyariatan poligami ala Islam terlebih pada istri yang dimadu, dapat penulis katakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memahami agama yang penuh rahmat ini, mereka berkata hanya didasarkan pada nafsu individu tanpa ada analisis.
3.       Hikmah yang terkandung dari pensyariatan poligami dalam Islam mencakup aspek individu dan kemaslahatan secara umum. Dan poligami inilah solusi yang paling tepat sebagai langkah antisipasi terjadi kebobrokan moral manusia.
4.       Dari pendapat-pendapat tentang hukum poligami yang paling tepat untuk kita pegangi ialah pendapat jumhur yang menyatakan mubah berpoligami. Menghukumi mubah poligami merupakan hal yang bijak. Akan tetapi janganlah perbedaan pendapat diantara ulama’ menjadikan faktor saling mencaci dan mengolok-olok saudara yang lainnya.
Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat mampu menafkahi dan adil. Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ (4); 19 yang artinya “Dan bergaullah dengan mereka secara patut (baik).”
MARAJI’

Ghazali, Abdur Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008

Ghazalba, Sidi, Menghadapi Soal-soal Perkawinan, Jakarta , Pustaka Antara, 1975

al-Astari, Abu Salma, Poligami Dihujat Jawaban Rasional Bagi Para Penghujat syariat dan Penentang Poligami,
http://dear.to/abusalma. http://www.pakdenono.com/ebook_islam/ebookislam.htm

al-Shobuni, Muhammad ‘Ali, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001

al-Qurthubi, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Riyadh, Saudi Arabia: Dar ‘Alim al-Kitab, 2003.

‘Abd al-Salam, Abu ‘Abdillah, Ibanah al-Ahkam Syarh Bulugh al-Maram li al-Hafizd Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2004

al-Zuhailiy, Wahbah, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Beirut, lebanon: Dar al-Fikr, 1987

Team FKI 2003, Esensi Pemikiran Mujtahid, Purna Siswa III Aliyah 2003 ponpes Lirboyo Kediri Jawa Timur, 2003

Mas’ud, Ibnu dan Zainal Abidin S., Edisi lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i, Bandung: Pustaka Setia, 2007

Al-Jaziry, Abdurrhaman, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Beirut: Darul Fikr, 1996

As-Sanan, Ariij Binti Abdurrahman, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006

Hakim, Zailani, Poligami Dalam Perspektif Sejarah, Politik, dan Syariat Islam, sumber: http://azai82.multiply.com/journal/item/3

Nugroho, Anjar, Teori Batas Muhammad Syahrur Dalam Soal Poligami, http://opinikampus.wordpress.com/2008/01/15/teori-batas-muhammad-syahrur-dalam-soal-poligami/.

Syahrur, Muhammad, Nahw ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islamiy, alih bahasa oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Jogjakarta: Elsaq Press, 2010

Ibnu Kastir, Abu Fida Ismail, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Dar al-Thaiyyibah, 1999

Yanggo, Huzaemah Tahido, Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam, http://groups.yahoo.com/group/islam-kristen/message/15437





[1] Abdur Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 129
[2] Sidi Ghazalba, Menghadapi Soal-soal Perkawinan, (Jakarta , Pustaka Antara, 1975), hlm. 25
[3] Poligami bukan merupakan praktek yang dikenalkan oleh Islam pertama kali. Namun poligami merupakan praktek yang telah berlangsung semenjak zaman dahulu, setua dengan tuanya usia peradaban manusia. Ramses II, Raja Fir’aun yang terkenal (berkuasa 1292-1225 SM) memiliki 8 orang isteri dan memiliki banyak selir dan budak wanita yang memberikannya 150 putra dan putri. Dinding biara  pemujaan merupakan bukti sejarah terkuat, dimana tercantum nama-nama isteri, selir dan anak-anak dari tiap wanita tersebut. Ratu cantik Neferteri merupakan isteri termasyhur Ramses II, yang terkenal berikutnya adalah Ratu Asiyanefer atau Isisnefer yang melahirkan puteranya, Raja Merenbatah, yang naik tahta setelah ayah dan kakaknya mangkat.
Poligami juga sudah lazim dilakukan oleh masyarakat negeri Slavia yang sekarang menjadi Rusia, Serbia, Cechnia dan Slovakia, juga lazim dilakukan oleh penduduk negeri Lituania, Estonia, Macedonia, Rumania dan Bulgaria. Jerman dan Sakson, yang merupakan dua ras utama mayoritas populasi di Jerman, Austria, Switzerland, Belgia, Belanda, Denmar, Swedia, Nirwagia dan Inggris, juga merupakan negeri yang melakukan praktek poligami secara meluas. Masyarakat paganis (watsaniy) di Afrika, India, Cina, Jepang dan asia tenggara juga banyak melakukan poligami.
Nabi Ya’qub ’alaihi Salam dikisahkan juga memiliki dua orang isteri kakak adik puteri dari saudara ibunya, yang bernama Lia (Liya) dan Rahil – catatan: mengumpulkan dua orang saudara (adik kakak) dalam satu pernikahan dahulu diperbolehkan lalu dilarang pada zaman Rasulullah-. Demikian pula dengan Nabi Dawud dan puteranya Nabi Sulaiman ’alaihima Salam yang memiliki banyak isteri dan budak wanita. Lihat Abu Salma al-Astari, Poligami Dihujat Jawaban Rasional Bagi Para Penghujat syariat dan Penentang Poligami, http://dear.to/abusalma. diakses 26 Sepetember 2010 atau dapat diakses pada alamat:
http://www.pakdenono.com/ebook_islam/ebookislam.htm
[4] Sebab lain turunnya ayat sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari, bahwa Urwah bin Zubair pernah bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah “…و إن خفتم ألا تقسطوا فى اليتامى, lalu Aisyah berkata: Hai Anak saudariku! Si yatim ini berada dipangkuan walinya dan hartanya bercampur menjadi satu, lalu wali tersebut berkehendak untuk mengawininya tetapi dengan cara yang tidak adil tentang pemberian mahar. Dia tidak mau memberikan mahar seperti yang diberikan kepada orang lain. Maka mereka dilarang berbuat yang demikian. Begitulah lalu mereka disuruh mengawini perempuan-perempuan yang cocok dengan mereka selain anak-anak yatim itu. Muhammad ‘Ali al-Shobuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001), juz 1 hlm. 330. Adapun redaksi lafaz dari Al-Qurthubi dalam tafsirnya ialah dengan menggunakan lafaz imam Muslim sebagai berikut:
وروى الأئمة واللفظ لمسلم عن عروة بن الزبير عن عائشة في قول الله تعالى: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ قالت: يا ابن أختي هي اليتيمة تكون في حجر وليها تشاركه في ماله فيعجبه مالها وجمالها فيريد وليها أن يتزوجها من غير أن يقسط في صداقها فيعطيها مثل ما يعطيها غيره، فنهوا أن ينكحوهن إلا أن يقسطوا لهن ويبلغوا بهن أعلى سنتهن من الصداق وأمروا أن ينكحوا ما طاب لهم من النساء سواهن.  
Lihat: Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Riyadh, Saudi Arabia: Dar ‘Alim al-Kitab, 2003). Al-Nisa’ (5) hlm. 11. download file: http://www.islamspirit.com/islamspirit_program_001.php. Diakses tanggal 20 Januari 2009
[5] Secara logika, kalau memang Allah melarang poligami maka Allah akan mengatakan “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka tidak boleh untuk kamu berpoligami”. Maka ayat diatas sekali-kali tidak bisa untuk dijadikan dalil pelarangan poligami.
[6] Pembahasan tentang kesahihan dan kedha’ifan hadits, Ibnu katsir berkata “Dua imam besar yaitu Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, serta al-Tirmizdiy dan Ibnu Majah mengatakan bahwa isnad dalam hadits tersebut para perawinya telah memenuhi kriteria atau syarat Bukhari dan Muslim, hanya saja imam Tirmizdiy pernah mendengar imam Bukhari sendiri berkata bahwa hadits tersebut tidak terjaga (ghairu mahfudz), menurut imam Bukhari, hadits yang sahih adalah hadits yang diriwayatkan dari Syu’aib bin Abi Hamzah dan lainnya dari al-Zuhriy”. Lihat: Abu ‘Abdillah ‘Abd al-Salam, Ibanah al-Ahkam Syarh Bulugh al-Maram li al-Hafizd Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2004), juz 3, hlm. 286
[7] Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Beirut, lebanon: Dar al-Fikr, 1987), juz 7 hlm. 166
[8] Kedudukan perempuan dalam Islam menurut penulis; Perempuan adalah separuh dari umat manusia, perempuan adalah ibu, saudari, putri, istri, dan bibi. Jika kondisi kaum perempuan baik, berarti separuh dari umat manusia dalam keadaan baik. Bahkan seluruh umat akan dalam kondisi baik sebab anak laki-laki maupun perempuan berada dalam rawatan ibunya hingga dia dewasa, jika ibunya baik, pasti ia akan merawat anak-anaknya dengan baik, sebaliknya, jika ibu tidak baik, kita tinggal menunggu suatu keturunan yang fasid dan lemah akal, yang tidak dapat memikul tanggungjawabnya dan tidak pula diharapkan kebaikannya.
Tidak ada ragu lagi, bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia. Islam yang men-jam’u-kan antara perkara-perkara dunia dan akhirat. Antara taqwa, zuhud dengan usaha untuk mendapatkan rezeki yang halal dan baik. Kemudian Islam -yang sejak asalnya- bertujuan membangun sebuah masyarakat yang sehat sehingga mereka selamat dari keterpurukan, dan terbentengi dari faktor penyebab keterpurukan, yaitu manakala Islam diterapkan sesuai jiwa syariatnya serta dilaksanakan secara murni diatas undang-undang dan ajarannya. Jika seperti itu yang terjadi, sungguh perempuan akan hidup dibawah naungan Islam dalam kedudukan yang mulia dan dipedulikan urusannya. Kedudukan inilah yang meletakkan setengah dari manusia yang berperan sebagai ibu, istri, saudari dan lainnya berada pada tempat yang selayaknya bagi suatu ciptaan.
[9] Pendiri mazdhab ini ialah al-‘alim al-imam Dawud al-Dhohiriy. Bernama lengkap Abu Sulaiman Dawud bin Ali al-Ashghaniy. Beliau termasuk salah satu dari murid terbaik imam syafi’i yang sangat tekun dan rajin dalam belajar ilmu agama terlebih dalam bidang hadits. Imam Dawud ini dikemudian hari memisahkan diri dari mazdhab Syafi’i dan mendirikan institusi mazdhab yang dikenal dengan Dhahiriyah. Dinamakan Dhahiriy karena dalam menetapkan hukum selalu mendasarkan pada dhahir nash.
[10] Muhammad ‘Ali al-Shobuni, Op., Cit., juz 1 hlm. 334
[11] Ibid.
[12] Team FKI 2003, Esensi Pemikiran Mujtahid, (Purna Siswa III Aliyah 2003 ponpes Lirboyo Kediri Jawa Timur, 2003), hlm. 331
[13] Kebenaran hakiki hanya milik Allah. Para imam Mujtahid dalam menelorkan sebuah hukum tidak serta merta itu berarti sebuah kebenaran yang diakui oleh al-hakim Allah ‘azza wa jalla. Hanya saja, kepada mereka, Allah menjamin bahwa sekalipun salah ijtihad mereka tetap tidak dianggap sebagai dosa. Bahkan Allah memberikan apresiasi terhadap ijtihad mereka dengan memberikan satu pahala atas usaha kerasnya. Disebutkan dalam sebuah hadits:
اذا حَكمَ الحاكمُ فاجتهدَ فاصاب فله اَجْرانِ اذا حَكمَ فاجتهدَ فَاخْطأ فله اجرٌ واحدٌ "رواه البخارى و مسلم"
Jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala. “HR. Bukhari dan Muslim”.
Mereka, para ulama’ adalah para pakar dalam bidang hukum Islam dan sudah sepantasnya kita yang belum bisa mencapai tingkatan untuk berijtihad untuk mengikuti pendapat mereka. Allah berfirman dalam QS. Al-Nahl (16); 43,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,
[14] Diantara kitab-kitab fiqh klasik mazdhab syafi’i yang membahas bab ini secara spesifik dapat pembaca lihat dalam kitab Fath al-Wahhab syarah kitab Minhaj al-Thulab karya Syaikhul Islam Abu Zakariya al-Anshariy, Kifayah al-Ahyar karya Taqiyudin al-husainiy, I’anah al-Thalibin syarah fath al-Mu’in karya Muhammad Syatha al-Dimyathi.
[15] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., Edisi lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) buku 2 hlm. 324
[16] Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut: Darul Fikr, 1996), Juz IV hlm. 206-217
[17] Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), hlm. 41
[18] Terdapat enam kesimpulan yang dikemukakan beliau dari QS. Al-Nisa’ (5) 1-4. yaitu; 1). Seluruh manusia berasal dari satu orang dan bernasab pada seorang yaitu Adam ‘alaih al-salam. 2). Boleh minta sesuatu dengan nama Allah. Semisal aku minta padamu dengan nama Allah. 3). Hak keluarga adalah sangat besar, karena itu Allah memerintahkan supaya hubungan keluarga itu dipupuk jangan diputuskan. 4). Anak yatim dan hartanya wajib dipelihara dan apabila dia telah dewasa hartanya dikembalikan. 5). boleh berpoligami sampai empat dengan syarat harus adil dan 6). Kalau tidak bisa berlaku adil hanya boleh kawin dengan satu wanita. Muhammad ‘Ali al-Shobuni, Op., Cit., juz 1 hlm. 334
[19] Zailani Hakim, Poligami Dalam Perspektif Sejarah, Politik, dan Syariat Islam, sumber: http://azai82.multiply.com/journal/item/3 diakses 10 desember 2010
[20] Adapun maksud penulis disini ialah sebuah upaya untuk mewujudkan hukum Islam yang shalih li kulli zaman wa makan dengan mendasarkan pada sebuah adigium fiqh "taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah wa al-’awa’id" yang artinya; “berubahnya hukum dikarenakan berubahnya tempat, waktu dan adat istiadat”.
[21] Zailani Hakim, Ibid.
[22] Muhammad Syahrur Deyb dilahirkan di Damaskus, Suriah, pada 11 Maret 1938. Menjalani pendidikan dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan ‘Abd al-Rahman al-Kawakibi, Damaskus, dan tamat tahun 1957. Kermudian mendapatkan beasiswa pemerintah untuk studi teknik sipil (handasah madâniyah) di Moskow, Uni Sovyet, pada Maret 1957. Berhasil meraih gelar Diploma dalam teknik sipil pada 1964. Kemudian pada tahun berikutnya bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Selanjutnya, dia dikirim oleh pihak Universitas ke Irlandia –Ireland National University– untuk memperoleh gelas Master dan Doktoralnya dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi, sehingga memperoleh gelar Master of Science-nya pada 1969 dan gelar Doktor pada 1972. Sampai sekarang, Dr. Ir. Muhammad Syahrur masih mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam bidang Mekanika Pertanahan dan Geologi (Abied Syah, 2001: 237-8). Pada 1982-1983, Dr. Ir. Muhammad Syahrur dikirim kembali oleh pihak universitas untuk menjadi tenaga ahli pada al-Saud Concult, Arab Saudi. Dia juga, bersama beberapa rekannya di fakultas membuka Biro Konsultasi Teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus. Tulisannya banyak tersebar di Damaskus, khususnya dalam bidang spesialisasinya, diantaranya teknik fondasi bangunan – dalam tiga volume – dan mekanika tanah.
[23] Syahrur menamakan bukunya “al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu‘ashirah”. Sub judul “Bacaan Kontemporer” (Qira’ah Mu‘ashirah) menyiratkan adanya unsur perkembangan arti sesuai dengan bertambahnya masa. Dalam konteks ayat-ayat gender ini misalnya adalah logis -menurut Syahrur- kalau para ulama terdahulu belum mengetahui adanya teori perbatasan (al-hudûd) ini, karena teori ini baru ditemukan oleh Newton pada awal abad modern. Contoh Qiraah kontemporer Syahrur ialah QS. al-Baqarah (2); 223,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Berikut adalah penjelasan dalam mengartikan ayat tersebut menurut Syahrur;
Makna kata: Kata al-Nisa’ -menurut Syahrur- adalah bentuk jamak (plural) dari kata al-Nasî’ah, yang berarti hasil usaha yang datang belakangan atau yang baru muncul. Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai bentuk jamak dari al-mar’ah (perempuan). Sedangkan kata al-harts berarti mengumpulkan (al-jam’) dan mencari penghasilan (al-kasb) yang berkenaan dengan materi. Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai melempar bibit di atas muka bumi dan disebut juga sebagai ladang. Sedangkan kata ganti (dlamîr) “-kum” adalah kata ganti orang kedua jamak.
Pengertian ayat: Dari pengertian kosa-kata di atas, dalam sebuah format terjemahan baru yang berbeda dengan yang biasa dikenal adalah: “Hasil usaha kalian (wahai laki-laki dan perempuan) adalah kapital yang kalian kumpulkan dari pekerjaan kalian. Maka perlakukanlah pekerjaan kalian seperti yang kalian kehendaki. Dan kerjakanlah perbuatan yang menguntungkan kalian dan bertakwalah kepada Allah (dalam pekerjaan kalian itu, pen). Serta ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang- orang yang beriman.”. Anjar Nugroho, Teori Batas Muhammad Syahrur Dalam Soal Poligami, http://opinikampus.wordpress.com/2008/01/15/teori-batas-muhammad-syahrur-dalam-soal-poligami/. Diakses 20 November 2010
[24] Muhammad Syahrur, Nahw ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islamiy, alih bahasa oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, (Jogjakarta: Elsaq Press, 2010) hlm. 430
[25] Wahbah al-Zuhailiy, Op., Cit., hlm. 165-166
[26] Ibid. hlm. 166
[27] Team FKI 2003, Op. Cit., hlm 333-334
[28] Abu Fida Ismail Ibnu Kastir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Dar al-Thaiyyibah, 1999), juz 2 hlm. 209
[29] Muhammad ‘Ali al-Shobuni, Op., Cit., juz 1 hlm. 334
[30] Huzaemah Tahido Yanggo, Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam, http://groups.yahoo.com/group/islam-kristen/message/15437 akses artikel 1 Desember 2010
[31] Ibid
[32] Muhammad Syahrur, Op. Cit. Hlm. 430. lihat pula: Anjar Nugroho, Op. Cit. http://opinikampus.wordpress.com/2008/01/15/teori-batas-muhammad-syahrur-dalam-soal-poligami/
[33] Muhammad ‘Ali al-Shobuni, Op., Cit., juz 1 hlm. 336
[34] Wahbah al-Zuhailiy, Op., Cit., hlm. 168
[35] Wahbah al-Zuhailiy, Op., Cit., hlm. 169-170

FIQH KURBAN DAN AQIQAH

 FIQH KURBAN DAN AQIQAH  (Diterjemahkan Dari Kitab Fathul Qarib)  Oleh: Sukabul, S.Sy. (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Ayah) فَصْلٌ فِي أَحْك...