Senin, 24 Januari 2011

MASLAHAH MURSALAH; AL-ISTIDLAL AL-MUHKTALAF



MASLAHAH MURSALAH;
AL-ISTIDLAL AL-MUHKTALAF[1]
Oleh:
Sukabul

Kemaslahatan atas makhluk adalah tujuan syariat Islam. Hal ini tercermin dalam produk-produk hukumnya yang senantiasa relevan dalam setiap zaman dan tempat. Allah berfirman dalam QS. Al-Anbiya’ (21); 107,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai Islam agar tidak terkesan kaku para fuqaha’ memformulasikan sebuah kaidah:
تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة والاحوال والعواعد والنيات
"Berubahnya hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan niat."[2]
Syekh Abdul Wahhab Khallaf mengatakan bahwa yang menjadi tujuan umum syari’ (Allah dan RasulNya) dalam pensyariatan hukum ialah mewujudkan kemaslahatan bagi setiap manusia dengan menjamin segala kebutuhan primer (dharuriyah), memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyah) dan pelengkap (tahsiniyah). Setiap hukum syara’ tidaklah diformulasikan kecuali ditujukan untuk salah satu dari ketiga hal tersebut yang dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.[3]  
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang salah satu metode yang berkaitan dalam mewujudkan maslahah bagi umat manusia berupa al-maslahah al-mursalah yang digunakan oleh imam Malik dan para pendukungnya dalam pengambilan hukum.
Refrensi dasar yang dijadikan pedoman dalam penulisan makalah ini adalah kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiy karya ulama’ kontemporer dari Damaskus Syiria Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili. Sebagian besar kutipan dalam makalah ini memang penulis nuqilkan dari kitab tersebut dengan alasan selain dirasa cukup mengakomodir pendapat-pendapat ulama’ yang ada, kitab ini disusun dengan sistematika penulisan yang cukup baik sehingga mudah untuk difahami, apalagi perbendaharaan kata yang ada dalam kitab tersebut tidak begitu asing dan mudah dimengerti bagi seorang pemula.
Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami konsep maslahah mursalah dengan berbagai variannya yang menjadi perdebatan diantara ulama’ akan legalitasnya sebagai salah satu sumber hukum Islam. .
A.       Macam-Macam al-Munasib
Dalam pembahasan masalik al-illat pada bab Qiyas, terdapat pembahasan berupa al-munasabah dimana al-munasabah itu sendiri berarti pemaparan sifat yang secara rasio sesuai dengan penerapan hukum dan merupakan satu diantara metode penerapan illat (yang berarti bahwa sifat itu patut dijadikan landasan penetapan hukum dengan menggunakan metode Qiyas).[4] Dilihat dari segi kelayakannya, Wahbah al-Zuhailiy Membagi al-munasib dalam tiga klasifikasi. Yakni al-munasib al-mu’tabar, al-munasib al-mulgha, dan al-munasib al-mursal. Berikut penjelasan ketiga pembagian tersebut:

1.         Al-Munasib al-Mu’tabar
Al-munasib al-mu’tabar berarti bahwa syari’ mengakuinya sebagai illat penetapan hukum. Hal ini diketahui dari ketentuan-ketentuan hukum syara’ dalam permasalahan-permasalahan kasuistik yang mengacu pada al-munasib tersebut. Semisal semua hukum-hukum syara’ yang diformulasikan dan diberlakukan untuk memelihara maqashid al-syâri’ah al-kulliyah (tujuan-tujuan dasar syariat) yang mencakup lima hal, yakni hifzd al-din (memelihara agama), hifd al-nafs (perlindungan jiwa), hifzd al-’aql (perlindungan terhadap akal), hifzd al-nasl (pemeliharaan keturunan), hifzd al-mal (dan perlindungan atas harta kekayaan).[5]
Wahbah menjelaskan keterangan diatas dengan memberikan contoh bahwa  jihad dan penumpasan kaum murtad bertujuan untuk memelihara agama, pemberlakuan hukum qishash untuk memelihara jiwa, diharamkannya khamr dan sanksi yang diberikan pada peminumnya adalah untuk memelihara akal manusia, keharaman zina ditujukan untuk memelihara garis keturunan, keharaman mencuri, pemotongan tangan pencuri serta pensyariatan ganti rugi atas pelanggaran hak milik dikukuhkan untuk menjaga harta kekayaan. Begitu pula rukhsah (keringanan) diperbolehkannya tidak berpuasa ramadhan bagi musafir dan penderita sakit, qashar dan jama’ dalam shalat bagi musafir, semua ini disyariatkan untuk menolak atau menghindari kesulitan pada manusia.
Dalam menyikapi sifat-sifat tersebut tidak ada perbedaan lagi status kelayakannya sebagai variabel kebolehan penetap hukum (illat) berdasarkan penelitian (istiqra’) bahwa hukum-hukum syara’ diformulasikan untuk menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan (jalb al-maslahah wa daf’ al-mafsadah).

2.         Al-Munasib al-Mulgha
Al-munasib al-mulgha berarti munasib dimana syara’ mengakui dengan menolak keberadaannya sebagai illat penetapan hukum. Hal ini dapat diketahui dengan ketentuan-ketentuan hukum yang menunjukkan tidak diperhitungkannya munasib ini. Contohnya seperti kafarat dari pembatalan puasa ramadhan dikarenakan melakukan hubungan badan dengan lawan jenis. Kafarat dalam hal ini adalah memerdekakan budak, berpuasa selama dua bulan berturut-turut, memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin. Ketentuan kafarat tersebut harus dipenuhi secara berurutan sesuai taraf kemampuan. Bagi orang yang kaya mungkin saja hukuman yang bisa membuatnya bertobat adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Karena dengan kekayaan yang dimilikinya, memerdekakan budak ialah hal yang mudah untuk dilakukan dan dalam hal ini (menghukumi berpuasa pada si kaya) terdapat kemaslahatan agar dia jerah. Namun syara’ tidak menyikapi kemaslahatan tersebut dan tetap mewajibkannya memerdekakan budak sebagaimana yang telah ditentukan dalam al-Sunah. Atau, karena kafarat bertujuan untuk sekedar menguji kadar kepatuhan seorang hamba.
Sifat ini (al-munasib al-mulgha) tidak ada khilaf bahwa ia tidak dapat dijadikan illat hukum sebagaimana yang telah disinggung awal.

3.         Al-Munasib al-Mursal
Munasib yang ketiga ini ialah sifat dimana tidak diketahui bahwa syara’ menyikapinya dengan penolakan atau pengakuan atas keberadaannya baik dalam Nash atau Ijma’. Maksudnya, tidak ditemukan dalam hukum-hukum syara’ hal-hal yang menunjukkan diakui atau ditolak keberadaan sifat tersebut.
Disinilah titik tolak perbedaan pendapat para ulama’ ushul akan kebolehan menjadikan sifat ini sebagai illat. Ada berbagai istilah yang digunakan ushuliyin, Kalangan Malikiyah menyebutnya maslahah mursalah, imam al-Ghazali menyebutnya dengan istishlah, ulama’ ushul kalangan Mutakallimin menyebutnya dengan al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian yang lain menyebut al-istidlal al-mursal, sedangankan al-Haramain dan Ibnu al-Syam’ani menyebutnya dengan istidlal.[6]  

B.        Macam-Macam Maslahah
Pembagian sifat yang selaras dengan penerapan hukum (al-washf al-munasib) diatas ialah dilihat dari segi pengakuan dan tidaknya syara’ terhadap maslahah tersebut. Dari segi prioritas waktu pemenuhannya, maslahah terbagi menjadi tiga macam.

  1. Al-Dharuriyah
Maslahah ini adalah suatu hal yang urgen bagi kehidupan manusia di dunia maupun akhirat. Apabila maslahah ini tidak terwujud maka kehidupan di dunia akan timpang, kebahagian akhirat tidak tercapai dan mendapat siksa. Kemaslahatan ini ialah memelihara maqashid al-syari’ah al-kulliyah (tujuan-tujuan dasar syariat) yang mencakup lima hal, yakni hifzd al-din (memelihara agama), hifd al-nafs (perlindungan jiwa), hifzd al-’aql (perlindungan terhadap akal), hifzd al-nasl (pemeliharaan keturunan), hifzd al-mal (dan perlindungan atas harta kekayaan).

  1. Al-Hajiyah
Maslahah al-hajiyah (sekunder) ialah maslahah yang dibutuhkan manusia untuk menghilangkan kesulitan. Apabila hal ini tidak terwujud maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan yang tidak sampai mengakibatkan bahaya terhadap manusia itu sendiri. Syari’  dalam mewujudkan maslahah ini mensyariatkan ketentuan-ketentuan dalam muamalah, keringanan kebolehan jama’ dan qashar shalat bagi musafir, dipebolehkannya tidak puasa bagi wanita hamil, menyusui dan orang sakit, dan lainnya.

  1. Al-Tahsiniyah
Maslahah ini ditujukan untuk mengakomodasi adat istiadat (kebiasaan) dan akhlak yang mulia. Seperti disyariatkannya bersuci sebelum shalat, berpakaian indah dan rapi, dan lainnya.[7]

C.        Definisi Maslahah Mursalah
Maslahah sama halnya dengan manfaat yang berarti masdar bermakna shalah (damai, baik, dan lainnya), pengarang kitab Lisan al-Arab sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi mengatakan bahwa maslahah bermakna dua wajah, yakni maslahah bermakna shalah dan maslahah yang berarti salah satu dari masalih (beberapa kemaslahatan).[8]
Secara etimologis, kata al-maslahah berarti sesuatu yang baik. Al-maslahah kadang-kadang disebut pula dengan istishlah yang berarti mencari yang baik. Sedangkan al-mursalah secara literal adalah yang lepas. Dan menurut Khalid Ramadhan Hasan, al-mursalah berarti suatu kemaslahatan yang terlepas dari pengukuhan atau penolakan syara’.[9]
Mengutip pendapat Al-Ghazali, Wahbah mengatakan bahwa maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menghindarkan madharat. Adapun dalam pembahasan ini maksud daripada maslahah itu sendiri ialah melestarikan tujuan-tujuan syariat (al-muhafadzah ‘ala maqshud al-syar’i) yang mencakup lima hal pokok berupa hifzd al-din, hifd al-nafs, hifzd al-’aql, hifzd al-nasl, dan hifzd al-mal. Jadi setiap hal yang didalamnya terkandung pemeliharaan terhadap lima prinsip tersebut maka disebut dengan maslahah. Setiap sesuatu yang bisa meniadakan lima prinsip dasar tersebut maka itu sebuah mafsadah, sedangkan menghilangkan mafsadah merupakan sebuah maslahah.[10]
Ta’rif dari al-Ghazali ini menurut wahbah adalah ta’rif yang tepat dalam menjelaskan maslahah. Hal ini karena setiap manusia memiliki penilaian tersendiri terhadap maslahah, apalagi setiap dari mereka cenderung untuk memenuhi kepentingan pribadi dan menghiraukan kemaslahatan umum. Adalah sebuah keniscayaan syari’  dalam memberikan ketentuan-ketentuan syara’ supaya terwujud netralitas dalam menimbang kemaslahatan dan mendistribusikan manfaat. Maslahah haruslah didasarkan pada syara’ bukan hawa nafsu dan rasio.[11]
Al-khawarizmiy yang dikutip pula oleh Wahbah, berkata bahwa yang dimaksud dengan maslahah ialah pemeliharaan terhadap tujuan-tujuan dari syari’ dengan menolak mafsadah (kerusakan) dari makhluk.[12] Sedangkan Khalid Ramadhan Hasan dalam bukunya Mu’jam Ushul al-Fiqh mengatakan bahwa al-maslahah adalah menarik sebuah manfaat dan menolak madharat dengan memelihara tujuan-tujuan syari’ , beliau juga mengutip beberapa pendapat ulama’ ushul tentang definisi maslahah yang diantaranya imam al-Syathibi mengatakan bahwa syariat tidak dikreasikan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan para hamba baik di dunia ataupun di akhirat kelak dan menolak mafsadah yang dihadapi mereka.[13]
Secara terminologis, definisi maslahah mursalah terdapat banyak ragam. Akan tetapi definisi-definisi yang ditawarkan para pakar ushul fiqh kesemuanya mempunyai kedekatan makna. Setelah memaparkan beberapa definisi maslahah mursalah dari sebagian ulama’ ushul, Wahbah memilih definisi lain yang menurutnya lebih memperjelas pengertian maslahah mursalah. Yakni, maslahah mursalah adalah sifat-sifat yang mempunyai keselarasan dengan penetapan-penetapan syara’ dan tujuan-tujuannya, akan tetapi tidak ada dalil yang spesifik mengukuhkan atau menolaknya. Dan dari hubungan karakter atau sifat tersebut dengan hukum ini kemudian dihasilkan sebuah perwujudan kemaslahatan dan menolak atau menghindari mafsadah pada manusia.[14]

D.       Ber-hujjah Dengan Maslahah Mursalah
Dalam menyikapi maslahah al-mursalah sebagai istidlal hukum syara’, terdapat perbedaan pendapat para pakar ushul fiqh. Secara ringkas, berikut pemaparan pendapat-pendapat para ushuliyin yang penulis kutip dari kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiy karya Wahbah al-Zuhailiy:[15]
1.   Jumhur ulama’ berpendapat bahwa maslahah mursalah tidak dapat dijadikan landasan hukum. Ibnu Hajib seorang ulama' kalangan Malikiyah pun mengamininya dengan mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipilih. Demikian juga al-Amudi berkata bahwa inilah pendapat yang benar, dimana para fuqaha’ bersepakat dalam hal ini. Adapun para pakar fiqh Syiah menyepakati akan ketidak bolehannya berfatwa menggunakan maslahah mursalah.
2.   Bolehnya menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah secara mutlak. Pendapat ini berasal dari imam Malik yang kemudian dipilih oleh al-Haramain. Al-munasib al-mursal adalah hujjah secara mutlaq. Diriwayatkan bahwa imam Malik berkata akan kebolehan membunuh sepertiga kelompok orang demi menyelamatkan dua pertiga yang lain. Dalam ketentuan ini imam Malik menyandarkan pada pengamalan berdasarkan maslahah dimana maslahah menurut beliau bisa diambil dari nash ataupun dari keumuman lafazd yang terdapat dalam suatu nash seperti firman Allah QS. Al-hajj (22); 78,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ     
“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…”
begitu pula dalam sebuah hadits:
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak ada perbuatan yang membahayakan diri sendiri dan tidak pula orang lain.”
Dikatakan al-maslahah karena tidak terdapat larangan ataupun perintah dalam syara’ tentang maslahah mursalah dimana dalam maslahah mursalah kemanfaatan yang ada lebih banyak dibandingkan madharat yang ditimbulkannya.
Imam Ahmad pun menggunakan maslahah mursalah sebagaimana tersebut dalam ushul mazdhabnya, bahkan beliau berpendapat bolehnya seorang pemimpin menggunakan maslahah mursalah ini dalam rana siyasah syar’iyah yang mencakup banyak orang yang bertujuan untuk mewujudkan maslahah kepada manusia.
3.   Al-munasib al-mursal menurut al-Ghazali diakui keberadaannya sebagai hujjah apabila maslahah yang terdapat didalamnya berupa maslahah dharuriyah yang pasti terjadi (qath'iyah) dan cakupannya universal (kulliyah). Apabila tidak memenuhi tiga kriteria tersebut maka tidak lah sebuah maslahah diperhitungkan sebagai hujjah. Taraf dharuriyah berarti maslahah yang terkandung merupakan salah satu dari lima prinsip dasar berupa hifzd al-din (memelihara agama), hifzd al-nafs (perlindungan jiwa), hifzd al-’aql (perlindungan terhadap akal), hifzd al-nasl (pemeliharaan keturunan), hifzd al-mal (dan perlindungan atas harta kekayaan). Adapun yang dimaksud qath'iyah ialah bahwa maslahah yang dituju sudah dapat dipastikan terwujud dan maksud dari kulliyah adalah kemaslahatan yang mencakup kepentingan umat Islam.
 Dari pemaparan diatas dapat dikerucutkan lagi bahwa dalam menyikapi maslahah mursalah para ulama' terbagi menjadi dua kubu yang mencegah dan memperbolehkan berhujjah dengan maslahah mursalah. Wahbah mengatakan, mereka yang melarang berhujjah dengan maslahah murslalah ialah ulama' Dhahiriyah, Syi'ah, Syafi'iyah, dan Ibnu Hajib dari kalangan Malikiyah. Yang membolehkan berhujjah dengan maslahah mursalah ialah mereka dari golongan Malikiyah dan Hanabilah. Adapun para ulama' Hanafiyah sebagaimana dikatakan oleh al-Amudi bahwa dalam menyikapi hal itu mereka sejalan dengan ulama' Syafi'iyah yang menolak penggunaan maslahah mursalah. Namun wahbah mengatakan bahwa Hanafiyah menggunakan maslahah mursalah dengan jalan istihsan sebagai metode yang digunakan Abu Hanifah. Kebanyakan dalam menggunakan istihsan yang mereka (hanafiyah) terapkan ialah didasarkan pada maslahah mursalah.[16] Natijah dalam pembahasan sub bab ini adalah bahwa mayoritas ulama’ mengakui maslahah mursalah sebagai hujjah atau salah satu dalil syara’.

E.         Argumentasi Penentang dan Pendukung Legalitas Maslahah Mursalah
Banyak argumen dari masing-masing kubu dalam mengomentari keabsahan maslahah mursalah. Berikut adalah dalil-dalil dari kedua belah pihak yang menentang dan yang menetapkan legalitas maslahah mursalah sebagaimana yang dipaparkan oelh Wahbah.[17]

1.      Adillah al-Nufah (Dalil-Dalil Penentang Maslahah Mursalah)
a.      Penggunaan maslahah mursalah bisa mengurangi kesakralan hukum-hukum syara’, karena dalam penggunaannya sering ditumpangi kepentingan pribadi, hawa nafsu dan mencari kesenangan semata. Menurut Ibnu Hazm, menggunakan maslahah mursalah yang termasuk bagian dari pemuasan diri dengan bersenang-senang dan menuruti keinginan adalah sesuatu yang batal.
Pendapat ini disanggah oleh Wahbah al-Zuhaili bahwa tidak benar penggunaan maslahah mursalah dikatakan sebagai penurutan hawa nafsu. Karena dalam penerapan metode ini harus memenuhi beberapa syarat yang diantaranya adalah adanya kesesuaian maslahah dengan maqashid al-syar’i.
b.      Maslahah mursalah berada dalam dua posisi, yakni posisi penolakan syara’ terhadap sebagian maslahah dan pengukuhan syara’ terhadap sebagian maslahah yang lain. Apabila maslahah mursalah adalah suatu keharusan karena adanya kesamaan dengan maslahah yang mu’tabar (diakui oleh syara’) dalam segi kemaslahatan maka sudah semestinya maslahah mursalah diabaikan karena adanya kesamaan dengan maslahah al-mulgha dilihat dari segi tidak adanya pengukuhan dari syara’. Alasan ihtimal dua hal inilah (kemungkinan maslahah mursalah sebagai maslahah mu’tabar disatu sisi dan maslahah mulgha disisi yang lain) yang menjadikan tidak diperbolehkan menggunakan maslahah mursalah. Karena tidak adanya pertarjihan antara dua hal tersebut maka tidak sah menjadikan maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum syariat. Al-Amudi berkata: maslahah mursalah berada dalam dua posisi antara maslahah mu’tabar dan mulgha. Mengarahkan pada salah satu sisi tersebut tidaklah lebih baik, oleh karenanya maslahah mursalah tidak bisa dijadikan hujjah tanpa adanya pengakuan dari syara’ apakah termasuk maslahah yang mu’tabar atau maslahah yang mulgha.”
Tanggapan terhadap alasan ini ialah bahwa adanya maslahah lebih kuat (rajih) dari unsur mafsadah menjadikan pengakuan legalitas maslahah itu lebih kuat daripada mengabaikannya. Syâri’  pun menjadikan maslahah sebagai prinsip dasar dalam pensyariatan hukum. Selain itu, maslahah yang di abaikan oleh syara’ (maslahah mulgha) jumlahnya relatif sedikit dibandingkan maslahah yang diakui dan dikukuhkan syara’. Maka dari itu, penyamaan (ilhaq) suatu hukum ialah pada hal-hal yang umum dan sering terjadi.
c.       Penggunaan maslahah mursalah akan menyebabkan rusaknya kesatuan dan keumuman syariat. karena, berbedanya hukum disebabkan berbeda-bedanya tempat, kondisi dan pelaku dengan melihat bergantinya maslahah dari waktu ke waktu.
Argumen ini pun tak luput dari sanggahan para pengguna maslahah mursalah. Mereka menanggapi dengan mengatakan bahwa penggunaan maslahah mursalah yaitu ketika tidak terdapat nash yang mengukuhkan keberadaannya atau yang menolaknya. Oleh karena itu, penerapan maslahah mursalah tidaklah menafikan (meniadakan) prinsip kesatuan dan universalitas syariat bahkan sebaliknya dengan menggunakan maslahah mursalah syara’ akan menjadi relevan dalam setiap tempat dan zaman.

2.      Adillah al-Mutsbitun (Dalil-dalil Pendukung Legalitas Maslahah Mursalah)
Para ulama’ yang berpendapat akan kebolehan berhujjah menggunakan maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut ini:
a.      Berdasarkan istiqra’ atau penelitian dihasilkan bahwasanya dalam hukum-hukum syara’ terdapat kemaslahatan bagi manusia. Dari asumsi ini timbullah zdan (dugaan kuat) akan pengukuhan maslahah sebagai ta’lil al-ahkam. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa beramal dengan dugaan yang kuat adalah sebuah kewajiban. Adapun dalil nash yang dijadikan pengukuhan maslahah adalah firman Allah QS. Al-Anbiya’ (21); 107,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Konsekuensi dari rahmat adalah wujudnya kemaslahatan. Allah berfirman pula dalam QS. Al-Baqarah (2); 185 ,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ  
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Ia tidak menghendaki kesukaran bagi kalian…”
tersebut pula dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Majah, bahwa nabi berkata:
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak ada perbuatan yang membahayakan diri sendiri dan tidak pula orang lain.”
b.      Perkembangan zaman yang semakin pesat dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup pun mengalami perubahan pula. Seiring dengan berubahnya kemaslahatan manusia, apabila harus terpaku pada hukum-hukum yang telah ditetapkan syara’ maka akan banyak kemaslahatan manusia yang terabaikan, kejumudan, stagnasi dan terkesan syariat Islam tidak relevan dengan perkembangan zaman.
c.       Para sahabat dan generasi setelahnya berijtihad dan berfatwa pada beberapa kasus dengan didasarkan pada maslahah tanpa terikat ketentuan-ketentuan kaidah Qiyas yakni tanpa adanya pengukuhan dari nash atas maslahah itu sendiri. Hal demikian berjalan tanpa adanya penolakan dan pengingkaran. Fakta ini menimbulkan sebuah dugaan bahwa telah terjadi Ijma’ akan keabsahan penggunaan maslahah mursalah sebagai metode penggalian hukum. Adapun Ijma’ adalah sebuah hujjah yang wajib untuk mengamalkannya. Contoh kebijakan sahabat yang didasarkan pada maslahah mursalah adalah upaya kodifikasi al-Quran atas saran Umar pada khalifah Abu Bakr yang kemudian diteruskan oleh khalifah sesudahnya.

F.         Syarat-Syarat Beramal Dengan Maslahah Mursalah
Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah menentukan tiga syarat dalam beramal menggunakan maslahah mursalah.
1.      Maslahah harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’ , yang berarti maslahah tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Demikian pula maslahah tidak boleh bertentangan dengan nash atau dalil-dalil yang pasti (qath’iyah).
2.      Kemaslahatan harus bisa diterima oleh akal (rasional). Maksudnya, maslahah atau sifat-sifat yang munasib tersebut dapat dirasionalisasikan dan dapat diterima oleh akal.
3.      Cakupan maslahah haruslah bersifat universal, mencakup khalayak umum bukan individual atau sekelompok tertentu. Karena hukum-hukum syara’ berlaku pada semua manusia.[18]
 Wahbah al-Zuhaili pada akhir pembahasan ini (syarat-syarat beramal dengan maslahah mursalah) mengatakan bahwa ketentuan beramal dengan syarat-syarat maslahah mursalah yakni apabila perbuatan atau amal tersebut berupa maslahah yang nyata (haqiqatan) bukan sekedar dugaan (wahmiyah) sekira dapat mewujudkan kemslahatan dan menolak madharat, dan tidak pula ketika beramal dengan maslahah tersebut bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan berdasarkan nash atau Ijma’. Ketentuan yang terakhir menurut Wahbah ialah bahwa cakupan maslahah bersifat umum, yakni dapat mewujudkan manfaat bagi banyak orang.[19]

AL-MARAJI’

Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, tt., Dhawabith al-Maslahah fiy Syari’ah al-Islamiyah, Damsiq: Syiria

Al-Zuhaili, Wahbah, 2008, Ushul Fiqh al-Islamiy, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr

Hasan, Khalid Ramadhan, 1998, Mu’jam Ushul al-fiqh, Mesir: al-Raudhoh

Khallaf, Abdul Wahhab, tt., ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Arab Saudi: Dar al-Ilm

Pulungan, J. Suyuthi, 2002, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada

Zahrah, Muhammad Abu, tt., Ushul Fiqh, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr






[1] Makalah disusun dan diajukan guna memenuhi tugas akhir mata kuliah : Filsafat Hukum Islam Dosen pengampuh: Drs. Mufarichin, SH. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An-Nawawi Program Studi Syariah Muamalah  Purworejo 2011
                [2] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2002) hlm. 36
[3] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Arab Saudi: Dar al-Ilm, tt.) hlm. 197
[4] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2008), juz II hlm. 33
[5] Lihat pula: Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, tt.) hlm. 278
[6] Wahbah al-Zuhailiy, Op., Cit., juz II, hlm. 33-35
[7] Ibid., juz II, hlm. 35-36
[8] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fiy Syari’ah al-Islamiyah, (Damsiq: Syiria, tt.) hlm. 23
[9] Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul al-fiqh, (Mesir: al-Raudhoh, 1998), hlm. 270
[10] Wahbah al-Zuhailiy, op., cit.,  juz II, hlm. 37
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Khalid Ramadhan Hasan, Op., Cit. hlm. 268
[14] Wahbah al-Zuhailiy, Op., Cit., juz II, hlm. 37
[15] Ibid.,  juz II, hlm. 38-39
[16] Ibid.,  juz II, hlm. 41
[17] Lebih lengkapnya, lihat Wahbah, Ibid., juz II, hlm. 41-44
[18] Ibid., juz II, hlm. 77-78
[19] Wahbah al-Zuhailiy, juz II, hlm. 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KILAS SEJARAH DINASTI UMAYAH

Dinasti Bani Umayah adalah sebuah dinasti yang berkuasa dalam dunia Islam dari tahun 661 hingga 750 M. Dinasti ini didirikan setelah kematia...