Selasa, 28 September 2010

SIFAT AL-MA’ÂNI; QUDRAH, IRÂDAH, DAN ‘ILMU


TERJEMAH KITAB UMM AL-BARÂHIN

SIFAT AL-MA’ÂNI; QUDRAH, IRÂDAH, DAN ‘ILMU

Diterjemahkan Guna Memenuhi Tugas Akhir
Madrasah III MDU Putra
PP. An-Nawawi Berjan Purworejo



Oleh; Sukabul
Santri kelas III MDU Putra
PP. An-Nawawi Berjan Purworejo


PP. AN-NAWAWI BERJAN PURWOREJO
2009--2010 M./1430-1431 H

SIFAT AL-MA’ÂNI;
Qudrah, Irâdah, dan ‘ilmu

AL-TAMHÍD

Sifat-sifat wajib bagi Allah yang berjumlah 20 dan terbagi kepada 4 bagian, yaitu sifat nafsiyyah, salbiyyah, ma’âni dan ma’nawiyyah. Syaikh Muhammad Sanusi dalam kitab Umm al-Barâhin juga menyebutkan hal ini.
Adapun sifat ma’âni yang tersebut diatas mencakup 7 sifat yaitu: qudrah, irâdah, ilmu, hayah, sama’, bashor dan kalâm.
Yang dikehendaki oleh mereka para ahli tauhid (mutallimin dari Sunni dan Mu’tazilah) dengan sifat-sifat ma’âni adalah sifat yang wujud atau ada dengan sendirinya baik itu dalam sesuatu yang sifatnya hâdits seperti putih atau hitamnya badan dan ada pada sesuatu yang sifatnya qadîm (dahulu).
Dalam kesempatan kali ini, pembahasan kami hanya mengacu pada tiga dari tujuh sifat yang masuk dalam klasifikasi sifat ma’âni, yaitu sifat qudrah, irâdah, dan ‘ilmu. Insya Allâh.

AL-MABHATS

1. Sifat Qudrah dan Iradah.

(ص) وهي القدرة والارادة المتعلقان بجميع الممكنات.
Kedua sifat ini mempunyai ta’aluq atau berhubungan dengan segala sesuatu yang sifatnya mumkîn.
(ش) يعنى ان القدرة والارادة متعلقهما واحد وهو الممكنات دون الواجبات والمستحيلات الا ان جهة تعلقهما بالممكنات مختلفة.
Qudrah dan irâdah ber-ta’alluq dengan hal yang sama yaitu semua yang mumkîn. qudrah dan irâdah tidak ber-ta’alluq dengan yang wajib keberadaannya dan juga tidak ber-ta’alluq dengan hal yang mustahil adanya. Yang perlu digaris bawahi meskipun kedua sifat ini sama-sama ber-ta’aluq dengan hal-hal yang mumkîn akan tetapi sisi ta’aluq dari keduanya berbeda.
فالقدرة صفة تؤثر فى ايجاد الممكن واعدامه, والارادة صفة تؤثر فى اختصاص احد طرفي الممكن من وجود او عدم أو طول أو قصر ونحوها بالوقوع بدلا عن مقابله.
Ta’alluq dari sifat qudrah dan irâdah dengan yang mumkîn dinamakan ta’alluq ta’tsîr. Meskipun ta’tsîr (konsekuensi) qudrah dan irâdah berbeda, dimana ta’tsîr dari sifat qudrah adalah îjâd (mewujudkan sesuatu) dan i’dâm (meniadakan sesuatu). sedangkan ta’tsîr dari sifat irâdah lebih mengerucut pada spesifikasi (takhshîs) dua sisi dari hal-hal yang sifatnya mumkîn -baik itu ada dan tiada, panjang ataupun pendek dan lain sebagainya.
فصار تأثير القدرة فرع تأثير الارادة اذ لا يوجد مولانا جل وعز من الممكنات او يُعدم بقدرته الا ما اراد تعالى وجوده او اعدامه, وتأثير الارادة على وفق العلم عند اهل الحق.
Dari keterangan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ta’tsîr dari sifat qudrah merupakan cabang dari ta’tsîr yang ditimbulkan oleh sifat irâdah. Ini suatu yang logis karena Allah swt. sendiri tidak mewujudkan atau meniadakan sesuatu dengan kekuasaannya kecuali apa yang telah dikehendaki-Nya. Ulamâ’ ahl al-haq (ulama’ Sunni) berpendapat bahwa ta’tsîr sifat irâdah harus sesuai dengan sifat ‘ilmu.
فكل ما علم الله تبارك وتعالى أنه يكون من الممكنات أو لا يكون. فذلك مراده جل وعز.
Wal-hâshil, segala sesuatu yang diketahui Allah –tabâraka wa ta’âlâ- ialah sesuatu yang mumkîn atau tidak mumkîn ada. Dan semua itu tentunya berdasarkan kehendak dariNya.
والمعتزلة –قبحهم الله تعالى- جعلوا تعلق الارادة تابعا للأمر فلا يريد عندهم مولانا وجل عز الا ما أمر به من الايمان والطاعة سواء وقع ذلك ام لا.
فعندنا ايمان ابي جهل مأمور به غير مراد له تبارك وتعالى, لانه جل وعز علم عدم وقوعه وكفر أبي جهل منهي عنه وهو واقع بارادة الله تعالى وقدرته.
وعند المعتزلة –قبحهم الله تعالى رأيهم- ايمانه وهو المراد لله تعالى لا كفره. فلزمهم ان يقع نقص فى ملك مولانا جل وعز, اذ وقع فيه على قولهم ما لا يريده تعالى من له ملك السموات والأرض وما بينهما –تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا-.
Ulama’ dari kalangan Mu'tazilah –semoga Allah menghinakan mereka- ber-argumentasi dengan membuat komentar bahwa ta’aluq dari sifat qudrah mengikuti suatu perkara. Maka dari itu –masih menurut mereka- Allah ‘azza wa jalla tidaklah menghendaki suatu hal kecuali apa yang telah Dia perintahkan yaitu iman dan taat, baik kedua hal tersebut dapat terealisasi ataupun tidak.
Pendapat tersebut bertentangan dengan apa yang kita yakini, menurut pendapat kita bahwasanya iman Abi Jahl ialah sesuatu yang diperintahkan Allah akan tetapi tidak dikehendaki olehNya. Hal ini dikarenakan bahwasanya Allah ‘azza wa jalla telah mengetahui tidak mungkinnya iman Abi Jahl tersebut bisa terjadi. Kekufuran Abi Jahl ialah sesuatu yang dilarang dan kufur tersebut terjadi dengan kehendak dan kekuasaan Allah.
Menurut mu’tazilah –semoga Allah menghinakan argumentasi mereka- imannya Abi Jahl adalah yang dikehendaki oleh Allah bukan kekufurannya. Berdasarkan pendapat mereka, sudah barang tentu terdapat kekurangan didalam kekuasaan maulâna jalla wa ‘azza. Hal ini dikarenakan berdasarkan ucapan kaum Mu’tazilah tersebut bahwasanya dapat terjadinya sesuatu yang berada dibawah kekuasaan-Nya hal-hal yang tidak dikehendaki oleh Allah ta’âlâ; zdat yang merajai langit, bumi dan setiap sesuatu yang berada diantara keduanya. Sungguh maha luhur Allah dari kekurangan tersebut.
وبالجملة فالمتعلقات عند اهل الحق ثلاثة مرتبة: تعلق القدرة وتعلق الارادة وتعلق العلم بالممكنات. فالاول مرتب على الثاني والثاني مرتب على الثالث.
Secara global, menurut ‘ulamâ’ ahl al-haq terdapat tiga tingkatan ta’alluq, yaitu; ta’alluq al-qudrah, ta’alluq al-irâdah, dan ta’alluq al-‘ilm. Secara sistematis ta’alluq yang disebut awal tingkatannya berada diatas ta’alluq kedua dan begitu juga ta’alluq kedua diatas ta’alluq ketiga.
وانمالم تتعلق القدرة والارادة بالواجب والمستحيل لان القدرة والارادة لما كانتا صفتين مؤثيرين. -ومن لازم الاثر ان يكون موجودا بعد عدم- لزم ان ما لا يقبل العدم اصلا كالواجب لا يقبل ان يكون أثرا لهما, والا لزم تحصيل الحاصل وما لا يقبل الوجود اصلا كالمستحيل لا يقبل أيضا أن يكون أثرا لهما, والا لزم قلب الحقائق برجوع المستحيل عين الجائز
فلا قصور اصلا فى عدم تعلق القدرة والارادة القديمتين بالواجب والمستحيل بل لو تعلقتا بهما لزم حنئذ القصور لانه يلزم على هذا التقدير الفاسد ان يجوز تعلقهما باعدام انفسهما بل باعدام الذات العلية وباثبات الألوهية لمن لا يقبلها من الحوادث وسلبها عمن تجب له وهو مولانا جل وعز.
Sifat qudrah dan irâdah tidaklah ber-ta’aluq dengan sesuatu yang sifatnya wajib dan mustahil, karena qudrah dan irâdah ialah sifat yang mempunyai astar atau konsekuensi, -Salah satu contoh yang pasti ada dari suatu atsar atau dampak ialah terwujudnya sesuatu setelah ketiadaan-. Maka dari itu lazim, bahwa pada dasarnya perkara yang tidak mungkin menerima ketiadaan -seperti yang wajib adanya- tidaklah mungkin menerima atsar dari sifat qudrah dan irâdah. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya -menerima atsar- maka dapat dikatakan bahwa itu membuat suatu ketetapan baru dari sesuatu yang telah tetap sebelumnya. Begitu pula dengan sesuatu yang tidak mungkin wujud seperti hal-hal yang mustahil tidaklah mungkin menerima atsar dari kedua sifat Allah tersebut. Dan apabila yang terjadi adalah sebaliknya –yaitu menerima atsar- maka akan terjadi ketidakpastian pada hal-hal yang haq karena kembalinya perkara yang mustahil pada suatu keadaan yang sifatnya jâiz.
Pada dasarnya tidak ada cacat dalam pembahasan ketiadaan ta’alluq sifat qudrah dan irâdah dengan perkara yang wajib dan mustahil. Bahkan andai kata kedua hal yang wajib dan mustahil tersebut ber-ta’alluq dengan sifat qudrah dan irâdah pastinya akan terdapat kecacatan. Karena, berdasarkan pendapat yang fasîd seperti ini memungkinkan meniadakan kedua sifat tersebut (qudrah dan irâdah) bahkan mungkin untuk meniadakan zdat yang maha luhur, menetapkan sifat ketuhanan kepada sesuatu hal yang sifatnya hâdits yang tidak berhak menerimanya, menghilangkan sifat ketuhanan zdat yang berhak akan sifat tersebut yaitu Allah ‘azza wa jalla.
وأي نقص وفساد أعظم من هذا. وبالجملة فذلك التقدير الفاسد يؤدى الى تخليط عظيم لا يبقى معه شيء من الايمان ولا شيء من العقليات أصلا
ولخفاء هذا المعنى على بعض الأغبياء من المبتدعة صرح بنقيض ذلك فنقل عن أبن حزم أنه قال فى الملل والنحل انه تعالى قادر ان يتخذ ولدا اذ لو لم يقدر عليه لكان عاجزا.
Setiap sesuatu yang sifatnya naqs (kurang) dan fasad tentunya lebih besar kecacatannya daripada yang telah disebut awal. Dan secara global pada dasarnya hipotesis yang fasîd tersebut dapat menimbulkan suatu percampuran besar yang tidak dapat diketahui darinya bagian-bagian dari iman dan hal-hal yang sifatnya rasional.
Karena ketidakjelasan makna yang difaham sebagian orang-orang bodoh kalangan ahli bid’ah, kemudian mushonif membuat perbandingan dalam meniadakan naqs dengan me-nuqil ucapan Ibnu Hazm dalam kitab al-Fashl fiy al-Milal wa al-Nahl. Beliau berkata; “bahwasanya Allah ta’âlâ kuasa untuk mewujudkan anak, karena apabila Allah tidak kuasa untuk mewujudkan anak maka Allah ialah sesuatu yang ‘âjiz”.
فانظر اختلال عقل هذا المبتدع كيف غفل عما يلزمه على هذه المقالة الشنيعة من اللوازم التى لا تدخل تحت وهم وكيف فاته أن العجز انما يكون لو كان القصور جاء من ناحية القدرة.
اما اذا كان لعدم تعلق القدرة فلا يتوهم عاقل ان هذا عجز.
Lihatlah kecacatan pemikiran dari orang-orang ahli bid’ah, bagaimana mereka melalaikan sesuatu yang wajib bagi mereka berdasarkan ucapan mereka yang keji berupa ketetapan-ketetapan yang sebenarnya tidak mungkin terlintas dalam persangkaan sekalipun. Dan bagaimana pula mereka melalaikan, tidak terpikir oleh mereka bahwa kedangkalan akal, sifat defisit atau kekurangan itu datang dari sesuatu yang kapasitas kekuasaannya terbatas.
Namun, jika kedangkalan akal, kekurangan itu dikarenakan ketiadaan hubungan atau keterikatan dengan sifat qudrah maka tidak mungkin ada persangkaan bagi orang yang berakal, dimana mereka (‘âqil) bersifat lemah atau tidak berdaya.
وذكر الاستاذ ابو اسحق الاسفراني ان اول من اخذ منه هذا المبتدع وأشباعه ذلك بحسب فهمهم الركيك من قصة ادريس عليه السلام حيث جاء ذا ابليس فى صورة أدم وهو يخيط ويقول فى كل دخلة الابرة وخرجتها سبحان الله والحمد لله جاءه بقشرة بيضة, فقال له الله تعالى يقدر ان يجعل الدنيا فى هذه القشرة فقال له فى جوابه: الله تعالى قادر ان يجعل الدنيا فى سم هذه العبرة ونخس احدى عينيه فصار أعور.
Ustazd Abu Ishaq al-Ashfraniy menyebutkan bahwa orang yang pertama kali mengadopsi pendapat ahli bid’ah dan rekan-rekannya tentang kekuasaan Allah mewujudkan anak ialah dengan berdasarkan pemahaman mereka yang begitu hina tentang kisah nabi Idris ‘alaih al-salâm, dimana saat beliau nabi Idris sedang menjahit datanglah iblis dalam bentuk adam ‘alaih al-salâm. Setiap nabi Idris memasukkan dan mengeluarkan benang beliau selalu berkata; maha suci Allah, segala puji bagi Allah. Iblis datang pada nabi Idris dengan membawa kulit telur dan bertanya pada Idris; apakah Allah sanggup memasukkan dunia kedalam kulit telur ini? Nabi Idris menjawab dengan tegas bahwa Allah mampu untuk memasukkan dunia ke dalam lobang jarum jahit ini dan nabi Idris kemudian menusuk salah satu mata si iblis tersebut dan butalah sebelah matanya.
قال وهذا وان لم يرو عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فقد ظهر وانتشر ظهورا لا يرد.
وقد اخذ أبو الحسن الاشعرى من جواب ادريس عليه السلام اجوبة فى مسائل كثيرة من هذا الجنس. واوضح هذا الجواب فقال ان اراد السائل ان الدنيا على ما هي عليه والقشرة على ما هي علية فلم يقل ما يعقل فان الاجسام الكثيرة يستحيل أن تتداخل وتكون فى حيز واحد, وان اراد انه يصغر الديا قدر القشرة ويجعلها فيها ويكبر القشرة قدر الدنيا ويجعل الدنيا فيها فلعُمُرى الله تعالى قادر على ذلك وعلى اكبر منه.
قال بعض المشايخ وانما لم يفصل ادريس عليه السلام الجواب هكذا لان السائل متعنت ولهذا عاقبه على هذا السؤال ينخس العين. وذلك عقوبة كل سائل مثله.
Mengenai kisah diatas Abu Ishaq berkata meskipun kisah nabi Idris ini tidak diriwayatkan dari Rasulullah saw., namun kisah Idris diatas sudah masyhur dan tidak terdapat penolakan terhadapnya.
Abu Hasan al-Asy'ari menggunakan argumentasi Nabi Idris atas iblis diatas untuk menjawab sekian banyak permasalahan yang sejenis. Beliau juga memberikan penjelasan tentang jawaban tersebut apabila seseorang penanya menghendaki jawaban bahwa dunia bisa berada dalam sesuatu dan kulit telur bisa berada dalam sesuatu pula dan penanya tidak mengatakan sesuatu yang mempunyai akal, dan bahwasanya jisim-jisim mustahil untuk bisa dimasukkan dalam satu tempat, dan penanya juga menghendaki semisal bahwa Allah memperkecil dunia menjadi ukuran kulit telur dan Allah menjadikan dunia berada dalam kulit telur tersebut, atau Allah memperbesar kulit telur tersebut sebesar dunia kemudian dunia dimasukkan pada kulit telur tersebut. Maka aku bersumpah demi umurku (kata Abu Hasan al-Asy’ariy) demi umurku, bahwasanya Allah kuasa akan semua itu bahkan hal-hal yang lebih besar dari itu.
Sebagian dari beberapa masyâyîkh mempertegas statemen diatas dengan berkata meskipun nabi Idris ‘alaih al-salâm tidak menjelaskan jawabannya secara terperinci seperti penjelasan diatas hal itu dikarenakan yang bertanya pada Idris jelas-jelas keras kepala, dimana pertanyaannya justru menjadikan nabi idris menyiksanya dengan menusukkan jarum pada matanya. Dan siksaan itu berlaku pula pada mereka pengikut jejak iblis dalam kisah diatas.

2. Sifat ‘Ilmu

(ص) والعلم المتعلق بجميع الواجبات والجائزات والمستحيلات.
(ش) العلم هو صفة ينكشف بها ما تتعلق به انكشافا لا يحتمل النقيص بوجه من الوجوه. فمعنى قولنا المتعلق بجميع الواجبات الى اخره أن جميع هذه الامور منكشفة لعلمه تعالى ومتضحة له تعالى أزلا وأبدا بلا تأمل ولا استدلال اتضاحا لا يمكن أن يكون فى نفس الأمر على خلاف ما علمه عز و جل.
Sifat ‘ilmu ini ialah sifat yang berhubungan dengan semua hal yang sifatnya wajib, jâiz, dan mustahil.
‘Ilmu adalah sifat dimana sesuatu yang berhubungan dengan sifat ini bisa diketahui dengan sempurna (tanpa adanya kekurangan dari berbagai sisi). Makna dari redaksi al-muta’allaq bi jami’ al-munkinat berarti setiap sesuatu dapat diketahui secara sempurna dengan sifat ‘ilmu yang dimiliki Allah ta’âlâ dan jelas bagi Allah -yang tidak mungkin terdapat dalam sesuatu hal berbeda dengan sesuatu yang diketahui oleh-Nya- sejak zaman azali dan selama-lamanya tanpa taammul (proses berfikir) dan istidlal (pencarian dalil atau sesuatu yang menunjukkan).

" والله أعلم "

KILAS SEJARAH DINASTI UMAYAH

Dinasti Bani Umayah adalah sebuah dinasti yang berkuasa dalam dunia Islam dari tahun 661 hingga 750 M. Dinasti ini didirikan setelah kematia...