Minggu, 21 November 2010



TA’ARUDH BAINA AL-ADILLAH
(Teori Memilih Antara Beberapa Dalil yang Kontradiksi)

MAKALAH

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Qowa’idul Fiqh Muamalah
Dosen pengampuh : Sahlan, S.Ag. MSI.









Oleh:
Sukabul
Khusnul Harnas

Program Studi Syariah Muamalah
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An-Nawawi
Purworejo
2010





PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam sebagai agama yang aturannya mencakup berbagai aspek, tentunya mempunyai dasar-dasar pijakan dalam menentukan hukum yang lazim dikenal dengan masadhir al-ahkam al-syar’iyah (sumber-sumber hukum syara’). Tidak satupun yang ter-alpakan dalam agama ini. Termasuk dalam permasalahan hukum dimana hukum Islam mempunyai karakteristik syumuliyah atau kamaliyah.
Tingkat intelektualitas seseorang dalam memahami dalil-dalil syara’ terkadang menimbulkan adanya sebuah pertentangan antara satu dalil dengan dalil lain dalam benaknya. Pertentangan ini menjadi fakta yang sulit untuk dihindari oleh seorang mujtahid, yang kemudian dari kalangan ushuliyin merumuskan metode untuk mencarikan solusi apabila terdapat ta’arudh baina al-adillah.
Ahli ushul dari dua aliran (Hanafiyah dan Mutakallimin) membuat metode dalam menyelesaikan ta’arudh al-adillah, masing-masing dari metode yang mereka tawarkan mencakup berbagai teori bahasan fan ushul fiqh yang membutuhkan kejelihan dalam memahaminya. Sehingga, perlu adanya pembahasan khusus pada teori-teori tersebut sebelum memahami ta’arudh baina al-adillah itu sendiri.

B.      Rumusan Masalah
  1. Apakah ada ta’arudh dalam nash-nash al-Qur’an dan al-Sunah?
  2. Jika ada, bagaimana cara menyelesaikan ta’arudh baina al-adillah menurut ushuliyin?

C.      Tujuan
  1. Mengetahui hakikat dari ta’arudh baina al-adillah
  2. Mengetahui turuq daf’i ta’arudh baina al-adillah

PEMBAHASAN

A.      AL-NASAKH

1.       Ta’rif al-Nasakh
Dari segi bahasa kata nasakh mempunyai banyak arti, dantaranya nasakh yang berarti memindah, menghapus, atau menghilangkan.[1] Dari tinjauan makna bahasa, Wahbah al-Zuhailiy membagi makna nasakh menjadi dua macam:[2]
1)      Nasakh yang berarti pembatalan, penghapusan atau penghilangan. Seperti dikatakan “nassakhat al-syamsy al-zhill” dan ucapan “nasakhat al-riya atsar al-masyiy”.
2)      Nasakh yang berarti memindah atau mengutip (al-tahwil wa al-naql). Seperti dicontohkan “nasakhtu al-kitab ay naqaltuh” diantara nasakh yang bermakna naql adalah firman Allah ‘azza wa jalla QS. Al-Jatsiyah (45): 29:
#x»yd $oYç6»tFÏ. ß,ÏÜZtƒ Nä3øn=tæ Èd,ysø9$$Î/ 4 $¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇËÒÈ
Inilah Kitab (catatan) kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya kami Telah menyuruh mencatat apa yang Telah kamu kerjakan.
Nasakh menurut istilah ushuliyin, terdapat berbagai macam redaksi yang ditawarkan. Diantaranya, berikut adalah definisi nasakh yang kami kutip dari para pakar ushul fiqh:
a.       Abdul Hamid Hakim memberikan definisi nasakh dengan arti menghilangkan atau membatalkan hukum syar'iy dengan dalil syar'iy yang datang kemudian. Beliau berkata:[3]
"رفع حكم شرعي بدليل شرعى متأخر"
b.      Prof. Abdul Wahhab Khallaf dalam karyanya yang berjudul ‘lmu Ushul al-Fiqh” menawarkan sebuah definisi dari nasakh yang lebih memperjelas maknanya. Beliau mengatakan:
"النسخ في اصطلاح الأصوليين هو إبطال العمل بالحكم الشرعي بدليل متراخ عنه، يدل على إبطاله صراحة أو ضمناً، إبطالاً كلياً أو إبطالاً جزئياً لمصلحة اقتضيته، أو إظهار دليل لاحق نسخ ضمناً العمل بدليل سابق."
Nasakh menurut istilah ushuliyin adalah pembatalan pemberlakuan hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan hukum secara jelas atau secara substantif, baik pembatalan tersebut bersifat kulliy (global) dan juz’iy (partikal), dikarenakan adanya kemaslahatan yang menghendakinya. Atau nasakh berarti menyatakan dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.[4]
c.       Khalid Ramadhan Hasan, mendefinisikan nasakh dengan:



 



Nasakh menurut istilah ialah menghapus hukum dalil syara’ atau lafaznya dari al-kitab dan al-sunah. Atau nasakh berarti khitab yang menunjukkan pada penghapusan hukum yang telah ditetapkan oleh khitab yang terdahulu dalam satu sisi. [5]
d.      Murid dari Abdul Wahhab Khallaf, yaitu Dr. Wahbah al-Zuhailiy juga memberikan ta’rif nasakh dengan mengutip pendapat para pakar ushul fiqh. Menurut beliau ada dua macam arti nasakh yang masyhur dikalangan ushuliyin. Berikut kutipannya:[6]
1)      Ta’rif nasakh yang dikemukakan oleh imam al-Razi dan al-Baidhawi, yaitu:
بيان انتهاء أمد حكم شرعي بطريق شرعي متراخ عنه
Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syar’i yang datang kemudian.
2)      Ta’rif yang dikemukakan oleh Ibnu al-Hajib, yaitu:
رفع حكم شرعي بدليل شرعي متأخر
Pembatalan hukum syara’ dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
Definisi-definisi nasakh diatas, secara substantif semuanya mempunyai kedekatan makna, perbedaan yang ada hanya sebatas teks redaksi yang ditawarkan oleh masing-masing pakar. Diantara mereka ada yang mempersingkat dan ada pula yang memperjelas dengan banyak perincian.

2.       Arkan al-Nasakh
Dari berbagai definisi yang telah penulis kutip, tentunya jelas bahwasanya nasakh mempunyai beberapa rukun. Rukun-rukun nasakh yaitu:
a.       adat al-nasakh, yaitu pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b.      Nasikh, yaitu Allah ‘azza wa jalla.
c.       Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan atau dihapus.
d.      Mansukhanh, yaitu orang yang dibebani hukum syara’. [7]


3.       Cara Mengetahui nasikh dan Mansukh
Untuk mengetahui atau melacak tentang nasikh[8] dan mansukh, antara lain melalui cara berikut ini:
a.       Penjelasan langsung dari Rasulullah saw.
b.      Dalam suatu nasakh, terkadang terdapat suatu keterangan yang menyatakan bahwa salah satu nash diturunkan terlebih dahulu. Misalnya hadits Rasulullah tentang ziarah kubur berikut ini:
كنت نهيتكم عن زيارة القبر فزورها رواه مسلم
Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi kini ziarahlah. HR. Muslim.
c.       Berdasarkan keterangan dari perowi, yang menyatakan satu hadits dikeluarkan tahun sekian dan hadits lain dikeluarkan tahun sekian.[9]

B.      TARJIH

  1. Pengertian Tarjih
Secara etimologi tarjih berarti menguatkan, sedangkan secara terminologi, Muhammad al-Syanqithi mendefinisikan tarjih dengan:
والترجيح في الاصطلاح تقوية أحد الدليلين المتعارضين
Tarjih secara istilah adalah menguatkan salah satu dari duadalil yang saling bertentangan.[10]
Khalid Ramadhan Hasan mendefinisikan tarjih dengan:
الترجيح هو تقوية احد الطرفين على الأخر فيعلم الأقوى فيعمل به ويطرح الأخر
Tarjih adalah menguatkan salah satu sisi atas yang lain untuk diketahui mana sisi yang lebih kuat dan untuk mengamalkannya serta meninggalkan sisi yang lain.[11]
Selain dua definisi diatas, ada dua definisi tarjih yang dikemukakan oleh ulama’ ushul fiqh. Yaitu mereka aliran Hanafiyah dan aliran Mutakallimin atau Syafi’iyah.
a.       Pengertian tarjih menurut ulama’ Hanafiyah:
اظهار زيادة لاحد المتماثلين على الأخر بما لا يستقل
Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat, dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.[12]
Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukungnya.[13]
b.      Pengertian tarjih menurut ulama’ Syafi’iyah atau jumhur ushuliyin:
تقوية احدى الامارتين اى الدليلين الظنيين على أخرى ليعمل بها
Menguatkan salah satu dalil yang zdanniy dari yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.[14]
Dengan pengertian tersebut, jumhur menkhususkan tarjih pada permasalahan dua dalil yang sifatnya zdanniy. Menurut mereka tarjih tidak diberlakukan pada dalil-dalil yang qath’iy. Juga tidak termasuk antara yang qath’iy dengan yang zdanniy.[15]
Jumhur ulama’ telah sepakat bahwa dalil yang rajih harus diamalkan. Diantara alasannya adalah adanya ijma’ sahabat dan ulama’ salaf setelahnya. Mereka mendahulukan sebagian dalil-dalil yang zdanniy atas sebagian yang lain dalam berbagai macam kasus yang beraneka ragam. Para sahabat dalam banyak kasus telah melakukan pen-tarjih-an dan tarjih tersebut diamalkan, seperti para sahabat lebih menguatkan hadits yang dikeluarkan oleh Aisyah tentang kewajiban mandi apabila telah bertemu antara alat vital laki-laki dan alat vital perempuan (HR. Muslim dan Turmuzdi), daripada hadits yang diterima oleh Abu Hurairah “air itu berasal dari air” (HR. Ahmad bin Hambal dan Ibnu Hibban). Contoh lainnya, mereka mendahulukan hadits riwayat ‘Aisyah -Radiya Allah ‘anha- dari Nabi saw.:
انه كان يصبح جنبا وهو صائم
Hadits ini didahulukan daripada ucapan nabi saw. yang diriwayatkan Abu Hurairah:
من اصبح جنبا فلا صوم له
Hal ini dikarenakan bahwa ‘Aisyah lebih mengetahui keadaan nabi saw. dalam kesehariannya.

  1. Turuq al-Tarjih
Banyak metode yang digunakan oleh para ulama’ ushul fiqh untuk men-tarjih dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin dilakukan melalui cara al-jam’u wa al-taufiq dan nasakh. Menurut Ramadhan Hasan metode tarjih mencakup; al-tarjih bi i’tibar al-sanad, al-tarjih bi i’tibar al-matan, al-tarjih bihasabi al-umur al-kharijah, al-tarjih baina al-aqyisah, dan al-tarjih baina al-hudud wa al-syam’iyah.[16]
 Dari berbagai macam cara pen-tarjih-an, untuk menklasifikasikannya, Wahbah membagi metode tarjih menjadi dua kelompok besar, yaitu tarjih antar nash (al-tarjih baina al-nushush) dan tarjih antar qiyas (al-tarjih baina al-aqsiyah).[17]

a.       Tarjih baina al-Nusush
Mengutip dari beberapa sumber, Rahmat Syafe’i, menyebutkan bahwa Tarjih baina al-nusush, terbagi menjadi empat bagian. Berikut penjelasannya: [18]
1)      Tarjih dari segi sanad
Pen-tarjih-an dari segi sanad dapat dilakukan melalui 42 cara, yang diantaranya dikelompokkan dalam bagian berikut:
a)      Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
Dari cara ini menurut jumhur adalah dengan meneliti kuantitas perawi suatu hadits. Menurut mayoritas ulama’, hadits yang banyak perawinya ditarjihkan dari yang sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan sangat kecil.[19]
Selain dari segi kuantitas, Jumhur juga berpendapat bahwa pentarjihan boleh dilakukan berdasarkan kualitas perawi, misalnya pentarjihan hadits dari sisi ke-dhabit-an perawi.
b)      Pen-tarjiih-an dengan melihat riwayat itu sendiri.
Pen-tarjih-an dengan cara ini yaitu menguatkan hadits mutawatir daripada hadits masyhur atau menguatkan hadits masyhur daripada hadits ahad. Bisa juga dengan melihat persambungan sanadnya, semisal hadits yang sampai kepada rasul di-rajih daripada hadits yang tidak sampai Rasul.
c)       Pen-tarjih-an melalui cara menerima hadits dari Rasul
Yaitu merajihkan hadits yang melalui hafalan perawi dari hadits yang diterima perawi melalui tulisan, dikuatkan hadits yang memakai lafaz langsung dari Nabi saw., begitu pula hadits ahad yang matannya tidak menyangkut khalayak umum didahulukan dari hadits ahad yang matannya mengandung orang banyak.
2)      Tarjih dari segi Matan
Yang dimaksud dengan metode tarjih ini adalah teks ayat, hadits, atau ijma’. Semisal teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung perintah,[20] makna hakikat dari suatu lafaz lebih diutamakan daripada makna majazinya.[21]
3)      Tarjih dari Segi Hukum dan kandungan Hukum
Cara pen-tarjih-an melalui metode ini dicontohkan seperti pada teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan. Berdasarkan hadits Rasulullah saw.:
ما اجتمع الحلال والحرام الا غلب الحرام رواه البيهقى
Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali yang haram lebih dominan.
Contoh lainnya apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang lain mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka yang dipilih jatuh pada yang pertama, yaitu teks menghindarkan terpidana dari hukuman. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
ادرؤوا الحدود بالشبهات رواه البيهقى
Tolaklah hukuman dalam (kejahatan) hudud apabila terdapat keraguan.
4)      Tarjih menggunakan faktor (dalil) lain diluar nash
Contoh dari penerapan metode ini yaitu; mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain, baik berupa dalil al-Quran, Sunah, Ijma’, Qiyas, dan lain-lain, menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbab al-nuzul atau asbab al-wurud daripada dalil yang tidak memuat hal tersebut.

b.      Tarjih Baina Aqyisah
Wahbah al-Zuhailiy mengelompokkan berbagai macam cara pentarjihan ini ke dalam empat kelompok. Yaitu:
1)      Dari segi hukum asal. Pen-tarjiih-an qiyas dari segi hukum asal mencakup: menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’iy dari yang hukum asalnya zdanniy, menguatkan qiyas yang dilandaskan pada dalil ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash, menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak sesuai dengannya, menguatkan qiyas yang didukung oleh dalil yang khusus, menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama’ tidak akan dinasakh, dan menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus daripada yang ‘am.
2)      Dari segi hukum far’u (cabang). Pen-tarjih-an qiyas dari segi hukum cabang diantaranya mencakup: menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asal, menguatkan hukum cabang yang illat-nya diketahui secara qath’iy dari yang hanya diketahui secara zdanniy, dan menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil.
3)      Dari segi illat. Pen-tarjih-an dari segi illat ada dua macam. Yaitu, pen-tarjih-an dari segi cara penetapan illat, pen-tarjih-an dengan melihat sifat illat hukum dan pen-tarjih-an dari sisi faktor eksternal (amr khorij).[22]

C.      TA’ARUDH AL-ADILLAH

  1. Pengertian ta’arudh al-adillah
Ta’arudh secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal, saling berhadapan (التقابل) dan saling menghalangi (التمانع), sedangan al-adillah merupakan bentuk jama’ dari kata dalil yang bermakna argumen dan dasar.
Sudah menjadi tradisi para pakar keilmuan, meskipun substansi maknanya sama akan tetapi terdapat beragam perbedaan redaksi dalam mendefinisikan sebuah kata atau istilah. Demikian juga para ushuliyin, menurut ahli ushul, terdapat banyak redaksi yang digunakan untuk mendefinisikan ta’arudh al-adillah. Diantaranya:
a.       Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin mendefinisikan ta’arudh dengan:
تقابل الدليلين بحيث يخالف أحدهما الآخر
Saling berhadapannya dua dalil dari sisi salah satunya menyelisihi yang lain.[23]
b.      Wahbah al-Zuhailiy:
هو أن يقتضي أحد الدليلين حكما فى واقعة خلاف ما يقتضيه الدليل الاخر فيها
Ta’arudh berarti bahwa salah satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki dalil lainnya.[24]
Dalam karyanya yang lain, al-Wajiz, Wahbah memberikan contoh kontradiksi dua dalil dengan dua ayat ’iddah. Yaitu:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ...
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.  QS. Al-Baqarah (2): 234.
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), Maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. QS. Al-Thalaq (65): 4.
Ayat pertama dilihat dari segi keumumannya berkonsekuensi adanya ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya baik dalam keadaan hamil ataupun tidak. Adapun ayat yang kedua dilihat dari segi keumumannya berkonsekuensi adanya ‘iddah wanita hamil sampai pada waktu melahirkan, baik wanita tersebut ditinggal mati oleh sang suami ataupun dicerai. Kontradiksi dari dua ayat diatas adalah masa ‘iddah seorang wanita hamil yang ditinggal mati oleh sang suami, apakah masa ‘iddah-nya berdasarkan sampai dia melahirkan atau selama empat bulan sepuluh hari.[25]
c.       Ta’arudh antara dua dalil menurut Abdul Wahhab Khalaf adalah:
اقتضاء كل واحد منهما في وقت واحد حكماً في الواقعة يخالف ما يقتضيه الدليل الآخر فيها.
Tuntutan dari masing-masing kedua dalil dalam waktu yang bersamaan terhadap hukum suatu kasus dimana tuntutan hukum dari kedua dalil saling berlawanan satu dengan yang lain.[26]  
d.      Rahmat Syafe’i dalam karyanya Ilmu Ushul Fiqh mengutip definisi ta’arudh al-adillah dari tiga ulama’ ushul. Beliau mengatakan:

Adapun secara terminologi, para ulama’ memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta’arudh al-adillah, diantaranya:
1.       Menurut imam al-Syaukani, ta’arudh al-adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu.
2.       Menurut Kamal Ibnu al-Humam dan al-Taftazani, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya.
3.       Ali Hasabalah berpendapat bahwa ta’arudh al-adillah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.[27]

Dari berbagai definisi yang dikemukakan pakar ushul fiqh diatas, dapat difahami bahwa pertentangan antara dua dalil atau lebih haruslah berada pada tingkatan yang sama. Hal ini dipertegas dari definisi yang dikemukakan Ali Hasabalah, dimana beliau mengatakan bahwa kedua dalil yang bertentangan tersebut berada dalam satu derajat.
Pada hakikatnya tidak ada pertentangan yang terjadi dalam hukum syara’. Muhal hukumnya ada pertentangan hukum yang datang dari syari’ (Allah swt.) karena hal ini pertanda bahwa Allah mempunyai sifat ‘ajz (lemah).[28] Menurut Wahbah, pertentangan atau ta’arudh tergantung pada pandangan atau kemampuan mujtahid dalam memahami dan menganalisis dalil-dalil.[29]

  1. Turuq Daf’ Ta’arudh al-Adillah
Apabila secara lahiriyah terjadi ta’arudh baina al-adillah dalam pandangan seorang mujtahid, maka wajib baginya mencari jalan keluarnya. Terdapat dua jalan atau dua aliran untuk menyelesaikan ta’arudh baina al-adillah. Yaitu metode yang digunakan kalangan Hanafiyah dan metode penyelesaian ta’arudh yang digunakan kalangan Syafi’iyah atau jumhur ulama’.

a.       Menurut Hanafiah
Ulama’ Hanafiyah mengatakan bahwa ta’arudh bisa terjadi antara nash-nash syara’ ataupun ta’arudh antara dalil-dalil selain nash. Ta’arudh yang terjadi pada dalil-dalil selain nash. Semisal ta’arudh antara dua qiyas, maka waijb bagi seorang mujtahid untuk mentarjih kedua qiyas tersebut dengan mengutamakan salah satunya.[30]
Apabila pertentangan terjadi antara dua nash, para ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa metode-metode yang digunakan dalam menyelesaikannya secara sistematis adalah sebagai berikut:

1)      Nasakh
Dari metode ini, seorang mujtahid harus melacak sejarah dari kedua nash, dan ketika sudah diketahui mana yang lebih dahulu datang dan mana yang datang kemudian, maka nash yang datang kemudian hukumnya menasakh yang terdahulu. Contohnya seperti pertentangan yang terjadi dalam dua ayat ‘iddah dalam QS. Al-Baqarah (2): 234 dengan QS. Al-Thalaq (65): 4.
Sahabat Ibnu Mas’ud,[31] kaitannya dengan permasalan dua ayat ‘iddah tersebut menjelaskan bahwa ayat kedua (QS. Al-Thalaq (65): 4) yang datang kemudian me-nasakh hukum yang terkandung dalam ayat pertama (QS. Al-Baqarah (2): 234). Menjelaskan pendapat Ibnu Mas’ud dalam masalah ini, Dedi Supriyadi menguraikan sebagai berikut:

QS. Al-Baqarah (2) ayat 234 mencakup perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil maupun tidak, sedangkan QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 hanya mengenai perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Menurut Ibnu Mas’ud, QS. Al-Baqarah (2) ayat 234 turun lebih dahulu dan QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 turun kemudian. Oleh karena itu, Ibnu mas’ud berpendapat bahwa ayat terdahulu mansukh oleh ayat yang turun kemudian, yang lebih tepat adalah QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 membatasi (takhsis) keumuman makna QS. Al-Baqarah (2) ayat 234.[32]

2)      Tarjih
Tarjih, sebagaimana yang telah kami singgung dalam ta’rif tarjih sebelumnya adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa qorinah yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila dua dalil yang bertentangan sulit dilacak sejarahnya oleh seorang mujtahid, maka mujtahid tersebut harus me-rajih-kan salah satu dalil ketika memungkinkan. Pen-tarjih-an bisa menggunakan beberapa metode tarjih. Semisal menguatkan nash yang muhkam dari pada nash yang mufassar, menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh, dan dari segi ‘adalah, dhabit, faqih dan sebagainya seorang perawi hadits.[33]

3)      Al-Jam wa al-Taufiq
Al-jam’u wa al-taufiq yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya,[34] hal ini berdasarkan kaidah “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.[35] Misalnya firman Allah swt., dalam surat al-Maidah (5): 3:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah…
Ayat diatas tidak menjelaskan tentang jenis darah dan tidak membedakan antara darah yang mengalir dengan darah yang sudah beku. Kemudian ada ayat lain dalam surat al-An’am (6): 145:
...HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ...
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir.
Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa darah yang dilarang adalah darah yang mengalir.[36]

4)      Tasaqut al-Dalilain
Tasaqut al-dalilain adalah langkah terakhir mujtahid yang berarti menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah. Hal ini ditempuh apabila tidak bisa menggunakan ketiga cara diatas.[37] Misalnya ada pertentangan antara dua ayat, sedang tata cara sebelumnya sangat sulit dipakai, maka langkah yang harus ditempuh adalah mengambil keterangan yang lebih rendah dari al-Quran, yaitu Sunah. Apabila ada dua sunah yang bertentangan maka beralih pada istidlal dengan qoul al-sahabah bagi yang menggunakannya sebaai hujjah dan beralih pada qiyas bagi yang tidak menggunakan istidlal qoul al-Sahabat.[38]

b.      Menurut Syafi’iyah
Menurut Syafi’iyah, apabila terjadi pertentangan antara dua qiyas maka yang dilakukan seorang mujtahid adalah men-tarjih salah satu qiyas dengan metode-metode tarjih yang telah penulis paparkan sebelumnya. Kemudian apabila terjadi pertentangan atau ta’arudh antara dua nash dalam pandangan seorang mujtahid menurut mazdhab Syafi’iyah, malikiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah wajib bagi mujtahid untuk melakukan pembahasan dan berijtihad sesuai dengan tahapan-tahapan berikut ini secara tertib.

1)      al-Jam’u wa al-Taufiq
Menurut aliran Syafi’iyah cara pertama untuk menyelesaikan dua dalil yang bertentangan adalah dengan mengompromikan kedua dalil tersebut. Ketika memungkinkan untuk menkompromikan, maka, sudah seharusnya keduanya diamalkan dan tidak boleh men-tarjih salah satu antara keduanya. Argumentasi mereka adalah bahwa mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih utama daripada mendisfungsikan salah satu dalil secara keseluruhan.[39]
Cara yang digunakan untuk mengompromikan kedua dalil tersebut ada tiga:
a)      Membagi kedua hukum yang bertentangan
b)      Memilih salah satu hukum. Misalnya ada hadits dibawah ini:
لا صلاة لجار المسجد الا فى المسجد
Tidak (sempurna) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid. HR. Abu dawud dan Ahmad bin Hambal
Lafaz ”la” dalam hadits, menurut ulama’ ushuliyin mempunyai banyak arti, bisa berarti tidak sah, tidak sempurna, dan tidak utama. Seorang mujtahid boleh memilih salah satunya asalkan didukung oleh dalil-dalil lain.
c)       Mengambil dalil yang lebih khusus, misalnya tentang masa ‘iddah wanita  hamil. Yang menurut Hanafiyah menggunakan metode nasakh.[40]

2)      Tarjih
Apabila tidak bisa menggunakan metode jam’u wa taufiq, seorang mujtahid beranjak pada tahapan selanjutnya, yaitu tarjih, yakni menguatkan salah satu dalil.



3)      Nasakh
ketika cara tarjih tidak dapat memberikan jawaban atas ta’arudh baina al-adillah, maka melangkah pada nasakh. Yakni membatalkan hukum yang terkandung dalam dalil yang terdalu dan mengamalkan hukum pada dalil yang turun kemudian.

4)      Tatsaqut al-Dalilain
Langkah terakhir yang ditempuh apabila seorang mujtahid merasa kesulitan menyelesaikan pertentangan antar dalil ialah Tatsaqut al-dalilain. Yakni meninggalkan dalil-dalil yang bertentangan dan beralih pada dalil yang lebih rendah derajatnya.

SIMPULAN
Pada hakikatnya tidak ada pertentangan atau ta’arudh diantara dlil-dalil. Apabila ta’arudh terjadi, itu hanya secara lahiriyah dan tidak lain adalah kelemahan dari seorang mujtahid dalam memahami nash-nash syar’iy.
Apabila terdapat pertentangan antara dalil-dalil syara’ dalam pandangan mujtahid, maka wajib baginya untuk melakukan pembahasan, analisis dan ijtihad terhadap dalil-dalil yang terlihat kontradiksi tersebut. Adapun metode atau cara menyelesaikan ta’arudh baina al-adillah terdapat dua pandangan yang diwakili oleh kalangan Hanafiyah dan Mutakallimin atau Jumhur. Menurut Hanafiyah turuq daf’ ta’arudh secara sistematis adalah sebagai berikut:
1.       Nasakh
2.       Tarjih
3.       Al-jam wa al-taufiq
4.       Tasaqut al-Dalilain
Dan menurut Jumhur ketika terjadi ta’arudh harus diselesaikan dengan tahapan-tahapan berupa: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tatsaqut al-dalilain. Tahapan ini harus dilakukan secara berurutan.

BIBLIOGRAFI

Al-Hasaniy. Muhammad bin ‘Alwi al-Malikiy, al-Qawa’id al-Asasiyah Fiy Ushul al-Fiqh, Jiddah: al-Haramain, tt.

Al-Syanqithi. Muhammad al-Amin, Muzdakirah Fiy Ushul al-Fiqh, Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2001

Al-‘Utsaimin. Muhammad bin Sholeh, Al-Ushul min 'Ilmil Ushul, alih bahasa oleh: abu shilah & Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh, disebarkan melalui: http://tholib.wordpress.com, 2007

Al-Zuhailiy. Wahbah, Al-Wajiz Fiy Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1999

Al-Zuhailiy. Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Beirut: Dar al-fikr, 2005

Hakim. Abdul Hamid, Mabadi’ al-Awwaliyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra, tt.

Khallaf. Abdul Wahhab, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Dar al-‘ilm, 1987

Kaki Lima Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006

Hasan. Khalid Ramadhan, Mu’jam ushul al-Fiqh, Mesir: al-Raudhah, 1998

Syafe’i. Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1998

Supriyadi. Dedi, Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, 2007








[1] Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul al-fiqh, (Mesir: al-Raudhoh, 1998), hlm. 307
[2] Wahbah al-Zuhailiy. Ushul al-Fiqh al-Islamiy. (Beirut: Dar al-fikr, 2006). juz II, hlm. 228-229
[3] Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ al-Awwaliyah, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, tt.), hlm. 13. Nampaknya ta’rif ini sengaja beliau paparkan dengan tujuan untuk lebih memudahkan para pemula dalam belajar memahami ushul fiqh. Ta’rif yang beliau kutip menurut Wahbah –sebagaimana yang kami kutip pula dalam definisi nasakh-, adalah ta’rif yang masyhur dikalangan ulama’ ushul yang ditawarkan oleh Ibnu Hajib.
[4] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Dar al-‘ilm, 1987), hlm. 222
[5] Khalid Ramadhan Hasan, op., cit., hlm. 307
[6] Wahbah al-Zuhailiy, op., cit., juz II, hlm.229
[7] Ibid., juz II, hlm. 237
[8] Nasikh disini adalah majaz yang berarti hukum syara’ atau nash yang me-nasakh. Rahmat Syafe’i mengatakan bahwa nasikh adalah dalil yang datang kemudian yang menghapus hukum sebelumnya. Namun beliau menegaskan bahwa pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah swt., karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapuskannya. Lihat: Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998) hlm.232
[9] Ibid., hlm. 241
[10] Muhammad al-Amin al-Syanqithi, Muzdakirah Fiy Ushul al-Fiqh, (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2001), hlm. 378
[11] Khalid Ramadhan Hasan, op., cit., hlm. 83
[12] Wahbah al-Zuhailiy, op., cit., juz II, hlm. 462  
[13] Rahmat Syafe’i, op., cit., hlm. 242
[14] Wahbah al-Zuhailiy, op., cit., juz II, hlm. 423
[15] Ibid.  
[16] Dari metode-metode tersebut, masih dispesifikasikan lagi menjadi banyak macam. Lebih jelasnya silahkan rujuk kembali pada: Khalid Ramadhan Hasan, op., cit., hlm. 83-87
[17] Wahbah al-Zuhailiy. op., cit., juz II hlm. 465
[18] Rahmat Syafe’i, op., cit., hlm. 243-247
[19] Tetapi Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Abu Hasan al-Karkhi menolak pendapat jumhur tersebut. Mereka semua berasal dari golongan mazdhab Hanafi. Menurut mereka banyaknya perawi tidak bisa men-tarjih hadits lain yang lebih sedikit perawinya, kecuali kalau lebih dari tiga orang perawi (hadits masyhur). Mereka menganalogikan kepada kasus persaksian yang bertentangan, bahwa hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara atas dasar persaksian yang lebih banyak orangnya.
[20] Hal ini dikarenakan menolak kemadharatan lebih diutamakan dari menarik manfaat. Kaitannya dengan ketentuan tersebut, Para pakar fiqh menformulasikan sebuah kaidah kubro "الضرر يزال " (kemadharatan harus dihilangkan), dimana dalam sub kaidah disebutkan sebuah kaidah fiqh " درء المفاسد مقدم على جلب المصالح " yang artinya “menolak kemadharatan lebih utama daripada mendatangkan sebuah kemaslahatan”. Lebih jelasnya silahkan rujuk kembali pada pembahasan nazdariyah al-maslahah atau buku-buku yang menerangkan kaidah fiqh, diantaranya: Kaki Lima Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: Khalista, 2006), buku satu, hlm. 237
[21] Kaidah yang menerangkan ketentuan ini ialah kaidah yang berbunyi " الاصل فى الكلام الحقيقة " yang artinya “hukum asal dari kalam adalah makna hakiki”.
[22] Wahbah al-Zuhailiy, op., cit., juz II, hlm. 477-482
[23] Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Al-Ushul min 'Ilmil Ushul, alih bahasa oleh: Abu Shilah & Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh,( http://tholib.wordpress.com, 2007), hlm.116 diakses 5 Nop. 2010.
[24] Al-Qudami menyatakan bahwa definisi tersebut merupakan sebuah ibarat dari dua dalil atau lebih yang saling menafikan dilihat dari dilalahnya yang bertentangan dan tidak bisa di-jam’u-kan. Seperti contoh ada dua dalil yang satu konsekuensi hukumnya berupa wajib dan dalil lainnya berkonsekuensi haram.Wahbah al-Zuhailiy. op., cit., juz II, hal. 451 
[25] Wahbah al-Zuhailiy, al-Wajiz Fiy Ushul al-Fiqh, (Lebanon, Beirut: Dar al-Fikr, 1999), hlm. 243. Lihat pula Abdul Wahhab Khallaf, op., cit., hlm. 229
[26] Abdul Wahhab Khallaf, ibid.
[27] Rahmat Syafe’i, op., cit., hlm. 225. Yang dimaksud dari satu derajat adalah bila dalil itu mempunyai kekuatan hukum yang sama. Semisal ayat dengan ayat dan hadits ahad dengan hadits ahad. Adapun apabila satu dalil lebih kuat dengan dalil lain maka yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat.
[28] Muhammad bin ‘Alwi al-Malikiy al-Hasaniy, al-Qawa’id al-Asasiyah Fiy Ushul al-Fiqh, (Jiddah: al-Haramain, tt.,), hlm. 61
[29] Wahbah al-Zuhailiy, Ushul...op., cit., juz II, hlm. 452
[30] Ibid., juz II, hlm. 458
[31] Beliau adalah salah satu sahabat Nabi yang terkenal sebagai ahli ra’yu. Pola pikir beliau dalam hal penggunaan ra’yu sangatlah mempengaruhi pemikiran dan metode istinbhat Imam Hanafi dan para ahli fiqh di Irak. Meskipun tidak semua ulama’ produk Kufah dan Basroh cenderung terhadap Ra’yu. Namun sebagian besar dari mereka banyak yang memberikan porsi lebih terhadap logika, terbukti banyak ditemukan fiqh taqdiriy (perkiraan) dalam kitab-kitab mereka. Dari kalangan ulama’ Irak muncul Imam Syafi’i yang berlaku moderat terhadap metode-metode ahli Hadits dan Ahli Ra’yu dan Imam Ahmad bin Hambal yang sangat getol membela Hadits.
[32] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, (Bandung: Pustaka setia, 2007), hlm. 83
[33] Wahbah al-Zuhailiy, Ushul...op., cit., juz II hlm. 455
[34] Rahmat Syafe’i, op., cit., hlm. 227
[35] Wahbah al-Zuhailiy, Ushul...op., cit., juz II hlm. 455
[36] Rahmat Syafe’i, op., cit., hlm. 227
[37] Ibib., hlm. 228
[38] Wahbah al-Zuhailiy, Ushul...op., cit., juz II hlm. 457
[39] Ada sebuah kaidah  لا اهماله"الاصل فى الدليل اعماله " Ibid., juz II, hlm. 460
[40] Rahmat Syafe’i, op., cit., hlm. 229

1 komentar:

  1. salam, masalah pertama tidak perlu dipertanyakan lagi dan cukup include in "latar belakang", pembahasan perlu lebih difocuskan pada "al-ta'rudh bi amri kharij", selamat

    BalasHapus

KILAS SEJARAH DINASTI UMAYAH

Dinasti Bani Umayah adalah sebuah dinasti yang berkuasa dalam dunia Islam dari tahun 661 hingga 750 M. Dinasti ini didirikan setelah kematia...